Chapter Bonus
Kafe Hore, Jakarta, Sepuluh tahun kemudian....
Aku menyesap teh hijau yang baru ku pesan. Kalian ingat siapa aku? Ya, aku masih Angga. Sekarang aku bekerja sebagai insinyur di sebuah pabrik di Jepang. Disela-sela pekerjaan ku, aku menyempatkan diri untuk memecahkan sebuah teka - teki dari ayah ku. Dan sekarang, aku pulang ke Indonesia hanya untuk soal teka-teki itu.
"Assalamu'alaikum," sapa sebuah suara.
"Wa...wa'alaikum salam.." Aku menoleh perlahan. "Ayah?"
Beliau terkekeh, "haduh..haduh.. Angga."
Aku tersenyum lalu menyalami dan memeluknya.
"Apa kabar, yah?" Tanyaku.
"Baik-baik," jawab ayah, "kamu mau tanya apa ke ayah? Kan bisa video call. Kalau pun rahasia, bukankah keluarga kita punya server sendiri?"
"Aku lebih tertarik membahas ini secara langsung," aku menaruh sebuah kaset yang bertuliskan TBD.
Ayah memperhatikan kaset itu dengan seksama. Tiba-tiba tawanya pecah, lalu ekspresinya datar kembali. "Hanya itu?"
"Ayah! Enggak lucu!" Aku mengembangkan pipi ku, kesal. Beliau malah berdiri sambil melemparkan topinya tepat ke wajah ku. "Ayaaah!!" Aku pun ikut berdiri.
Di depan meja kasir, ayah mengibas-ngibaskan tangannya kearah ku. Kemudian, setelah memasukkan dompetnya ke saku, beliau kembali ke meja kami.
"Ayah, aku kan' bisa bayar sendiri" kata ku.
"Ge'er kamu! Sudah, lanjut cerita aja!" ayah kembali memakai topinya.
Untuk sesaat, aku merasa pipi ku bersemu merah. "Jadi.." aku mengalihkan pandangan ku "disket ini berisi tentang film ulang tahun ku yang ke delapan belas. Benar, bukan?"
Ayah tersenyum tipis.
"Ayah membuat film ini secara spontan, , dan.. seluruh adegan yang ku lakukan adalah asli. Dan ayah hanya menggunakan satu peluru untuk membuat itu semua," jelas ku.
"Oh yeah? "
"Ayah memanfaatkan kelemahan ku. Pertama, ayah sengaja menyuruh Niela membangunkan aku pukul delapan, dengan keadaan semua orang sudah siap. Jadi, aku terdesak, hanya bisa mempersiapkan diriku. Minum saja belum, apa lagi makan. Akhirnya aku jadi lambat berpikir," jelas ku. "Dan, aku sama sekali belum makan di malam sebelumnya."
"Yang sangat janggal menurutku, kenapa bunda tidak mengingatkan ayah untuk membelikan ku nasi bungkus? Biasanya bunda sangat memperhatikan ..." aku sedikit manyun.
"Kira-kira kenapa?"
Aku hanya mengembangkan pipi ku lagi. Ayah tertawa terbahak-bahak. "Lanjut...lanjut.." kata ayah.
Aku menghela nafas sejenak, "kedua, saat mobil kita 'terdampar'. Saat itu suhu mobil sedang panas. Dan itu disengaja, agar aku dehidrasi. Tapi... saat itu aku dalam kondisi baik karena saat tertidur, ayah memakaikan ku infus di tangan kananku. Agar aku mendapat tenaga untuk bisa berlari, benar bukan?"
"Dari mana kamu tahu ayah memakaikan mu infus?" Tanya ayah.
"Bekasnya masih sangat terlihat di tangan ku pada saat itu, ayah," aku menyesap teh ku. Haus. "Toh, juga sehabis itu ayah mengoleskan kapas yang sudah di celupi alkohol ke bekasnya
"Kenapa ayah mau membuatmu dehidrasi dan memberikan mu gizi secara bersamaan?"
"Ayah membuatku dehidrasi agar percaya 'tipuan' ayah. Yang paling mencolok itu, mobil dalam keadaan bagus, kok ayah sama bunda kenapa-napa? Memang habis ngapain?" Ayah tertawa mendengar penjelasanku. "Dan 'tipuan' itu didukung oleh akting Niela."
"Akting yang mana?"
"Akting saat Niela pura-pura tertembak, sebenarnya bukan pura-pura. Niela benar-benar tertembak oleh tembakan paint ball warna merah. Cukup kuat untuk membuatnya pingsan bahkan lemas. Aku tahu itu peluru paint ball karena tidak tembus. Tembakan jarak dekat dapat membuat peluru itu tembus, bukan?"
Ayah tertawa.
"And then, saat kita berkelahi. Tiba-tiba sudah ada tongkat di tepi jalan. Itu bukan suatu kebetulan. Ayah mengawasi kemana aku akan lari melalui kamera drone agar salah satu kru ayah dapat menaruh tongkat tersebut di tempat yang ku tuju," sambungku.
"And by the way, ayah menggunakan kendaraan untuk mengejarku, kan? Soalnya ayah terlalu cepat dan... itu kurang masuk akal."
Ayah mengangguk-angguk.
"Well, I must say, meski kamu dalam keadaan 'kurang gizi', kamu masih dapat melakukan beberapa trik, seperti ketika kamu melempar pasir ke mata ayah dan ketika kita berkelahi, sakitnya masih kerasa lho.. " sahut ayah.
"Hmm, mungkin karena aku terbawa emosi?"
"Fufufu.." ayah terkekeh. "Oke kamu benar. Kamu masih Tuan Detektif ayah dan bunda,"
Hidungku seakan terbang sesaat.
"Tapi, ayah rasa sia-sia sekali bila kamu hanya ingin membahas ini secara langsung. Ayah tahu kantormu sedang libur sekarang. Kamu pasti sempat untuk menulis email tentang hal ini. Ayah pun tahu tujuan mu hanya ini. Dan habis ini pun kamu sudah mau pulang ke Jepang padahal kamu masih punya waktu seminggu lagi. Tak ada pula niat mu untuk mengabari kami dalam sepuluh tahun ini, kecuali hanya link artikel tentang prestasi mu," kata ayah seraya menatap tajam kearahku. Tepat di mata dan hatiku.
"Tapi... oke terlalu banyak tapi. Bunda mu terharu mendengar kabar kamu pulang ke Indonesia. Niela juga sangat bersemangat, dia bahkan mau merapihkan kamarmu. Ayah juga senang masih bisa bertemu dengan mu, nak," ayah menyeka air matanya.
"Ayah mohon nak, sebelum kamu kembali ke Jepang, mainlah dulu kerumah. Tak akan makan waktu lama bila kamu memang terdesak," ayah kemudian berdiri dan berjalan kearah pintu keluar.
Dengan cepat aku mengikuti langkahnya dan memeluknya dari belakang,
"AYAAAAH," isakku.
"Hus, ingat umur," kata ayah yang hampir roboh.
"Ayah mah, main tinggal aja!" Rengekku.
Ayah menatapku aku sambil menerima sebungkus besar makanan dari meja kasir. "Hidih.." ledeknya. Aku cemberut. "Hahaha, sudah.. sudah, ayo kita kerumah," ayah menepuk-nepuk kepalaku.
Aku mengekor di belakang ayah, menenggelamkan kepalaku di punggungnya karena malu. Aku tak peduli ketika ayah ku meledek lagi, "umur sudah mau kepala tiga masih nempel-nempel ke ayah. Jijik tau!"
------------
Alhamdulillah...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top