Liburan ke rumah nenek

"Kak! Bangun kak!" Teriak sebuah suara. Itu suara adikku, Niela. Huh! Ada apa sih? Aku kan sudah sholat subuh. Walaupun tidur lagi sesudah mempersiapkan barang.

Hai! Namaku Angga Hermawan. Dahulu, aku hanya seorang siswa SMA biasa. Namun, sejak aku memecahkan misteri pencurian berlian, hidup ku berubah. Kini, aku bekerja dikepolisian dan dijuluki 'detektif'.

Kemana-mana aku diikuti oleh paparazzi. Bahkan ke warung di depan rumah ku.

Sekarang sedang libur kenaikan kelas. Bertepatan dengan ulang tahun ku yang ke 18. Aku di beri dua pilihan; pergi ke camp pelatihan bersama anggota Gegana (gegana disini bukan gelisah galau merana ya! Melainkan penjinak bom dari kepolisian) atau berlibur bersama keluarga ku ke rumah nenek.

Jelas, aku memilih pilihan yang kedua. Sekarang aku jarang menghabiskan waktu dengan keluarga ku.

"Kak Angga! Bangun!" Niela mengguncangkan tubuh ku dengan keras.

Aku pun bangun lalu mencoba duduk. "Pagi, Niel," sapa ku sambil mengucek-ngucek mata.

Niela terlihat sudah rapi. Ia memakai kemeja ungu muda dengan celana pensil warna hitam. Ditambah ia memakai bando polkadot ungu dengan hiasan manik-manik. "Cepet banget dandannya," aku menguap sambil menoleh ke arah jam.

Sudah menunjukkan pukul 8."Tungguin bentar!" Seruku sambil bangkit dari kasur lalu mengambil handuk dan masuk kekamar mandi.

"Ranselnya aku bawakan, saja ya kak," tawar Niela. Aku mengetuk pintu kamar mandi dua kali, menandakan 'ya'. Tumben sekali adikku itu baik.

Tak sampai lima menit aku sudah keluar dari kamar mandi. Aku menggunakan kemeja merah kotak-kotak dan celana jeans. Tak lupa ku masukkan kedalam handphone ku kedalam saku dan memakai topi hitam.

Setelah merapihkan kasur ku, aku keluar kamar dan mengunci pintunya. Saat aku turun, kulihat ayah tengah menyantap sepiring nasi kuning. "Sudah siap?" Tanya Ayah.

Aku mengangguk.

"Langsung aja ke mobil" kata ayah yang kemudian meneguk segelas air putih.

Sekali lagi aku mengangguk.

Di halaman, sudah terdapat mobil Toyota Fortuner berwarna hitam metalik milik ayah yang jarang sekali aku pakai. Walau pun, ayah telah mengizinkan. Biasanya aku naik metromini kemana-mana.

Aku berjalan ke mobil itu dan membuka pintu yang kedua. Bunda sedang mengecek barangnya dan Niela sepertinya sedang bermain otome game. Buktinya dia senyam-senyum sendiri sambil memegang pspnya

"Angga, vitaminnya sudah, nak?" Tanya bunda.

"Sudah bun," aku masuk lalu menutup pintu mobil. "Hey, yang lagi main game," kata ku pada Niela. Ia tak menghiraukan ku malah asyik cekikikan sendiri. Sangat berbeda dengan yang tadi.

Tiba-tiba, ayah masuk kedalam mobil. "Ayo kita berangkat!" Serunya.

"Ayo!" Sahut ku dan bunda.

Mobil kami pun berjalan ke arah Bandung. Untunglah perjalanan ini tak terhambat oleh kemacetan. Fufu, aku sudah tak sabar bertemu dengan keluarga ku.

Kami sudah berada di jalan tol dengan cepat. Aku menoleh kearah Niela. Ia sudah terlelap sambil memegang pspnya. Duh! Cepat sekali ngantuk nya.

Aku melihat keluar jendela. Pemandangannya indah. Hmm, kenapa aku berfirasat akan terjadi sesuatu yang aneh ya?

"Angga, ada apa nak?" Tanya bunda. Aku menggeleng. "Kalau ngantuk, tidur saja," kata bunda lagi.

Aku mengangguk kemudian membaca doa mau tidur. Saat hampir terlelap, aku melihat ayah dan bunda, saling tatap. Hal itu memang wajar karena mereka adalah suami istri. Namun, entah kenapa firasat ku tidak enak ya?

Aku tidak boleh berpikir macam-macam! Astagfirullah. Ya Allah tenangkanlah pikiran hamba..

-------------------------

Ngh... kenapa rasanya panas? Ac nya kok dimatikan? Saat ku buka mataku, aku yakin, ini bukan rumah nenek ku atau pun jalan tol. Yang paling aneh, kenapa mobil ku terdampar, menabrak pohon? Sedang kacanya tidak pecah.

"Ayah.. ini dimana?" Tanya ku. Ayah tak menjawab. Beliau bersandar di kemudi."Ayah..." aku turun dari mobil menuju pintu ayah. Ugh!

Dahi ayah mengeluarkan darah. Mana mungkin ayah terantuk? Ayah sudah pakai sabuk pengaman. Bukankah airbag akan aktif bila sabuk pengaman sudah terpasang? Ku periksa denyut nadinya. Tidak ada...

"Bun..bunda," aku segera berlari ke pintu bunda. Keadaan bunda tak jauh berbeda dari ayah. Denyutnya pun tak ada. Ya Allah...

Innalillahi wa inna ilaihi roji'un..

Pintu jok belakang pun terbuka. Niela turun dengan wajah bingung. "Kak, ini dimana? Kayak hutan belantara aja," katanya. Ia berjalan ke pintu bunda. "Lho kak? Ayah sama bunda kenapa?"

Aku hanya diam sambil menatapnya. "Kak.. jangan bilang..." Niela mulai menangis. Aku memeluknya dengan erat. "Kak....kok jadi begini?isaknya.

"Kakak juga nggak tahu, Niel," sahut ku. Tiba-tiba, aku merasakan sebuah sosok yang tengah bersembunyi di balik semak-semak. "Siapa itu?!" Bentakku.

Sosok itu pun muncul. "Halo... Angga," sapanya dengan suara bariton. "Suka hadiah dari ku?"

"Sebenarnya kamu siapa?!!" Seru ku. Niela bersembunyi di belakang ku sambil gemetaran.

"Kamu lupa? Hahaha. Masih muda sudah pikun!" Ledek orang itu.

"Apa yang kamu mau?!" Hardikku lagi.

"Balas dendam, tentu saja. Karena kamu! Rencana ku gagal!! Harusnya berlian itu ada di tangan ku sekarang," balasnya.

Ma..mana mungkin? Pencuri berlian waktu itu benar-benar sudah menyerah. Bahkan ketika di tangkap, ia menangis pasrah dan mengatakan motifnya. Sekarang, ia di penjara. Tetapi semuanya bisa saja terjadi.

"Sekarang, mungkin kematian keluarga mu akan membuat ku tenang," orang itu mengeluarkan pistol.

"Niela, lari!" Teriakku sambil mulai berlari.

DOR!!!

Niela tumbang seketika.

Aku ingin memukul orang itu dengan keras. Tetapi kaki ku seakan tak mau berhenti.

"Ya! Lari lah seperti pengecut! Hahaha!" Orang itu tertawa lepas.

Aku berlari ke sebuah gerbang. Gerbang itu menuju ke pemukiman warga. Aduh! Kenapa kaki ku membawa ku kemari? Bila orang itu masih mengejarku, warga disini bisa dalam bahaya!

Aku berhenti sejenak untuk mengambil nafas. Aku memperhatikan sekelilingku. Kenapa pemukiman ini sepi? Seperti tidak ada orang. Bagus, berarti tak ada yang akan terluka.

"Haduh-haduh anak ini. Tidak pintar bersembunyi," suara pria itu mengagetkan ku.

Cepat sekali ia menyusulku! Resiko bila aku membalikkan badan. Ia memiliki pistol. Aku mungkin bisa langsung si tembak olehnya.

Angin berhembus cukup kencang ke arah belakang ku. Saat itu juga kaki ku relfeks menendang pasir di jalanan. Mata pria itu pun kelilipan. Ini kesempatan ku.

Aku berlari lagi. Mengitari pemukiman itu. Aku tak berhenti sampai jalan buntu. Kemudian aku jatuh terduduk. Pemukiman ini seperti labirin. Bila di bentangkan akan panjang sekali jaraknya.

Tap.. tap.. tap..

Terdengar suara langkah. Dari jauh, pria itu terlihat. "Surprise! " teriaknya. "Aku harus berganti senjata ya? Supaya melihat kamu menderita secara perlahan kemudian mati! Hahahaha," pria itu melempar pistolnya kemudian mengambil tongkat besi di pinggir jalan.

Aku harus melawan! Ia telah membunuh keluarga ku. Memang, aku yang telah menangkap dan memenjarakannya, tapi itu karena kesalahannya sendiri!

Kebetulan di samping ku juga ada tongkat besi. Siapa pun yang memiliki tongkat ini, aku pinjam dulu, ya!

Pria itu menyerangku duluan. Ku tangkis dan balas pukul. Ku tak biarkan pria itu menyerang. Yes! Aku berhasil memukul paha dan lengan pria itu.

"Aduh aduh.." rintihnya. Kemudian ia mengangkat tangannya. "Kat.. Kat...."

Hal ini membuat ku bingung. Orang ini kenapa? Pria itu melepas topinya dan.... melepas kulitnya wajahnya?

"A..ayah?"

Ayah tersenyum sembari meringis. "Sakit lho, Ngga," katanya.

Apa maksudnya ini?!

"Ayah.. jadi yang tadi itu?" Aku menepuk dahi "Astagfirullah," bisikku. Jebakan yang benar-benar luar biasa, ayah.

"Cie cie yang pelupa!" Niela muncul. Menari jingkrak jingkrak dengan wajah yang sangat puas.

"Angga kena jebakan," bunda muncul dengan wajah menahan tawa.

"Ayo semua keluar," kata ayah.

Beberapa orang keluar dari rumah warga. Salah satunya tengah memegang kamera. Dan paman, bibi ku dan nenekku beserta sepupu ku pun ikut keluar.

Niela asyik meledekku dan membanding-bandingkan aku dengan karakter pria di Otome Game favorit nya. Halah.

Sepupu ku yang seumuran dengan ku menyiramkan air padaku. "Biar seger!" Timpalnya lalu tertawa.

"Alhamdulillah Ya Allah. Akhirnya sempat juga membuat hal seperti ini," kata paman ku.

Aku menutup wajah ku. Malu.

"Sudah sudah, hayu kita ke rumah nenek. Sudah ada masakan spesial!" Kata Nenek yang kemudian tertawa kecil.

Rombongan kami pun pergi dari pemukiman. Di luar gerbang di dekat jalan arteri, warga pemukiman itu bertepuk tangan dan memberiku selamat. Ada juga yang menertawai ku. Aduh...

Kemudian ayah mendatangi seorang pria yang ternyata ketua RT di pemukiman itu. Lalu, kami sekeluarga diajak foto bersama dengan warga.

Setelah itu, kami sekeluarga dan rombongan publishing house ayah ku pergi kerumah nenek ku. Perasaan ku masih kaget. Benar-benar kaget.

---------------

Halo para pembaca!

Terimakasih telah membaca cerita ini sampai akhir!

Tentu akan lebih baik lagi jika kalian berkenan untuk memberikan vote dan komentar agar penulis dapat lebih berkembang lagi.

Ingin tahu kemana Angga setelah kejadian ini? Silahkan scroll ke bawah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top