Deadly Passion Cafe

"Lu tolol ya? Pengangguran disuruh liburan?" tanyaku sambil menenggak kopi rasa klepon yang tidak lagi hangat.

"Tapi, Hana, lu ...."

"Tunggu! Gue nemu lowongan kerja goblok lagi nih."

"Apa tuh?" jawab Misa.

"Dicari admin, minimal lulusan S1, IPK minimal tiga. Umur maksimal 25. Eh, tolol, lu pikir umur 25 tahun ke atas enggak butuh duit?"

"Ya, suka-suka dong, Na."

"Diam, masih ada lagi!"

"Bersedia bekerja di bawah tekanan. Bersedia lembur. Hari kerja Senin sampai Sabtu. Jam 07.00 sampai 20.00."

"Agak lumayan ya," ucap Misa.

"Tunggu! Ada lagi. Wajib menguasai minimal tiga bahasa asing. Pengalaman minimal tiga tahun. Dapat menggunakan komputer, pandai bernegosiasi, bisa mengangkat barang. Ini admin, sales, atau kuli ya?"

"Hana ...."

"Ada lagi, belum menikah dan tidak berencana menikah selama tiga tahun. Lu siapa, Nyet? Ah, satu lagi, gaji, tiga juta. UMP Jakarta sudah hampir lima juta loh."

"Hana! Tuh, benar, 'kan? Lu harus liburan. Titik."

"Liburan ke mana? Lihat duit gue tinggal 350 perak di mbanking. Rekening gue mungkin dihapus Desember ini, kalau lihat berita kemarin. Gue ini nasabah beban menurut mereka," jelasku sambil menunjukkan saldo rekening di ponsel.

"Sudah, ini tadi gue dikasih brosur kafe. Namanya kafe Deadly Passion."

"Kafe apaan njir itu?

Aku mengambil brosur tersebut dan membacanya, di situ tertulis.

Deadly Passion Cafe

Jika kamu butuh liburan, kami adalah tempat yang tepat.

Kami menemukanmu dan akan membawamu ke tempat yang kamu mau.

Menu:

Kopi Hitam Rp. 3.000,-

Kopi Putih Rp. 3.000,-

Kopi Cokelat Rp. 3.000,-

Mi Goreng Rp. 7.000,-

Mi Kuah Rp. 7.000,-

Tambah Telur Rp. 3.000,-

Tambah Kornet Rp. 3.000,-

"Ini kafe sok misterius padahal menunya kayak di warkop biasa, tapi murah sih."

"Iya, 'kan? Lokasinya juga dekat dari sini."

"Terus gue ngapain di sana?"

"Ya, ngapain kek. Lu bisa dengerin musik di sana, bengong, sambil makan sama ngopi," ucap Misa.

"Si Anjir, gitu doang ngapain ke warkop?"

"Kafe woi! Sudah pergi aja sana, nih gue kasih gocap. Cukuplah beli mi, telor, pake kornet, sama kopi."

Aku lelah berdebat, tapi lumayan gocap ini. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi, kupikir takada salahnya mencoba, toh tinggal ngopi sama makan doang.

Aku menelusuri jalan Jakarta di siang yang panas ini. Kulihat peta, tempatnya tidak jauh dari sini. Tinggal masuk gang kecil lalu ketemu tempat cuci motor. Belok kiri, jalan sedikit ketemu toko apa ini? Namanya Nikmat'In, menjual kondom dan mainan dewasa. Woi! Abaikan, lalu belok kiri lagi, jalan dikit, kafenya ada di depan tempat mainan anak.

"Oke, ketemu!" Tertulis di atas bangunan berwarna magenta ini, Deadly Passion Cafe.

Aku masuk dan menemukan tempat ini sepi sekali. Ada sih pelanggan, ada dua orang, itu juga berjauhan. Apa karena tempat ini luas, jadi kelihatan sepi?

Aku pun duduk di dekat jendela. Entah kenapa, walaupun letak kafe ini di gang, tapi pemandangan dari jendela ini cukup indah. Bahkan dipenuhi bunga berwarna-warni, aku bertanya di mana bunga-bunga itu berada? Aku tidak melihatnya tadi.

"Mau pesan apa, Nona?" ucap seorang pria tampan berambut hitam dengan gaya comma hair ala orang korea datang sambil memberikan buku menu.

"Eh? Ah, iya! Terima kasih." Wah, gila! Macam istri konglomerat aja ini dipanggil Nona. Pria itu masih menunggu dengan tangan di dadanya seolah berkata, "I'm here, anytime you need me, Baby."

Tapi grogi gue, woi siyalan! Argh!

"Mas, pesan mi kuah soto pakai telur sama kornet, sama minta kopi hitamnya satu ya," ucapku sambil mengembalikan buku menunya.

"Panggil saja saya, Eve, Nona. Baik, akan saya bawakan pesanan Nona, mohon ditunggu," ucapnya sambil melempar senyum.

"Wah, gila, surga! Siap, Mas Eve, cinta ...." Eh anjir, keceplosan. Kedengaran enggak tadi gue ngomong? Kelihatan enggak ya tadi lagi semringah?

Mas Eve pun pergi tanpa melunturkan senyumnya. Kayaknya kedengaran dah tadi gue ngomong! Asu, asu, asu! Malu gue, Cok!

Mencoba mengalihkan perhatian ke luar jendela. Asli, perlahan gelisah mulai mereda. Indahnya mereka, bunga-bunga. Baru saja aku merasa tenang, dia datang lagi.

"Nona, ini pesanannya ya. Selamat menikmati," ucap Mas Eve.

"Mas Eve, maaf nih. Panggil gue Hana aja ya. Enggak enak juga dipanggil Nona."

"Baiklah, Nona Hana. Selamat menikmati," ucapnya tersenyum lalu pergi tanpa dosa.

Si anjir dibilang jangan panggil Nona. Terserahlah! Mi kuah ini kelihatan enak. Sempat perut kurasa berbunyi. Tanpa pikir panjang, kucicipi kuah orisinal, sebelum meraciknya dengan saus, sambal, dan kecap.

"Enak! Wah, gila. Sudah ganteng, pintar masak. Mi doang padahal!" Seketika itu kuracik semuanya, hingga terlihat kemerahan, semakin menggugah selera. Enak! Semakin enak! Kopinya juga. Tidak perlu waktu lama untuk menghabiskan semuanya.

Setelah selesai, aku merasa sedikit mengantuk. Aku kembali melihat bunga-bunga dan merasakan hawa sejuk ruangan kafe ini. Sejenak aku terpejam. Saat aku membuka mata, tubuh terasa segar. Aku masih di tempat yang sama, dengan pemandangan bunga-bunga.

"Nona Hana, mau kuantar ke tempat yang saya yakin, Nona akan menyukainya," ucap Mas Eve.

"Kenapa tiba-tiba, Mas Eve?"

"Kami adalah tempat berlibur bagi mereka yang lelah dengan kehidupannya."

Aku tertawa. "Setiap hari gue libur, Mas Eve!"

"Untuk itu, saya yakin, tempat ini cocok untuk Nona Hana." Aku lelah mengelak, sedikit rasa penasaran untuk mencoba menuruti apa yang dikatakan Mas Eve.

"Baiklah, kita mau ke mana, Mas Eve?" tanyaku penasaran.

"Saya tunjukkan tempatnya, Nona Hana. Silakan ikut saya," ucap Mas Eve dengan senyuman lembutnya. Aku mengiakan.

"Di sini tempatnya, Nona Hana," ucap Mas Eve.

"Woi, Mas Eve, ngapain lu ajak gue ke pusat perkantoran? Kan gue mau liburan!"

"Ini tempat yang cocok untuk Nona Hana. Di sana, ada papan lowongan kerja. Mbak bisa cari kerja di sana," ucap Mas Eve.

"Si anjir, malah disuruh kerja. Iya sih gue pengangguran, tapi enggak begini lah woi."

"Silakan dilihat-lihat dulu saja, Nona Hana." Mas Eve menepuk punggungku pelan sambil tersenyum.

"Ah! Oke, oke, gue ke sana."

Aku melihat sebuah papan, macam majalah dinding, di atasnya tertulis lowongan pekerjaan. Palingan juga macam lowongan biasa yang banyak maunya, banyak syaratnya, tapi gajinya mah kayak tahi cicak, kecil.

Tapi tunggu.

Dicari Penulis Buku

Detail Pekerjaan:

Menulis buku apa saja, sesuai minat.

Syarat:

Bisa nulis.

Gaji:

Rp. 5.000.000/bulan

"Ini seriusan? Biasanya mencurigakan sih yang begini."

"Dicoba saja hubungi kontak yang tertera, Nona Hana," ucap Mas Eve.

Aku pun mencobanya dan ternyata dibalas. Anehnya, aku diterima setelah tanya jawab terkait pengalaman. Dia bahkan tidak menanyakan latar pendidikan. Kerjaan ini pun bisa dikerjakan di rumah. Tanpa pikir panjang aku langsung memulainya, menulis buku kumpulan cerpen, itu terdengar mudah.

Aku mengabari Misa tentang hal ini. Dia bilang senang mendengarnya. Namun, sudah berjalan beberapa minggu, hampir sebulan, aku tidak pernah bertemu dengannya. Padahal aku sering mengerjakan pekerjaanku di kafe, karena setiap hari dapat uang transpor dan makan yang cukup besar di luar gaji. Jadi menyenangkan rasanya mengerjakan pekerjaan ini. Namun, entah kenapa aku tidak lagi melihat Misa. Aneh, mungkinkah dia sibuk?

Sebulan sudah kulalui, aku tidak menyangka akan dibayar sesuai yang dijanjikan, padahal bukunya belum jadi. Bagaimana caranya mereka dapat untung?

Hari itu aku masih berada di kafe. Menatap bunga seperti biasa. Namun, kali ini ada perasaan sesak entah apa. Sesuatu yang mencekik. Tubuhku seolah bergetar seperti seseorang yang kelaparan, padahal aku sedang makan. Apa aku sakit? Aku mencoba bersandar pada kursi dan memejamkan mata. Cukup lama, entah kenapa aku tidak langsung bisa membuka mata. Aku mulai gelisah. Sampai sebuah teriakan dari seorang yang kukenal.

"Hana! Bangun! Hana!"

Akhirnya aku punya daya untuk membuka mata. Namun, yang kudapat adalah Misa yang menangis histeris di hadapanku.

"Akhirnya! Sialan! Sialan! Bangun juga lu akhirnya! Maafin gue, Han!"

Loh heh?

Kafe ini tidak terlihat hidup seperti sebelumnya dan lagi kenapa banyak polisi di sini?

"Ada apa ini, Misa?"

"Makanan dan minuman di kafe ini dikasih narkoba jenis baru, yang bikin kamu berada di alam bawah sadar. Kamu sudah tertidur selama seminggu dan dalam keadaan kafe ditutup. Pelayan dan pemiliknya sedang dalam pengejaran," ucap salah satu polisi.

"Anjir kok bisa? Shit, perut gue sakit banget. Lapar!" ucapku sambil menekan perut.

"Ini, lu makan dulu! Gimana enggak lapar, kamu enggak makan seminggu!" Aku mengambil roti yang dikasih Misa dan memakannya dengan lahap.

"Sialan, jadi selama ini kerjaan yang gue dapat itu cuma mimpi?"

"Itu efek dari narkobanya. Ini lebih parah dari narkoba yang kita tahu, yang sekadar memberi efek bahagia. Narkoba ini memungkinkan kamu merasa seolah hidup di dunia lain yang kamu inginkan," jelas polisi.

Jadi begitu, memang ya pekerjaan yang menggiurkan itu mencurigakan. Nanti aku cari kerjaan yang pasti-pasti saja sudah, kalau ada. Lowongan yang banyak maunya, rasanya masih lebih baik dari semua ini. Namun, sepertinya pemulihan badan ini bakal lama. Jadi, ya, sudahlah, aku harus menerima semua ini. Mungkin beberapa hari ke depan, aku bakal trauma sama mi kuah dan kopi.

Satu lagi, liburan terbaik buat pengangguran bukan dikasih kerjaan. Liburan ya liburan, mau kamu pengangguran sekalipun, dan pastinya bukan di rumah sakit karena menjadi korban penyalahgunaan narkoba.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top