I Love You

"Bapak ndak bakal ngasih restu! Secepatnya kamu harus pisah sama Elan, Nduk!" tegas Wijaya. (Ndak = tidak, Nduk = panggilan pada anak perempuan Jawa)

Hubungan Sekar dan Elan yang selama empat bulan ini berhasil disembunyikan, pada akhirnya terendus juga oleh Wijaya.

"Kowe wes ngerti larangan sing berlaku ning tanah Pajang tho, Nduk. Ojo nganti keturunan Kerajaan Pajang nikah karo keturunan Mayang, Sukoharjo," tambah lelaki berkumis tebal itu sembari menghela napas panjang. (Bukannya kamu sudah tahu larangan yang ada di tanah Pajang, Nak. Jangan sampai keturunan Kerajaan Pajang menikah dengan orang asli Mayang, Sukoharjo.)

Sekar mengambil oksigen sebanyak mungkin sembari mengatur kata yang akan ia sampaikan pada Wijaya. "Njih, Bapak. Sekar tahu tentang aturan itu. Tapi ... bukankah nasib, takdir, rejeki, dan garis hidup kita tidak bergantung pada mitos yang ada?" (Njih = iya)

"Mitos?" Suara Wijaya naik satu oktaf. "Maksude kowe ora percoyo?" (Maksudnya kamu tidak percaya?)

Sekar memicing sekejap. Ini yang ditakutkan jika Wijaya sampai tahu hubungannya dengan Elan. Melanggar aturan adat turun-menurun yang berlaku di kampungnya adalah suatu dosa di mata Wijaya. Selama ini, lelaki paruh baya itu lah yang sering kali menegakkan peraturan ketat mengenai kisah yang sudah ada sejak jaman Kerajaan Pajang.

Sehingga Sekar yakin, akan sangat sulit untuk menembus benteng pertahanan yang dibangun oleh sang ayah. Tidak. Sekar tidak pernah mempercayai mitos itu. Imannya bertentangan dengan hukum adat yang ada.

Sekar pun tak pernah bermimpi akan menjadi anak durhaka yang menentang perintah orang tua. Terlebih perihal restu. Baginya izin dari Wijaya dan Ningrum adalah hal mutlak sebagai dasar untuk menempuh jenjang kehidupan yang lebih jauh.

"Pokoke Bapak minta kamu pisah sama Elan! Jangan sampai Bapak turun tangan!" ancam Wijaya seraya berlalu dari hadapan Sekar.

Sekar menangkup kedua telapak tangan di wajah. Mencoba menurunkan emosi yang sempat hadir. Wijaya bukanlah orang lemah yang gampang luluh oleh air mata. Meskipun milik putrinya sendiri. Oleh karena itu, Sekar memilih bersikap tegar dalam menghadapi permasalahan ini.

"Wes tho, Nduk, nuruto karo bapakmu. Kowe ngerti dhewe buktine nek ngelanggar aturan adat. Anake Pakde Slamet contone, bar nikah karo bocah Mayang kui, uripe dadi ora karuan. Keno PHK, utange akeh, wes telung tahun nikah durung ono momongan, ketambahan Bude Slamet ninggal. Opo kowe gelem ngalami nasib koyo ngunu?" ucap wanita berdaster bunga-bunga berwarna ungu itu sembari mengelus lengan kiri Sekar.

(Sudah, Nak, turuti perkataan bapakmu. Kamu tahu sendiri bukti nyata kalau melanggar aturan adat. Contohnya anak Pakde Slamet, setelah menikah dengan orang Mayang, hidupnya jadi berantakan. Terkena PHK, hutang di mana-mana, sudah tiga tahun menikah masih belum juga diberi momongan, ditambah Bude Slamet meninggal dunia. Apa kamu mau mempunyai nasib seperti itu?)

Rasanya Sekar ingin menjawab pernyataan ibunya. Ia tahu betul kondisi perekonomian saat ini. Di tengah pandemi, banyak perusahaan yang gulung tikar. Sehingga sangat bisa dimaklumi akan adanya pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.

Sedangkan untuk masalah rejeki berupa anak dan umur seseorang, Sekar serahkan sepenuhnya kepada Sang Pencipta. Itu hak prerogatif-Nya. Manusia tidak berhak untuk mencari atau menjadikan sesuatu sebagai kambing hitam atas suratan takdir. Yang bisa dilakukan hanya berusaha mencari jalan keluar.

* * *

Semilir angin di bawah rindangnya pepohonan membawa nuansa teduh. Gemerisik daun serta ranting pun seolah menjadi iringan merdu yang membuat siapa pun merasa tenang, nyaman, dan damai.

Beberapa bocah berlarian di pinggir danau demi mengikuti laju perahu yang tengah berlayar. Tak sedikit pula yang memilih untuk memberi makan rusa serta binatang jinak lain yang dibiarkan berkeliaran di Balekambang.

Taman yang berada di tengah kota Solo ini menjadi salah satu tujuan wisata keluarga di penghujung minggu. Setelah enam hari berkutat dengan kerasnya dunia, mereka berharap alam dapat menyembuhkan luka hati serta memulihkan tenaga yang terkuras.

Namun, tak demikian halnya dengan dua insan yang tengah menatap langit biru. Cerahnya angkasa sangat berbanding terbalik dengan raut wajah mereka.

"Jadi ... apa yang akan kamu lakukan?" Elan meneguk saliva setelah melempar pertanyaan kepada gadis yang tengah duduk di kanannya.

Terdengar helaan napas panjang. "Menurut Mas Elan, aku harus bagaimana?"

Ingin rasanya Elan berkata lantang untuk menentang perintah Wijaya. Bukan hanya nasib orang tua yang ia pikirkan, tapi hatinya. Bayangan masa depannya sudah terlanjur terlukis indah bersama dengan Sekar.

"Aku tidak bisa jamin kalau Bapak bakal ngasih restu. Jadi ..." Helaan napas panjang kembali terdengar. "kalau Mas Elan merasa berat, kita bisa—"

"Aku tidak pernah merasa berat," potong Elan cepat.

Elan tak sanggup membiarkan gadisnya mengucapkan kata yang ia tahu sangat sulit untuk keluar dari bibir mungil itu. Ia sendiri pun tak sanggup untuk mendengarnya secara langsung.

Sekar menatap tepat di kedua netra Elan. Mencari satu titik keyakinan di sana. "Mas yakin?"

Tak ada keraguan sedikit pun bagi Elan untuk maju. Meski umur hubungan mereka baru hitungan bulan, ia yakin Sekar lah wanita yang tepat sebagai pendamping serta ibu dari anak-anaknya kelak.

Bukankah batu sekeras karang sekali pun akan tetap berlubang jika terus-terusan terkena tetesan air yang begitu lembut? Ia yakin cintanya kepada Sekar pun dapat meluluhkan hati Wijaya. Pun melunturkan keyakinan tentang mitos antara desanya dengan tanah Pajang.

* * *

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top