Singgah dan Rela
Hari itu tiba. Walau harus melewati rasa gugup yang membuncah, aku benar-benar tak percaya bisa menjejakkan kaki di kota kelahiran seseorang yang sering membuat jantungku berdegup kencang hanya karena sebuah notifikasi pesan darinya. Sebuah koper bediri paripurna, tapi kalah tegapnya dengan bahuku. Bahu seseorang yang merasa paling gagah hanya karena berhasil pergi sendirian ke kota orang yang bahkan sudah berbeda pulau dengan kota tempat tinggalnya. Ya, perjalanan dari Yogyakarta menuju Medan bukanlah perjalanan yang sebentar dan dekat. Walaupun sebenarnya tetap terasa sebentar karena aku pergi menggunakan pesawat.
Setelah pesawat yang aku naiki mendarat di Bandara Kualanamu, aku langsung melakukan perjalanan lagi menggunakan kereta api untuk sampai ke kota Medan. Cukup melelahkan, tapi akan terbayar ketika aku melihat wajah Asel, perempuan yang mengajakku berlibur di kota ini. Ya, Asel yang mengajakku. Bagaimana aku tidak excited dengan perjalanan ini? Seseorang yang kusukai mengajakku berlibur. Emangnya kalian pernah?
Wajahku yang penuh rasa bahagia tak bisa menutupi fakta bahwa saat ini aku merasa sangat senang, sampai tak bisa berkata-kata. Senyuman juga turut hadir terlukis di wajahku. Kini kepalaku mencoba menoleh ke sana ke mari, mencoba mencari wajah perempuan yang beberapa jam terakhir selalu menghantui kepalaku. Seakan-akan memaksaku untuk terus mengingat setiap senti wajah yang sebenarnya hanya kulihat dari layar ponsel.
Aku menyeret koperku hingga ke luar dari area stasiun sembari mencari nama Asel dalam ponselku. Mungkin saja Asel menungguku di luar. Menelponnya adalah satu-satunya cara untuk mengetahui di mana posisi dia saat ini. Dan benar saja, saat aku menelponnya dan menanyakan keberadaannya, posisi Asel langsung kutemukan. Sial, jantungku malah semakin berdebar.
Begitu Asel melihat posisiku, ia langsung berlari kecil menghampiriku.
Seiring dengan terkikisnya jarak kami, aku bisa memperhatikan wajah Asel yang sangat cantik. Tak kusangka wajah aslinya jauh lebih cantik dari yang kulihat dari ponsel selama ini. Dan satu lagi, ternyata dia benar-benar perempuan yang imut. Kalau bisa kutebak, tingginya hanya 155 sentimeter.
"Halo, Ham! Gila! Nggak nyangka aku bisa ketemu kau." Asel tertawa. Tangannya terangkat menutup area mulutnya yang merekah karena tawa.
Logat Asel yang kusuka. Walau terdengar kasar bagi sebagian orang, tapi itu yang membuatnya unik. Selama ini Asel memang memanggilku dengan sebutan 'kau', karena baginya itulah panggilan terakrab. Aku tak mempermasalahkannya, justru aku suka. Aku bangga bisa menerima perbedaan yang ada. Namun, aku tidak ikut memanggil Asel dengan sebutan 'kau' juga. Aku tidak terbiasa. Aku tetap memanggil Asel dengan namanya.
"Asel ke sini sendiri ya?" tanyaku sambil menurunkan pegangan koper.
"Iya, sendiri. Ayolah, Ham! Jangan di sini, panas. Ke halte itu dulu kita," ajak Asel. Tangannya menunjuk sebuah halte yang tak jauh dari stasiun. "Penginapanmu daerah mana? Mau langsung ke sana? Atau makan dulu kita?"
Aku terdiam sejenak, berpikir. Suara hiruk pikuk memenuhi telingaku. Mulai dari suara penarik becak yang menawarkan tumpangan pada orang-orang yang baru keluar dari stasiun di belakangku, hingga suara supir angkot yang memaksa orang-orang yang berada di pinggir jalan untuk naik ke angkotnya, sambil menyebutkan rute angkot itu. Aku menyeringai ketika supir angkot itu tetap memaksa padahal orang yang diajaknya berbicara sudah menggeleng kuat.
Asel melihat hal yang sedang kuperhatikan, lalu tertawa kecil. "Kaget kau sama supir angkot Medan? Masih biasa itu, kau harus nengok dan ngerasain gimana orang itu ugal-ugalan di jalan."
"Nggak, ah! Nggak mau. Aku ke sini bukan mau uji nyali." Aku tersenyum, lantas mengalihkan perhatianku dari angkot. "Sel, kayanya aku ke penginapan dulu buat letakin koper. Berat kalau dibawa ke mana-mana. Tapi, sementara kita ngobrol di halte itu aja. Lucu aja kalau kita langsung pisah di sini."
Asel mengangguk. Lantas berjalan beriringan denganku yang sibuk menyeret koper. Kopernya tak berat, hanya berisikan beberapa pasang baju yang cukup untuk kupakai selama tiga hari di kota ini. ya, hanya 3 hari. Tak perlu lama-lama karena budget yang kumiliki tak banyak.
Aku menghempaskan pantatku ke bangku halte sambil menurunkan pegangan koper. Kepalaku menoleh ke samping, melihat Asel yang juga melakukan hal yang sama—duduk di bangku halte. Aku mulai berbasa-basi dengan Asel. Bertanya tentang kuliahnya, kabar keluarganya, dengan apa dan siapa ia datang ke stasiun. Apakah dengan ojol? Atau diantar seseorang?
Percakapan-percakapan kecil menguap di udara, bersamaan dengan tawa kecil yang ikut menghiasi. Entahlah, rasanya aku senang sekali. Wajah yang biasa hanya bisa kupandang lewat ponsel, saat ini benar-benar nyata berada tepat di depan wajahku. Kalau ini mimpi, bolehkah jangan dulu aku terbangun?
Aku tertawa dalam hati. Konyol.
Setelah selesai dengan obrolan yang bisa dibilang tidak singkat, Asel memilih untuk pulang saja. Ada urusan yang harus ia selesaikan, mendadak. Aku tak mempermasalahkannya. Pertemuan kami berhenti sampai di sini untuk hari ini. Asel bilang akan menemuiku besok sekaligus mengajakku berkeliling kota Medan. Aku tentu saja setuju dan semangat mengiyakannya.
-o0o-
Kuhempaskan tubuhku ke atas kasur empuk dari penginapan bintang tiga ini. Sudah pukul 9 malam. Mungkin tidur lebih awal bukan ide yang buruk. Sebenarnya dalam hatiku, aku tidak sabar menunggu hari esok. Siapa yang tak sabar untuk menantikan sebuah pernyataan cinta?
Aku tertawa kecil. Ya, memang konyol. Selain ingin berlibur dan berjumpa dengan Asel, aku juga berniat untuk menyatakan perasaanku. Kedekatan kami selama ini, aku rasa wajar jika benih itu tumbuh. Semua perhatian dan perlakuannya melalui pesan benar-benar membuat hatiku menggila. Seluruh pikiranku terus dipenuhi namanya. Jujur, baru kali ini aku diperlakukan seperti itu oleh wanita. Ingin sekali aku membusungkan dada dan berkata kalau aku bukanlah orang bodoh yang suka pada seseorang hanya melalu ketikan, itupun baru berlangsung setahun sejak pertemuanku dengannya di sebuah grup lomba nasional kepenulisan.
Berkeliling kota Medan? Hanya berdua? Sial, kalian pernah melakukannya? Siapa yang tidak senang jika diajak seperti itu. Rugi jika aku tak menggunakan kesempatanku untuk menyatakan perasaan sialan ini.
Baiklah, lupakan sejenak. Mari tidur dan sambut hari esok.
-o0o-
Hari kedua di Medan. Aku dan Asel makan di sebuah resto yang tak jauh dari kampus Asel.
"Ham. Kalau mau berwisata, mending ke Berastagi. Kalau di Medan kurang pecah. Tapi, kalau mau diajak keliling-keliling, gas aja." Asel mengunyah makanannya.
"Aku nggak minta wisataan kok. Yang penting aku ke Medan, jumpa kamu."
"Ish! Rugi banget."
"Cantiknya wisata di sini, bakal kalah sama kecantikan kamu, Sel." Aku tertawa kecil. "Lagian, nggak bakalan rugi. Karena tujuan aku memang buat jumpa kamu."
Asel hanya diam, sedikit melengkungkan senyum.
"Kamu nggak percaya, Sel?"
Asel tertawa kecil. "Nggak usah ngelawak. Geli dengernya."
"Loh? Aku serius. Ngelawak dari mana? Aku nggak jago begituan." Aku meletakkan sendok di atas piring sembari mengelap bibirku dengan tisu yang baru saja kucomot dari tempatnya. "Sel, terlepas dari ajakan kamu buat datang ke Medan, motivasi kuat aku buat nekat dateng ke sini sendirian, itu karena pengen ketemu kamu. Mutlak karena pengen ketemu sama kamu secara langsung. Sekaligus, aku mau jujur tentang perasaan aku selama ini."
Raut wajah Asel mendadak berubah, ia menatapku tanpa berkedip.
"Aku ngerasa kita udah deket banget. Semua perhatian, perlakuan, dan sikap kamu ke aku bikin aku nggak bisa memungkiri kalau ada benih rasa yang tumbuh di hati aku. Alay sih, tapi emang itu faktanya."
Asel menundukkan kepala. Tangannya ia sembunyikan di balik meja, sepertinya sedang meremas baju, gugup. "Maaf, Ham. Sebenarnya aku udah punya pacar."
Saat itu, dunia seperti berhenti berputar. Keringat dingin yang kurasakan menjadi saksi bisu kesialanku hari ini. Mungkin pendingin ruangan di atas sana tertawa melihat takdir konyolku. Jam dinding mungkin berbisik pada figura di sebelahnya, ada satu makhluk bodoh yang sekarang ditolak cintanya. Hanya karena hubungan dekat selama setahun, makhluk itu merasa percaya diri cintanya akan diterima.
Kepala Asel kembali terangkat, menatapku penuh rasa bersalah. "Aku nggak tau kalau selama ini perlakuan aku bikin kau ada rasa. Sumpah, aku nggak ada niat kaya gitu. Apa yang aku lakukan ke kau itu karena kita kawan, Ham."
Aku mencoba tersenyum, walau itu benar-benar sulit. Konyol sekali. Kau bodoh, Ilham. Dia benar, kalian hanyalah dua manusia yang saling berteman. Hubungan dekat kalian baru berjalan setahun, apa yang kau harapkan dari waktu yang singkat itu?
"Maaf kalau selama ini aku nggak pernah cerita soal pacarku, karena kami juga backstreet. Hubungan kami cukup privasi karena suatu alasan. Untuk sekali lagi maaf. Aku nggak bisa balas perasaan kamu, Ham."
Aku tak mendengarnya. Suasana makan ini menjadi canggung. Kalimat selanjutnya yang kudengar adalah hari ini Asel ingin mengajakku berkeliling kota Medan dengan beberapa temannya. Aku menggeleng, meraih ponsel dan memasukkannya ke dalam saku celana. Aku pikir sekarang sudah selesai, aku ingin pergi. Mungkin aku terlalu egois, tapi siapa yang akan tahan berlama-lama berada di situasi canggung seperti ini?
Aku memilih pamit. Sebelum benar-benar pergi, aku meminta maaf pada Asel karena tidak bisa meluangkan waktu lebih lama lagi. Aku butuh waktu untuk menenangkan isi kepalaku. Kuharap Asel mengerti.
Aku tidak tau bagaimana isi hati Asel melihat tingkahku yang sedikit kekanak-kanakan. Entahlah, lupakan yang itu dulu. Aku ingin kembali ke penginapan, merebahkan diri di atas kasur, dan meratapi nasib konyol ini.
Ini bukan salah Asel yang tak membalas cintaku, bukan juga salah Kota Medan yang memberiku sambutan dengan kisah sial. Ini hanya salahku yang terlalu naif mendefinisikan hubungan dekat kami di dunia maya setahun terakhir.
Kota Medan seakan-akan memberiku makna untuk singgah dan rela. Kedatanganku ke sini yang hanya sekedar singgah dan memaksaku rela untuk perasaanku yang tertolak.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top