Catherine - 6
Catherine bukanlah perencana ulung. Walaupun demikian, ia tetap memiliki rencana garis besar, suatu impian jauh di masa depan. Dan memiliki anak di usia duapuluh satu tahun tidak termasuk dalam impian tersebut.
Untunglah, ia menyukai kejutan dan tantangan. Di luar beratnya tekanan dari kedua orangtuanya dan orangtua Tanjung, ia mulai menghibur diri bahwa diasingkan ke Swiss sebenarnya tidak terlalu buruk. Setidaknya, pemandangan kota Geneva luar biasa indahnya -- gunung di kejauhan bersanding dengan danau yang berwarna biru pekat. Ia merasa masuk ke dalam lukisan ajaib.
Tadinya, ia berniat menyembunyikan kehamilannya selama mungkin. Anaknya diperkirakan lahir Januari tahun depan. Ia tahu suatu saat pasti akan ketahuan, namun ia membayangkan akan mengambil waktu liburan musim dingin untuk menikahi Tanjung secara diam-diam, membereskan kekacauan ini berdua saja. Ketika keluarga Jati dan keluarga Sastradireja membongkar rahasianya, mereka sudah tidak dapat berbuat apa-apa.
Sekarang ia melihat kilas balik rencananya, dan ia sadar itu rencana yang sangat buruk.
Di villa tempat ia tinggal sekarang, ia dijaga oleh belasan pelayan perempuan dan beberapa orang bodyguard. Ibunya akan menemaninya selama seminggu sebelum pulang kembali ke Jakarta. Ayahnya juga tinggal di sini selama tiga hari. Hanya saja, Catherine sedang tidak mood untuk berbicara dengan orangtuanya. Jadi ia mengambil buku pelajarannya dan berusaha membaca. Ia ingin memanfaatkan waktunya sebaik mungkin.
Namun kenapa ia sulit sekali berkonsentrasi? Matanya terus melirik ke jam kecil di mejanya, yang menunjukkan pukul sembilan kurang lima menit. Awas kalau Tanjung terlambat meneleponnya.
Entah, saat ia masih bersama suaminya, ia seringkali merasa kesal meskipun tetap sayang. Kadang-kadang ia ingin memukulnya meskipun juga ingin memeluknya. Akan tetapi, sekarang ia sangat merindukannya. Tidak hanya hatinya, namun tubuhnya juga menginginkan Tanjung sekuat tenaga. Padahal ia sudah menghabiskan seminggu terakhir dengan beradu di kasur tiap malam, mencoba berbagai gaya baru hingga Tanjung mengkhawatirkannya di sela-sela kebahagiaannya.
Damn these pregnancy hormones! umpat Catherine dalam hati.
Padahal dulu ia menyombongkan diri dalam hati, betapa badass-nya ia, dapat mengalahkan morning sickness selama masa UAS. Sejauh ini ia juga belum mengidam parah. Ia membanggakan dirinya sebagai perempuan yang logis.
Namun sekarang?
Catherine menutup bukunya dan memelototi telepon rumahnya. Pukul sembilan kurang satu menit. Kenapa Tanjung tidak meneleponnya lebih awal?
Pukul sembilan tepat, telepon masih belum juga berdering.
Pukul sembilan lewat satu menit, kemarahan Catherine sudah memuncak sampai ke ubun-ubun. Tidak, dia tidak akan menelepon duluan. Tanjung sudah berjanji, dan dia harus menepati janjinya.
Pukul sembilan lewat lima menit, Catherine mencabut sambungan kabel telepon. Biar Tanjung tidak bisa meneleponnya, sebagai hukuman.
Pukul sembilan lewat sepuluh menit, ia memasangnya kembali. Siapa tahu Tanjung sedang dalam perjalanan pulang ke rumah. Barngkali tadi ia baru kerja kelompok lalu tanggung diselesaikan.
Tunggu, hari ini, kan, Minggu? Belum mulai kuliah, dong.
Pukul sembilan lewat limabelas menit, Catherine merasa jijik dengan dirinya sendiri. Ia naik ke atas tempat tidur dan berbaring telentang, sambil mengusap perutnya.
"Anakku Sayang, papamu itu pembohong. Nanti kalau Mama ketemu dia, Mama akan jewer, lalu cubit, lalu ..."
Bunyi pintu diketuk membuyarkan percakapannya dengan bayinya. Catherine mendengus gusar. Siapa malam-malam mengganggunya? Apa orang itu tidak tahu bahwa ibu hamil perlu istirahat?
Kenapa sekarang aku jadi bawa-bawa hak istimewa ibu hamil, deh? Padahal aku tetap bertekad belajar dan beraktivitas seperti biasa, hanya menambah nutrisi saja.
Ia turun dari tempat tidurnya dan membuka pintu kamarnya. Di hadapannya, berdiri sosok yang sejak tadi dirindukannya. Mana mungkin ini nyata? Ia menampar pipi Tanjung, tidak terlalu keras tentunya.
"Cathy, apa-apaan?"
"Aku kira mimpi," ujar Catherine sok cuek. "Kenapa kamu nggak telepon aku jam sembilan?! Aku nunggu seharian, tahu!"
"Maaf, Cath, aku ..."
Namun Catherine menarik kerah kemeja suaminya hingga masuk ke dalam kamar dan menciumnya dengan penuh gairah. Ia menutup pintu kamarnya dan mendorong Tanjung ke dinding, melampiaskan semua kerinduannya, kekesalannya, dan kecemasannya dalam ciuman yang amat panjang. Tanjung melingkarkan lengannya ke punggung istrinya, lalu mengangkatnya dan berjalan menyeberangi kamar yang luas itu. Bibir mereka masih saling melumat secara bergantian. Pada akhirnya, mereka berujung di atas tempat tidur.
***
Sejam kemudian, mereka berbaring bersisian seperti malam-malam sebelumnya. Selama beberapa menit, mereka tak mengatakan apapun, hanya menarik napas dan beristirahat dari aktivitas yang menguras tenaga dan emosi itu. Pakaian mereka berceceran di lantai. Tanjung merangkul Catherine erat, seakan-akan ia tidak mau melepasnya lagi sampai kapanpun.
"Kenapa kamu bisa ada di sini?" tanya Catherine.
"Kuliahku besok jam satu siang," cengir Tanjung. "Aku udah nggak tahan kangen sama kamu, Cathy, jadi aku menyusulmu kemari. Sayang aku nggak bisa tepat waktu datang jam sembilan, aku dicegat papamu tadi di luar."
"Kamu gila," ujar Catherine.
"Kamu membuatku gila," bisik Tanjung.
"Tadinya aku sudah merencanakan segala sesuatu dengan rapi. Rabu nanti, aku check up ke dokter baru." Ia meletakkan tangan Tanjung di atas perutnya. "Minggu depan dia udah masuk lima bulan, bisa periksa jenis kelamin, tapi aku nggak mau cari tahu kalau nggak ditemani kamu."
"Dia gerak, Cath," senyum Tanjung.
"Dari tadi dia nggak mau gerak sebelum kamu datang," tutur Catherine.
"My loves," ujar Tanjung, mencium bibir istrinya, lalu perutnya.
"Kamu tahu, kan, kalau kamu kemari, aku nggak akan membiarkanmu pergi lagi?"
"Aku juga nggak berencana pergi lagi."
"Tapi kuliahmu! Nanti ayahmu ..."
Tanjung menyingkirkan rambut Catherine yang menutupi wajahnya. "Jangan khawatir, Sayang. Aku dan Alfred akan menangani hal ini."
"Alfred? Putra sulung Edward Darmadi?"
***
Beberapa jam yang lalu ...
"Belum terlambat untuk menyusul Nyonya Muda Catherine ke Swiss, Tuan Muda," ujar Alfred sambil berdiri di sebelah Tanjung.
"Apa maksudmu? Aku, kan, harus kuliah? Nanti Ayah akan memarahiku. Selain itu, Cathy akan jadi korban hinaannya lagi. Aku harus membuktikan kepada Ayah bahwa Cathy membuatku semakin baik, bukan merusakku."
"Saya sudah memeriksa jadwal kelas perkuliahan Tuan Muda. Semua kelasnya adalah kelas besar yang terdiri dari ratusan murid. Beberapa kelas bahkan tidak mengharuskan Tuan Muda mengisi daftar hadir. Saya kemari untuk menawarkan diri menggantikan Tuan Muda berkuliah."
Tanjung membuka mulutnya terkejut.
Alfred berusia duapuluh dua tahun, setahun lebih muda daripada Surya dan dua tahun lebih tua daripada dirinya. Ia baru lulus kuliah bulan Mei lalu. Seumur hidupnya dihabiskan tumbuh bersama keluarga Jati, karena ayahnya adalah orang kepercayaan Indra, bagaikan perdana menteri untuk seorang raja. Walaupun demikian, Alfred belum diwajibkan melayani keluarga Jati seperti ayahnya. Ia masih dipersilakan bekerja atau bersekolah sesuai keinginannya, sebelum akhirnya nanti menggantikan Edward.
"Jangan, Alfred. Kamu nggak mau cari kerja atau pengalaman lain? Kamu nggak harus mengorbankan dirimu seperti ini," ujar Tanjung.
Alfred menggeleng. "Ini hanya untuk beberapa bulan, hingga anak Tuan Muda dan Nyonya Muda Catherine lahir. Lagipula, bagi saya, mengikuti perkuliahan adalah sesuatu yang menyenangkan. Saya bisa memperoleh ilmu baru. Sedangkan Tuan Muda seharusnya mengutamakan Nyonya Muda.
"Jika Tuan Muda tetap ingin belajar, saya dapat menemui Tuan Muda dua minggu sekali untuk menyampaikan pelajaran, atau menelepon Tuan Muda setiap malam. Tuan Muda juga dapat mengerjakan PR dan tugas perkuliahan secara jarak jauh. Lalu saat ujian tengah semester dan ujian akhir semester, Tuan Muda bisa terbang ke London untuk mengikutinya. Jadi nilai-nilai semester ini tetap nilai asli Tuan Muda."
Mata Tanjung berkaca-kaca. Ia memeluk Alfred penuh haru. "Makasih, Alfred. Tapi visa Swiss ..."
"Sudah saya urus sejak minggu lalu, Tuan. Jika Tuan mau, saya akan carikan penerbangan hari ini."
Tunggu, ide ini tidak mungkin berasal dari kepala Alfred. Terlalu licik dan disusun dengan sangat rapi. Pasti ...
"Ini ide Kak Surya, kan?"
"Ya, Tuan Muda Surya yang menyuruh saya melakukan ini."
Hati Tanjung terasa penuh, meluap dengan rasa haru dan kebahagiaan. Ia ingin sekali memeluk kakaknya, yang sayangnya sudah terbang ke Washington D.C. sejak Senin lalu, sehari setelah pernikahannya. Maka ia hanya dapat memeluk Alfred sekali lagi.
***
"Jadi ini ide kakakmu?" Suara Catherine berubah tajam.
"Cath, Kak Surya itu sebenarnya baik, walaupun dia kelihatan dingin dari luar," bela Tanjung. "Saat dia memergoki kita, itu suruhan Ayah. Dia nggak punya pilihan lain."
"Tapi dia nggak pernah membelamu saat kamu dihina ayahmu," ujar Catherine ketus. "Atau menghiburmu, atau menyemangatimu ..."
"He just doesn't have good people skills," jelas Tanjung.
Catherine menggeleng. "Kurasa, kamu dibutakan rasa kagummu pada kakakmu, Sayang. Aku yakin Surya Jati nggak sebaik itu. Tapi nggak masalah, aku nggak berurusan dengan Surya. Yang penting sekarang kamu ada di sini."
Tanjung tersenyum. "Jadi, my dear Catherine, kamu harus mengubah rencanamu lagi."
.
.
.
Bersambung.
(6 Agustus 2018)
1300++ kata
Uhui, Pak Alfred tahu semua skandal keluarga Jati. Wkwkwk. Untung keluarganya sendiri 'normal.' XD
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top