10. Etape Terakhir
"Kak..." Solar menghela napas panjang. "Ini huruf a, bukan huruf o... Yang Kak Blaze kasih ke Ice itu bukan Coco Caramell... Tapi Coca Caramell."
Blaze mendadak merasakan firasat buruk. "Coca?"
"Ya, Coca... Cocaine."
Wajah Blaze langsung memucat mendengar penjelasan Solar. Apalagi ketika semua saudaranya kini menatap tajam kearahnya, kecuali Ice yang masih mengoceh tidak keruan dan Solar yang memberu penjelasan..
"Alamak... Apa yang telah aku perbuat ini?" Blaze langsung tertunduk lesu. Separah-parahnya ia menjahili kakak-kakak dan adik-adiknya, tidak pernah sampai ke perihal narkotika. "Aku... Aku ngga ada maksud mengerjai Ice." Lirihnya dengan suara yang gemetaran di ambang menangis.
Solar mengelengkan kepalanya. "Tenang semua... Ini bukan biji Cocaine yang jadi narkotik itu... Tapi daun Coca, sejenis daun teh di daerah sini... Hanya saja efeknya begitu," ditunjuknya Ice yang masih terlihat lebih aktif daripada biasanya. "Daun Coca yang dikaramelkan itu digunakan oleh penduduk disini kalau mendaki gunung. Kebetulan namanya mirip dengan narkotika itu."
Penjelasan Solar membuat semuanya bernapas lega, termasuk Blaze yang warna wajahnya berangsur pulih.
"Memang sebelum beli kamu ngga nanya dulu kak?" Tanya Solar yang masih mengamati Coca Caramell yang berada diatas telapak tangannya.
"Kita ngga ada yang bisa bahasa daerah sini... Aku sama Kak Taufan juga ngga ngerti Bahasa Inggris mereka." jawab Blaze yang wajahnya sudah tidak tegang dan tidak pucat lagi.
"Makanya jangan beli makanan yang aneh-aneh" Gempa yang hampir saja mengamuk hanya menghela napas lega sebelum mengambil tempat duduk di samping Ice. "Ice, apa yang kamu rasakan?"
"Aku baik-baik saja koq, Sangat baik malah. Jarang-jarang aku merasa seperti lahir kembali begini. Yah, badanku sih masih pegal-pegal, tapi cuma itu saja koq. Selebihnya aku oke-oke saja .Kak Gempa sendiri bagaimana? Eh ya, nanti malam kan aku sekamar dengan Kak Gempa ya? Wah, sudah lama aku ngga tidur dengan kak Gempa-"
Gempa langsung memotong Ice yang mengoceh tanpa jeda. "Oke, Ice, aku mengerti maksudmu." Sepertinya ia harus mencari teman sekamar yang lain kalau ingin tidur tenang malam itu.
"Aneh melihat Ice jadi begini... Mungkin tiap hari harus diberi Coca Caramell itu, biar sedikit lebih aktif." Komentar Taufan sembari cekikikan melihat Ice yang mendadak jadi hyper.
"Hm..." Halilintar berdehem. "Entah kenapa aku jadi ingin lihat bagaimana kalau Taufan yang makan Coca Caramell itu...".
"Jangan!" Gempa memekik horror. "Tanpa itu saja Taufan sudah seperti angin topan... Kau mau dia jadi tornado?".
"Enak juga rasanya." Gumam Taufan yang tengah mengunyah Coca Caramell itu. "Benar kata Ice, rasanya seperti minuman kedai kita, memang sedikit beda sih."
Secepat kilat Gempa langsung memaksa Taufan menunduk dan memijat tengkuknya. "Ayo, muntahkan!" seru Gempa yang panik sembari terus memijat dan sesekali menepuk punggung Taufan. "Kau sudah hyper, Fan. Ngga perlu yang begituan lagi!" ketus Gempa yang terdengar putus asa akan menghadapi bencana.
"HOI! Gempa!" teriak Taufan yang merasa mual akibat pijitan leher dari Gempa. "Sudah!" Teriaknya lagi sembari menjauhkan dirinya dari Gempa yang bernapsu ingin membuat Taufan benar-benar muntah.
"Apa yang kau rasakan, Fan?" tanya Halilintar.
"Eh? Aku merasa biasa saja koq." Taufan hanya mengedikkan bahunya. "Ngga ada yang beda. Hanya sedikit aneh saja, mungkin ini reaksi normalnya? Kamu mau coba juga, Hali? Siapa tahu kamu bisa jadi agak ceria seperti aku ini. Tuh lihat mukamu cemberut melulu seperti baju yang ngga disetrika-"
Saat itu juga Gempa membenamkan muka kedalam kedua telapak tangannya. "Alamak... Persis radio kusut... Berapa lama efeknya nih?" Tanya Gempa sembari menengok ke arah Solar yang senyum-senyum saja melihat Taufan ikutan mengoceh non-stop.
"Palingan nanti tengah malam sudah hilang, atau besok pagi." Jawab Solar. "Mendingan Kak Taufan pindah kamar sama Ice deh."
"Ya, Taufan sama Ice, aku ganti sama Blaze."
"Yah, kenapa aku dipindah? Aku suka tidur bersama Blaze. Tahu ngga kalian kalau dibalik bandel dan jahilnya Blaze, dia itu comel lho kalau sedang tidur. Aku sekarang mengerti kenapa dia punya banyak pengggemar. Kita kalah populer lho waktu kita masih seumuran Blaze-"
"Sudah kak, malu lah!" ketus Blaze yang mukanya memerah sembari membekap mulut kakaknya itu
"Iya, tapi jangan lupakan aku juga dong, mentang-mentang aku seringnya tidur. Begini-begini aku ngga kalah keren dengan Solar yang kutubuku lho. Apalagi aku yang paling menggemaskan diantara kakak-kakak semua-"
"Iya, iya, aku mengerti maksudmu!" Solar yang pelipisnya dipenuhi perempatan urat imajiner langsung membekap Ice. "Ngga perlu diperjelas lagi, Ice."
Keesokan paginya...
Halilintar, Taufan, dan Gempa berkumpul di lobby utama hotel sementara adik-adik mereka melaksanakan ritual pagi mulai dari mandi sampai gosok gigi. Bersama ketiganya adalah Fang yang menjadi pemimpin acara perjalanan itu.
"Nah. Ini surat dari produser acara... Etape terakhir kita nih." Fang memulai dengan memperlihatkan sebuah amplop berwarna kuning emas.
"Aku mau pulang saja," gerutu Gempa yang terlihat sudah sangat tidak nyaman. "Aku kangen ranjangku..."
"Aku kangen rumah!" sahut Taufan.
"Aku mau mobil dan uang bagian kalian kalau begitu." Ujar Halilintar dengan wajah datar tanpa ekspresi.
"Sudah, sebentar lagi semuanya berakhir. Kita tinggal berjalan sampai ke tepi Samudera Pasifik saja." Fang membuka amplopnya dan mulai membaca isinya. "Selamat, kalian sudah setengah perjalanan. Dari La Paz sampai ke Samudera Pasifik tidak ada lagi hutan atau jalanan sempit. Kalian hanya perlu melewati sebuah gunung..."
"Hm... Mendaki gunung ya?" Halilintar mengangkat sebelah alisnya. "Seharusnya tidak sulit."
"Aku belum selesai," Fang menyambung pembacaan surat yang diterimanya itu. "Kalian sebaiknya mempersiapkan diri. Daerah yang kalian lewati, Altiplano, yang ketinggiannya bisa menyebabkan edema paru-paru," Fang berhenti sejenak, baik ia dan ketiga temannya tidak ada yang mengerti maksudnya edema paru-paru. "Nanti kita tanya Solar apa artinya... Lalu kalian akan melewati Pegunungan Andes, dimana kalian mungkin bisa merasakan edema otak... Oke, aku mulai berpikir apakah produser acara ini hendak membunuh kita..."
"Jadi maksud Kak Fang... Paru-paru kita akan meleduk waktu melewati Altiplano, dan otak kita akan meleduk waktu kita melewati pegunungan Andes?" tanya Solar yang sudah berada di belakang keempatnya.
"Eh? Solar. Kupikir kau belum selesai mandi." ujar Fang sembari menengok ke arah belakang dan melihat Solar berada di belakangnya bersama dengan Ice. "Jadi itu ya artinya edema?"
"Ya, edema artinya pembengkakkan pembuluh darah..." jawab Solar yang terlihat sangat tidak nyaman.
"Darimana kamu tahu itu?"
"Kak Fang, apa sih yang ngga ada di internet?" Jawab Ice mewakili Solar. "Aku bisa tahu karena sekamar dengan Solar."
Halilintar dan Gempa menghela napas panjang. Mereka merasa seperti menjadi korban kejahilan produser acara yang mereka jalani ini.
"Aku merasa seperti bermain-main dengan malaikat maut..." keluh Halilintar. "Bisakah kita mundur dari acara ini?"
"Ah, sayangnya ngga bisa. Di surat perjanjian yang aku tandatangani ada disebut kalau kita mundur ada sangsinya... Membayar dua kali lipat dari total hadiahnya."
"Maju kena, mundur kena..." keluh Gempa. "Mau bagaimana lagi, kita harus terus..."
Taufan kali ini angkat bicara. "Yang jelas kita butuh pakaian yang jauh lebih tebal daripada yang kita pakai sekarang ini, terutama untuk Blaze... Nanti kita mampir ke pasar. Kemarin aku lihat banyak yang jual pakaian musim dingin."
Dan kedelapan petualang muda kita meninggalkan kota La Paz. Kali ini mereka cukup beruntung karena jalanan pada etape kali ini adalah jalanan aspal. Artinya untuk pertama kalinya sejak perjalanan itu dimulai, ketiga mobil itu bisa dipacu sesuka hati.
"Wah begini ya rasanya ngebut!" ujar Gempa dengan senyuman lebar menghiasi wajahnya. Kali ini dialah yang mengemudikan mobil Ford Everest, tentunya setelah diberi kursus kilat oleh Fang dan dibawah pengawasannya.
Begitu pula Ice yang menyembulkan kepalanya keluar jendela mobil. Udara dingin yang segar dan praktis bebas polusi itu terasa sangat ringan dan menyegarkan.
Dibelakang Ford Everest adalah Mitsubishi Pajero yang kali ini dikemudikan oleh Thorn yang terlihat sangat kaku dibelakang kemudinya.
"Asyik kan, Thorn?" tanya Blaze yang duduk di sebelahnya.
"Ngeri juga sih, beda banget dengan di game!" seru Thorn ditengah-tengah suara angin dari jendela mobil yang dibuka penuh.
"Tenang, jalanannya cuma lurus doang koq... Gas pol!" Taufan yang duduk dibelakang Thorn menepuk pundak adiknya itu.
"Aku takut nabrak!" jerit Thorn. Apalagi kini sebuah Toyota Fortuner terlihat mendekat dari belakang dan menyalakan lampu berkali-kali.
"Astaga, Thorn disuruh nyetir," gumam Solar yang semobil dengan Halilintar. "Hebat juga Thorn."
Halilintar yang berada di belakang kemudi hanya menggelengkan kepalanya. "Kalau kupepet pasti panik."
"Jangan kak, nanti dia nabrak lho!"
Jarang-jarang Halilintar bisa menyeringai jahil. Pedal gas diinjak penuh yang membuat mesin Toyota Fortuner itu meraung.
"KAKAAAK!" teriak Solar. Sekuat tenaga ia menggengam sabuk pengaman yang terpasang melintang di badannya ketika jarak antara pintu Toyota Fortuner itu hanya tinggal hitungan sentimeter saja dengan pintu Mitsubishi Pajero. Solar bahkan berani bersumpah kalau ia bisa mencolek wajah Thorn yang terlihat panik dan tegang di belakang kemudi Mitsubishi Pajero itu.
"THOOORN AWASS!" Bahkan Taufan pun menjerit histeris ketika dilihatnya Halilintar yang memepet mobil yang ditumpanginya.
-SREEEEEK!-
Thorn yang panik berusaha menghindar. Namun karena belum pengalaman ia malah menyerempet mobil yang dikemudikan kakak tertuanya.
"Hiaaa!" Thorn langsung menginjak rem dalam dalam.
"ALAMAK! THOOORN!" teriak Blaze yang terlempar kedepan sampai wajahnya menempel di kaca Mitsubishi Pajero itu.
"HUAA!" jerit Taufan yang terlempar ke jok depan bahkan sampai merosot ke kolong jok.
Setelahnya Thorn langsung terdiam tidak bergerak, berkeringat dingin dan pucat pasi. "Thorn ngga mau nyetir lagi... Thorn ngga mau nyetir lagi... Thorn ngga mau nyetir lagi." Gumamnya berkali-kali.
"Thorn, minggir!" ketus Taufan sembari menarik dirinya keluar dari kolong jok. "Biar aku beri Halilintar pelajaran!"
"Sikat kak!" Blaze yang ikutan panas pun berujar. "Serempet balik!"
Mitsubishi Pajero yang sempat berhenti itu kembali melacu secepat dapur pacunya mampu setelah Thorn bertukar posisi dan Taufan menggantikannya mengemudi.
.
.
.
Bersambung.
Terimakasih untuk yang sudah review, vote, fave atau comment. Nantikan kelanjutan ceritanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top