1. Awal Yang Indah
Liburan.
Libur sekolah telah tiba bagi ketujuh saudara kembar kita. Sebulan penuh lamanya mereka bebas dari urusan sekolah. Sampai suatu ketika Fang datang membawa kejutan untuk mereka yang berupa petualangan bagi mereka semua
Disclaimer dan Author Note:
-BUKAN YAOI, BUKAN SHOUNEN-AI.
-Seluruh karakter yang terkandung di dalamnya adalah milik pemegang hak cipta masing-masing kecuali disebutkan berbeda.
-Tidak ada keuntungan materi yang saya dapatkan dari fanfic ini.
-Tidak berkaitan dengan fanfic saya yang lain kecuali disebutkan dalam cerita.
-Dalam fanfic ini umur karakter utama adalah sebagai berikut dari yang tertua:
Fang: 17 tahun.
Boboiboy Halilintar: 17 tahun
Boboiboy Taufan: 17 tahun.
Boboiboy Gempa: 17 tahun.
Boboiboy Blaze: 16 tahun.
Boboiboy Thorn: 16 tahun.
Boboiboy Ice: 15 tahun.
Boboiboy Solar: 15 tahun
.
1. Awal Yang Indah
.
Awal liburan sekolah adalah saat yang paling dinanti-nanti oleh semua murid. Sebuah bulan yang penuh keceriaan dan kegembiraan bagi semua anak-anak dan remaja yang masih mengenyam bangku penididikan, kecuali bagi yang terpaksa tinggal kelas. Bagi mereka, liburan adalah siksaan.
Beruntung sekali tujuh kembar BoBoiBoy bersaudara karena tidak ada satupun dari mereka yang tinggal kelas. Hanya beberapa saja yang nyaris terpaksa tinggal kelas. Contohnya Ice, yang hampir tinggal kelas karena absensinya yang buruk akibat sering ketiduran di pagi hari. Atau Halilintar yang juga nyaris harus mengulang karena beberapa kali kena skorsing akibat perkelahian di sekolah, meskipun yang berkelahi dengannya adalah adiknya sendiri. Blaze pun nyaris tinggal kelas karena masalah absensi, akibat dari seringnya bolos sekolah di tengah jam pelajaran.
Mereka semua beruntung karena memiliki saudara kembar yang bijak dan mampu bernegosiasi dengan para guru di sekolah mereka. Ada baiknya juga mempunyai kakak atau adik yang menjabat ketua OSIS. Meskipun begitu, Gempa menolak jika perbuatannya disebut nepotisme atau penyalahgunaan jabatan. "Fasilitas khusus ketua OSIS.". Begitu Gempa sering berkata dalam usaha pembelaan dirinya kalau ada yang menuduhnya.
Lagipula, Gempa tidak usah khawatir dengan hal-hal seperti itu karena dia punya Halilintar. Tinggal dimintanya Halilintar untuk mengunjungi dan beramah-tamah dengan murid-murid lain yang menuduhnya maka semuanya akan beres. "Hali, coba tawarkan mereka sesuatu yang ngga bisa mereka tolak, ya?" Itulah isyarat Gempa jika ada hal-hal yang harus dibereskan dengan bujukan khusus Halilintar.
Masa liburan inilah dimana Gempa bisa bersantai, jauh dari tetek-bengek urusan sekolah yang cukup menguras tenaga. Fokusnya hanya menjaga kedai peninggalan kakeknya, Tok Aba-BoBoiBoy KoKotiam. Itupun jauh lebih ringan karena keenam saudara kembarnya tidak ada yang menolak untuk membantunya.
"Coba setiap hari begini ya, Solar?" Gempa yang sedang bersandar di tepi meja bar kedai berbisik kepada adiknya yang paling kecil, yang berada di belakang mesin kasir. "Ngga ada tugas sekolah, ngga ada rapat OSIS, ngga ada apa-apa. Cuma kerja mengurus kedai saja."
"Mending sekolah deh, Kak Gem ... jaga kedai begini ngga seberapa dapetnya .... Apalagi libur begini. Seharusnya dihitung lembur." Solar mengeluh dengan tampang yang ogah-ogahan.
"Nah benar tuh kata Solar!" sahut Taufan yang sedari tadi berada di bagian belakang kedai bersama Blaze dan Thorn. Mereka bertiga kebagian tugas mencuci piring, cangkir, dan gelas kotor. "Kita kerja masa liburan begini ngga ada lemburannya .... Meniru orang Jepang sih boleh-boleh saja, tapi jangan Romusha-nya dong."
"Setuju, Kak Gem!" Blaze ikutan mengompori. "Kita kan capek, mana cuci piring melulu. Ini namanya eksploitasi anak!"
Gempa hanya memutar matanya keatas mendengar celotehan-celotehan yang berasal dari belakang kedai itu. 'Yah, salah satu ngga enaknya kalau keluarga dijadikan karyawan dadakan .... Sedikit-sedikit protes, sedikit-sedikit demo, sedikit-sedikit ngeluh!' Gempa membatin, atau tepatnya merutuk dalam hati. "Halilintar!" Dipanggilnya sang kakak tertua yang terlihat sedang membersihkan meja-meja yang sudah ditinggalkan pelanggan.
"Ya?" tanya Halilintar singkat.
"Itu adik-adik kita kayaknya sudah bosan bekerja .... Kamu ada ide supaya mereka semangat lagi bekerja?" ujar Gempa yang disertai senyuman penuh arti.
"Oh, ya? Mereka jenuh? Begitu maksudmu, Gem?" Halilintar bertanya sembari menyandarkan badannya pada meja bar kedai.
"Hm ... entah, mungkin mereka butuh ... maksudku, perlu motivasi khusus darimu?" Tidak ada yang melihat ketika Gempa memberikan isyarat kedipan mata untuk Halilintar.
"Begitu ya? Coba kubujuk mereka." Entah apa yang dimaksud Halilintar dengan membujuk. Tapi pastinya sang kakak tertua sudah menggeretakkan tulang-tulang jari dan lehernya.
"Tolong piring jangan sampai pecah ya, Hali?" pesan Gempa sebelum Halilintar beranjak pergi ke belakang kedai.
Gempa tidak perlu menengok ke belakang kedai. Dirinya yakin kalau Halilintar yang diutusnya pasti bisa membereskan masalah internal karyawannya itu.
"Kalian butuh istirahat ya?" Suara bernada rendah Halilintar terdengar di belakang kedai.
"Eh? Kak Hali? Ah, kami, anu, butuh sedikiiiiit saja istirahat." Dari sengaunya, itu pasti suara Blaze.
"Lagian kan bagianmu di depan Hali, sana balik ke depan, hush, hush." Dari cemprengnya sudah ketahuan kalau itu Taufan yang bicara.
"Eheheheheh. Thorn ikut yang mana saja." Hanya ada satu orang yang sering menyebut nama jika merujuk pada dirinya sendiri. Thorn, si adik yang terkenal polos, lugu dan naif.
"Jadi kalian terlalu lelah ya? Begitu maksud kalian, kan?" Halilintar bertanya lagi.
"Ya! Kami protes bekerja rodi begini!" pekik Taufan.
"Uang lembur!" sahut Blaze.
-BYURR! BLETAK!-
"HOI! HALI!" Entah apa yang terjadi, tetapi Taufan terdengar berteriak sekuat tenaga.
"MATAKU! KAK HALI, ITU AIR SABUN!" Teriakan kesakitan Blaze menyusul.
"Yaaaah ... baju Thorn basah semuaaa!"
"Kedepan kalian semua!" Halilintar terdengar menghardik.
Gempa menggelengkan kepala saja melihat tiga saudaranya muncul dari bagian belakang kedainya,
Taufan yang basah kuyup seluruh badan, baju, sampai ke celananya. Lengkap dengan sebuah baskom besar yang pecah bolong ditengah, melingkar di lehernya.
Blaze yang kedua matanya terpejam erat serta berjalan sembari meraba-raba. Jangan lupakan kepalanya yang dipenuhi busa sabun. Dan sama seperti Taufan, seluruh baju dan badannya basah kuyup.
Dan Thorn yang juga basah kuyup dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Ha ... ha ... HACHI!" Bahkan sudah mulai bersin-bersin.
"Masih mau mogok kerja lagi?" tanya Gempa dengan nada yang ramah dan hangat sembari memandangi ketiga saudaranya yang sudah dimotivasi oleh Halilintar. "Atau motivasi kalian masih kurang?"
"Ngga ...." Ketiga kakak-beradik kembar yang mematung dan basah kuyup itu menjawab serempak.
"Naaah, begitu dong ... kan enak, aku jadi ngga perlu repot-repot," lanjut Gempa yang diakhiri dengan senyuman manis. "Sana deh, pulang dulu, ganti baju .... Setengah jam lagi kutunggu disini ya? Atau butuh Halilintar lagi untuk mengantar kalian pulang?"
Ketiga Trio Troublemaker itu langsung meneguk ludah mendengar nama kakak tertua disebut. "Ngga perlu!" Taufan berujar dengan gugup. "Ayo Blaze, Thorn, ganti baju!" Tanpa disuruh lebih lanjut, Taufan menarik Blaze dan Thorn pulang. Sepertinya ia masih sayang nyawanya.
"Terima kasih, Hali." gumam Gempa ketika ketiga saudaranya yang basah kuyup itu sudah pergi menjauh. Tanpa ada yang melihat, selembar uang ringgit beralih tangan darinya ke tangan Halilintar.
"Ngga, aku yang terima kasih." Halilintar mengangguk tanpa ekspresi dan mengambil lembaran uang itu dari tangan Gempa. "Ada juga kesempatan menghajar mereka dengan alasan yang ngga membuatmu sakit kepala."
"Nah, Solar, boleh minta tolong gantikan bagian cuci piring? Sementara saja sampai kakak-kakakmu tadi itu kembali." Ujar Gempa sembari menengok kepada Solar yang berada di belakang meja kasir.
"Ah, iya, ngga masalah kok!" Sahut Solar dengan cepat. Tanpa membuang waktu langsung berpindah tugas di bagian belakang kedai.
"Ice!" Gempa memanggil seorang adiknya lagi. "Tolong bantu Solar sebentar di belakang ya!" teriak Gempa karena jaraknya dengan adiknya yang dipanggilnya itu lumayan jauh.
"Kak Taufan, Kak Blaze sama Kak Thorn mogok lagi ya?" Ice bertanya ketika ia berpapasan dengan Gempa sewaktu berjalan menuju ke bagian belakang kedai.
"Ngga kok, bukan mogok, cuma kurang motivasi saja." Eufimisme memang keahlian Gempa. Sesuatu yang dipelajarinya ketika harus berurusan dengan tetangga, para guru, bahkan murid-murid lain ketika saudaranya ada yang berulah.
Ice hanya memutar bola matanya mendengar perkataan Gempa sembari terus berlalu ke bagian belakang kedai.
"Yah ... awal liburan yang indah." gumam Gempa sembari tetap tersenyum hangat.
Tidak berapa lama kemudian terlihatlah seorang pemuda yang sangat dikenal Gempa dari kejauhan. Pemuda itu nampak melambaikan tangan ke arahnya, atau mungkin ke arah Halilintar.
"Itu Fang? Bukannya kemarin dia pergi ke Inggris ya?" tanya Halilintar yang mengenali sosok pemuda yang kian mendekat.
"Siapa lagi yang memakai cat rambut warna ungu kalau bukan Fang?" Gempa bertanya retorik balik. "Kalau ngga salah sih iya, empat hari lalu kan dia berangkat ke Inggris. Masa liburan disana sebentar begitu?"
"Entah ... kelihatannya dia lagi ... Gembira?"
"Yap, entah dapat rejeki apa lagi dia ...."
.
.
.
Bersambung.
Terimakasih untuk yang sudah review, vote, fave atau comment. Nantikan kelanjutan ceritanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top