9. La Paz

Rombongan konvoi ketiga mobil yang berisikan para petualang muda kita terlihat sedang dipacu secepat mungkin pada sebuah jalanan tanah dan berbatu. Kedelapan petualang muda itu sudah tidak sabar lagi untuk segera sampai di La Paz, sebuah kota yang terletak di tengah-tengah rute perjalanan mereka.

Selain itu, setelah menghabiskan waktu di pedalaman hutan Bolivia, para petualang muda kita itu sudah tidak sabar lagi untuk merasakan peradaban manusia kembali. dan terutama makan makanan yang layak.

"Blaze, ngebut sedikit dong... Aku lapar..." keluh Thorn yang duduk di jok baris tengah Mitsubishi Pajero yang dikemudikan Blaze.

"Kita SEMUA lapar, Thorn... Belum lagi ngantuk!" jawab Blaze dengan ketus. "Sekarang diam atau kubuat kamu jadi lontong hidup lagi."

Thorn bergidik dan meneguk ludahnya. "Aku ngga mau jadi lontong hidup lagi kayak semalam!"

"Sudah-sudah." Taufan menengahi adu mulut kedua adik-adiknya itu."Itu di belakang masih ada mie instan mentah Thorn... Anggap saja makan kerupuk." ucapnya yang berusaha menawarkan solusi


"Mana enak, kak..." gerutu Thorn sembari cemberut. Namun karena benar-benar kelaparan, diambilnya juga mie instan mentah itu. Seluruh bumbu-bumbu mie instan itu ditabur di atas kepingan mie mentah itu sebelum dikunyahnya. "Ngga parah-parah amat rasanya."

Melihat Thorn menyantap mie mentah, Taufan langsung cekikikan. "Berhenti sebentar, Blaze."

Blaze menuruti permintaan kakaknya itu.

Taufan segera turun dari mobil dan merogoh bagian bawah mobilnya dan membuka kap mesin. Tak lama kemudian ia kembali dengan beberapa termos yang berisikan air panas yang direbus dengan bantuan panas knalpot dan panasnya mesin mobil.

Thorn hanya melongo dan memandangi mie instan mentah yang sudah setengah dimakannya ketika ia melihat Taufan menyeduh dua bungkus mie instan di dalam kemasannya.

"Kak Taufan jahat! Aku disuruh makan mie mentah... Sendirinya makan mie yang dimasak." Mulailah Thorn merengut, lengkap dengan pipi gembilnya yang menggembung.

"Kena deh." sahut Blaze sembari toss dengan Taufan.

"Nih Thorn, buatmu." Taufan yang merasa kasihan pada Thorn memberikan mie instan bagiannya yang sudah diseduh dan ditiriskan kepada adiknya itu. "Aku sudah makan."

"Waaah... Terima kasih kak!" Dengan kedua mata yang berbinar- binar Thorn menerima kemasan mie instan itu dan segera menyantap isinya dengan lahap, bahkan sepertinya masih kurang.

Setelah perhentian sejanak itu, mobil Mitsubishi Pajero yang dikemudikan Blaze menjadi yang paling belakang. Di depannya adalah Toyota Fortuner yand dikemudikan Halilintar dan Ford Everest yang dikemudikan Fang berada terdepan memimpin konvoi

Tidak lama kemudian jalanan tanah dan berbatu bertukar menjadi jalanan yang teraspal. Pertanda bahwa mereka sudah semakin dekat dengan kota tujuan.

Kota La Paz bukanlah sebuah kota yang besar. Bahkan untuk kategori ibukota, La Paz ini tergolong sederhana saja. Pusat perbelanjaan besar pun masih jarang dan pilihan hotel bagi kedelapan petualang itu untuk singgah pun terbatas. Beruntungnya, produser acara perjalanan mereka sudah memberikan meteka jatah menginap di sebuah hotel.

Meskipun...

"Ho... Hotel apa ini?" Halilintar yang yang mendapat jatah kamar berdua dengan Fang hanya bisa meneguk ludahnya. Ia tidak percaya dengan matanya sendiri ketika melihat kondisi kamar hotelnya.

"Yah... Lihat sisi baiknya, aku bisa berkaca sepuas hati." ujar Fang yang senyum-senyum sendirian ketika melihat bentuk kamar hotel yang akan ditempatinya. "Aku memang terbaik! Ha ha ha ha..."

Kamar hotel itu memiliki cermin kaca besar yang dipasang di plafon, persis di atas ranjang dan di tembok yang juga persis di sisi ranjang. Jangan lupakan kamar mandinya yang tak berpintu dan berdinding kaca.

"Aku mau mandi dulu, habis itu tidur sampai puas." Fang mulai melepaskan baju dan sabuk pinggangnya tanpa memedulikan Halalintar yang berbagi kamar dengannya.

"Ah... Aku tunggu diluar saja sampai kau selesai." sahut Halilintar yang mukanya sedikit memerah dan segera beranjak keluar kamar hotel secepatnya. "Astaga, mimpi apa aku semalam..." gumamnya lagi setelah menutup pintu kamar hotelnya.

"Ah, Hali... Fang lagi mandi ya?" tegur Gempa yang kamarnya kebetulan bersebelahan dengan Halilintar.

"Ya. mending aku keluar dulu daripada menonton Fang Mandi..." ketus Halilintar dengan muka masam. "Kamu sekamar dengan Ice kan, dia juga lagi mandi?"

Gempa menganggukan kepalanya. "Yah aku menghargai privasinya, makanya aku keluar dulu."

"Oh, hey Kak Gem, Kak Hali." Dari kamar yang bersebelahan dengan kamar Gempa, nampak Solar dan Thorn melenggang keluar kamar.

"Lho, kakak berdua ngapain?" Thorn berhenti dan bertanya ketika ia dan Solar berpapasan dengan Gempa.

"Menunggu Fang mandi."

"Menunggu Ice mandi." Gempa terdiam sejenak, mengamati kedua adiknya yang berada di depannya. "Kalian berdua... Sudah pada mandi?"

"Iya." jawab Solar dan Thorn hampir bersamaan.

Gempa langsung terbengong mendengar jawaban mereka. Sementara Halilintar hanya mengangkat sebelah alisnya saja.

"Ka... Kalian mandi berdua?" tanya Gempa lagi seakan tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya dari mulut Thorn dan Solar.

"Uh... Iya kak, ada masalah?" Thorn bertanya balik dengan polosnya. "Ya ngga berduaan sih, ganti-gantian."

"Ah... Artinya-"

"Kami saling melihat? Ya, kenapa harus malu? Toh punya Thorn dengan punya Solar sama saja." jawab Thorn dengan enteng. "Thorn sama Solar permisi dulu, mau cari makan... Lapar..."

Thorn dan Solar melenggang berlalu. sementara Halilintar dan Gempa saling berpandangan.

"Hasil didikan siapa tuh... Kamu ya Gem?" tuduh Halilintar pada Gempa, lengkap dengan sorotan tajam netra merah darahnya..

"Enak saja!" protes Gempa dengan ketus karena enggan disalahkan.

"Mana pernah aku ngajarin adikku buka-bukaan begitu."

Sebelum dituduh balik, Halilintar langsung memasang tembok pertahanannya "Apalagi aku, mana pernah aku buang-buang waktu untuk mereka... Bukan berarti aku ngga sayang adik-adikku ya."

Gempa dan Halilintar terdiam. Keduanya saling berpandangan dan mencari jawaban mengenai siapa yang mengajari kedua adik-adiknya sampai saling terbuka begitu. Hanya ada satu nama yang mungkin. "Taufan..."

"Hachi!" Taufan yang sedang bersama Blaze berkeliling pasar tradisional di dekat hotel mereka mendadak bersin. "Feeling-ku koq ngga enak ya Blaze? Seperti ada yang lagi ngomongin aku..."

"Ah perasaanmu saja kak." sahut Blaze yang sedang berjalan kaki bersama kakaknya menyusuri kios-kios tradisional di kota La Paz dimana banyak orang yang berjualan dan membeli ramuan-ramuan dan obat-obatan tradisional.

"Wah Coco Caramell!" Blaze menunjuk ke salah satu makanan yang dijual di sebuah kios.

"Kamu tahu darimana?" Tanya Taufan sembari melihat makanan yang ditunjuk oleh Blaze.

"Ada labelnya tuh. Aku mau beli ah." Tanpa sempat kakaknya bertanya lebih lanjut, Blaze langsung melangkah ke dalam kios itu dan membeli makanan yang diingankannya itu.

Terlihat ada sedikit masalah komunikasi karena Blaze ataupun Taufan tidak ada yang bisa bahasa lokal. Bahasa Inggris mereka dan penjual makanan itu juga tidak terlalu lancar. Namun akhirnya mereka berhasil membeli Coco Caramell itu.

Melihat hari yang sudah semakin gelap, Blaze dan Taufan memutuskan untuk kembali ke hotel mereka.

"Hey Hali, Gem." tegur Taufan sembari tersenyum ketika melihat kakak dan adiknya kembarnya tengah berdiri di depan pintu hotel.

Baru saja Taufan akan melangkah masuk ke dalam hotel ketika ia dihentikan oleh Gempa. "Blaze, kamu duluan ya, aku dan Kak Hali mau bicara dengan Kak Taufan." ujar Gempa yang mempersilahkan Blaze untuk masuk namun langsung merangkul dan menarik Taufan menjauh dari pintu hotel.

"Hey, hey, ada apa nih?" Taufan menengok ke arah Gempa dan Halilintar yang bermuka serius, sangat serius.

"Fan... Kamu ajari apa Thorn itu?" tanya Halilintar dengan nada mengancam.

"Uh... Ngga aku ajarin apa-apa koq," jawab Taufan yang terlihat kebingungan. "Memang ada apa?"

"Tahukah kamu kalau Thorn dan Solar mandi di kamar hotel kita yang tembok kamar mandinya itu kaca tembus pandang?" Gempa melirik tajam kepada Taufan yang terlihat semakin kebingungan.

"Lalu masalahnya dimana, Gem?" Tanya Taufan dengan polosnya. "Kita waktu seumuran mereka juga begitu... Ingat kan waktu dulu kita mandi di sungai bertiga?"

Halilintar langsung menimpali. "Iya, aku masih ingat, tapi-"

"Tapi apa? apa karena saling melihat terus mereka jadi berbuat aneh-aneh?" tanya Taufan yang memotong pembicaraan kakaknya yang paling tua. "Sudah biasa kan kalau kakak-adik saling melihat milik masing-masing... Ngga usah paranoid begitu Gem, Hali." sambungnya sebelum meninggalkan kedua saudaranya itu dan masuk ke dalam hotel.

Jawaban dan retorik Taufan membuat Gempa dan Halilintar terdiam dan kembali saling berpandangan. "Apa kita baru saja kalah adu argumen dengan Taufan?" tanya Halilintar yang masih sepenuhnya paham dengan apa yang baru saja terjadi.

"Ya, Taufan mengalahkan kita..." Gempa menghela napasnya dan ikutan berjalan masuk ke dalam hotel...

Dan disambut pemandangan yang sangat tidak biasa. Adiknya, Ice nampak sedang dikelilingi oleh saudara-saudaranya yang lain dan terlihat sangat gembira.

"Wah! Iya, enak banget, rasanya persis seperti Chocolate Special kedai kita tapi berbentuk makanan, tapi agak aneh rasanya, sedikit pahit. Kak Blaze sama Kak Taufan beli dimana? Berapa harganya? Apa nama tokonya? Nanti aku cari lagi deh. Eh itu Kak Gempa sama Kak Hali datang. Ayo sini kak, kita lagi ngobrol-ngobrol nih. Kapan lagi kita pada kumpul bersama begini, ada Kak Fang juga..." Tanpa jeda dan nyaris tanpa berhenti, Ice yang biasanya pendiam kini mengoceh terus menerus.

"Wah gawat." Blaze yang memberikan Ice beberapa potong Coco Caramell meneguk ludahnya ketika melihat reaksi adiknya.

"Ice kenapa tuh?" tanya Gempa keheranan melihat perubahan Ice yang begitu drastis.

"Coba sini kulihat makanan itu." Solar mengambil sebungkus Coco Caramell yang masih tersisa. Dengan seksama diamati pembungkus dan labelnya yang home made. "Tadi Kak Blaze bilang apa namanya makanan ini?" Tanya Solar.

"Coco Caramell." jawab Blaze yang semakin kebingungan.

"Kak..." Solar menghela napas panjang. "Ini huruf a, bukan huruf o... Yang Kak Blaze kasih ke Ice itu bukan Coco Caramell... Tapi Coca Caramell."

"Coca?"

"Ya, Coca... Cocain..."

.

.

.

Bersambung.

Terimakasih untuk yang sudah review, vote, fave atau comment. Nantikan kelanjutan ceritanya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top