Liar

Mataku terasa berat. Pusing menyerang kepalaku. Dan tahu-tahu, aku sudah terduduk di atas aspal jalanan.

Orang-orang ramai memperhatikan. Kenapa mereka melihatku seperti itu?

Tubuhku susah untuk bergerak. Tanganku...

Tunggu, tanganku ... dan seluruh tubuhku penuh dengan luka lecet. Beberapa darinya terpulas warna merah yang entah mengapa seolah menghujam hatiku hanya dengan melihatnya.

Apa yang terjadi padaku?

.
.
.

☘☘☘☘

LIAR

Written by Cordisylum

Yumeno Gentaro x Reader

Hypnosis Mic © KING RECORD

A Hypnosis Mic Fanfiction

WARN!!
Hanya seonggok fanfic yang tercipta di kala inspirasi sekilas datang. Masih banyak kekurangan.

☘☘☘☘

.
.
.

Pria dengan helai kecoklatan itu mengatur napas yang seketika kesusahan untuk didapati. Berlari sepanjang koridor seperti ini ... ia tahu dirinya baru saja melanggar etika di rumah sakit. Namun sebab kegelisahan sendiri dalam hati, tatapan protes dari beberapa perawat yang dilalui hanya mampu menuai abainya diri. Langkah kaki itu dengan cepat mendekat pada pintu berplat nomor 27. Kembali mengatur napasnya, dan berusaha menenangkan detak jantung yang dikiranya akan berhenti mendadak sejak satu jam yang lalu.

Ya, satu jam yang lalu. Sebuah pesan mendadak dikirim kepada ponselnya ketika tengah sibuk bersama dua kelompok kecilnya. Ia bisa saja mengabaikan itu, seandainya saja kalimat yang tersampaikan pada layar tidak membuatnya hampir jantungan detik itu.

[Full Name] mengalami kecelakaan sore ini.

Pesan singkat yang hampir membuatnya hilang fokus sepanjang pembahasan topik bersama kedua sosok di hadapannya---persetan dengan bagaimana tatapan bodoh dan godaan iseng dilayangkan kepadanya dari mereka.

Saat ini novelis satu itu---Yumeno Gentaro---dihadapkan dengan situasi yang lebih rumit. Daripada sekadar merasa khawatir akan keselamatan gadis itu, ia juga mendapati dirinya mengutuk dalam hati akibat melupakan janji pertemuan mereka. Rupanya [Name] sebelumnya telah repot-repot menunggu dirinya selama satu jam hanya untuk sebuah acara kencan dadakan yang sudah dijanjikan.

Yumeno Gentaro telah paham sejak awal. Gadis itu cukup naif untuk memahami kebiasaan bodohnya menebar kalimat yang tidak jelas kebenarannya di sana-sini. Tapi ia tak tahu kalau sampai akan senekat itu.

Jadi, siapa yang kini patut disalahkan?

Untuk saat ini, biarkanlah hatinya berusaha merambati area tenang sesaat. Ketika tangan yang semula dikepal dipenuhi oleh gerak gemetar, ia kuatkan batin untuk memaksa diri menggapai pada kenop pintu di hadapannya. Tarikan dan dorongan tangannya bahkan membawa rasa mencekam dalam dada.

"Oh? Sensei, kau datang juga!"

Lihatlah gadis itu. Duduk di atas ranjangnya dengan sebuah bantal menjadi sandaran punggung. Menatap dengan senyuman lebar seolah tahu Gentaro akan muncul dari balik pintu itu.

"Kau---"

Untuk kedua kalinya seorang Yumeno Gentaro merasakan perih melihat sosok yang berharga baginya berada di ranjang rumah sakit.

"Apa yang terjadi?" kalimat itu cukup menjadi pembuka. Baginya yang sedari tadi tak mampu untuk berkata-kata, perlu menata hati dan penyampaian yang baik dalam keadaan di sela-sela gelisahnya. Mendekat pada pasien baru di rumah sakit itu, Gentaro mengambil tempat duduk pada sisi samping ranjang. Menatap dengan murung pada sang gadis.

"Um … hanya kecelakaan biasa, kok. Jangan khawatir."

Bagaimana ia tidak akan khawatir? Kenapa gadis ini bahkan tetap tersenyum dan bertingkah seolah ini semua bukanlah hal penting?

Gentaro melepaskan sebuah napas panjang. Sedikit lega, sedikit juga tidak terima. Entah berapa kali hari ini ia tetap menyalahkan dirinya. Terima kasih kepada kebohongan bodoh yang dilontarkan setengah hati olehnya saat itu, [Full Name] harus menanggung akibat seperti ini.

Alih-alih mengucapkan maaf, ia terlebih dahulu menanyakan hal yang sempat membuatnya meragu, "Kudengar, kau tiba-tiba pergi dari cafe yang kau datangi tanpa memesan apapun."

Apa Gentaro terlalu nekat?

"Ah, itu ... kupikir, Yumeno Sensei pasti sibuk. Jadi tidak sampai punya waktu untuk memenuhi janji." Ditautkannya kedua jari, bergerak gelisah sementara pemiliknya menunduk dengan muka seolah bersalah. Gentaro yakin di balik senyuman paksa yang sempat dilayangkan [Name] tadi tersimpan bibit kekecewaan. Tapi ia sendiri tak bisa menghadapinya. Inginnya mengatakan "Aku bohong" dengan mudahnya seperti biasanya. Tapi untuk kali ini lidahnya kelu untuk berucap satu kata saja?

Pada akhirnya ia hanya menggumamkan maaf yang teramat pelan.

[Name] mendongak. Menatapnya dengan raut ingin tahu ketika Gentaro kini tak lagi mampu menatap matanya. Ia justru tersenyum. Sepertinya cukup paham bahwa pria satu itu tidak benar-benar bermaksud menyakitinya. Ia juga sudah berusaha menyempatkan waktunya untuk datang kemari.

"Tidak apa. Lukaku cukup ringan, kok. Dalam beberapa hari mungkin akan diizinkan pulang," lagi-lagi dilontarkannya kalimat bernada penghiburan. Tentu saja, [Name] tak akan menginginkan keadaan dimana novelis kesukaannya akan bersedih karenanya. Ia sudah berusaha sampai sejauh ini hingga hubungan keduanya teramat dekat---untuk status novelis dan penggemarnya, bukankah keduanya teramat dekat?

.

.

"Ah ... salah lagi."

Gentaro mendongak. Mengalihkan pandangannya pada buku yang dibacanya dan menemukan [Name] yang cemberut sembari menatap nyalang pada sketchbook dalam genggaman. Ketika terlalu lama menghabiskan waktu berdiam diri di ranjang rumah sakit ini, ia telah menyarankan [Name] untuk melakukan kegiatan-kegiatan sederhana yang mampu melatih pergerakan tubuhnya agar tidak terlalu kaku akibat lamanya di rumah sakit. Salah satunya adalah dengan menggambar pada buku yang dibelikannya itu.

"Apa?" Pria itu mendekatkan kursinya. Mengintip pada sketsa tidak jelas pada buku gambar milik [Name]. Rupanya gadis itu masih agak kaku menggerakkan tangannya. Padahal lukanya kata dokter tidak begitu membahayakan.

"Tidak. Aku hanya ... terlalu bosan. Bisa-bisanya sampai salah mengarsir."

Oke, apa Gentaro harus tertawa karena kebodohannya?

"Bodoh," hanya itu yang dikatakannya. Tapi sudut bibirnya naik sedikit menatap si pasien. Mengangkat salah satu tangannya, membelai puncak kepala gadis itu beberapa kali. Sebisa mungkin tak mengenai bagian kepala yang masih diperban.

Ah, ya. Perban. Dilihat dari segi manapun [Name] sudah lebih sehat meski dengan perban menghiasi sedikit bagian tubuhnya. Jadi sampai kapan gadis ini akan tertahan di rumah sakit ini dalam kebosanannya?

"Kapan kau diizinkan pulang?"

"Uh ... kalau tidak salah, tiga hari lagi?"

Tiga hari. Jika diingat lagi, sepertinya ia akan punya cukup waktu untuk sebatas makan di luar sebentar. Gentaro melirik pada gadis itu lagi. [Name] sudah kembali dengan sketchbook miliknya. Raut wajah masih dihinggapi sisa kebosanan---bagaimanapun juga ia paham; rumah sakit bukan tempat yang menyenangkan untuk keduanya.

Ditariknya seberkas kesimpulan dalam pikirnya, Gentaro jadi ingin sedikit menghibur gadis ini sekarang. "Yah ... sebagai ganti dari ketidakhadiranku di hari perjanjian, kau boleh meminta satu permintaan sesudah pulang dari rumah sakit."

Sadari dirinya mungkin terlalu memberi harapan, tapi Gentaro sungguh tak menyesal ketika [Name] memperlihatkan reaksinya---bagaimana gerak pada tangannya berhenti sejenak, atau bagaimana gadis itu memantung untuk mendengar tutur katanya. Kemudian, pandangan berbinar pada sang novelis tersebut diberikan.

"Wah … a-apapun?"

"Iya, apapun."

"Sungguh?"

"Hm..."

"Janji? Sensei berjanji, bukan?"

Dirinya tak menjawab. Hanya menatap sedikit datar pada sosok di hadapannya yang masih dengan binar bahagia itu. Gentaro mengembuskan napas sedikit kesal. Menurunkan bukunya sepenuhnya yang kini berpindah pada meja nakas samping ranjang pasien. Ia melipat tangan, bersandar pada punggung kursi kala senyuman semanis gula menghias wajah rupawan. Mengangguk riang.

"Jadi … setelah pulang dari sini, Bagaimana kalau kita kencan? Tidak ada bohong-bohong lagi, ya? Yaaaaa?" [Name] kini menatapnya serius sekaligus bersemangat. Kilat bahagia dari netra [eye colour] yang mengalihkan perhatiannya kala gerak badan sedikit mencondongkan diri pada Gentaro---membuat sang pria sedikit kaget. Tapi untuk satu detik setelahnya, pemilik helai kecokelatan itu membuang napasnya dengan hasrat menahan tawa.

"Iya, janji. Kali ini tidak ada bohong lagi."

Apakah ia terlalu naif untuk mengharapkan hal ini?

.

.

.

Apakah seorang Yumeno Gentaro terlalu naif untuk berpikir dirinya dapat bahagia hanya dengan menebus kesalahannya?

Atau, apakah takdir yang harus disalahkan karena memutar balikkan hal yang tak seharusnya?

Ia rasa tidak.

Atau, benar begitukah?

Pemuda itu kini terdiam. Menatap batu nisan di hadapannya. Rintik hujan membuat para peziarah segera menyelesaikan urusannya dan berbalik pergi tinggalkan pemakaman. Tapi tidak dengannya. Hujan yang membasuhnya pagi itu seolah bercampur dengan perasaannya sendiri---seolah bagian dari dirinya hingga enggan untuk menyingkir.

Oh, ia sungguh berharap perasaannya akan ikut terhapuskan bersama hujan ketika reda nantinya---itu tidak akan terjadi.

"Jadisetelah pulang dari sini, bagaimana kalau kita kencan? Tidak ada bohong-bohong lagi, ya? Yaaaaa?"

"Itu tidak akan terjadi."

Pada akhirnya, janji yang diharapkannya lagi-lagi tak dapat terpenuhi. Sosok yang dinantinya akan tersenyum di esok hari justru menghilang di balik malam. Lenyap bersamaan dengan saat dimana Gentaro berusaha mengukir kembali kesempatan mereka dari awal.

[Full Name] meninggal karena pembengkakan pada pembuluh aorta.

"Haha...." ia tertawa---hanya diisi oleh kekosongan belaka pada nada suaranya; hati yang berlubang. Harinya akan kosong---seolah sirna akan cahaya mentari yang dirindukannya untuk mengusir hujan ini. Ia akan merindukannya---canda tawa dan suara riang itu.

"Janji? Sensei berjanji, bukan?"

Gentaro sudah berjanji.

Tapi kau yang mengingkari.

"Dasar pembohong."

.
.
.

-fin-

LIAR | Yumeno Gentaro
Tanggal publikasi: 1 September 2018
Terakhir disunting: 29 Desember 2020

- thanks for read! -

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top