5. Etape Pertama

Kita kembali kepada ketujuh kembar BoBoiBoy bersaudara dan teman baik mereka, Fang. Sejauh ini mereka berhasil mencapai titik awal keberangkatan mereka dan menurunkan ketiga mobil yang akan mereka pakai berpetualang melalui hutan belantara Bolivia menuju tepi Samudera Pasifik sebagai bagian dari acara napak tilas sebuah program televisi swasta internasional. Kondisi mereka saat ini masih baik-baik saja. Kecuali penampilan mereka yang acak-acakan, kotor, dan kacau, percayalah bahwa mereka baik-baik saja.

"Siapa bilang kondisi kita baik-baik saja?!" ketus Blaze yang hanya bercelana pendek saja. Ia sedang mencoba membersihkan sisa-sisa lumpur dari kaus armless dan hoodie armless merah-hitamnya dengan membasuhnya di air sungai yang keruh. Memang tidak bertambah bersih, tapi minimal lumpurnya tidak lagi menempel

"Sudahlah, Kak Blaze... Bisa jadi lebih parah daripada ini." ujar Solar yang juga sedang mencoba membersihkan sisa-sisa lumpur dari celana panjang dan baju serba putihnya dengan cara yang sama dengan Blaze.

"Pede sekali kamu, Solar." gumam Fang yang memperhatikan Solar yang hanya bercelana dalam, satu-satunya artikel pakaian yang berwarna hitam di tubuh Solar.

Dan beberapa meter dari posisi Solar dan Blaze...

"Fang, berhenti memandangi Solar seperti itu." desis Halilintar yang berada di sebelah Fang.

"Hey, memang kenapa?" Raut muka Fang jelas menunjukkan keheranan.

"Setelah mendengar komentarmu mengenai kondom, aku ngga percaya lagi denganmu!" ketus Halilintar dengan tatapan mata yang semakun tajam.

"Hey, aku bukan pedofil ya!" balas Fang yang tidak kalah ketusnya dengan Halilintar.

"Sudah-sudah!" sahut Gempa yang menengahi kedua sahabat yang mulai beradu mulut itu Beradu mulut dalam arti kiasan, bukan harafiah. "Kita seharusnya sudah jauh dari titik keberangkatan. Hampir seharian kita disini tapi baru sepuluh meter lebih sedikit kita bergerak!"

"Ya, aku setuju dengan Gempa." ujar Fang, menghindari adu mulut lebih lanjut dengan Halilintar.

"Nah, aku sudah rancang siapa yang naik mobil mana." Gempa berhenti sejenak dan melihat semua adik-adiknya yang sudah menunggu di depan ketiga mobil yang akan membawa mereka. "Fang, kamu denganku dan Ice. Hali, kamu dengan Solar. Blaze, kamu dengan Taufan dan Thorn".

"Setuju!" sambut Taufan dengan semangat, sementara Halilintar terlihat mengerenyitkan dahi, berpikir apakah membuat Trio Troublemaker itu semobil adalah ide yang bagus atau buruk.

"Oke, aku setuju." Fang menganggukkan kepalanya. "Biar mobilku yang paling kuat di depan. Blaze di belakangku ya. Halilintar di belakang Blaze."

Blaze baru saja memeras baju dan hoodie armlessnya dan membiarkan pakaian itu mengering supaya sedikit lebih nyaman untuk dipakai nanti."Ya sudah, aku mengikuti Kak Fang saja." ujarnya sebelum masuk ke dalam Mitsubishi Pajero bersama Taufan dan Thorn.

"Yes, Trio Troublemaker semobil!" pekik Blaze girang ketika Taufan dan Thorn sudah naik dan menutup pintu mobil Pajero yang ditumpangi mereka.

"Blaze," Taufan menatap adiknya yang dipercaya mengemudi mobil dengan sebuah senyuman. "Ini akan menjadi perjalanan yang menyenangkan!"

"Ayo, Solar... Kamu jadi guide-ku". Tanpa membuang waktu, Halilintar langsung naik ke dalam Toyota Fortunernya sembari memberi isyarat bagi Solar untuk ikut dengannya. "Kamu jadi navigator-ku." titah sang kakak tertua.

"Sebentar." Solar langsung memeras celana panjang dan baju yang baru selesai dibasuhnya sebelum mengenakannya. Sembari menggaruk-garuk badannya yang langsung terasa gatal, si adik terkecil kini mengambil posisi duduk di sebelah Halilintar.

Dan ketiga mobil itu memulai perjalanan petualangan ketujuh kembar bersaudara beserta seorang teman mereka. Ford Everest yang dikemudian Fang memimpin konvoi menembus hutan belantara. Dengan anggun dan perkasa, mobil itu membelah semak belukar dan pepohonan yang menghalangi perjalanan mereka. Tidak ada yang mampu menghalangi ketiga mobil berisikan para petualang muda itu kecuali...

-KREEEEK!-

"AH"! Suapa apa itu!?' pekik Gempa yang terkejut mendengar suara sesuatu yang terpatah dari bagian depan mobil yang ditumpanginya.

"Tenang, mungkin kita melewati batu besar." ujar Fang dengan nada yakin dan semakin dalam menginjak pedal gasnya. Suara benturan itu menjadi semakin keras sebelum..

-BLETAK!"-

Bahkan Ice yang tertidur di bangku belakang tersentak bangun mendengar bunyi keras seperti ledakan dari bagian depan mobil yang ia tumpangi.

"A-apa itu?" tanya Ice yang sudah bangun dan langsung terlihat segar. "Kita menabrak apa?"

"Entah," jawab Fang sembari menghentikan mobilnya dan menarik tuas pengunci kap mesin. "Coba kulihat mesinnya." Lanjutnya sebelum membuka pintu dan turun dari mobil yang dikemudikannya.

"Waduh..." gumam Fang ketika ia membuka kap mesin dan memeriksa apa yang terjadi dengan mobilnya.

"Kenapa mobilmu?" tanya Halilintar yang ikutan turun dan menghampiri Fang.

"Lihat sendiri." Fang menarik napas panjang dan menunjuk pada ruang mesin mobilnya.

Sebatang kayu terlihat mencuat dari bagian depan ruang mesin.

"Siap-siap ngga pakai AC sepanjang jalan, Fang... Itu kipas AC mobilmu yang patah." jelas Halilintar yang melihat kedalam ruang mesin Ford Everest Fang.

Dan Fang pun langsung memberitakan kabar buruk itu kepada Gempa.

"Duuuh." Keluh Gempa dengan lesu. "Mana di hutan ini panas banget, lembab pula." Dengan berat hati Gempa melepaskan jaket hitam-kuning kesayangannya. Bersyukur ia masih mengenakan baju armless berwarna merah dibalik jaket itu.

Tidak seperti Ice yang mulai merutuki nasibnya karena memakai sweater hoodie berlengan panjang. Ia masih enggan bertelanjang dada apalagi masih teringat komentar Fang mengenai kondom. Hilang sudah harapannya untuk tidur di sepanjang perjalanan.

Membuka jendela pun tidak menolong karena hawa di hutan yang lembab. Tidak perlu waktu lama bagi aroma di dalam mobil yang dikemudikan Fang menjadi aduk-adukan antara bau keringat, bau badan, bau apek, dan bau hawa lembab.

Belum lagi rombongan delapan pemuda itu terpaksa berhenti lagi karena belantara lebat kembali menghadang. Tidak ada jalan lain kecuali membuka jalan. Tugas itu deiserahkan kepada mereka yang tidak mengemudi.

"Aku... Menyesal... Ikut!" teriak Taufan melepas frustasi sembari menebas dahan pepohonan, semak dan ranting untuk membuka jalan sekaligus melampiaskan kekesalannya.

"Ayo semangat Kak Taufan!" pekik Blaze dari dalam mobil yang dikemudikannya.

"Turun, Blaze! Bantuin sini!" ketus sang kakak yang sudah bermandi keringat. Biarpun keringat bercucuran, Taufan masih bersikeras bertahan mengenakan jaket trendy berwarna biru-kuning kesayangannya.

"Aku kan nyetir, kak." sahut Blaze sambil terkekeh diterpa semburan AC yang nyaman.

"Bukannya ngga mau bantuin, kak," Solar ikutan berujar. "Aku ngga didesain untuk kerja kasar begitu."

-Syuuut-

Golok dilempar...

-Thwack!-

Dan menancap pada pintu Fortuner dimana Solar berada.

"TURUN KAU SOLAR!" Habislah sudah kesabaran Taufan yang biasanya super tebal. Kelelahan, hawa panas tanpa angin, cuaca lembab yang membuat seluruh badannya bermandi keringat berbau sangat tidak sedap akhinya menggerogoti kesabarannya itu.

"TAUFAN!" teriak Halilintar yang melihat mobil yang dikemudikannya dilempari golok oleh Taufan. "Awas mobilnya rusak! Kalau yang kena Solar sih bodo amat! Tinggal diplester." Ketika harga mobil menjadi lebih berharga daripada seorang Solar.

"Huaa!" teriak Solar yang terkejut mendapati sebilah golok menembus pintunya dan nyaris mengenai kakinya.

Taufan yang berdiri beberapa meter disamping Toyota Fortuner yang dikemudikan Halilintar terlihat berwajah masam. Tangan kanannya masih mengarah kepada Toyota Fortuner malang yang dilempari golok olehnya.

"Uh... Thorn, mendingan kamu bantuin Kak Taufan deh... Daripada dia mengamuk." celeletuk Blaze yang melihat Taufan mengamuk sambil mencolek-colek adik kembarnya itu.

"Ya deh." keluh Thorn dengan nada terpaksa. Ia langsung turun dari Mitsubishi Pajero yang ditumpanginya dan menghampiri Toyota Fortuner yang berada di belakangnya.

"Kak Hali, pinjam goloknya, aku mau bantuin Kak Taufan." ucap Thorn menawarkan diri.

Halilintar sempat ragu-ragu ketika adiknya yang bernetra hijau tua itu berniat meminjam golok. Tapi, daripada dirinya sendiri yang harus lelah membuka jalan, diserahkannya sebilah golok kepada Thorn. "Hati-hati, jangan kena tangan." Halilintar memperingatkan adiknya.

"Oke kak." jawab Thorn sambil tersenyum manis dan berbalik badan. "Hiat, hiat, hiat." Diayun-ayunkan golok itu seperti tokoh di film silat milik Fang yang pernah ditontonnya. Baru kali ini Thorn memegang sebilah golok sejak ia dilahirkan.

-Greeet-

Tanpa sengaja golok yang diayunkan Thorn mengenai fender depan Toyota Fortuner itu dan membuat sobekan pada fender mobil itu. Kena tangan sih tidak, hanya kena mobil saja.

"Hiaa!" pekik Thorn yang panik ketika menyadari perbuatannya. Sebelum kakaknya sempat mengamuk, si adik langsung kabur menyusul Taufan.

Halilintar yang melihat itu hanya bisa menepuk dahi saja dan mengeluh. Yah, memang adiknya yang satu itu agak hopeless meskipun niatnya baik.

Kali ini Ice yang terkenal tukang tidur pun dengan senang hati ikut membantu membuka jalan. Memang harus senang hati karena diancam Gempa akan ditinggal di tengah hutan.

Bukan berarti masalah sudah selesai...

Lintasan yang dibuka Taufan tidak diikuti oleh Ice. Terlihat lintasan yang dibuka Ice tidak sejajar, malah menyimpang menjauh.

Thorn sendiri baru berhasil membuka lintasan sedikit saja, itupun terlihat sukar dilewati mobil.

"Astaga kalian ini." keluh Fang yang melihat hasil karya temannya dan adik-adik temannya itu. "Ice, jangan jauh-jauh dari Taufan. Thorn, kamu terbalik megang goloknya!"

Terpaksalah Fang dan Halilintar turun tangan mengarahkan dan membantu Taufan, Ice dan Thorn untuk membuka jalan bagi ketiga mobil mereka. Dengan empat orang yang bekerja bersama, sebuah jalanan kecil dengan cepat terbentuk dari hasil membabat hutan belantara.

"Aduh." Thorn meringis kesakitan sekembalinya ia dan Taufan ke dalam mobil yang dikemudikan Blaze. "Tangan Thorn perih semua."

"Coba kulihat," Taufan langsung mengamit dan memeriksa tangan adiknya. "Ngga apa-apa sih. Mungkin karena kamu ngga biasa kerja yang begituan."

"Nanti juga sembuh, Thorn. Itu karena tanganmu bergesek dengan gagang golok yang kamu pegang." Blaze menambah penjelasan Taufan.

"Koq tangan Kak Taufan ngga?" tanya Thorn sembari mengibas-ngibaskan tangannya yang terasa perih.

"Beda lah, Thorn. Tanganku biasa lecet-lecet, jadinya ngga terlalu terasa kalau dipakai untuk seperti tadi."

Perjalanan berlanjut semakin dalam menembus hutan yang tidak menunjukkan tanda-tanda akan mengalah. Dengan berganti-gantian dalam kelompok berempat, petualang muda kita membuka jalan semeter demi semeter hingga mereka mencapai sebuah sungai lagi yang airnya sedikit lebih jernih, lebih dangkal, dan berbatu.

Fang yang memandu konvoi menghentikan kendaraanya di tepi sungai kecil itu.

"Huaaa, Air! Akhirnya!" pekik Gempa dengan gembira begitu melihat aliran air sungai yang agak bening itu. Tanpa menunda lagi, ia langsung turun dari mobil dan menyingkapkan bajunya. "Ahh, nikmatnyaaa." gumam Gempa yang membasuh badannya yang sudah terasa sangat lengket oleh keringat.

Tidak hanya Gempa. Ice dan Fang pun menyusul berbuat yang sama. Ketiga penghuni mobil yang AC nya rusak itu memang sudah banjir keringat dan tidak usah ditanya seperti apa bau di dalam mobil mereka.

Disusul oleh Solar yang badannya gatal-gatal karena memakai baju yang dibasuh air sungai di awal perjalanan. Baju dan celananya kini dicuci ulang dengan harapan gatalnya berkurang.

Taufan pun ikutan mencebur dan membasuh diri karena aroma tubuhnya sudah tidak karuan lagi akibat membabati hutan dan membuka jalan.

Blaze, Halilintar, dan Thorn yang keadaan AC mobilnya masih baik hanya duduk di tepian sungai untuk sekadar membasuh kaki.

Setelah beristirahat sejenak, mereka melanjutkan untuk menyeberangi sungai. Kali ini Halilintar dengan Fortunernya yang maju duluan. Perlahan-lahan mobilnya menjejakkan bannya kedalam sungai berbatu. Solar mengeluarkan kepalanya dari jendela untuk memantau kedalaman sungai

Mengandalkan otaknya dan pengalaman Solar yang kegiatan semasa luangnya menonton Youtube. Solar berubah menjadi ahli survival dadakan.

Tapi ya namanya ahli dadakan, tentu pengalamannya minim...

"SOLAR!" teriak Halilintar ketika mobilnya malah menuju daerah sungai yang dalam

"Hiah! Kak Hali!" jerit Solar panik ketika air mulai masuk ke dalam kabin. "Matilah kita!... Kita tenggelam!" ujarnya panik dan berjongkok di atas bangku. Bukan hanya karena air, Solar juga menjerit-jerit ketika kecoa-kecoa kecil bermunculan dari bawah jok yang terendam air

Melihat navigatornya yang inkompeten. Halilintar menginjak pedal gas dalam-dalam. "Nekat sajalah!" ujar Halilintar.

"KAKAAAAK!" jerit Solar yang ketakutan melihat aksi stunt Halilintar menerobos sungai. Beruntunglah karena aksi nekat kakaknya itu berhasil

Kini giliran Blaze. Pajeronya menerobos sungai perlahan-lahan, mengikuti jejak Fotuner Halilintar.

Blaze mengemudikan Pajero itu dengan hati hati. Namun bebatuan di dasar sungai sudah bergerak, tidak lagi sama dengan ketika dilewati Halilintar.

"Alamak! Blaze!" teriak Taufan ketika kap mesin moil itu menghilang diliputi seakan ditelan oleh air sungai.

Thorn lah yang paling panik ketika hampir setengah badan mobil itu terendam. "Tolong! Thorn ngga mau tenggelam!" jerit Thorn yang berusaha menaiki senderan jok mobil Pajero itu. Hasilnya malah ia terjatuh kepala duluan dengan tidak elitnya ke atas jok mobil yang sudah terendam sebagian.

Fang yang berada di urutan belakang berusaha membantu dengan menabrak Pajero yang dikemudikan Blaze.

"Hoi! Kak Fang!" teriak Blaze yang kaget karena baru saja dibantu dengan cara ditabrak oleh Fang.

"Aku cuma membantu!" sahut Fang dari jendela mobilnya sebelum kembali menabrakkan mobilnya.

Fang memang membantu...

Membantu menjerumuskan ke titik sungai yang ternyata lebih dalam. Ditambah lagi mesin mobil Pajero itu mulai mberebet gasnya dan seperti akan tewas.

Fang melihat apa yang terjadi dengan usaha bantuannya dan mencoba memutari Pajero yang dikemudikan Blaze...

Yang ternyata malah membuat Ford Everestnya terperosok ke sungai lebih dalam lagi.

"Faaang!" teriak Gempa yang panik dan takut tenggelam.

Ice yang sama paniknya berusaha memanjat naik ke pangkuan Gempa. "Kak Gem... Tolong."

"Ice! Turun!" ketus Gempa yang berusaha untuk melempar Ice ke jok belakang.

Blaze membuka jendela ketika mobilnya persis bersebelahan dengan mobil Fang. "Sukurin!" teriaknya dari dalam mobil yang kesal karena ditabrak tadi oleh Fang.

Untunglah Blaze berhasil menghidupkan mesin mobilnya kembali danmenemukan titik penyeberangan yang lebih mudah dilalui. Meskipun kini seisi mobil jadi basah kuyup. Dalam hati Blaze masih bersyukur karena ia masih belum memakai baju, hanya celana pendek tanggungnya saja sehingga dia tidak usah membersihkan baju lagi.

Ford Everest yang hampir saja teseret arus. untungnya masih bisa diselamatkan oleh Halilintar yang menderek Ford itu dengan tali tambang yang mereka temukan di kapal tongkang sewaktu menarik Ford itu dari atas tongkang

Hari mulai gelap ketika mereka semua meneruskan perjalanan. Hutan belantara itu semakin mencekam ketika malam tiba. Sampai akhirnya merka menemukan sebuah lagi pecahan anak sungai yang airnya jernih.

Karena sudah lelah, mereka semua memutuskan untuk beristirahat. Sebuah api unggun berhasil dibuat dan dinyalakan oleh Fang dan Blaze. Kelima petualang kita itu nampak mengelilingi api unggun, kecuali Gempa yang sedang memasak berbungkus-bungkus mie instan yang disediakan sebagai perbekalan.

Sementara Thorn secara sukarela membuatkan beberapa teko teh untuk semuanya.

"Seru juga ya kita berpetualang begini" gumam Taufan sembari menatap lidah api unggun yang menari-nari.

"Yah seperti masa-masa kita Pramuka" ucap Gempa setelah menyeruput teh buatan Thorn. "Tumben teh buatan kamu ngga terlalu manis?"

"Gulanya ngga ada lagi." jawab Thorn yang terlihat agak kecewa.

"Gelap-gelap dihutan begini aku jadi ingat waktu kita terkunci di sekolah ya, Taufan," ujar Fang yang menyeruput teh buatan Thorn.

"Ooh, yang waktu itu, ya aku ingat. Kita berdua terkunci di sekolah." Taufan menimpali Fang sembari mengedipkan mata.

"Lho kapan?" tanya Gempa keheranan.

"Dulu itu yang kubilang menginap di rumah Fang membuat tugas." Taufan menjelaskan

"Ngga sangka ketemu si Halimun." tambah Fang.

"Halimun?"

"Ya Halimun..." Taufan menarik napas panjang. "Waktu itu aku dan Fang mencoba melompati pagar belakang sekolah yang penuh pohon-pohon besar. Mirip dengan hutan ini."

"Padahal disitu ngga ada binatang, tapi dahan pohonnya goyang-goyang sendiri... Persis seperti pohon itu... Ngga ada angin tapi goyang sendiri" Fang menunjuk pada sebuah dahan pohon di atas mereka yang bergoyang

"Coba deh kalian lihat ke atas..." ujar Taufan sembari menunjuk ke atas... Kalau kalian perhatikan pasti ada benda putih yang berayun-ayun di pohon.."

Semuanya meneguk ludah kecuali Fang dan Taufan.

"Ngga semua orang bisa melihat. Tapi kalau melihat si Halimun itu, biasanya akan didatengi!"

"Omong kosong," ketus Halilintar dengan tegas. Namun sekali-kali matanya melirik keatas. "Mana ada yang begituan!" Beruntunglah hari sudah malam dan tidak ada yang memperhatikan Halilintar yang bergidik karena cerita adiknya itu.

Solar hanya memutar bola matanya. "Kalau mau cerita horror nih begini," Ia berdehem dan menarik napas. "Konon di hutan ini ada pembunuh tak kenal ampun...Hampir tak ada korban yang selamat. Kalaupun selamat, biasanya jadi cacat."

Semua perhatian tertuju pada Solar dan ceritanya yang sangat meyakinkan. Terlebih Thorn yang nampak menggigiti kukunya sendiri.

"Semua korbannya tidak sempat melihat siapa yang menyerang mereka. Yang selamat hanya melihat mahluk itu berdiri di hadapan mereka dengan empat pasang tangannya yang besar." lanjut Solar yang dengan dramatis menggigil yang dibuat-buat

"Wah, aku tahu nih setan monster ini," ujar Ice menyambung cerita Solar. "Setan ini tidak mengenal kasihan...Tidak ada yang tahu alasannya menyerang orang."

Cerita Solar dan Ice yang begitu dramatisnya nampak membuat semua yang mendengar kedua adik kembar bercerita jadi meneguk ludah dan duduk lebih rapat satu sama lain.

"Korbannya yang selamat biasanya kehilangan anggota tubuh sebagai tumbalnya...Dan... Aku bisa merasakan kalau ia ada disini." Solar menyambung ceritanya.

"So-solar, sudah.. Ngga ada yang percaya cerita monstermu itu!" ketus Halilintar sembari memasang wajah tegas. Sayang sekali tidak ada yang memperhatikan kedua mata Halilintar yang melirik kekanan dan kekiri seakan-akan bersiap kalau ada yang akan menyergapnya dari belakang.

"Nah, itu dibelakang Kak Gempa ada satu."

Gempa memucat, yang untungnya tidak terlihat di kegelapan malam itu. Perlahan-lahan sang kakak menengok ke belakang dan menemukan seekor laba-laba yang berukuran cukup besar yang sudah berdiri dan memamerkan taring hitamnya yang hampir sepanjang kuku jempol. Belum lagi laba-laba seukuran telapak tangan itu mendesis dan menyentak-nyentakan taringnya yang tajam.

"HUAA! LABA-LABA!" Otomatis Gempa langsung berteriak dan meloncat ke atas pangkuan orang yang berada disebelahnya."Baygon mana Baygon! Sendal, mana sendal!"

"HOI! GEMPA, TURUN!" teriak Halilintar ketika sadar bahwa Gempa sudah di atas pangkuannya dan memeluknya erat-erat. "Gempa! Turun! Badanmu bau apek!" Sekuat Tenaga Halilintar berusaha untuk mendorong Gempa yang semakin erat memeluknya.

"Itu belum seberapa koq," kali ini Ice yang bercerita. "Bothrops..."

"Apa lagi itu?" Thorn bertanya dan meneguk ludahnya.

"Ah... Itu ular, Thorn... Warnanya hitam, berbisa. Gigitannya bisa membuat daging di sekitar luka gigitan... Membusuk, harus diamputasi... Itu juga kalau ngga bisanya menghancurkan ginjalmu. Kalau kena gigit sih umurmu tinggal empat hari deh.".

Thorn langsung menggeser dirinya merapat pada Blaze, yang langsung memeluk Thorn. "Sudah, dong, jangan cerita yang seram begitu!" ketus Blaze yang terlihat sama takutnya dengan Thorn.

"Ice, kamu terlalu banyak nonton Youtube bareng Solar, besok-besok cari tontonan lain deh." gumam Gempa yang masih berada diatas pangkuan Halilintar.

"Gempa, turun atau kau mau kubanting?" desis Halilintar.

"Bantinglah dan aku ngga akan masak buatmu!" balas Gempa yang membuat Halilintar langsung tutup mulut.

"Oh ya, kalau melihat ada lalat, segera usir. Kemungkinan itu Botfly," tambah Solar. "Lalat itu bertelur di bawah kulit kita... Nanti larvanya bersarang di daging badan kita."

"Hentikan cerita konyolmu itu, Solar... Atau..." Blaze sudah berdiri dan mengancam Solar dengan sebilah golok yang ditempelkan pada leher si adik.

Kali ini Solar yang meneguk ludah ketakutan. "Ah, iya, iya, aku ngga cerita lagi!"

Dan malam itu ketka kedelpan petualang kita berkemah, tidak ada satupun dari mereka yang tertidur dengan damai, kecuali Fang yang tidur sendirian.

Thorn yang ketakutan tidak henti-hentinya memeluk Solar yang mulai sesak napas.

Taufan yang terbangun-bangun karena Blaze yang tidurnya tidak bisa diam dan sudah kesekian kalinya menendang Taufan tanpa disadarinya.

Ice tidak bisa tidur karena Gempa yang sebentar-sebentar terbangun karena mendengar suara serangga yang mendenging di luar tenda, atau ketika kakinya terasa dirambati sesuatu.

"HIIAA! KELABANG!" jerit Halilintar yang tidur di dalam mobil dengan kaca yang dibuka karena panas. "TOLONG! ULAR!" jeritnya lagi ketika ia merasakan sesuatu menyenggol kakinya.

"AAH! LABA-LABA!... APA ITU?! KECOA?!" Demikianlah jeritan demi jeritan Halilintar terdengar sampai pagi

.

.

.

Bersambung
Terimakasih untuk yang sudah review, vote, fave atau comment. Nantikan kelanjutan ceritanya.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top