11. Fast and Furious
Sejauh ini hanya nampak dua buah mobil melaju. Di urutan pertama adalah Ford Everest yang masih dikemudikan Gempa, menggantinkan Fang. Walaupun baru pertama kali, Gempa terlihat agak santai di belakang kemudi. Ia mulai terbiasa dengan sensasi kecepatan yang sempat membuatnya ragu-ragu. Bahkan ia tidak menyadari kalau jarum di speedometer mobil yang dikendarainya telah menyentuh angka 140.
Di belakang Ford Everest itu mengekor sebuah Toyota Fortuner. Dari raungan mesin turbodieselnya, jelas sekali bahwa mobil itu dipacu dengan pedal gas tertanam sedalam-dalamnya diinjak oleh si pengemudi yang merupakan kakak tertua dari ketujuh kembar bersaudara itu. Halilintar memang sudah biasa mengemudi karena sempat diajari oleh Fang dan terkadang diperbolehkan oleh sahabatnya itu untuk mengemudi Perodua Kancilnya. Kali ini Halilintar mengemudikan mobil yang bertenaga cukup besar. Dan mungkin untuk pertama kalinya ia bebas berekspresi dengan memacu Toyota Fortuner itu sepuas hatinya.
Lain halnya dengan penumpang Toyota Fortuner itu yang tidak lain adalah Solar, adik terkecil Halilintar. Kedua tangannya mengepal kuat-kuat memegangi sabuk pengaman yang melintang pada badannya. Belum pernah dilihatnya Halilintar se-ekspresif ini dan itu cukup untuk membuatnya komat-kamit berdoa memohon keselamatan.
"Ayo, lebih cepat lagi!" seru Halilintar sembari memompa pedal gas Toyota Fortuner itu yang sebetulnya tidak ada gunanya. Namun sensasi menginjak pedal gas dan membuat mesin turbodiesel meraung-raung itulah yang membuat hati Halilintar seakan menemukan kedamaian yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
"A... Aku ngga kebayang kalau kakak betulan jadi beli Toyota AE86 itu." Solar berusaha mengalihkan perhatian dan kehendak kakaknya untuk lebih ngebut ladi di jalanan yang memang terlihat kosong itu. "Baru sehari mungkin mobilnya jebol."
"Kenapa harus takut Sol?" tanya Halilintar yang nampak santai mengemudikan mobil yang dipacu maksimal itu hanya dengan sebelah tangan. "Inilah hidup!" Pekik Halilintar yang terlihat sangat riang.
"Astaga, Kak Hali kesambet!"
"Ngga, aku cuma makan sisa Coca Caramell dari Blaze."
"Ini hasilnya?" Solar cengo.
"YAP! Pegangan Sol, kita susul Fang!"
"Toloooong." gumam Solar yang semakin pucat wajahnya. Jantungnya bahkan terasa berhenti berdenyut ketika jarak Toyota Fortuner yang ditumpanginya hanya tinggal beberapa jengkal dari bumper belakang Ford Everest Fang.
Sementara di dalam Ford Everest itu Fang bisa melihat melalui kaca spion kalau Halilintar yang amat sangat bernapsu mengejarnya. "Gempa, ada lawan tuh dibelakangmu."
"Hah? Lawan?" Gempa menengok ke arah kaca spion yang berada pada sisi pengemudi dan melihat Halilintar tengah memacu Toyota Fortuner yang dikemudikannya. Bahkan di tengah-tengah deruan suara mesin Ford Everest itu Gempa bisa mendengar raungan mesin turbodiesel Toyota Fortuner yang kian mendekatinya. "Alamak... Hali?"
Tak lama berselang sebelum kedua mobil itu berada dalam posisi sejajar. Nampak Halilintar mengibaskan tangan sebelum menginjak pedal gas Toyota Fortuner itu.
"Maksudnya dia apa tuh?" Tanya Gempa sembari melirik ke arah Fang.
Fang hanya tersenyum kecil saja "Hali mau balapan, Gem." Perlahan senyuman Fang melebar ketika ia melirik ke arah Gempa, yang juga melirik ke arahnya. "Tunggu apalagi, Gem, HAJAR! JANGAN BERI AMPUN!"
Gempa terlihat ragu-ragu. Namun isyarat jari tengah dari Halilintar dan Solar yang mendekapkan tangan ke arahnya seakan memohon langsung membuat darah Gempa serasa mendidih. Tanpa berpikir panjang, Gempa langsung menginjak pedal gas Ford Everest yang dikemudikannya sedalam-dalamnya.
Belum sempat mesin kedua mobil itu mencapai putaran optimal untuk melaju lebih cepat ketika mobil ketiga melewati keduanya.
"Taufan?" Fang dan Gempa terbengong ketika melihat Mitsubishi Pajero yang biasa dikemudikan Blaze melewati mereka semua dan Taufan berada di balik kemudinya. "Wah seru nih."
Jadilah ketiga mobil itu saling kejar-kejaran di jalanan mulus yang relatif kosong itu. Pada awalnya ketiga mobil berukuran besar itu nampak seimbang. Namun perlahan tapi pasti, jarak ketiganya semakin menjauh dengan Taufan memimpin di depan, disusul Halilintar di posisi kedua dan Gempa di posisi terakhir.
Perlombaan kecil itu berakhir pada di depan sebuah papan di tepi jalan yang menjadi peringatan bahwa ketiganya sebentar lagi akan memasuki penyeberangan perbatasaan Bolivia dengan Chile.
Ketiga mobil itu berhenti di tepi jalan untuk persiapan menyeberangi perbatasan. Nampak Fang dan Solar sedang sibuk mengumpulkan dan menyusun kesemua passport mereka supaya urusan imigrasi berjalan lebih cepat dan lancar.
"Wah, sepertinya sehabis dari sini aku sudah bisa nyetir nih." Senyuman puas dan bangga terkembang di wajah Taufan yang memenangkan adu kecepatan diantara ketiga kakak-beradik tertua ini.
"Duh... Mobilnya jadi penyok-penyok semua nih!" ketus Halilintar selagi mengamati bekas benturan dan gesekan Toyota Fortuner yang dikemudikannya dengan Mitsubishi Pajero yang sempat dikemudikan Thorn. "Masa kita bawa pulang mobil rusak?" Jangan lupakan fender depan mobil itu yang tidak sengaja terbacok oleh Thorn ketika menembus hutan di awal perjalanan.
"Salahmu sendiri iseng!" ketus Gempa yang sudah bertolak pinggang seperti sebuah teko yang bisa meletup kapan saja. "Kenapa pula kamu makan Coca Caramell yang sisa itu sih? Ngga cukup Ice sama Taufan yang jadi aneh gara-gara makanan itu?"
"Aku penasaran sih," jawab sang kakak tertua sembari mengangkat bahu. "Memang enak rasanya, betul seperti kata Ice."
"Untung kamu ngga jadi cerewet seperti mereka... Pasti omonganmu pedas semua." sindir Gempa yang mengetahui sifat dasar kakaknya ini yang dingin dan terkadang sadis luar biasa jika sedang hilang kendali.
"Cerewet sih ngga," celetuk Solar yang kebetulan berjalan melewati ketiganya. "Cuma nekat ngga pakai perhitungan."
"Tapi kau suka kan?" tanya Halilintar dengan tersenyum lebar.
Solar terbengong melihat kakak tertuanya itu tersenyum lebar seperti Taufan. "Horror..." ujarnya lagi sembari menggelengkan kepala dan berlalu.
"Sepertinya efek Coca Caramell nya belum hilang nih..." Keluh Gempa yang memperhatikan perubahan sifat Halilintar yang cukup drastis. "Yah, minimal kamu ngga ikutan mengoceh seperti Ice atau Taufan."
"Ah, kamu kayak ngga kenal aku, Gem... Aku kan sedikit bicara. Aksi dan tindakanku yang bicara."
"Itulah yang kutakutkan... Mana tahu kamu akan berbuat apalagi setelah ini!"
Gempa tidak sempat bereaksi apa-apa ketika dengan secepat kilat, sesuai namanya, Halilintar sudah berada di sebelahnya dan lengannya mengait leher Gempa. "Bagaimana kalau aku melakukkan ini?" tanya Halilintar dengan kedua bibinya yang dimonyongkan ke arah pipi Gempa.
"Astaga, Hali, Sadar!" teriak Gempa yang panik karena akan disosor kakaknya sendiri. "Tolong!" teriaknya lagi sembari melihat ke arah adik-adiknya yang lain dan Fang yang hanya terkekeh atau tertawa saja tanpa ada yang berniat menolongnya.
"Kenapa Gem? Kan aku sayang adikku?" tanya Halilintar yang semakin erat memeluk Gempa yang sekarang terlihat sangat memerah mukanya.
"Tak ada jalan lain... Maaf, Hali!" dengus Gempa sebelum meraih tangan Halilintar yang lengannya mengait di leher.
"SEMOGA SADAR!" Dengan pekikan itu, Gempa menarik tangan Halilintar yang dipegangnya ke arah bawah sembari menunduk dengan cepat. Bahkan Halilintar tidak sempat bereaksi ketika merasakan tubuhnya sudah melayang dan kemudian mendarat di atas tanah dengan menyakitkan.
"Adeeh..." gumam Halilintar yang baru saja dibanting oleh Gempa. Pengelihatannya serasa berkunang-kunang. "Gempa? Apa... Yang... Terjadi?" Perlahan-lahan sang kakak tertua mendorong dirinya berdiri.
"Kau mau mencium Gempa, itu yang baru saja terjadi!" celetuk Taufan diantara tawa yang membuatnya berderai air mata, sesak napas, dan sakit perut.
"Hah? Bohong!" ketus Halilintar yang terlihat setengah kebingungan dan setengah kesal. "Mana mungkin? Ya kan, Gem?" Ditengoknya Gempa yang bermuka masam dan cemberut. "Iya... kan?"
Taufan mengusap air matanya yang masih tersisa. "Nih, lihat sendiri." Diperlihatkannya sebuah Halilintar dan Gempa foto yang diambilnya menggunakan kamera ponsel. Momen di foto itu pas sekali ketika Halilintar sedang memonyongkan bibirnya dan Gempa terlihat berusaha menjauh dari pelukan Halilintar.
"Itu bukan aku!" ketus Halilintar sembari membuang muka.
"Siapa lagi yang punya iris mata merah, dan topi merah hitam begini kecuali kamu, Hali..."
"Realitamu kutolak dan kuganti dengan realitaku!" protes Halilintar.
"Tapi-"
"Tapi apa, TAUFAN?" desis Halilintar sembari menggeretakkan tulang-tulang jari kedua tangannya. Sorotan matanya yang tajam dan tak berkedip kini terfokus pada Taufan. "Kamu kan tahu bukan aku yang kamu foto itu."
Tidak perlu penerjemah bagi Taufan untuk memahami mengapa Halilintar menggeretakkan tulang-tulang jarinya itu. "Eheheheheh," Taufan tertawa gugup saja. "Iya, iya, Itu bukan Halilintar yang kufoto."
"Nah, gitu dong." Seketika itu juga sorotan mata Halilintar melembut. "Terbaik".
Fang yang menyaksikan rentetan kejadian itu menghampiri Gempa yang masih merengut kesal. "Gem... Sebaiknya kita berkemah dulu deh, sampai Halilintar normal kembali. Kalau dia lagi begini, aku takut kalau jadi urusan di imigrasi nanti..."
Gempa menghela napas panjang dan mengangguk setuju. "Ya, daripada nanti malah jadi perkara..."
.
Keesokan harinya...
.
"Ngga lagi-lagi aku makan Coca Caramell itu!" ketus Halilintar sembari menggulung sleeping bag miliknya. "Kepalaku masih terasa pusing sampai sekarang."
Fang yang kali ini berbagi kemah dengan Halilintar hanya menggelengkan kepalanya saja. "Pusingmu itu bukan karena Coca Caramell.. Tapi karena ketinggian. Kurang oksigen... Fungsi Coca Caramell itu untuk mencegah pusing... Tapi kalau kau yang makan malah membuat kita semua pusing!".
"Masih ada lagi?" tanya Halilintar.
"Ngga, dibuang semua ke api unggun semalam."
Halilintar terlihat sedikit kecewa. "Ah... Ya sudahlah." Begitu saja ujarnya sebelum beranjak keluar dari kemah meninggalkan Fang yang sedang membereskan sleeping bag nya.
Gempa langsung mendekati Halilintar yang baru saja keluar dari kemah. "Gimana? Apa yang kau rasakan sekarang?" tanyanya dengan nada khawatir.
"Cuma pusing sedikit." jawab sang kakak tertua dengan singkat.
"Ah... Kamu sudah normal kalau begitu." Gempa menghela napas lega. "Ayo, kita bereskan semua kemah-kemahnya. Sebentar lagi kita berangkat."
Seusai semua kemah dan peralatan camping dibereskan, kedepalan petualang muda itu langsung berangkat menuju pos perbatasan antara Bolivia dengan Chile. Semua urusan keimigrasian berjalan dengan lancar tanpa ada hambatan dan kini ketiga mobil yang mereka tumpangi berkonvoi menuju kaki Pegunungan Andes untuk melewati rintangan terakhir sebelum mereka sampai ke tepi Samudera Pasifik.
.
.
.
Bersambung.
Terimakasih untuk yang sudah review, vote, fave atau comment. Nantikan kelanjutan ceritanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top