Lie
Jika kau melihat koran pagi ini. Maka kau akan takjub dengan pencapaiannya.
Ulasan pagi itu membuat setiap orang yang membacanya terpukau. Pencapaian seorang penulis dari Shibuya yang telah memenangkan penghargaan di Amerika karena karya tulisnya. Buku keluaran terbarunya yang berjudul "Lie" kini telah di terjemahkan dengan berbagai bahasa dan laku di seluruh dunia. Dengan alur cerita yang penuh kejutan dan tipuan itu membuat para pembaca penasaran dan menunggu karya selanjutnya. Karya yang sudah menggugah hati para pembacanya, dengan akhir ceria yang sangat menyakitkan. Padahal, sampulnya yang sederhana itu sangat tidak menarik.
Mungkin kata 'Don't Judged book from the cover' sangat berlaku.
Yumeno Gentaro kini memegang buku karyanya. Tangannya terkadang membolak balikan buku bersampul biru langit itu sambil mengulas senyum simpul. Buku itu adalah pencapaian paling berarti bagi Gentaro. Buku yang mendapatkan pujian dari berbagai kritikus terkenal. Matanya terlihat puas dengan karyanya kali ini. Namun tentu saja itu tak menghentikan Gentaro untuk berhenti bekarya. Dia tetap berusaha untuk membuat karyanya selanjutnya.
Tetapi efek samping yang harus dia terima adalah ketenaran. Hari hari Gentaro kini makin sibuk. Padahal yang dia inginkan adalah ketenangan untuk menulis dan berpikir. Namun itu sangat sulit sekarang. Banyaknya undangan acara televisi memintanya untuk hadir dan mengisi acara. Bahkan ada stasiun televisi yang menawarkan Gentaro membuat acara televisi khusus untuknya. Atau wawancara dari berbagai perusahaan majalah dan koran. Memintannya untuk menceritakan riwayat hidupnya dan juga dari mana ide yang dia dapat untuk menulis buku yang kini sudah mendapat berbagai penghargaan tersebut.
Berbicara soal ide buku tersebut. Membuat Gentaro ingat dengan satu hal.
Gentaro akhirnya berdiri dari duduknya. Kakinya kini melangkah menuju luar rumahnya. Berjalan di antara kerumunan orang yang menatapnya kagum. Suara bisikan dan juga tatapan kagum kini menghiasi jalanan. Gentaro menghela nafas, dia tak suka di tatap. Karena rasanya sangat tidak enak. Gentaro kini mulai merasa gerah. Tatapan kagum dan juga tatapan iri dapat dirasakan Gentaro dengan jelas.
Gentaro menghela nafas.
Gentaro kembali melangkah. Terkadang dia harus tersenyum tipis kepada orang yang menyapanya guna terlihat sopan. Berbagai alasan dan juga tolakan halus di berikannya kepada para penggemar yang ingin berfoto dengannya. Walau pun begitu, senyuman di wajah para penggemarnya tak luntur. Gentaro mulai kewalahan. Bahkan keringat mulai muncul di wajahnya. Padahal hari ini sama sekali tak panas. Mungkin karena sudah beberapa kali digeromboli oleh para penggemarnya. Membuatnya menjadi merasa gerah.
Cring...
Hingga akhirnya Gentaro sampai ke tempat tujuannya. Yaitu sebuah cafe. Dia membuka pintu. Tak ada yang memperhatikannya masuk, karena semuanya sibuk dengan dunianya sendiri. Gentaro menghela nafasnya. Bersyukur di sini dia bisa menghela nafas lega.
Kakinya melangkah masuk lebih dalam. Berjalan menuju kasir untuk memesan segelas kopi. Para pelayan yang berada di kasir itu menatap takjub ke arah Gentaro. Gentaro hanya tersenyum kikuk. Beragam pertanyaan dilontarkan mereka, dan Gentaro menjawabnya secara singkat.
Tak lama, kopi yang dia pesan akhirnya datang. Gentaro mengucapkan terima kasih lalu beranjak pergi. Kini dia duduk di salah satu kursi yang kosong. Lumayan jauh dari pintu masuk, karena kursi itu berada di sudut ruangan. Gunanya agar orang tak mengenalinya karena tempat itu agak gelap dan jauh.
Gentaro mulai kembali menghela nafas.
Dia mulai meniup kopinya itu, lalu meminumnya seteguk. Meletakan cangkir itu kembali di tempatnya, kini Gentaro mengeluarkan buku bersampul biru langitnya itu. Dirinya mulai membaca ulang cerita yang telah dia karang sedemikan rupa. Cerita yang dapat menelan setiap pembacanya ke dalam dunia kebohongan.
Sesuai judulnya, "Lie". Cerita ini menceritakan sebuah kebohongan dunia yang di sembunyikan oleh mahkluk hidup. Walaupun hal yang pertama kali yang di sorot adalah kisah cinta, namun akhir cerita itu malah menceritakan rasa sakit sang tokoh utama. Rasa sakit kebohongan dunia tentang dirinya.
Dan sekarang, Gentaro merasa sang tokoh utama ini adalah dirinya.
Bedanya adalah, kisah Gentaro lebih misterius dan dialah yang menyebarkan kebohongan. Bukan orang lain.
Cring...
Gentaro mengalihkan kepalanya. Sosok gadis kini masuk ke dalam. Gadis dengan surai (h/c) membuka pintu. Matanya yang berwarna (e/c) lebar bak boneka. Bibirnya berwarna merah muda dan sedikit mengkilap. Tubuh gadis itu terlihat mungil dan rapuh. Seakan bisa patah kapan saja. Surai rambutnya yang berwarna (H/c) itu terlihat seperti sutra.
Matanya terlihat menengok ke kanan dan ke kiri. Hingga matanya bertemu dengan mata Gentaro. Gentaro mengulas senyum tipis. Sedangkan gadis itu mengulas senyum lebar sambil mengayunkan tangannya ke atas. Kakinya perlahan melangkah mendekat ke arah Gentaro lalu duduk di kursi depan Gentaro.
"Maaf lama! Tadi ada masalah..."
Gentaro menurunkan bukunya. Kini matanya beralih ke arah gadis itu. Gentaro mengambil gelas kopinya, kembali meniupnya dan meminumnya seteguk. Tangannya kembali meletakan kopi itu, lalu senyum tipis menghiasi wajahnya.
"Tak apa, (Y/n). Aku juga baru sampai."
(Y/n) mengulas kembali senyum lebar. Lalu tangannya mengeluarkan sebuah kotak berwarna hijau tua. Gentaro menatap bingung kotak itu. Alisnya terangkat sebelah. (Y/n) memberikan kotak itu pada Gentaro, bibirnya kembali mengulas senyum lebar.
"Ini ucapan selamatku atas karyamu!"
Gentaro mengambil kotak itu. Matanya menatap lekat kotak berwarna hijau tua Tersebut. Seulas senyum kembali menghiasi wajah Gentaro. Tangannya meletakan kotak itu di meja.
"Terima kasih. Aku akan membukanya nanti..."
(Y/n) mengangguk. Seulas senyum kembali menghiasi wajahnya. Akhirnya Gentaro dan (Y/n) mulai bercerita. Keduanya asik bercerita tentang pekerjaanya. Jika Gentaro adalah seorang penulis, maka (Y/n) adalah seorang komikus. Karya yang di miliki (Y/n) selalu laku terjual, bahlan ada yang diadaptasi menjadi film. Tentu saja, semuanya bergenre romantis dan selalu berakhir sedih atau pun bahagia.
Terlalu asik bertukar cerita, membuat keduanya tak melihat waktu. Langit yang kini menggelap menampilkan warna biru tua dengan hamburan bintang yang indah. Menengok jam sejenak, Gentaro menghela nafas. Begitu pula juga (Y/n) yang terkejut melihat langit yang sudah menggelap. Cafe pun makin sepi karena para pelanggan sudah mulai berkeluaran.
"Ah! Sudah malam ... aku sama sekali tak merasakannya. Waktu sangat cepat ya."
"Nee, seperti kebohongan saja..."
(Y/n) mulai berdiri dari duduknya. Meletakan tasnya kembali di bahunya. Tangannya sedikit merapikan roknya yang sedikit kusut akibat terlalu lama terduduk di sana. Hingga dia kembali menatap Gentaro dengan senyum manis miliknya.
"Ano, Gentaro. Aku harus pergi! Aku lupa tentang komikku yang belum ku selesaikan! Maaf merepotkanmu hari ini!"
(Y/n) menundukan tubuhnya. Membuat Gentaro ikut berdiri dan tersenyum tipis. Dia sama sekali tak bergerak dari posisinya. Masih duduk dan menyilangkan kedua tangannya di dada.
"Sama sama, (Y/n). Jangan terlalu lama menunduk, itu akan membuat pinggangmu sakit."
Gentaro terkekeh pelan. Hingga kekehan itu hilang seketika.
Matanya kini menatap tak percaya ke arah (Y/n). Begitu pula (Y/n) yang ikut panik dibuatnya. Gadis itu kini kalang kabut. Tubuhnya kini bergetar ketakutan. Matanya yang berwarna (e/c) itu menatap tak percaya kedua tangannya yang telah menyentuh wajahnya.
Cairan merah itu terus mengalir deras dari hidung (Y/n).
Tak berhenti keluar. Membuat (Y/n) semakin panik. Gentaro langsung berdiri. Dia mengambil tissue yang berada di atas meja. Memberikannya pada (Y/n) guna membersihkan wajahnya dan juga tangannya. Namun bukannya diterima, gadis itu malah menyentuh kepalanya dan mulai kehilangan keseimbangan. Sontak, Gentaro langsung menangkap tubuh (Y/n). Para pelayan pun ikut berdatangan dan membantu Gentaro untuk membawa (Y/n) kerumah sakit.
"Ge-Gentaro..."
Itu adalah kalimat terakhir yang di ucapkan (Y/n). Hingga kesadarannya kini menghilang.
***
Gentaro terdiam di tempatnya. Matanya menatap ke arah sosok laki laki berjas putih yang tengah menatap serius Gentaro. Bukan tatapan kagum atau pun iri. Memang tatapan serius dengan tuntutan minta didengar. Gentaro menelan salivanya kasar. Dia tak mampu berucap apa pun. Yang hanya dia lakukan adalah diam. Dan membiarkan air matanya mengalir pelan.
Gentaro kini berada di sebelah (Y/n). Ia masih tertidur pulas di atas kasurnya. Masa kritisnya sudah terlewat. Namun itu sama sekali tak mengurangi rasa khawatir Gentaro. Apakah dia perlu memberi taukannya?
Hingga waktu berlalu. Akhirnya gadis itu membuka matanya. Sayup sayup ia mendengar suara Gentaro dengan seorang perawat yang tengah memegang mapan berisikan obat yang akan di konsumsi oleh (Y/n). Ia mengerang, membuat Gentaro dan juga perawat itu menolehkan kepalanya. Seulas senyum tipis menghiasi wajah Gentaro. Melihat gadis itu kini telah membuka matanya.
"Kau sudah sadar rupanya..."
Gentaro mengelus rambut (Y/n) pelan. Yang di balas dengan genggaman tangan dari (Y/n). Sedangkan sang perawat tengah berlari memanggil dokter. Beberapa menit, akhirnya dokter dan beberapa perawat lainnya kini berdatangan. Dokter itu memeriksa keadaan (Y/n). Lalu menghela nafas lega. Sejenak dia menatap ke arah Gentaro. Gentaro hanya mendelik ke arah lain. Guna menghindari kontak mata. Dokter itu menghela nafas.
"Syukurlah kau baik baik saja. Aku akan meninggalkanmu..."
Dokter itu akhirnya pergi bersama para perawat lainnya. Gentaro menghela nafasnya. Matanya kini menatap ke arah (Y/n) yang sudah menatapnya penuh tanda tanya.
"Hei, aku ini sakit apa?"
Gentaro hanya tersenyum kecut. Dia terdiam. Tangannya menyeret sebuah kursi agar dia bisa kembali duduk. Gentaro menghela nafas. Pikirannya bimbang. Perlukah, dia memberitaukan (Y/n)?
"Kau kelelahan. Makanya jangan paksakan dirimu."
Kebohongan ... itulah yang malah Gentaro katakan. Gentaro meremas pakaiannya kuat. Agar rasa sesak di hatinya bekurang. Wajahnya masih mengulas senyum, namun hatinya kini marah pada dirinya sendiri yang tak mau jujur. Tapi mau bagaimana lagi? Inilah yang terbaik untuknya.
Gentaro memang terbiasa untuk berbohong. Namun mengapa kali ini kebohongannya begitu menyakitkan?
***
Bukan salahnya jika berbohong. Namun kini Gentaro mulai menyesalinya.
Semakin hari, kondisi (Y/n) semakin memburuk. Sudah setengah tahun dia di rawat di rumah sakit. Tak pernah ada perkembangan dalam kesehatannya. Malahan yang didapatinya adalah penurunan imun yang drastis. Gentaro menghela nafasnya. Kini dia menatap tubuh (Y/n) yang terbaring tak berdaya di atas kasur. Dia tak bergerak, namun matanya terkadang berkedip beberapa kali. (Y/n) mendelik ke arah Gentaro. Gentaro hanya terdiam. Kali ini tak ada senyuman di wajahnya. Hanya wajah sesal dan juga rasa bersalah.
"Ke ... napa..."
Gentaro menundukan kepalanya. Tak sanggup menatap wajah (Y/n). Tangannya kini menutup matanya, lalu naik mengacak kasar rambutnya. Setengah tahun yang sangat berat bagi Gentaro. Mengapa berat? Karena setengah tahun dia harus membohongi (Y/n). Setengah tahun dia terus berpura pura. Setengah tahun dia harus berkata baik baik saja. Setengah tahun...
Setengah tahun juga, dia tak kembali ke dalam dunia menulis. Padahal para penggemar menunggunya mengeluarkan karya terbaru. Namun kini hal itu tak penting. Yang terpenting adalah kesehatan (Y/n).
"Maaf telah berbohong ... aku ... hanya takut..."
Gentaro menggengam tangan (Y/n) erat. Air matanya mengalir perlahan. Tangannya yang satu kini mengelus rambut (Y/n) perlahan. Rambut yang kian makin tipis. Gentaro menahan napas. Rasanya, dadanya kembali sesak. Sangat sesak hingga membuatnya sulit bernafas.
"Maaf ... sekali lagi maaf..."
Hanya itulah yang keluar dari bibir Gentaro.
***
Gentaro tersenyum. Menatap (Y/n) yang kini tengah asik bermain dengan seorang anak kecil. Perempuan itu tengah berlari mengejar para anak kecil. Mereka semua tertawa dengan riangnya. Hingga akhirnya (Y/n) berhasil menangkap salah satu dari mereka. Ia memeluknya erat, diikuti dengan lainnya ikut memeluk (Y/n). Hal itu membuatnya tertidur akibat bebannya yabg terlalu banyak. Bukannya marah, ia malah tertawa bersama anak kecil lainnya.
Gentaro terdiam di tempatnya. Matanya kini menatap sosok laki laki berpakaian putih kini berdiri di sampingnya. Sudah datang. Dokter itu akhirnya duduk di samping Gentaro. Keduanya terdiam, tak ada yang memulai pembicaraan. Gentaro menundukan kepalanya. Tak sanggup menatap (Y/n) atau pun sang dokter.
Percakapan pun di mulai. Yang hanya bisa lakukan Gentaro adalah mengkepal tangannya erat. Membiarkan rasa sesak di hatinya kembali terasa. Terkadang suara Gentaro meninggi, terkadang suaranya melemah. Namun semuanya itu tak akan pernah bisa membuat (Y/n) sembuh. Tak akan pernah bisa...
Memangnya, Leukimia stadium akhir, dapat sembuh dengan mudah?
***
"Sebentar lagi kau akan keluar rumah sakit."
Senyuman di wajah (Y/n) mengembang. Sorakan bahagia kini terdengar dari bibir (Y/n). Wajahnya kini terus mengembangkan senyuman. Namun tidak dengan Gentaro. Senyuman di wajahnya tidak tulus, namun terlihat tulus di mata (Y/n). Hatinya kembali merutuki dirinya yang kembali berbohong. Memang benar, (Y/n) di perbolehkan pulan. Namun bukan berarti dia sembuh...
'Kau boleh bawa dia pulang ... tapi--'
Gentaro menggelengkan kepalanya cepat. Matanya kembali menatap (Y/n) yang tengah di geromboli oleh anak anak pasien kanker lainnya. Mereka tengah memeluk (Y/n) dan menangis karena mengetahui (Y/n) akan pulang. Namun ada kalimat senang melihatnya sembuh dan pulang ke rumah.
Sembuh...
Gentaro meremas dadanya. Jantunya kembali sesak. Membuatnya susah bernafas. Kebohongannya kali ini sangat sakit. Bahkan melampaui rasa sakit sebelumnya. Sampai kapan Gentaro akan berbohong? Apakah, sampai (Y/n) mati?
Tidak ... itu tak akan terjadi...
(Y/n) tidak akan mati. Ya, setidaknya begitulah yang di pikirkan Gentaro.
***
"Gentaro! Ayo ke sana!"
Dengan lincahnya, (Y/n) menarik tangan Gentaro masuk ke dalam wahana roller coaster. Gentaro hanya pasrah di seret oleh (Y/n). Kini keduanya berada di taman bermain. Setelah keluarnya (Y/n) dari rumah sakit, ia langsnung menyeret Gentaro untuk bermain ke taman bermain. Gentaro hanya mengangguk setuju.
Tatapan kagum dan juga bisikan kembali terdengar. Bisikan yang sudah lama tak di dengar oleh Gentaro. Namun itu tak memungkiri untuk mendengar kalimat cemohan dan juga tatapan iri. Hal itu tak dipedulikan oleh Gentaro. Saat ini, yang terpenting adalah membahagiakan (Y/n).
Tak sedikit juga, Gentaro mendengarkan pujian tentang (Y/n) dan ucapan bahagia melihatnya kembali. Namun itu malah membuat Gentaro menekuk wajahnya.
Apakah, yang dia lakukan benar?
Kini keduanya sudah naik ke dalam roller coaster. (Y/n) menunggu dengan riang. Sedangkan Gentaro terdiam sambil memikirkan sesuatu. Dia tengah memikirkan ucapan dokter itu. Dokter yang mengurus (Y/n) selama ini. Ucapannya itu bukanlah kabar baik, melainkan kabar buruk yang sangat menyakitkan.
Mesin mulai menyala. Membawa Gentaro dan juga (Y/n) berjalan dengan kecepatan perlahan. Gentaro menatap sesaat ke arah (Y/n). Wajahnya kini penuh dengan senyum. Sorot matanya terlihat sangat bahagia. Dia terlihat sangat bercahaya. Gentaro terdiam, mulutnya terbuka pelan. Matanya terlihat sayu dan sendu. Dia menutup matanya, dan tangannya kini menggosok kepalanya yang terasa pusing.
Hingga kecepatan membuyarkan semuanya.
Beberapa menit berlalu. Akhirnya roller coaster itu telah selesai. (Y/n) turun dengan riang. Sedangkan Gentaro masih terdiam. Dia hanya tersenyum tipis mendengar celoteh (Y/n). Terkadan dia menjawa, namun sangat singkat. Nyaris tak seperti Gentaro.
(Y/n) mengangkat sebelah alisnya, bingung. Tak biasanya Gentaro seperti ini. Namun (Y/n) hanya mengidik bahunya. Mungkin Gentaro kelelahan. Tanganya kembali menarik Gentaro. Membuat lamunan Gentaro buyar. (Y/n) ingin menikmati hari ini. Dia tak mau Gentaro terlarut dalam lamunannya terlalu lama.
Mendapatkan perlakuan seperti itu, hanya membuat Gentaro menggeleng pelan. Seulas senyum tipis kini menghiasi wajah Gentaro. Kali ini, senyum itu terkihat tulus. Walau pun tak bertahan lama.
Berbagai wahana kini sudah di hampiri. Rumah hantu, komedi putar, dan yang lainnya. Stand mini game pun sudah si mainkan. Hingga berhasil membuawa pulang sebuah boneka manis berbentuk kucing. Tangan Gentaro tengah memeluk boneka tersebut. Sedangkan (Y/n) tengah menggendong boneka kelinci. Tangannya yang satunya tengah menggenggam gulali yang tinggal setengah.
Kini keduanya berjalan menuju biang lala. Tujuan terakhir keduanya. Gentaro terdiam sejenak. Matanya kini menatap langit yang sudah berubah menjadi jingga. Matahari kini sudah berada di penghujung bumi. Izin untuk pergi menyinari tempat lain. Gentaro menahan nafasnya, lalu menghela nafasnya resah. Matanya kembali menatap (Y/n). Ia tengah berdiri di depannya, mengantre bersama orang lainnya yang ingin masuk ke dalam biang lala. Mungkin, hari ini adalah hari terakhir dia melihat surai (h/c) itu...
Tidak.
Itu tidak benar!
Hingga akhirnya giliran keduanya untuk masuk ke dalam sana. (Y/n) masih memegang tangan Gentaro, menariknya masuk ke dalam sana. Biang lala mulai berputar perlahan. Menampilkan pemandangan indah Shibuya di puncak biang lala. Terkadang kembali turun, namun tak lama kembali naik. Wajah kagum tak hilang dari wajah (Y/n). Kini ia tengah duduk di sebelah Gentaro, dan merangkul kedua tangannya. Kedua boneka milik keduanya telah di letakan di seberang kursi. Dengan posisi berdekatan. Gentaro menatap boneka itu lekat. Kini matanya menatap (Y/n) yang tengah menyenderkan kepalanya di pundak Gentaro. Ia menguap karena kantuk. Gentaro kembali menghela nafas.
"Nee, (Y/n)."
(Y/n) menolehkan kepalanya. Menatap wajah Gentaro dengan tatapan sayu. Sedangkan Gentaro kini tersenyum kepadanya. Senyum tipis nan tulus. (Y/n) pun ikut tersenyum. Tangannya masih merangkul tangan Gentaro. Namun lebih erat.
"Hmm?"
"Jika ini adalah hari terakhi kita bersama ... apakah, kau akan menyesal?"
(Y/n) menatap wajah Gentaro. Berharap itu hanyalah gurauan semata. Namun tak ada tatapan candaan. Hanya tatapan serius yang menyedihkan. Hal itu membuat (Y/n) mengeratkan rangkulannya.
"Aku tak akan menyesal. Karena hari ini adalah hari yang paling membahagiakan..."
Senyumnya melemah. Mungkin seharusnya dari awal (Y/n) mengatakannya pada Gentaro. Bahwa sedari pagi tubuhnya sangat lemah. Namun ia memaksakan dirinya agar terlihat sehat dan tegar. Walau pun begitu, Gentaro sangat mengetahuinya. Dia tau, bahwa sedari tadi (Y/n) menahan sakit di tubuhnya.
(Y/n) kembali menguap. Bukan karena mengantuk, tapi karena ia ingin menutupi rasa berat matanya yang memaksanya untuk menutupnya. Gentaro menatap ke arah jendela. Berusaha menahan isakan tangisnya. Mata (Y/n) semakin berat. Ia sudah tak tahan lagi untuk menahannya.
"(Y/n)!"
Saat Gentaro menolehkan kepalanya. Yang pertama kali dia lakukan adalah membatu. Tubuhnya bergetar, air matanya kini mengalir dari sudut matanya. Matanya memburam akibat air matanya. Tangannya kini menutup mulutnya, lalu naik untuk mengelap air matanya.
"He-hei bangun ... sebentar lagi biang lala ini akan selesai."
Tak ada jawaban dari perempuan itu. Yang hanya dia dapati adalah gadis itu menutup matanya, dengan darah yang mengalir di hidungnya. Gentaro sudah tak dapat menahan tangisnya. Tangan kirinya kini menutup kedua matanya, sedangkan tangan kanannya memeluk tubuh lemah itu erat. Isakan terdengar dari bibir Gentaro, hingga kedua tangannya memeluk tubuh (Y/n) lebih erat.
Kebohongan yang sangat menyakitkan.
Dan kebohongan itu terus bertahan sampai (Y/n) menutup matanya.
"Aishi ... te iru yo..."
***
Lie
Karya yang di keluarkan oleh Yumeno Gentaro ini berhasil menggugah hati para pembacanya! Karyanya sangatlah menggambarkan ketidak jujuran dunia. Apa lagi kalimat yang sangat populer dan di sukai dalam buku ini!
"Sejak awal, dunia ini tak pernah jujur"
Hanya satu kalimat. Namun dapat menyadarkan manusia tentang dunia yang tak pernah jujur. Ketidak adilan yang selalu saja terlihat jelas. Pemeran utamanya juga sangat menarik! Sosok laki laki yang jatuh cinta dengan seorang gadis yang lebih muda dengannya. Namun semuanya terhalangi oleh orang orang yang menebarkan kebohongan kepada keduanya.
Kisahnya di akhiri dengan kematian sang gadis karena termakan oleh ucapan kebohongan keluarganya. Yang menyatakan laki laki itu sudah memiliki kekasih lainnya. Sedangkan laki laki itu kini berada di dalam penjara karena pembohongan publik.
Kebohongan itu sangat mencerminkan dunia yang menghalalkan berbagai cara, agar tujuannya tercapai. Apakah, cerita ini dapat mengubah dunia ini?
Sekian dari ulasan cerita ini! Semoga bermanfaat, dan anda tertarik untuk membeli bukunya juga! Salam!
Tamat...
Omake
Yumeno Gentaro kini kembali dengan sebuah buku baru.
Judulnya adalah Scenario Liar!
Buku itu tak kalah menariknya dengan kisah cerita sebelumnya! Namun intinya sama, tentang kebohongan.
Bedanya adalah sosok laki laki itu berbohong kepada kekasihnya, kalau gadis itu mengalami penyakit yang sangat parah. Atau lebih tepatnya, penyakit lamanya kambuh lagi.
Kisah itu di adaptasi dari kisah nyata. Hmm, kisah nyata siapa ya?
Semoga saja kisah kali ini bisa mendapatkan penghargaan kembali! Se--
Clik!
Gentaro terdiam. Dia menghela nafasnya pelan. Matanya menoleh ke kanan, menangkap sebuah buku bersampul hitam dengan judul 'Scenario Liar'. Semejak kejadian itu, Gentaro tak tau harus melakukan apa selain menulis kisah hidupnya dan menerbitkannya. Guna agar meredakah kesedihannya karena kepergian kekasihnya, (Y/n).
Dari dulu Gentaro tak pernah mengenal kejujuran...
Bahkan sampai sekarang, dia masih tak bisa jujur pada dunia. Namun kali ini, dalam karyanya. Dia mengulas kisah nyatanya dengan terperinci dan jujur. Tidak ada tambahan apa pun untuk mendramatisirnya. Tak ada ... karena itu adalah kisahnya sendiri.
Untuk apa dia melebih lebihkan kisah hidupnya? Tidak ada gunanya ... itu hanya akan membuat hatinya semakin perih. Tangannya kini menggenggam sebuah sebuah kotak hijau berisikan sebuah mic yang sama sekali belum disentuh olehnya. Hadiah dari (Y/n). Dia baru sempat membukanya saat pulang dari pemakaman ... dan mic itu sama sekali belum di aktifkannya. Kini matanya menatap ke arah pigura berwarna coklat. Menampilkan sosok gadis bersurai (h/c) tengah tersenyum dengan lebar.
"Aishi te iru, (Y/n)..."
Tamat...
Note:
3278 kata
Astaga tanganku ingin copot...
Ini cuma selingan cerita pendek dalam versi Yumeno Gentaro
Nanti ada kok tentang Daisu dan Ramuda. Dalam masa proses ea.
Isinya rata rata cuma kalimat wkwkwkwk. G ada bagian romencenya:')
Sengaja sih, karena genre utamanya angst...
Gunanya untuk mengurangi rasa pening di kepala:')
PAS coi, itu berat
Mana mat pertama lagi.
Ku benci kau mat hiks/plak
Awal cerita itu sebenarnya (Y/n) itu adalah kekasih Gentaro. Cuma malas aja nulisnya:D/di geplak
Hope you like it!
©Katarina_294
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top