chapter 3

Aislyn terdiam menatap sayu pemandangan yang ada di hadapannya, dia membiarkan kopi yang ada di tangannya mendingin tanpa merasakan sedikitpun rasa dari kopi tersebut. Tak lama wajahnya mengeras saat dia mengingat apa yang terjadi pada Alyssyananya, apa yang dirasakan anak itu bagaimana dia menahan rasa sakitnya hingga tanpa sengaja dia memecahkan gelas yang di genggamnya, membiarkan kedua tangannya terluka untuk yang kesekian kalinya.

Dia mendesah dan memungut semua pecahan gelas tersebut untuk dia bersihkan, tanpa memperdulikan perih akibat luka yang ada di tangannya. Setelah semuanya bersih dia kembali berdiri di depan pagar teras rumah tersebut, membiarkan angin bermain dengan helaian rambutnya.

"Kau bisa menghabiskan gelasku kalau begini terus." Arnia mendengus kesal dan pergi membawa seember air hangat untuk membersihkan tubuh Alyssyana. Ya, mereka menginap di rumah Zahra karena permintaan wanita itu sejak awal mereka datang kemari.

Sudah tiga hari dia tinggal dirumah pohon ini, rumah  buatan Arnia yang menggunakan keahliannya sebagai seorang manusia khusus, mereka membuat rumah ini diatas pohon dengan berbagai macam tipuan di sekelilingnya, untuk menaiki tempat ini mereka harus bisa menemukan tali yang cocok dan dapat menurunkan beberapa anak tangga menuju rumah itu. Jika tidak  mereka akan tewas dengan berbagai racun tumbuhan yang Arnia ciptakan. Rumah ini memang benar-benar terlihat begitu sederhana dengan aksen klasik di dalamnya sebagian besar peralatannya terbuat dari kayu. Ada beberapa ruangan di kamar tersebut dan satu ruangan khusus di mana Zahra selalu melakukan penelitiannya serta menciptakan banyak hal untuk pengobatannya. Meski mananya memang khusus untuk penyembuhan, dia tetap membutuhkan bantuan semua hasil penelitiannya untuk penyembuhan secara berkala. Karena pada dasarnya mana mereka cukup terbatas.

Sisanya adalah ruang tamu yang di gabungkan dengan ruang makan, dapur yang bersebelahan dengan kamar mandi dan juga kamar-kamar untuk mereka tidur. Sempat Aislyn menanyakan bagaimana pembuangan mereka di kamar mandi namun, hal itu sudah sangat dipikirkan oleh Arnia si pembuat rumah. Dia sudah menciptakan jalur untuk pembuangan kotoran mereka agar tidak merusak lingkungan juga. Lagipula kotoran manusia masih bisa di manfaatkan sebagai pupuk jika mereka pandai mengolahnya.

Aislyn sama sekali tidak memperdulikan kekesalan Arnia dan terus menatap lurus ke arah hutan yang ada di hadapannya. Hutan itu begitu sepi hingga dia dapat dengan jelas mendengar burung-burung berkicau serta kepakan sayap mereka yang meninggalkan tempat persembunyiannya untuk mencari makanan. Dia benar-benar iri dengan kebebasan burung yang dapat terbang dengan bebasnya. Dia iri bagaimana burung itu tidak terikat akan satu hal dan mengekangnya selama bertahun-tahun, dengan aturan yang sama sekali tidak pantas untuk di terapkan.

"Kau tak mau melihat keadaan budakmu?" tanya Zahra menghampirinya dan berdiri tepat di samping Aislyn.

"Kau tau... Aku merasa, hidupku benar-benar tidak bisa di andalkan."

Zahra terkekeh mendengar keluhan sahabat lamanya itu. Untuk pertama kalinya dia mendengar nada keputus asaan keluar dari mulutnya.

Mereka berdua bersahabat begitu dekat sejak Aislyn masih menjadi gadis normal di keluarganya. Aislyn berasal dari keluarga yang selalu menatap derajat dan martabat sebagai takaran mereka untuk menjadi bagian dari keluarga mereka. Karena Zahra tergolong dari keluarga darah biru pada saat itu, dia dapat dengan mudah berbaur dengan keluarga yang begitu keras pemikirannya. Bukan hanya itu, Zahra termasuk gadis yang sangat cerdas dan memiliki pengetahuan yang tinggi pembawaannya begitu tenang dan juga anggun. Dia bertemu dengan Aislyn saat mereka berdua berada di pesta keluarga Aislyn untuk merayakan ulang tahunnya. Untuk pertama kalinya dia melihat seorang putri tunggal dari salah satu keluarga besar Eirla memanjat sebuah pohon untuk mengambil kain yang terbang dan tersangkut di sana.

Yang paling mengejutkan adalah kain yang diambilnya, benda buatan tangannya sendiri yang dia berika khusus untuk budaknya, entah mengapa Zahra begitu tertarik mengenal lebih dalam anak unik yang ada di hadapannya saat ini.

"Kau tau... Pernafasannya sudah lebih baik dari sebelumnya, pemulihannya juga cepat."

Aislyn menggigit bibirnya menahan tangis yang sama sekali tidak ingin dia perlihatkan ke Zahra. Dia begitu menyayangi Alyssyana sebagaimana dia menyayangi adik kandungnya, dia adalah gadis pertama yang mau menangis karena semua derita yang dia deritanya, dia adalah gadis pertama yang mau memeluknya dengan tubuh penuh luka akibat siksaan ayahnya, dia adalah gadis pertama yang mau berbagi luka dan penderitaan yang selama ini di pendamnya. Dia terduduk lemas dan menutup wajahnya dengan telapak tangan yang telah dipenuhi oleh darahnya akibat pecahan gelas tersebut. Tangisnya pecah dia benar-benar tidak bisa menahannya lagi, dia sangat ingin mengeluarkan semua yang dia takuti selama ini, dia sama sekali tidak membayangkan bagaimana gadis itu berhenti nafas nantinya, bagaimana jika gadis itu pergi meninggalkannya sendiri di dunia ini. Dia bahkan tidak memperdulikan bagaimana perihnya luka yang dia dapat sekarang ini.

Zahra menggenggam kedua tangan Aislyn dan menyembuhkan luka kecil itu dengan mananya. "Cengeng," kekehnya melihat Aislyn menangis layaknya anak kecil yang kehilangan permen dari tangannya.

"Beruntung ya kamu sahabatku juga, kalau tidak kupastikan kepalamu terpisah dari tubuhmu."

Zahra tertawa mendengar nada kekesalan yang keluar dari mulut Aislyn, dia mengajak wanita itu ke kamar tempat dimana Alyssyana beristirahat.

Dia menatap gadis kecil itu terlelap dengan tenangnya diatas tempat tidur yang terlihat begitu nyaman. "Akhirnya punggungmu bisa merasakan tempat tidur yang nyaman ya," ucapnya terkekeh kecil.

Selama ini mereka selalu tidur di manapun mereka berada, tidak peduli sekotor apa dan sekeras apa temoat mereka beristirahat, asalkan masih punya kesempatan untuk beristirahat mereka akan memanfaatkannya dengan sangat baik.

"Setelah dia sadar... Ada yang ingin ku bahas dengan kalian, jadi persiapkan diri kalian." Zahra tersenyum dan meninggalkan kamar itu membiarkan keduanya beristirahat sebelum hal baru yang mungkin lebih mengerikan terjadi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top