L I E .

"Gentaro,"

Wajahnya berpaling ke arahku. Pandangan sayu yang semula terpaku pada bukaan buku yang digenggamnya teralih padaku yang menatapnya antusias. Tertarik sudut bibirnya ketika menemukan secercah binar pada kedua netra ( e/c ) milikku.

Sebelah tangan terangkat untuk mengusap pucuk kepalaku. Seketika perasaan hangat menjalar ketika kurasakan ketulusan yang ada pada pemuda itu. Pemuda bersurai cokelat yang selalu mengenakan pakaian tradisional, pemuda yang mengabdikan hidupnya pada lembaran kertas beserta kuas dan tinta; menuangkan segala imajinasi ke dalamnya.

"Ada apa, ( name )?"

Dadaku berdegup sekali dengan kencang ketika indera pendengaranku menangkap nama kecilku yang terpanggil olehnya. Suaranya yang rendah nan halus menggelitik inderaku. Tampak semburat samar bersembunyi malu-malu di kedua pipiku, yang tentunya di sadari Gentaro. Pemuda itu lantas tertawa pelan, telapak tangannya menutupi belah bibir ranum yang terbuka.

"Cepat katakan apa yang kau mau, aku harus segera menyelesaikan naskahku ini."

Aku mendesah kecewa. Ternyata prioritasnya adalah pekerjaan dan bukan aku, kekasihnya.

Gentaro menelengkan kepala. Raut keheranan menghiasi wajah rupawan. Ia tampak jenaka di mataku sehingga aku pun terkekeh.

"Aku ingin bertanya, boleh kan?"

Ia mengangguk singkat. Sekilas ia melirik ke arah tumpukan kertas yang menggunung di samping duduk bersilanya. Senyuman tipis senantiasa menjadi pemanis di antara keduanya.

"Tapi kali ini jangan berbohong," Telunjukku mengarah pada batang hidung mancungnya.

Gentaro mengangkat bahu sembari menyunggingkan seringai kecil. "Tergantung."

Aku pun merengut. Tetapi niat bertanya padanya tetap tidak ku urungkan. Kedua tanganku terkepal mantap.

"Kapan kau akan berkata jujur padaku?"

Ia terdiam sejenak. Lantas aku tersenyum puas namun segera tergantikan oleh ekspresi khawatir ketika Gentaro menundukkan kepalanya. Surai panjangnya menutupi sebagian wajahnya. Ada apa? Apa ada yang salah dengan pertanyaanku?

"Kau tahu, ( name ). Aku tidak pernah berbohong padamu. Semua yang ku katakan adalah kejujuran jika itu menyangkut dirimu,"

Bibirku terbuka hendak protes, kedutan muncul di sepanjang dahiku ketika Gentaro segera menyambung kalimatnya yang ternyata belum selesai.

"--tapi bohong."

Kesal rasanya, tetapi aku tidak bisa memarahi Gentaro. Bagaimana pun aku mencintainya. Aku tahu kalau itu hanya lah sekadar gurauan, di balik kesarkasannya ternyata ia adalah sosok yang cukup humoris.

Karena kenyataannya Gentaro tidak pernah berkata jujur.

Lagi, pemuda itu tertawa. Kedua netranya menyipit. Gentaro menggelengkan kepalanya.

Aku menggembungkan sebelah pipiku. "Aku serius, Gentaro!"

"Baiklah, baiklah," Ujarnya di sela tawanya.

Ia berbalik badan dan duduk berhadapan denganku, membuatku tak kuasa menahan nafas ketika menemukan diriku yang berjarak sangat dekat dengan dirinya. Lampu dengan cahaya temaram seakan membantu menyembunyikan wajahku yang semakin memerah.

"Ada dua kejujuran yang tak pernah aku katakan pada orang lain selain dirimu. Maka dari itu dengarkan baik-baik, oke?"

Aku mengangguk. Gentaro masih tersenyum. Tangan kanannya terjulur ke arahku dan digenggamnya tanganku yang mungil. Jemarinya tertaut di antara jemariku, membuatku tersenyum malu-malu.

Ada saja hal sederhana yang membuatku semakin jatuh padanya.

"Satu, aku sangat mencintaimu lebih dari apa pun dan itu bukanlah kebohongan."

Satu; paras rupawan, suara merdu, jemari lentik yang selalu terkotori oleh tinta hitam dan keringat yang menetesi lembar putih selalu membuatku terkagum-kagum akan sosoknya yang begitu ambisius namun tetap tenang menghadapi segalanya.

Telapak tangan kirinya terangkat dan mengelus sebelah pipiku yang bersemu merah. Tak ku sadari ia telah membunuh jarak di antara kami dan dengan beraninya ia mencuri kecupan singkat dariku.

"Kedua, kau harus mengingat hal ini mulai sekarang sampai kapan pun. Janji?"

Kelingking yang saling tertaut telah menjadi bukti.

Gentaro tersenyum kecut, netranya tak lagi bercahaya.

"Kau harus menerima kalau aku sudah tiada, ( name )."

Kedua; kenyataan bahwa ia tidak abadi membuatku tak ingin kehilangannya.

Yang ku inginkan ternyata bukan kejujuran, hanya kebohongan yang dapat menenangkanku. Membuatku nyaman dan beranggapan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tak ada rasa sakit, kehilangan, air mata, dan batin yang terluka. Hanya ada aku dan dunia penuh imajinasiku yang selalu berharap akan kebahagiaan.

Meski ku tahu semua itu hanyalah semu.

Malam itu, hantu Gentaro meninggalkanku untuk selamanya.

Kejujuran tak selamanya menyenangkan, eh?

End.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top