Catherine - 3
Entah apa yang dikatakan Surya pada ayahnya, namun Indra Jati akhirnya memberikan persetujuan bagi Tanjung untuk menikahi Catherine, meskipun dengan ogah-ogahan.
"Tiga syarat. Pertama, pernikahannya dilakukan secara sederhana dan sesegera mungkin. Kedua, cukup keluarga saja yang hadir. Ketiga, Tanjung tetap melanjutkan kuliahnya. Tidak boleh ada rencana yang tertunda akibat insiden ini," tegas Indra. "Soal Catherine, terserah Pak Hans ingin melakukan apa pada putrinya."
Hans mengangguk. "Saya setuju, Pak Indra. Catherine, seperti yang saya sudah katakan, akan tinggal di Swiss sampai anaknya lahir. Lalu ia bisa kembali berkuliah jika ia mau."
Catherine dan Tanjung saling berpandangan. Jika Tanjung tetap berkuliah di London, sedangkan Catherine harus pergi ke Swiss, artinya mereka akan dipisahkan?
"Kenapa aku nggak boleh tetap kuliah? Papa pikir aku nggak bisa kuliah dengan keadaan hamil?" protes Catherine.
"Bukan soal kamu bisa atau enggak, tapi Papa nggak mau skandal ini tersebar sampai ke telinga kenalan-kenalan Papa," ujar Hans sambil menatap tajam pada putri sulungnya. "Kamu sudah mempermalukan Papa, jangan pikir kamu bisa melenggang dan hidup seenaknya. Anggap saja itu hukuman untukmu."
"Ahem," Rara mengangkat suaranya, "kami tidak punya hak untuk mengaturmu, Catherine, tapi Tante bisa atur supaya Tanjung tetap bisa mengunjungimu." Ia mengabaikan pelototan suaminya. "Seorang istri butuh kasih sayang suaminya, apalagi ketika sedang mengandung."
Tanjung meremas tangan Catherine, namun buru-buru dilepaskannya ketika tatapan Indra berpindah ke arahnya. Catherine tidak sebahagia itu. Ini bukanlah keputusan yang diinginkannya, namun sepertinya ia tidak punya pilihan lain.
"Kalau begitu, menurut Pak Hans dan Bu Susan, kapan tanggal yang baik untuk pernikahan mereka?" lanjut Rara, masih dengan tenang.
"Secepatnya. Minggu depan, kalau semua sudah siap. Nggak perlu beli gaun desainer, beli saja di toko yang sudah tersedia. Toh, yang datang cuma keluarga dekat saja," jawab Hans.
"Mana bisa, Pa? Ini pertama kali kita menikahkan anak, loh. Anak perempuan lagi. Harus berkesan," protes Susan.
"Shotgun wedding nggak perlu dirayakan mewah-mewahan," tegas Hans. "Lagipula usia kandungan Cathy sudah empat bulan, mau nunggu berapa lama lagi, keburu kelihatan besar."
Catherine memang hanya memberitahu Tanjung perihal kehamilannya. Ia tidak pernah melapor kepada orangtuanya, berniat menyembunyikan kehamilannya selama mungkin. Akibatnya, ia ketahuan oleh salah satu bawahan Indra saat sedang berkunjung ke dokter kandungan bersama Tanjung. Bawahan itu melapor kepada Edward Darmadi, orang kepercayaan Indra Jati, yang kemudian menyebar sampai ke keluarga Sastradireja. Surya sampai dikirim ayahnya ke London untuk memeriksa kebenaran berita tersebut. Itulah sebabnya Catherine membenci Surya.
"Ya sudah, kalian urus pernikahanku. Terserah jadinya mau kaya apa, aku cukup datang saja, kan?" ujar Catherine sambil bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan.
***
Entah mengapa, Catherine merasa Tanjung menjauhinya sejak keluarga mereka merencanakan pernikahan ini. Ia tak mengetahui jalan pikiran kekasihnya yang pendiam itu.
Mungkinkah Tanjung menyesal? Atau ragu dengan keputusannya? Atau takut pada ancaman ayahnya? Catherine tidak tahu bahwa Tanjung dimarahi habis-habisan oleh ayahnya, dikatai segala macam hinaan dan dianggap manusia gagal, sehingga Tanjung banyak menghabiskan waktunya sendirian untuk merenung dan menangis.
Tanjung sendiri tidak bercerita kepada Catherine karena ia tidak ingin membebankan kekasihnya dengan segala masalahnya. Catherine sudah cukup tertekan dengan perlakuan orangtuanya. Tidak perlu direpotkan oleh kesedihannya. Namun ia sendiri merasa bahwa ia perlu waktu untuk menyendiri daripada menemani Catherine dalam suasana hatinya yang buruk.
Lebih parah lagi, beberapa ucapan Indra menusuk hatinya. Ia merasa sebagai manusia gagal. Ia menjauhkan diri dari semua orang yang ingin membantunya, terutama Puspa dan Alfred, putra Edward Darmadi. Ia merasa Puspa tidak layak mendapatkan kakak yang memalukan seperti dirinya, sedangkan ia tidak percaya pada Alfred yang mungkin saja mata-mata Indra, dan akan melaporkan isi curhatannya kepada ayahnya.
Benar-benar waktu penantian yang menyakitkan. Tanjung hanya ingin hari pernikahannya tiba, di mana ia dapat bersatu dengan Catherine secara resmi, bebas dari keributan orangtuanya dan orangtua Catherine. Akan tetapi, Catherine menjadi semakin dingin menjelang pernikahan mereka.
Tanjung khawatir ia sudah kehilangan cinta Catherine.
***
Catherine terlihat sedih, pikir Tanjung, begitu calon istrinya berjalan perlahan menuju altar di lengan Hans Sastradireja, pebisnis yang termasuk sepuluh besar orang terkaya di Indonesia. Apakah aku sudah mengecewakannya? Ia terlalu banyak mencucurkan air mata karena aku. Bisakah acara yang suram seperti ini memulai suatu pernikahan yang bahagia?
Tanjung hanya memandang ke bawah ketika Catherine berdiri di hadapannya. Suaranya terlalu pelan saat ia mengucapkan janji pernikahan, walaupun ia menaikkan volume suaranya di bagian, "I do."
Catherine melakukan hal yang sama, mengulangi janji pernikahan yang dibacakan pendeta, lalu mereka pun diresmikan sebagai suami istri. Di penghujung acara, Catherine berganti pakaian untuk mengikuti acara makan-makan di sebuah restoran tak jauh dari gereja.
Seluruh anggota keluarga Jati dan Sastradireja berusaha bersikap biasa saja. Puspa bahkan mencoba mengobrol dengan adik-adik Catherine. Namun semua makanan berasa seperti debu di mulut Catherine. Ia tidak sanggup makan banyak. Apalagi ia dikelilingi orangtuanya dan orangtua Tanjung, sehingga suasananya semakin mencekam. Kedua pasangan konglomerat itu saling berbincang santai, namun Catherine dan Tanjung tak dapat mengabaikan aura ketegangan di antara kedua belah pihak yang ditutup-tutupi.
Menjelang malam, Catherine merasa lega. Akhirnya ia dapat menyingkir dari keluarganya, baik yang lama maupun yang baru. Sakit kepalanya yang berkelanjutan selama seminggu ini akan berkesudahan. Dokter kandungannya mengatakan ia terlalu stres, tak baik untuk bayinya.
Maafkan Mama, bisiknya dalam hati. Kamu ikut menderita, padahal ini bukan salahmu. Tapi di tengah keributan antara keluarga Jati dan keluargaku, Mama nggak bisa nggak stres.
Tanjung tak mengatakan apapun ketika limosin mereka mengantar mereka ke apartemen milik Catherine -- yang sudah dihuni Tanjung secara de facto sejak mereka memasuki bulan keenam berpacaran. Secara de jure, Tanjung masih menghuni apartemen miliknya sendiri yang terletak beberapa blok dari milik Catherine. Namun Catherine meminta Tanjung menemaninya dengan berbagai alasan, hingga akhirnya Tanjung benar-benar pindah ke sana.
"Minggu depan sudah masuk kuliah lagi," desah Catherine, memandang ke kalender yang digantung di dinding, sambil melepas sepatunya. "Dan aku ... aku akan pergi ke Geneva."
Buliran air mengalir dari sudut matanya, jatuh ke pipinya. Tanjung menariknya ke dalam pelukannya. Beberapa minggu terakhir ini, Catherine hampir menangis setiap hari. Ini membuat Tanjung semakin sedih, karena ia tahu Catherine adalah perempuan yang kuat. Namun menghadapi empat orangtua sekaligus, tentu ia tak sanggup bertahan. Di balik semua kekuatannya, ia hanyalah seorang perempuan muda berusia duapuluh satu tahun.
"Cath," bisik Tanjung, "aku akan mengunjungimu setiap minggu, oke? Aku akan berangkat setiap Jum'at dan pulang setiap Minggu. Aku nggak akan membiarkanmu sendirian."
Air mata Catherine terus membanjiri jas Armani Tanjung, namun lelaki itu tidak peduli. Tangannya tak berhenti mengusap rambut istrinya.
"Mulai saat ini," lanjut sang suami, "aku adalah milikmu, dan kamu milikku. Always and forever, us against the world. Okay?"
"Okay."
.
.
.
Bersambung.
(1 Agustus 2018)
1000++ kata
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top