Together

"Iki sing mbok arani cinta?" ucap Wijaya dengan nada sinis sambil melempar setumpuk kertas ke atas meja makan. (Apa ini yang kamu sebut dengan cinta?"

Sekar yang tengah menata piring makan pun terlonjak kaget. Netranya tertumbuk pada sebuah foto yang menyembul dari tumpukan kertas tersebut. "Ini apa, Pak?"

Wijaya berdecih keras, "Opone sing lulusan Melbourne? Kuliah limang taun bali mergo ditokne soko kampus, tapi ngomonge lulus kumlod! Nggedebus!" (Apa yang lulusan Melbourne? Kuliah lima tahun pulang karena dikeluarkan dari kampus, tapi bilang kalau lulus kumlod! Pembohong!)

Napas Sekar tercekat mendengar penjelasan Wijaya. Gegas ia ambil gambar yang cukup membuat jantung berdegub tak teratur. Penuturan Wijaya selanjutnya pun tak dapat tertangkap jelas di kuping Sekar. Atensi gadis itu tertancap pada setumpuk foto yang tengah ia lihat.

Berbagai pose Elan tengah bercengkerama dengan perempuan-perempuan, bergiliran masuk ke indera penglihatan Sekar. Lidah gadis itu mendadak kelu, tungkainya pun tak lagi sanggup menopang beban tubuh. Hingga ia harus mendudukkan diri di kursi makan terdekat.

"Wong lanang ora nggenah koyo ngono kui sing mbok gadang-gadang dadi imammu?" tambah Wijaya sarat emosi sembari duduk tepat di hadapan Sekar. (Laki-laki tidak jelas seperti itu yang ingin kamu jadikan imammu?)

Air di pelupuk mata Sekar tumpah tak terkendali. Sesak di dadanya begitu membelit saat melihat bukti dari tingkah bejat Elan. Laki-laki yang selama ini selalu terlihat baik di matanya. Lelaki yang sepertinya tak akan tega membunuh seekor semut itu nyatanya mampu berasyik masyuk dengan banyak wanita.

Sekar tak ingin percaya pada lembar-lembar kertas bergambar ini, tapi ... ia pun tidak bisa memungkiri bahwa apa yang ia lihat adalah nyata. Bapaknya tidak sekurangkerjaan itu jika harus membuat bukti palsu.

"Mungkin ... mungkin ini masa lalu Mas Elan, Pak," cicit Sekar antara percaya dan tidak. Di satu sisi, ia yakin sikap Elan padanya benar-benar tulus. Namun, di sisi lain ada kebohongan yang menjadi dasar hubungan mereka.

Jujur, gadis itu belum dapat menerima kenyataan yang baru saja diberi oleh Wijaya. Padahal hubungan mereka belum genap setengah tahun, tapi seluruh hatinya sudah menjadi milik Elan.

"Ora iso! Arep masa lalu utowo saiki, kelakuane wes ora becik. Besok pagi Bapak bakal pecat bocah kui karo bapake!" tegas Wijaya. (Tidak bisa! Masa lalu atau saat ini, kelakuan anak itu sudah tercela. Besok pagi Bapak akan memecat anak itu dan bapaknya)

Ningrum meletakkan secangkir kopi tubruk tepat di depan Wijaya. "Sing sareh, Pak. Dengarkan dulu penjelasan Pak Agung. Bagaimana pun dia sudah kerja sama kita lebih dari dua belas tahun." (Sing sareh = yang sabar)

"Bapak wes sabar, Buk. Nek ora mikir budine Agung, wes tak perkarakne bocah kui. Penipuan masalah ijasah isoh dipidana." Wijaya menyeruput kopi tubruk pahitnya. (Bapak sudah sabar, Bu. Kalau bukan karena mengingat jasa Agung, Bapak sudah melaporkan anak itu. Penipuan ijasah bisa dipidana.)

Tidak. Sekar tidak bisa membiarkan semua berlalu begitu saja tanpa adanya penjelasan dari Elan. Jikalau apa semua ini benar, jikalau selama ini lelaki itu sudah membohonginya, minimal Sekar butuh penjelasan. Mengapa Elan melakukan hal ini padanya? Lalu yang terpenting, Sekar butuh tahu apakah perasaan Elan padanya pun sebuah kebohongan?

Dalam satu langkah lebar, Sekar meninggalkan ruang makan. Ia harus menemui Elan. Walau hatinya yang akan jadi taruhannya.

"Sekar!" Wijaya sempat mencekal pergelangan kiri Sekar, sebelum ditepis kuat oleh putrinya. "Bapak larang kamu ketemu Elan! Kalau sampai kamu nekat, Bapak ndak mau tahu kalau ada apa-apa sama kalian!"

Sekar tidak mengindahkan peringatan Wijaya. Tujuannya hanya satu: Elan Lesmana.

* * *

"Jadi ... apa yang dikatakan Bapak benar, Mas?"

Sakit. Hati Sekar benar-benar tersayat melihat ekspresi terkejut Elan. Tanpa mendengar penjelasan dari mulut kekasihnya pun ia tahu bahwa semuanya benar. Elan sudah membohonginya selama ini.

Elan mengulurkan tangan demi menyentuh lengan Sekar. Namun, diurungkannya sendiri. Ia merasa tak pantas bersinggungan lagi dengan gadis murni seperti Sekar. Elan terlalu menjijikkan.

"Maaf."

Sepenggal kata maaf yang terlontar dari bibir Elan terasa seperti lava pijar di hati Sekar. Pun tak jauh berbeda dengan Elan. Kebohongannya selama ini akhirnya terkuak. Dan kemungkinan terburuk yang selama ini ia takutkan akhirnya terjadi. Elan harus rela kehilangan Sekar.

"Kenapa?" tanya Sekar dengan suara parau.

Elan tak sanggup mengatakan alasan yang sebenarnya. Terlalu malu untuk mengakui kebobrokan keluarganya. Elan sadar, apapun yang ia katakan hanya akan menjadi pembelaan yang sangat subyektif.

Meskipun sebenarnya Elan ingin meneriakkan dengan lantang bahwa dari segala kebohongan, ada satu hal tulus yang ia miliki. Yakni cinta.

Namun, apa untungnya bagi Sekar jika ia mengatakan perasaannya dengan jujur? Kali ini Elan sudah kalah. Ia tak lagi memiliki apa pun. Bahkan tinggal hitungan hari, ia dan keluarganya menjadi gelandangan. Masa depannya sudah tak berbentuk. Lalu apa yang bisa ia berikan pada Sekar?

"Kenapa, Mas?" tuntut Sekar.

Elan memicing sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi tanpa memberi penjelasan. Ia membiarkan Sekar berpikir seburuk apapun tentangnya. Ia tak lagi peduli.

Semakin Sekar menilainya buruk, maka semakin mudah bagi gadis itu melupakannya. Itu saja sudah cukup. Ia hanya ingin melihat Sekar bahagia.

"Tunggu, Mas!" Sekar mengekor langkah panjang Elan yang menyeberangi jalan Slamet Riyadi.

Meneguhkan hati untuk tidak berbalik dan memeluk tubuh mungil Sekar benar-benar perjuangan yang maha dahsyat. Hanya satu langkah jarak yang membentang. Namun, mengandung arti ribuan masalah yang menghadang.

"Mas, kita harus bicara! Tolong katakan apa alasannya? Kenapa Mas Elan bohong sama aku? Lalu ... lalu apa perasaan Mas ke aku juga sebuah kebohongan?"

Satu cekalan di lengan Elan nyatanya berhasil membuat benteng pertahanan pria itu jebol.

Elan menarik tubuh Sekar ke dalam pelukan. Tak mengacuhkan makian dari pengendara yang melintas. Elan menumpahkan tangis penyesalan di sela puncak kepala gadisnya. Berpuluh kata maaf dan penyesalan lolos dari bibir pria berkulit putih itu.

"Mas sayang sama kamu. Mas benar-benar cinta sama kamu." Ucapan Elan terdengar lirih di telinga Sekar sebelum disusul pekik lantang dan klakson mobil dari arah belakang.

Decit rem yang memekakkan telinga dan suara tabrakan mengiringi lirih Sekar saat menggumamkan kata cinta kepada kekasihnya. Kata cinta terakhir untuk Elan.

* * *

TAMAT

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top