Rumah Buyut
Kajian kembali dilakukan ....
Maraknya aksi bunuh diri para pegawai dalam dekade terakhir ....
Pemerintah mencanangkan upaya ....
Demo besar kali ini melibatkan seluruh lapisan masyarakat ....
Meski masih menuai pro-kontra dan unjuk rasa, pengesahan undang-undang baru tetap dilakukan hari ini.
****
Kabar yang beredar ternyata berbeda dari kenyataan. Tidak ada lorong serupa labirin, tidak ada ilmuan yang mondar-mandir, dan tidak ada antrean panjang dari mereka yang akan masuk ruangan. Tidak juga diminta ganti pakaian layaknya pasien. Hanya harus melepas sepatu beserta kaos kaki. Beriring menelusuri koridor berdinding kaca.
Sekonyong-konyong perut serasa diperas. Efek yang timbul bukan sekadar rintihan tertahan, tetapi juga meremang sekujur badan. Aku merasa semakin dingin, meski teman di samping berbisik, harusnya kami tidak memakai blazer. Buatku, mau menanggalkan atau tidak tetap menggigil. Mengalihkan tatap ke luar pun percuma. Padahal beberapa menit lalu hamparan rumput yang mulai disiram cerah pagi tampak menggiurkan.
Perasaanku makin tak keruan. Di persimpangan aku dan beberapa teman diarahkan ke kanan sedang sebagian ke kiri. Pintu ketiga aku dipinta masuk. Cahayanya dengan di luar sangat kontras. Dalam ruangan redup dan beraroma jeruk. Ada meja dan bangku yang tak bertuan. Di sisi lain terdapat peti yang mungkin terbuat dari besi dengan penutup kaca yang cembung. Dindingnya tidak berhias. Begitu hening hingga telinga berdenging.
"Hai."
Aku merasa jantungku jatuh!
Pintu di belakang kembali tertutup. Seorang pria paruh baya menghampiri sembari tersenyum. Senyumnya begitu lebar hingga menyipit mata. Beliau menyalamiku. Sedikit memberi tepukan di pundak dan mempersilakan duduk.
Yang aku dengar tempo hari, seorang dokter akan menemani kami. Namun, dilihat sekilas atau saksama, beliau seperti pegawai biasa. Celana jin, kemeja tanpa snelli atau stetoskop yang tergantung di pundak, dan rambut yang sedikit berantakan. Beliau mengambil map besar dari dalam laci meja. Segera, aku menangkap foto sendiri di sudut kiri berkas.
Tatapan kami sekilas bertemu. Beliau kembali tersenyum dan kali ini fokus melihat ke mataku. Pertanyaan-pertanyaan dasar mulai terlontar. Sungguh, dibanding berhadapan dengan HRD beberapa tahun lalu, detak jantungku jauh lebih kencang. Aku makin merasa dingin, tetapi keringat berlomba turun di punggung. Pun ujung mataku nyaris kemasukan keringat.
"Jangan takut." Beliau menutup berkas. "Ini memang pertama kali alat itu," jempolnya mengarah ke peti, "digunakan di negara kita. Namun, kami menjamin ini berhasil."
Susah payah aku menelan ludah. Dibanding kesenangan yang tumpah ruah karena akan menikmati liburan, keresahan justru paling membuncah. Saat digiring ke sisi peti, seperti aku akan mati. Ingin hati pulang, tetapi uang yang terpotong dari gaji setiap bulan untuk satu hari ini tidaklah sedikit.
"Rileks saja."
Aku merasakan kedua sudut bibir kaku saat tersenyum. Begitu juga tengkuk kala mengangguk.
Ini benar-benar seolah aku diantar ke alam kubur. Dalam peti ini hanya berisi bantalan hitam. Konon, bantalan itu merupakan alat yang akan membantu dalam menghilangkan stres. Aku tidak tahu pastinya. Nyaris seluruh waktuku untuk bekerja dan mengurusi rumah. Apa ini aman? Biar begitu, aku menurut saja ketika diminta berbaring. Langit-langit redup tampak seperti malam berbintang terang. Aku menghirup dalam aroma jeruk ruangan. Bisa kurasakan bahu yang tidak lagi tegang.
"Oke. Kita mulai, ya."
Penutup kaca cembung ditutup. Getaran halus di belakang kepala mulai menjalar hingga tengkuk. Anehnya, segala pikiran buruk meluap, terganti kantuk yang menenangkan.
****
Wangi jeruk berganti aroma tanah basah. Aku menyedot terus aroma khas ini. Sangat segar, pun embus angin terasa sejuk. Aku kedinginan. Kali ini bukan menggigil karena takut. Perlahan, dapat aku tangkap keadaan sekitar. Ini bukan lagi ruang tempat aku berbaring di peti.
Tempo lalu, ketika selebaran pertanyaan datang, aku mengisi dengan sungguh-sungguh. Benarkah ini tempatnya? Mama pernah bercerita, hanya sekali aku ke kampung halaman buyut. Itu pun sewaktu berumur satu tahun. Tanah buyut dan warga desa lainnya habis dijual lantaran pembangunan pabrik. Meski mendapat harga tinggi, semua yang pernah ada hanya berupa kenangan.
"Dulu pulang kampung itu rutin. Enak di sana. Enggak kayak di sini."
Mama benar. Di sini terasa nyaman walau asing. Aku buang ragu. Di keadaan normal, bertelanjang kaki menyusuri jalan bukan kesenangan. Namun, licin dan basahnya tanah merah sehabis diguyur hujan dan kerikil-kerikil yang sedikit menusuk telapak saat ini adalah kenikmatan. Setiap langkah, setiap aroma yang dihela napas, setiap mata menangkap sekeliling, aku patri kuat dalam ingatan.
Meski tidak terbayang rumah buyut, kaki membawaku pada satu rumah. Seperti yang lain, rumah ini beratap genting tanah liat. Berlantai keramik kecil-kecil berwarna putih kusam. Buyut memiliki teras dan halaman luas. Tampak sederhana, tetapi tidak akan bisa aku punya.
Kakiku mengajak lewat belakang. Ada jalan kecil di samping rumah. Depan memang sudah bertembok bata, tetapi di belakang ternyata masih anyaman kelapa. Dari pintu yang terbuka, aku masuk. Harum kayu bakar bercampur kopi hitam menyeruak hidung. Aroma ini tidak pernah aku hidu. Selama hidup di kota hanya asap kendaraan dan rokok, serta bau bakar sampah yang memenuhi paru-paru.
Uak sedang berjongkok di depan tungku tanah liat, meniup api agar membesar. Aku mengucapkan salam, tidak ada yang menyahut. Sesuai cerita orang tuaku, dapur buyut belum direnovasi. Masih beralaskan tanah dan ada dipan besar di depan tungku. Duduk di dipan nenek sedang mengaduk nasi yang masih mengepul. Kipas anyaman di tangan kiri keriputnya terus digerakkan seiring centong kayu besar di tangan kanan membolak-balik nasi.
Baik nenek atau uak tidak melihatku, jadi aku berjalan ke bagian tengah rumah. Ada keset dari baju bekas di lantai dekat pintu dapur. Aku membiarkan telapak kaki yang basah menjejak di lantai. Satu kamar di sebelah kanan, kata mamaku, tempat buyut tidur. Sedikit aku melongok dan mendapati buyut tengah berbaring.
Dari kamar buyut, tatapku menjelajah seisi rumah. Ada TV cembung, beberapa bingkai foto yang menggantung, serta stoples-stoples berisi rengginang. Tikar rotan menghampar nyaris di depan kamar buyut. Di atasnya tersaji uli bakar yang tinggal satu di piring dan gelas-gelas ampas kopi hitam. Kalau rumah buyut masih ada, mungkin aku bisa merasakan mudik kala dewasa.
Rengek bocah dari kamar di sebelah kiri masuk telinga. Kamar itu tidak bertirai seperti kamar buyut. Pelan, aku masuk. Tampak mamaku yang tengah menyusui. Bunyi derit dari besi ranjang ketika aku duduk, tidak dia gubris. Namun, mata bocah yang tengah disusui melihat tepat ke tatapku. Bibir yang tengah menyedot ASI itu tersenyum. Makin lebar saat aku balas.
Bocah ini masih kecil. Kulitnya halus dan badannya wangi. Meski tidak ada yang bisa diubah, aku kisahkan padanya apa yang terjadi empat puluh lima tahun lagi. Sambil terus mengelus tangannya yang gemuk, aku katakan bahwa ia harus rajin belajar agar tidak menjadi pesuruh di kantor besar. Aku bilang juga, siapa pun kelak yang melamar; mau tukang ojek atau direktur, asal baik agama terima saja. Jangan banyak memilih, jika tidak ingin menjadi perawan tua. Aku tuturkan, rumah kita tak lagi memiliki halaman karena harus pindah ke rusun. Aku kisahkan pula soal keadaan negeri.
"Banyak karyawan yang mati bunuh diri. Karena itu pemerintah bikin aturan baru. Badan usaha harus punya alat biar stres hilang. Belinya dari luar negeri. Ini aku lagi pakai alatnya. Jadi bisa ketemu kamu di rumah buyut. Tapi, gaji kami dipotong sepuluh persen per bulan. Pas tiga tahun, baru dikasih kesempatan pakai alat itu."
Bocah itu bergumam seolah menyahut.
"Badan usaha juga harus kasih dana pensiun, kalau ada pemutusan kontrak kerja atau karyawan sudah berusia lima puluh. Wah, pada demo awalnya. Tapi, lama-lama semua nerima."
Si bocah bergumam lagi. Tangannya dia gerak-gerakan.
Aku dekatkan tubuh ke si bocah dan mencium pipi serta keningnya. Aku selipkan juga doa di telinganya. Berharap yang terbaik walau tidak ada yang akan terjadi tetap sama. Kemudian aku beranjak. Dari teras aku melihat beberapa ekor kambing melintas di jalan depan rumah. Tak lama dua ekor kerbau menyusul bersama si penggembala.
Aku selalu ingin menikmati ini. Suara daun-daun pada pepohonan yang diterpa angin. Embus sejuk yang menyegarkan. Aroma tanah basah bercampur kayu bakar. Kenapa berubah? Kalau sudah kembali, di mana aku mencari tempat serupa?
****
Tembok kaca di lorong sudah berganti pemandangan. Langit sudah gelap. Cahaya yang menerangi rumput hanya dari lampu taman. Beberapa dari kami memutuskan duduk sembari melamun, termasuk aku.
Aku merasa terlahir kembali. Kepalaku menjadi enteng dan tubuhku ringan. Aku yakin bisa lebih giat bekerja dari sebelumnya. Masih ada satu kesempatan sebelum dinyatakan pensiun. Tiga tahun lagi akan aku tulis keinginan yang sama: berkunjung ke rumah buyut.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top