12. FINISH!

Jalanan aspal yang tanpa putus sejak ketiga mobil itu meninggalkan Bolivia mulai terlihat banyak yang berbatu, rusak dan bahkan bolong-bolong. Pertanda rute yang mereka lalui kembali menjauh dari peradaban manusia.

Altiplano, begitulah nama daerah yang sedang mereka lalui dalam bahasa setempat yang artinya padang tinggi. Memang daerah itu terletak di ketinggian kaki pegunungan Andes. Sebuah daerah yang kering hampir tidak pernah hujan, dingin dan tanpa ada mahluk hidup satupun yang terlihat.

Dengan seksama Fang memperhatikan angka ketinggian yang bertahap meningkat pada GPS Receiver yang terpasang di dashboard mobilnya.

"Enam ribu kaki dan kita masih terus mendaki." Kembali Fang memantau GPS receiver itu sembari mengemudi.

"Berapa meter itu Kak Fang?" tanya Ice yang kini duduk di belakang Fang.

"Kurang lebih sekitar seribu delapan ratus meter," jawab Fang. "Kira-kira sama dengan tinggi Gunung Titiwangsa di Malaysia."

"Wow... Tinggi juga ya." ucap Gempa yang duduk di sebelah Fang. Kedua matanya menatap GPS Receiver yang angkanya meningkat terus. "Sampai ketinggian berapa nih?"

"Entah. Semoga ngga lebih dari delapan ribu kaki."

"Memang kenapa kalau lebih dari delapan ribu kaki?" tanya Ice yang masih tidak mengerti akan bahaya yang menghadang.

"Yah, itu batas ketinggian yang aman bagi manusia, Ice. Kalau kau naik pesawat yang ketinggiannya mencapai puluhan ribu kaki, maka udara di dalam kabin itu dibuat supaya sama dengan delapan ribu kaki." Gempa memberi penjelasan kepada adiknya itu. Untungnya nilai pelajaran fisika dan biologi Gempa masih lumayan bagus dan cukup untuk memberi penjelasan kepada adiknya.

"Kalau lebih bagaimana, kak?"

"Kau akan mulai merasa sakit kepala, pusing, napasmu menjadi sesak." Tanpa maksud menakuti, Gempa menambahkan "Pembuluh darah di paru-parumu dan otakmu akan membesar sampai bisa jadi... Pecah."

"Kalau begitu aku tidur saja deh... Bangunkan aku kalau sudah sampai." Tidak mau berpikir lebih lanjut yang tidak mengenakkan, Ice langsung merebahkan badannya di sepanjang jok bagian tengah Ford Everest yang ditumpanginya.

Suhu udara menurun seiring dengan tingginya jalan pendakian ketiga mobil yang ditumpangi kedelapan petualang muda itu. Jalanan yang tidak diaspal dan berbatu-batu itu sama sekali tidak menunjukkan tanda akan menurun, sebaliknya, jalanan itu terus saja mendaki.

"Ugh... Kepalaku pusing, Fang..." keluh Gempa yang napasnya mulai tersengal-sengal. Bahkan untuk bernapas saja butuh tenaga ekstra karena rendahnya kadar oksigen di ketinggian seperti itu. "Enam belas ribu kaki..." gumamnya ketika membaca angka pada GPS Receiver itu.

Hanya Ice yang nampaknya tidak terlalu terpengaruh dengan rendahnya kadar oksigen pada ketinggian seperti itu. Malah tidurnya terlihat lebih nyaman, meskipun tidurnya Ice itu membuat Gempa khawatir.

"Ya... Aku merasa mual... Kita berhenti dulu." Berulang kali Fang menutup mulutnya karena merasa isi perutnya akan keluar sewaktu-waktu.

Solar langsung membuka pintu ketika Halilintar menghentikan mobilnya. Seluruh isi perutnya yang terasa mual langsung dikeluarkannya. "Habislah kita..." gumamnya ketika seluruh isi perutnya itu tumpah keluar. Belum lagi wajahnya yang membengkak dan memucat karena efek dari ketinggian.

Bahkan Halilintar dan Blaze yang paling atletik dan boleh dibilang paling paling baik kondisi fisiknya diantara semuanya tidak bisa menahan efek dari kekurangan oksigen di ketinggian seperti itu.

Halilintar sendiri langsung jatuh berlutut ketika turun dari Toyota Fortuner yang dikemudikannya. "Na... Napasku sesak." desahnya di antara tarikan-tarikan napasnya yang berat. Kedua kakinya terasa sangat lemah, hampir tidak mampu menopang berat badannya sendiri.

Blaze bahkan menolak untuk turun dari mobil. Ia hanya terkulai lemas dibelakang kemudi Mitsubishi Pajeronya. "Kak Fang, Ki... Kita masih... Mau Terus?"

Taufan yang biasanya aktif pun nampak hanya duduk terkulai diatas jok yang sudah direbahkan. "Putar balik... Aku mual sekali" Pintanya dengan mukanya yang terlihat membengkak.

Thorn terlihat hanya tiduran saja di jok barisan tengah Mitsubishi Pajero itu. Hanya kedua matanya yang membuka tutup dan dadanya yang naik-turun yang menunjukkan kalau ia masih hidup.

Sejauh ini, mereka belum mencapai puncak pegunungan Andes di bagian negara Chile itu. Jalanan yang mereka harus lalui terlihat masih menanjak, namun sekarang sudah terlihat bagian dari jalanan yang kemungkinan adalah titik tertinggi dari rute mereka.

"Tanggung... Blaze... Sedikit lagi kita... Sampai puncaknya... Habis itu menurun." jawab Fang dengan napas yang sudah sangat berat.

Halilintar yang mendengar perkataan Fang pun mengangguk. "Ya... Tanggung sekali... Kalau kita harus... Putar balik."

"Aku... Mengikut... Saja." jawab Blaze yang berharap secepatnya melewati pegunungan Andes itu.

Setelah dicapai kata sepakat, perjalanan mereka berlanjut. Bahkan mesin ketiga mobil itu sudah sangat kekurangan tenaga karena rendahnya kadar oksigen pada ketinggian seperti itu.

Mendadak jalanan yang sedang mereka lalui itu mendatar sejenak sebelum akhirnya menurun.

"Akhirnya!" pekik Fang yang langsung memacu mobil yang dikemudikannya itu menuruni jalanan berbatu dan lumayan terjal itu. Keselamatan dan kenyamanan berkendara dilupakan untuk sementara. Prioritasnya sekarang ini adalah menuruni pegunungan Andes itu secepat mungkin untuk mencari udara yang bisa digunakan untuk bernapas.

"FAAAANG!" teriak Gempa yang sudah kesekian kali terbang dari jok yang ia duduki.

"Sori, Gem. Kita harus turun secepatnya!" tukas Fang tanpa memperdulikan Gempa dan Ice yang sudah seperti sepasang dadu monopoli yang sedang dikocok.

Ice sendiri hanya diam saja dan berharap tulang-belulang di tubuhnya tidak ada yang terlepas setelah ini.

Angka penunjuk ketinggian di GPS Receiver yang terpasang pada dashboard mobil Fang itu terlihat berangsur mengecil. "Terus Fang, sedikit lagi!" sahut Gempa yang napasnya berangsur kembali normal ketika angka pada GPS Receiver itu menunjukkan ketinggian sepuluh ribu kaki.

Fang memutuskan untuk berhenti ketika angka pada GPS Receiver itu menunjukkan ketinggian mereka yang berada di enam ribu kaki.

"UDARA!" pekik Blaze yang melompat turun dari mobilnya ketika sudah dihentikannya. Ia menarik napas dalam-dalam, menikmati oksigen yang terasa sangat kental dibandingkan ketika sedang mendaki tadi.

"Baru kali ini aku merasa udara begitu nikmat." gumam Solar yang juga menarik napasnya dalam-dalam.

"Bagaimana kalau kita istirahat dulu?" saran Gempa yang sudah mengeluarkan kompor lapangan dan peralatan memasaknya.

"Ya, aku lapar..." keluh Solar yang seluruh isi perutnya sudah terkuras.

"Memang ada yang bisa dimasak, Gem?" tanya Halilintar yang kali ini secara sukarela membantu Gempa menyiapkan kompor lapangan itu.

"Ada, tadi aku beli bahan makanan waktu di La Paz," jawab Gempa sembari merogoh-rogoh bagasi Ford Everest itu. Beberapa potong daging yang dikeringkan, kentang, dan beberapa jenis sayuran dikeluarkan dari dalam bagasi mobil itu. "Sayang ngga ada beras waktu aku belanja tadi."

"Ah daripada ngga ada makanan... Dagingnya direbus dulu kan?" tanya Halilintar sembari mengambil potongan-potongan daging kering itu yang kemudian dimasukkan ke dalam panci yang sudah berisikan air.

Gempa mengangguk mengiyakan sembari mulai memotong-motong sayuran yang dibelinya. "Taufan, tolong bantu kupas dan potong kentangnya dong."

"Oke." Tanpa protes, Taufan mengeluarkan sebuah pisau lipat kecil dari dalam sakunya dan mulai menguliti beberapa buah kentang yang ukurannya lumayan besar. Kentang-kentang yang sudah dikuliti itu langsung dioper kepada Halilintar yang memotong-motong kentang itu menjadi kecil dan dimasukan ke dalam air rebusan daging kering itu.

Fang nampak tersenyum saja melihat kekompakan ketiga kakak-beradik itu. Jarang-jarang Halilintar, Gempa, Dan Taufan bisa kompak apalagi kalau melihat sifat dasar mereka yang ekstrim berlawanan. Biasanya harus Gempa yang memberikan perintah, namun kali itu ketiganya bekerja sama tanpa perintah.

Perjalanan berlanjut setelah istirahat makan siang dadakan itu. Semangat kedelapan petualang itu kembali menyala ketika Fang memberitahukan bahwa jarak mereka dengan titik tujuan sudah semakin dekat. Menurut perhitungan GPS, jarak tempuh yang tersisa hanyalah beberapa ratus kilometer saja.

"Sebentar lagi kita pulang." Gempa menggumam sementara kedua matanya terpaku pada layar GPS Receiver itu.

"Ya, semoga saja tidak ada rintangan lagi." Sahut Fang sembari menginjak pedal gas mobilnya lebih dalam lagi. Sama seperti Gempa, ia sudah tidak sabar lagi untuk segera mengakhiri petualangan itu yang sangat menguras tenaga dan kesabarannya.

Akhir perjalanan semakin dekat dan jalanan yang mereka lalui semakin lebar. Namun ada sedikit keanehan, angka pengukur ketinggian GPS Receiver pada dashboard mobil yang dikemudikan Fang tidak menunjukkan tanda-tanda mengecil padahal jarak tempuh mereka hanya tersisa puluhan kilometer saja.

"Itu! Titik tujuan kita!" seru Fang ketika dilihatnya sebuah kepulan asap berwarna kemerahan yang semakin besar ketika ia memacu mobilnya mendekati titik tujuan.

"Akhirnya..." Untuk pertama kalinya sejak perjalanan dimulai, Gempa tersenyum lebar.

Sekarang Fang tahu mengapa angka pengukur ketinggian pada GPS Receiver itu tidak berubah, tetap pada angka seribu kaki sementara jarak titik tujuan semakin dekat. Sebuah lereng berpasir curam menghadang di hadapannya. Di dasar lereng itu telah menanti tiga orang dan tiga buah helikopter.

"Uh... Jadi, kita harus menuruni lereng ini?" Blaze meneguk ludahnya ketika ia melihat betapa curamnya lereng yang harus dilewati.

Fang hanya menepuk pundak adik temannya itu. "Yap, aku yakin kamu bisa Blaze," ujarnya yang mencoba menyemangati lawan bicaranya itu. "Anggap saja kamu sedang naik roller coaster."

"Roller coaster sih aman, Kak Fang." ketus Blaze yang samasekali tidak merasa semangat untuk menuruni lereng yang menghadang. "Ini lebih terjal daripada turunan roller coaster!"

"Pasti aman koq, ya kan, Hali?" Fang menengok ke arah Halilintar yang sebisa mungkin memasang wajah tanpa ekspresi. "Jangan bilang kau takut."

"Fang... Untuk pertama kali dan mungkin terakhir kalinya kau akan mendengar aku berkata, aku takut!" Bahkan Halilintar pun tidak yakin akan bisa melewati lereng terjal yang curamnya melebihi turunan roller coaster itu.

Melihat Halilintar yang ragu-ragu, Fang langsung berbisik ke telinga sahabatnya itu. "Dua ratus ribu ringgit, Hali..."

Bisikan Fang itu cukup untuk menjadi motivasi bagi Halilintar yang langsung kembali berada di belakang kemudi Toyota Fortunernya. "Tunggu apalagi!. AYO!"

"Ayo!" Senyuman Fang terkembang dan ia langsung kembali ke dalam Ford Everest yang telah setia menemaninya dalam perjalanan ini.

Tinggal Blaze saja yang masih ragu-ragu. Ia hanya mematung dan melamun saja menatapi lereng curam yang harus dilewati itu. Belum sempat Blaze berbalik badan ketika didengarnya mesin Mitsubishi Pajero yang biasa dikemudikannya tengah dinyalakan.

"AYO!" Taufan kini berada di belakang kemudi Mitsubishi Pajero itu dan tanpa ragu langsung menginjak pedal gas mobil itu.

"TUNGGU AKU!" jerit Blaze ketika mendapati dirinya ditinggal oleh Taufan. Ia langsung buru-buru berlari mengejar mobil yang terdekat.

"Masuk, Blaze!" sahut Halilintar yang menghentikan mobilnya dan mengajak adiknya menaiki Toyota Fortuner itu. "Buruan!"

Tidak punya pilihan lain, Blaze langsung masuk kedalam Toyota Fortuner yang dikemudikan kakak tertuanya. "Ayo, kak!" serunya setelah memasang sabuk pengaman.

Ketiga mobil itu menuruni lereng yang curam itu nyaris tanpa menggunakan rem. Justru dalam keadaan menuruni lereng berpasir, mengerem adalah hal terburuk karena akan membuat roda mobil itu terbenam ke dalam pasir. Jika satu roda saja terbenam dan tersangkut ke dalam pasir itu, maka seluruh mobil akan terguling sampai ke dasar lereng. Samasekali bukan prospek yang menarik.

"Sedikit lagi... Sedikit lagi..." gumam Fang yang melihat kalau lereng itu mulai melandai.

"Ini... Terakhir... Kali... Aku... Liburan... Bersamamu... Fang..." ketus Gempa terlihat sangat tegang dan berpegangan sekuatnya pada sabuk pengaman yang melintang pada badannya.

"Aku juga kapok diajak liburan bersama kalian!" ketus Ice yang juga sama tegangnya dengan kakaknya itu.

Dan akhirnya ketiga mobil itu berhenti di hadapan ketiga pria berketurunan barat yang telah menanti mereka

Seorang dari mereka terlihat berperawakan tinggi, gemuk dengan rambut putihnya yang sudah pitak. Seorang lagi berambut panjang dan pirang. Yang terakhir berperawakan agak pendek dibandingkan kedua rekan-rekannya itu.

"Welcome to your destination." sambut pria yang berambut pirang agak panjang. "My name is James May."

Kemudian James May menunjuk pada kedua rekannya. "This is my colleague Richard Hammond." Ditunjuknya pria yang bertubuh pendek. Terakhir ditujuknya pria yang bertubuh agak gemuk dan berambut putih yang sudah pitak. "And this is Jeremy Clarkson. We are the presenters of BBC's Top Gear."

"Uh.. Siapa nih yang bahasa inggrisnya bagus...?" tanya Halilintar yang kesulitan berkomunikasi dalam bahasa inggris itu.

"Biar aku saja," Fang langsung menemui ketiga pria barat itu. "Uh.. Thank you, Mr. May."

"All of you succeeded in retracing our journey trough Bolivian jungle to the coast of Pacific Ocean. For that, we congratulate you." Pria bertubuh pendek yang diperkenalkan sebagai Richard Hammond itu berujar.

"And as promised, you will be rewarded two hundred thousand Malaysian Ringgit because all of you successfully completed the journey." Lanjut James May yang memberikan sebuah amplop kepada Fang.

Dengan senyuman lebar, Fang menerima amplop yang diberikan oleh pria itu. "Thank you, Mr. May. We appreciate the experience you've provided-"

"Says who?!" Tiba-tiba Solar menyahut dengan ketus dalam bahasa asing yang cukup fasih. "We almost got killed... Lots of times!"

"But you survived, little one. Besides, your journey would make a good TV show." Sahut pria yang berperawakan gemuk. "And look at the bright side, all of you got three new cars!"

"Three new, used cars, you mean?" Tanya Solar dengan sarkastik.

Blaze dan Taufan saling berpandangan mendengar Solar mengoceh dalam bahasa Inggris. "Sejak kapan dia Bahasa Inggrisnya selancar itu?" tanya Taufan sembari melirik ke arah adiknya.

Blaze mengedikkan bahunya "Entah? Memang diantara kita semua, dia kan yang otaknya persis seperti komputer berjalan..."

"You should see the cars we used when we do the adventure... A rusty, twenty years old Toyota Land Cruiser, barely functioning Suzuki Jimny and a century years old Land Rover... So you got an easy start there." Jeremy Clarkson melempar senyuman sinisnya kepada Solar.

"I wouldn't call that EASY..." Ketus Solar.

Mencegah debat lebih lanjut dan sudah lelah dengan petualangan, Fang langsung menengahi, "Anyway... Now that we reached the finish line... Let's go home... We're done for."

Ketujuh bersaudara kembar dan Fang yang telah menyelesaikan petualangan mereka langsung masuk kedalam tiga buah helikopter yang sudah menunggu.

"Wah, pertama kalinya aku naik helikopter nih!" ujar Thorn yang tak henti-hentinya menengok keluar jendela helikopter yang membawanya beserta saudara-saudaranya ke airport terdekat sebelum bertolak kembali ke Malaysia.

Taufan hanya tersenyum saja melihat kelakuan adiknya itu "Aku ngga sabar lagi... Sampai rumah aku mau tidur sepuasnya..."

"Hei, jangan lupa buka kedai!" ketus Gempa. "Liburan boleh, tapi kedai harus tetap buka... Apalagi kedai kita sudah tutup hampir seminggu lebih. Aku harus mengejar pendapatan nih!".

"Astaga, Gem... Ngga ada capeknya kah kamu itu? Badanku saja masih terasa rontok!" protes Taufan yang didaulat untuk buka kedai sesampainya di Malaysia.

Gempa menggelengkan kepalanya dan tersenyum. "Mana pernah bisnis berhenti, Fan?"

"Istirahat dulu lah Gem... Barang sehari."

"Oh, boleh, boleh... Tapi potong gaji ya?" Gempa melempar senyuman termanisnya kepada Taufan yang terlihat menjadi tidak bersemangat untuk pulang kembali.

"Dasar diktator!"

.

Tiga Hari kemudian di kedai Tok Aba-BoBoiBoy Kokotiam...

.

"Ini dua ratus ribu ringgit yang kita menangkan" Fang membuka amplop yang diterimanya sewaktu menyelesaikan perjalanannya bersama ketujuh bersaudara kembar yang menyertainya. "Pertama kita pecah jadi empat... Lima puluh ribu ringgit untukku, Halilintar, Gempa, dan... Blaze"

Taufan langsung terkejut begitu mengetahui jatahnya dialihkan untuk adiknya. "Hah? Blaze?! Janjinya kan dibagi empat antara kamu, Hali, Gempa dan Aku!" protesnya yang enggan kehilangan sebagian uang yang dijanjikan sebagai hadiah.

"Itu sebelum aku tahu kamu SIM-nya nembak, Taufan... Kan jadi Blaze yang pegang Mitsubishi Pajero itu..."

"AAARGH!... Hiks.. Lima puluh ribu ringgit... Hiks... Hilang..." Taufan langsung pundung dibawah pohon terdekat begitu jatah kemenangannya dialihkan untuk adiknya.

"Asiik, Terima kasih Kak Fang." Dengan senang hati Blaze menerima jatah bagian Taufan yang sebesar lima puluh ribu ringgit itu.

Fang tersenyum saja melihat Blaze yang langsung ceria, "Nah, jangan dihabiskan semuanya ya."

"Ngga lah, terlalu banyak juga buatku sendiri... Biar kubagi dengan Thorn dan Kak Taufan... Kasihan kak Taufan, bisa pundung sampai dunia terbalik."

"Yah... Lebih dari cukup untuk memperbaiki mobil baruku." ujar Halilintar yang menerima jatahnya sembari menengok ke arah Toyota Fortuner yang telah menemaninya berpetualang di Bolivia. Nampak Toyota Fortuner yang penyok-penyok dan bekas terbacok golok oleh Thorn itu terparkir di sisi kedai, berjejeran dengan sebuah Mitsubishi Pajero yang juga sedikit penyok-penyok akibat diserempet Halilintar dan sebuah Ford Everest yang relatif utuh.

Sebelum Halilintar terlarut dalam kesenangannya mendapatkan jatah uang hasil perjalanan itu, Solar langsung mencolek sang kakak "Jangan lupakan navigatormu, kak..."

"Navigator apa? Panduanmu nyaris menenggelamkan Fortuner itu!" dengus Halilintar yang keberatan untuk berbagi.

"Yah kak... Sedikit saja... Pliss?" pinta Solar dengan wajah memelas meniru Thorn.

"Ya sudah, karena moodku sedang baik," Halilintar menyisihkan setumpukan uang yang diperolehnya dan diberikannya kepada Solar. "Sepuluh ribu ringgit."

Jumlah itu lumayan cukup untuk membuat Solar kembali berseri-seri."Terima kasih Kak Hali."

Demikian juga Gempa yang memutuskan untuk membagi jatahnya dengan Ice yang senyumnya langsung terkembang lebar menyeberangi telinganya "Yah, lumayan untuk membeli kasur baru... Sudah lama aku ingin waterbed."

"Nah, pembagian jatah sudah beres," Fang menarik napas dalam dan kembali berujar. "Kita ditawari lagi nih, masih minat untuk berpetualang lagi tahun depan?"

"Liburanmu membawa nista, Fang..." -Halilintar.

"Ngga lagi-lagi deh!" -Taufan.

"Mending jaga kedai." -Gempa.

"Ayolah, kenapa ngga? Selagi kita masih muda!" -Blaze

"Thorn kapok!" -Thorn.

"Mendingan tidur..." -Ice.

"Oke, asal ngga sama Kak Hali lagi." -Solar.

.

.

.

Tamat.

Terimakasih untuk yang sudah review, vote, fave atau comment. Nantikan fanfic berikutnya.

Author note:

1 Ringit = Rp 3.400 (kurs 11/11/2019)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top