✂.... life after break up-chapter 04

Kuliah siang hari ini terasa lama banget. Semestinya jam 1 siang sudah selesai, tapi sampai jam 2 siang kelasnya belum rampung-rampung sampai komting kelas menyela sang dosen untuk sekadar mengingatkan bahwa jam mengajarnya telah usai satu jam lalu. Bu Anna yang merasa jam kuliahnya belum selesai kontan tercengang saat mengecek langsung jam di ponsel, lalu buru-buru meminta maaf karena ternyata beliau tadi salah baca waktu makanya waktu mengajarnya bertambah.

Begitu kuliah rampung, Jisoo bergegas membereskan buku dan perlatan tulisnya. Memasukkan semua ke dalam tas. Dia sudah tak sabar ingin segera pulang ke kos-kosan.

“Masih sakit kepala?” tanya Bona yang sudah rampung meringkas barang-barangnya dan kini sedang menunggunya.

Jisoo mengangguk samar. Dari tadi pagi kepalanya sakit, nyut-nyutan, dan saking sakitnya dia sampai enggak bisa fokus mengikuti perkuliahan siang ini. Diam-diam tadi selama dosen mengajar dia ketiduran di bangku bagian pojok, tepat di belakangnya Baekho—si mahasiswa bertubuh besar yang keberadaannya cukup mampu untuk menyembunyikan Jisoo dari perhatian Bu Anna. Untungnya, selamat tiga jam ke depan tadi Bu Anna tidak memergoki mahasiswinya yang terang-terangan tidur selama mata kuliahnya.

“Semalam pasti habis bergadang dan nangis, kan?”

“Yeah, begitulah.” Tidak ada yang mau bantah lagi toh, memang begitulah apa adanya. Semalam dia bergadang melanjutkan skripsi lalu ditambah masalahnya sama Taeyong. Mereka bertengkar hebat hanya gara-gara Jisoo tidak menyambut panggilan teleponnya dan Jisoo yang tidak terima disalah-salahkan langsung menyudutkan Taeyong kalau itu juga yang dirasakannya saat dia lupa memberinya kabar.

“Kita udah putus. Jadi, buat apa aku terima panggilan teleponmu!” Barulah perdebatan itu berhenti ketika Jisoo mengingatkan status hubungan mereka, lalu Taeyong pergi dengan perasaan kecewa. Seperginya laki-laki itu, Jisoo menangis merasa tertekan dan Bona menjadi saksi dari tangisannya.

“Dada gue semalam sesek banget dan bawaannya pengen mual juga.”

“Asam lambung lo tuh, pasti kumat!” Bona memelototnya. “Makanya rutin sarapan, makan teratur, dan jangan kebanyakan stress.”

“Siapa juga yang mau stress?” timpalnya. “Lo tahu kan, Na, akhir-akhir gue digempur sama skripsi ditambah dosbing gue perfeksionis dan susahnya minta ampun buat ditemuin. Ditambah lagi masalah percintaan gue. Lengkap banget penderitaan hidup gue as mahasiswa.”

“Dulu kan udah gue bilang. Jangan ambil metode penelitian eksperimental dan Bu Dany.”

“Bukan gue yang mau. Bu Dany yang nyuruh gue ambil motode itu. Beliau bilang penelitian gue lebih bagus kalau pakai metode eksperimental.”

“Tapi lo bisa nolak asal nggak menyanggupi saran dosbing lo.”

“Sudah telanjur.” Bagaimana caranya mau menolak kalau setiap bimbingan Bu Dany selalu menyinggung penggunaan metode eksperimental terkait skripsinya. Bu Dany tertarik sama skrispinya sejak di hari pertama dia menyodorkan judul buat skripsi. Semenjak hari itu Bu Dany suka mewanti-wanti agar dia menggunakan metode penelitian eksperimental karena menurutnya skripsinya menarik. “Gue jadi pengen balik ke rumah. Rasanya pengen berhenti satu semester lagi.”

“Wah, orang gila. Semester kemarin lo udah stop, masa sekarang mau stop lagi?”

“Kasihan adik gue, Na, di rumah sendiri. Bokap gue selalu pergi, jarang di rumah.”

“Makanya selesain skripsinya! Sayang tahu berhenti sekarang. Lagian lo udah sampai di bab tiga on the way bab empat, kan?”

Jisoo mengangguk.

“Adik lo masih ada pengasuhnya. Gak perlu lo kasihin. Kasihin aja diri lo sendiri.”

Mendengar omelan Bona membuat sebagian kecil sakit kepalanya mereda. Inilah alasan kenapa Jisoo betah temanan sama Bona dibanding sama orang lain. Meski Bona orangnya agak cerewet kayak emak-emak, tapi dia enggak pernah menjelekkan temannya di belakang dan selalu jadi garda terdepan untuk membela temannya. Dibanding beberapa orang yang diam-diam ternyata suka ngomongin teman di belakang.

Dulu itu Jisoo enggak dekat sama Bona. Mereka baru mulai kenal dan dekat waktu semester dua saat mereka disatukan dalam satu kelompok presentasi. Semester satu dulu Jisoo lebih dekat sama Seolhyun, tapi setelah dengar soal dia suka menjelek-jelekkan dirinya di belakang, Jisoo langsung cut off pertemanannya. Mereka enggak sampai jadi musuhan juga, mereka cuma enggak sedekat dulu.

Teman Jisoo di kampus tuh, termasuk dikit. Teman sekelas yang benar-benar akrab bisa dihitung pakai jari. Kebanyakan teman sekelasnya punya kelompok sosial sendiri-sendiri, jadi susah buat disatukan. Maka tak heran kalau kelasnya terkenal tidak kompak. Teman dari jurusan lain juga sedikit soalnya Jisoo enggak pernah ikut organisasi apa pun. Maka bisa dibayangkan sedikit apa kenalan Jisoo di jurusan lain.

“Sampai kos-kosan langsung makan. Jangan sampai gue dengar lo sakit gara-gara keseringan telat makan.”

“Gue udah makan kok. Makan roti selai.”

“Nasi dong, masa roti! Yang bener aja lo.” Bona terus mengomelinya selama mereka berjalan keluar dari kelas. “Awas aja gue dengar berita lo semaput gara-gara sakit. Gue masih nggak lupa, lihat lo semaput pas KKN dulu.”

“Itu murni gue capek dan lingkungannya juga nggak cocok buat gue. Pokoknya KKN dulu bener-bener nggak worth it.”

Lingkungan yang dingin karena terletak di daerah pegunungan, kegiatan KKN yang banyak, ditambah makan tidak teratur maka jadilah dia ambruk sewaktu KKN, dan membuat teman satu poskonya khawatir.

“Tetap aja lo harus makan biar asam lambung lo gak kumat.”

“Iya, iya. Mama Bona. Habis ini gue makan banyak. Puas lo?”

“Gak puas sebelum ada videonya.”

“Cih. Jahat!”

Bona tertawa. Lalu sampai di depan gedung fakultas, dia tiba-tiba menghadang jalan seorang teman laki-lakinya.

“Hei, Minhyun. Lo mau balik, kan?”

“Nggak. Gue mau ngebadut di perempatan jalan,” ujarnya sambil mendengkus jengkel.

“Ngebadut dengan wajah kayak lo mana bisa. Yang ada lo dibungkus sama tante-tante girang.” Bona balas mendengkus sengit, menolak kalah dari Minhyun. “Kalau lo mau balik bisa dong, tebengin teman gue. Rumah lo kebetulan searah sama kos-kosannya.”

Minhyun menarik pandangannya ke arah Jisoo yang kini terbelalak saat mendengar ucapan Bona yang tiba-tiba mencarikan tebengan pulang untuknya. “Si Jisoo aja diam aja nggak nyari tebengan. Kok malah lo yang malakin orang lewat?”

“Sesama teman harus saling membantu. Ingat kata Pak Budiman!”

Minhyun memutar bola mendengar ocehan Bona.

“Lo ngapain nyariin gue tebengan, Na? Gue bisa naik gojek,” ujar Jisoo merasa tak enak kalau pulang mesti bareng sama teman sekelasnya apalagi orang itu Minhyun, si komting kelas.

“Nah, tuh dia mau naik gojek,” sambung Minhyun.

Bona memelototi Minhyun, sebelum menggeleng tak setuju. “Justru karena itu lo butuh tumpangan mobil si Minhyun daripada naik gojek panas-panas begini. Dan lo, Minhyun, sebagai komting kelas, lo harus care sama teman sekelas lo. Teman kita ini lagi sakit. Lo mesti nganterin dia sampai kos-kosan dengan selamat, sehat dan sentosa.

“Dikira gue pasukan PMI apa.” Minhyun menggeleng heran. Meski begitu, dia tak menolak permintaan Bona. “Tapi gue mau mampir dulu di Hari Ini. Mau balikin laptop teman yang gue pinjam kemarin. Kalau lo gak masalah, gue sih, fine-fine aja nganterin lo balik.”

“Nah, tuh, Jis, masalah gak lo?”

Karena Bona sudah mau repot-repot mencarikan tebengan untuknya, Jisoo menggeleng tak mempermasalahkan urusan Minhyun.

“Bagus!” seru Bona senang. “Dah sana, pergi kalian. Gue mau lanjut ke perpus cari buku teori lagi.”

“Sekalian cariin gue buku,” timpal Minhyun kemudian.

“Buku apa?”

“Serius mau dicariin? Kalau iya, ntar gue chat judul bukunya.”

Bona orangnya juga enggak pelit. Dia langsung membenarkan akan mencarikan buku untuk Minhyun selama buku itu ada di perpustakaan pusat di kampus. Setelah itu, mereka bertiga berpisah. Bona pergi ke perpustakaan pusat; Jisoo yang pulangnya nebeng bareng Minhyun mengikuti laki-laki menuju halaman parkiran mobil.

Sebetulnya dia enggak begitu dekat sama Minhyun meski teman sekelas. Kalau bukan karena permintaan Bona, dia sebenarnya lebih suka pulang naik ojek daripada nebeng pulang sama Minhyun. Rasanya canggung banget berduaan sama komting kelasnya di dalam mobil.  Dan selama perjalanan itu, Jisoo lebih sering diam selain karena dia sakit kepala, dia juga bingung mau ngobrolin soal apa sama Minhyun. Yang paling sering mencairkan suasana cuma Minhyun. Sesekali Minhyun menanyakan soal perkembangan skripsinya dan petunjuk arah kos-kosannya, selebihnya tidak ada yang istimewa dari obrolan mereka.

Obrolan mereka hanya seputar di topik sama. Sampai akhirnya, mobil berbelok ke kiri jalan dan berhenti di sebuah kafe.

“Hari Ini itu ternyata nama kafe,” gumam Jisoo baru menyadari keberadaan kafe satu ini yang ternyata lokasinya cukup dekat sama kos-kosannya. “Gue baru tau ada kafe di sini.”

“Belum lama dibuka jadi maklum kalau lo baru tahu.”

“Oh, pantesan,” lanjutnya, “ngomong-ngomong, gue ikut turun, ya. Mau sekalian beli sesuatu buat dimakan di kos daripada nanti pesan gofood. Gak masalah, kan?”

Minhyun tertawa. “Ya, gak papa. Malah bagus lo mau beli dagangan punya teman gue.”

“Kafenya punya teman lo?”

Minhyun mengangguk.

“Keren, ya! Gue juga pengen lho, buka usaha kafe tapi kayaknya nggak bakalan bisa.”

“Lho, kenapa?”

Jisoo cuma tersenyum tipis sebagai tanggapan dari pertanyaannya. Seolah mengerti dia tidak mau memberitahu alasannya, Minhyun urung melanjutkan pertanyaannya. Sebaliknya mengajak gadis itu turun dari mobil dan sama-sama berjalan menuju kafe.

Setibanya di dalam kafe, Minhyun lalu pamit untuk mencari temannya guna mengembalikan laptop. Sementara Jisoo mengantri untuk membeli beberapa cemilan untuk dibawa pulang ke kos-kosan. Antriannya sedikit panjang berhubung hari ini masih termasuk hari pembukaan kafe. Sebagai awal pembukaan, kafe memberikan potongan diskon cukup besar untuk setiap menu sehingga banyak pengunjung datang meski telah memasuki hari ketiga pembukaan.

Meski usai mengantri dan memesan beberapa menu, Jisoo masih harus tetap menunggu selama beberapa menit lagi untuk pesanannya. Dia kemudian mencari tempat duduk di antara meja-meja yang penuh oleh pengunjung. Selama seperkian detik mencari, akhirnya dia menemukan bangku kosong di sebelah kelompok besar yang beranggotakan enam orang itu. Jisoo memutuskan untuk menunggu di sana sampai namanya dipanggil dan sampai Minhyun kembali setelah menemui temannya.

Beruntunglah dia bisa langsung duduk ketika rasa sakit kepalanya menyerang lagi. Jisoo meremas kepalanya, menahan nyeri yang mendadak menyebar setelah beberapa saat lalu mereda. Lagi-lagi begini. Hanya gara-gara melewatkan makan dan keseringan bergadang,  dia jadi sering sakit kepala. Sakit kepala masih mending daripada asam lambung naik. Bisa-bisa dia pulang sambil merangkak soalnya pasti tubuhnya enggak kuat dipakai buat jalan kaki. Bawaannya pasti lemas dan dikit-dikit pengen mual ke toilet.

Mungkin karena terlalu fokus menahan sakit kepalanya sampai-sampai dia tak mendengar saat namanya dipanggil. Jisoo baru tersadar ketika Minhyun muncul dan menegurnya sebelum menanyakan kondisinya, apa dia baik-baik saja karena ekspresinya sekarang terlihat seperti orang kesakitan.

“Duh, nggak denger kalau nama gue udah dipanggil. Kepala gue pusing jadi nggak fokus,” ucapnya.

“Biar gue ambilin. Lo tunggu di sini aja.”

“Gak apa-apa gue masih bisa jalan kok. Lagian kita langsung balik, kan? Oiya, lo udah ketemu teman lo?”

“Udah ketemu.” Minhyun masih memperhatikan Jisoo yang tampak kesakitan. “Butuh pegangan?”

“Hm?” sahutnya kebingungan ketika tiba-tiba Minhyun mengulurkan tangan kepadanya. “Apa, nih?”

“Buat pegangan soalnya nggak lucu kalau lo tiba-tiba jatuh.”

Ucapannya itu berhasil membuatnya tertawa lebar. “Ya Tuhan. Gue nggak bakalan jatuh. Sumpah!”

“Meski begitu, terima aja kebaikan tangan gue.”

Jisoo bergeming memandangi tangan Minhyun yang semakin terulur ke arahnya.

Dikarenakan dia tak kunjung meraih tangannya, Minhyun kemudian meraih tangan Jisoo dan mengenggamnya. “Sorry, tiba-tiba pegang tangan lo. Tapi gue minta izin ya, buat pegang tangan lo. Gue beneran takut lo jatuh.”

“Eh—ya, o-oke?” sahut Jisoo setengah gugup.

Notif kalian gak muncul? Kusarankan pakai wattpad beta daripada wattpad biasa 👍🏻

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top