Impian Kecil

Akhirnya aku menginjakan kaki lagi di tanah ini setelah sepuluh tahun—sepuluh tahun mengkhayal maksudku.

Aku sampai di tempat antah berantah setelah di bawa kereta pengganti yang harusnya pergi menuju ibukota.

Aku belum pernah ke ibukota menggunakan kereta, jadi kupikir jalanan gelap tanpa pemukiman yang kulewati tadi adalah jalan yang benar, apalagi kereta berangkat di malam hari, jadi kalau aku tahu pun sepertinya tidak akan merubah apa-apa. Sampai suatu ketika, seorang wanita paruh baya bertanya kepadaku apakah kita sudah sampai di kota X yang kutahu tidak pernah ada kota itu di negara ini.

Wanita paruh baya itu menunggu jawabanku lama sampai aku menjawab 'tidak'. Aku yakin dengan jawabanku setelah mengingat kembali isi map yang kulihat sebelum keberangkatan. Kereta yang kutumpangi seharusnya tidak melewati kota yang beliau maksudkan. Tidak lama kemudian, wanita dengan gaun ungu itu tersenyum dan mengatakan hal yang tidak dapat kudengar jelas setelah dirinya kembali ke tempat duduknya di belakangku.

Sepanjang perjalanan menuju tempat ini, aku selalu terpikir apakah kereta ini benar-benar pergi ke ibukota setelah wanita di belakangku bertanya. Apalagi, lama ini kereta belum berhenti di stasiun lain. Seharusnya dalam waktu selama ini, sudah ada dua stasiun yang kami lewati namun kami belum berhenti sama sekali dan bahkan melewati pemukiman pun tidak.

Aku ingin bertanya, namun aku hanya duduk sendirian di dekat jendela sedangkan yang lain sedang tidur. Kulihat dari jendela yang belum kututup gordennya, wanita di belakangku juga duduk sendiri, sedang membaca buku dengan penerangan seadanya dari lampu di atas kursi.

Aku mencoba untuk menghiraukan pemikiran-pemikiran yang mulai negatif di otakku dengan tidur sambil menghitung domba yang meloncati pagar. Ingin kukreasikan sendiri dombanya berwarna merah muda dan biru langit, pagarnya berwarna hijau dan langitnya sangat cerah, jadi tidak jauh dari domba itu ada seorang pengembala yang sedang tertidur lelap. Warna pakaian sang penggembala berwarna merah dengan corak kotak-kotak, kepalanya menggunakan topi anyaman yang sisi-sisinya sudah rusak dan dipakainya topi itu untuk menutupi wajahnya dari terik matahari selama dia tidur.

Membuat dunia sendiri dalam pikiranku memang paling ampuh untuk menghilangkan stres. Nyatanya, aku mulai mengantuk, jadi kubuka mataku sebentar untuk menutup gorden, tapi sebelum itu, mataku tak sengaja melihat ke arah bangku belakang lewat jendela. Di sana, wanita yang sedang membaca tadi sedang melihat ke arahku dan tersenyum sebelum melanjutkan kembali kegiatan membacanya.

Jujur saja, wanita itu cantik, wajahnya sangat teduh, namun di posisi kebingungan ini aku jadi merasa sedikit takut. Kalau aku tidur, apa yang akan terjadi padaku?

Aku berdiri dengan sedikit keberanian untuk berjalan mencari petugas. Tempat dudukku ada di gerbong terakhir, jadi aku tidak perlu bolak-balik untuk mencarinya. Aku harus memastikan apakah jalan kereta ini benar? tapi aku tidak mungkin salah menaikinya karena hanya tersisa satu kereta tersisa di stasiun sebelumnya.

Di gerbong pertama yang kulewati, tidak ada keanehan, hamper semua orang tertidur, persis seperti di gerbong sebelumnya, begitu pula dengan gerbong-gerbong selanjutnya. Namun, tidak kutemukan petugas yang aku cari. Aku terus berjalan di Lorong gelap dan sepi. Jujur saja, aku benci situasi mencekam seperti ini.

Setelah melewati beberapa gerbong, akhirnya aku menemukan petugas. Tanpa berlama-lama, aku langsung bertanya untuk mengkonfirmasi bahwa tujuan kereta ini tidak salah.

Semoga tidak semoga tidak, terus kugaungkan harapan itu di dalam hatiku hingga jawaban sang petugas meruntuhkan harapanku.

"Mohon maaf nona, namun dari tiket yang nona berikan, tujuannya memang menuju kota X."

Mendengar penuturan dari petugas, aku langsung mengecek tiketku dan benar saja, ini bukan tiket menuju ibukota, tapi entah kota mana. Kenapa bisa begitu?

"Apabila terjadi kesalahan, nona dapat turun di stasiun kota X dalam enam jam."

*

"Wah, enam jam? Lama sekali! Padahal waktu perjalanan dengan tujuan yang tidak kau ketahui itu bisa kau gunakan untuk tidur!" seru peri yang sedang duduk di sampingku.

"Tidak, waktu enam jam itu cukup untuk membuat sepuluh loyang kue dan mengolah daging!" seru satu peri lainnya.

Aku sampai di kota X saat matahari baru terbit dengan bau embun yang menembus penciumanku. Tadinya aku ingin beristirahat dan sarapan, namun aku tak melihat toko yang menjual makanan setelah keluar dari stasiun. Namun, lagi-lagi aku kembali bertemu dengan wanita di yang duduk di bangku belakangku tadi. Beliau menawarkan roti yang dijual di tengah kota. Akupun mengiyakan, kupikir dia bukan orang yang jahat, jadi sepertinya masih bisa kupercaya, apalagi ini menyangkut urusan perut, tidak bisa diganggu gugat namun tanpa kusangka, dia membawaku ke hutan! Benar-benar hutan meskipun jalan kecil untuk sekelompok manusia masuk.

Wanita paruh baya itu tidak menjawab sebentar, namun akhirnya membuka mulut. Sayangnya, sebelum itu, sebuah cahaya menerangiku, sangat terang hingga aku takut untuk membuka mataku lagi.

Aku membuka mataku sedikit demi sedikit hingga pada saat mataku dapat melihat lagi, aku tak percaya dengan apa yang ada di depan mataku. Ratusan peri sedang mondar-mandir, tampak sibuk dengan urusannya hingga salah satu dari mereka berteriak setelah melihatku. Semua peri itu lalu berhenti. Namun segera, wanita di depanku berkata bahwa aku adalah tamunya dan mempersilakan aku masuk ke rumahnya yang hanya dua menit dari tengah kota atau awal pintu masuk kami.

Wanita itu mengatakan bahwa dulu aku pernah memberinya bunga saat dirinya sedang bersedih karena manusia yang ia percaya mencoba memanfaatkan sesuatu darinya setelah ia berkata jujur bahwa dia dapat menyembuhkan luka dengan kemampuannya sehingga ia berpikir bahwa semua manusia itu jahat dan aku tanpa sadar merubah pemikirannya. Sebagai ungkapan terima kasih, dibawalah aku ke sini dengan menukar tiketku dan tiketnya yang ia beli dua. Disuruhnya dua orang pelayan untuk membawaku pergi ke ruang pakaian dan meminta pelayan-pelayan lain untuk mengantarku berjalan-jalan.

Jujur saja, aku belum dapat mencerna semua ini, kejadiannya terlalu cepat. Aku bingung, namun sebelum aku sempat berpikir, aku telah berada di kereta kuda yang membawaku ke pantai dengan pemandangan terindah yang pernah kulihat. Warna biru laut menyerap cahaya mentari dan menjadikannya berkilau. Cantik sekali.

Setelah melewati laut, aku kembali ke tempat berisikan banyak pepohonan, namun kali ini pohonnya tidak sebanyak hutan. Di sana, aku bertemu dengan peri-peri kecil ini, dua gadis dengan kepribadian bertolak belakang, hampir selalu rebut saat berbicara.

Ibu mereka adalah pembuat roti terbaik di kota, jadi pelayan-pelayan wanita itu memerintahkan mereka untuk membawaku ke sini. Tidak lama kutahu dari penjual roti bahwa wanita yang kutemui di kereta adalah seorang penting yang mencoba untuk membuka koneksi antara penduduk tempat ini dengan manusia, namun sayangnya belum ada kemajuan atas hal itu sehingga tempat ini masih tertutup.

Aku mendengar banyak cerita mengenai kota ini sambil memakan roti dan sup dan melihat pantai. Terkadang, kami juga bersenda gurau sampai tak terasa bahwa hari sudah sore dan aku harus segera pulang.

Pengalaman di sini sangat singkat, namun sangat tidak sebanding dengan kericuhan yang harus kudengar setiap harinya. Gelas pecah, suara teriakan, rintihan, akhirnya aku bisa sedikit bernapas lega.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top