Catherine - 21 [END]
Jakarta, Mei 1998
Catherine membuka matanya, menemukan dirinya berada di pelukan hangat Tanjung. Ia menyukai tubuh suaminya yang jauh lebih besar dibandingkan dirinya. Tanpa mengenakan high heels, tinggi Catherine hanya mencapai batas mulut Tanjung. Jangan ditanya, putra-putri keluarga Jati memang berpostur jangkung, termasuk Puspa yang mencapai 170 cm.
Sang suami melingkupi tubuhnya dengan kedua lengannya yang kokoh, sangat protektif. Tangannya berkelana ke perut Catherine yang membuncit. Ya, Catherine sedang mengandung enam bulan, anak kedua mereka yang hadir tanpa disangka-sangka. Kali ini seorang anak perempuan, yang dinamai ayahnya Angela Tanjung Jati, seakan-akan mengumumkan kepada seluruh dunia bahwa ialah putrinya.
Sepulangnya Catherine ke Jakarta, empat tahun yang lalu, ia dan Tanjung akhirnya sepakat untuk memiliki anak lagi. Mereka berusaha secara alamiah, tanpa memaksa, tanpa bantuan dokter maupun obat-obatan. Lagipula, Catherine pasrah. Jika ia diberi anak lagi, ia bersyukur, namun jika tidak, ia pun tidak keberatan.
Selama tiga tahun lebih, mereka mencoba tanpa hasil. Mungkin, keduanya terlalu stres. Catherine yang menjabat sebagai direktur utama Bank Jati, serta Tanjung yang menjabat sebagai direktur operasional Grup Jati, memang luar biasa sibuk. Keduanya menjadikan pekerjaan sebagai pelarian mereka untuk meredakan rasa sakit yang masih belum hilang, walaupun mereka selalu meluangkan waktu untuk satu sama lain.
Apalagi pada pertengahan tahun 1997, gonjang-ganjing mengenai krisis ekonomi Asia mulai terdengar. Sebelum melanda Indonesia, Surya Jati memutuskan untuk menjual beberapa perusahaannya agar ia dapat mempertahankan perusahaan lainnya yang lebih berharga. Bank Jati yang dikepalai Catherine menjadi salah satu korbannya. Surya menjualnya kepada Henry Fong, suami Maya Fong, adik Indra Jati yang pernah bertemu dengan Catherine di London. Henry mempertahankan Catherine di jajaran direksi, namun merotasinya ke bagian direktur keuangan, bukan lagi direktur utama yang dijabat salah satu saudaranya.
Keputusan ini malah membawa berkah kepada Catherine dan Tanjung. Pada bulan Januari 1998, beberapa hari sebelum ulangtahun Jason yang kelimabelas, Catherine dan Cornelia pergi ke toko kue untuk memesan kue. (Catherine mulai menghargai kakak iparnya sejak Cornelia membangun yayasan Cornelia Jati untuk membantu ibu dan anak yang kesulitan. Sebelumnya ia hanya menganggap Cornelia perempuan manja yang tidak ambisius, puas hanya menjadi ibu rumah tangga.) Namun aroma kue yang semerbak membuat Catherine mual setengah mati. Ia masuk ke kamar mandi toko itu dan muntah selama limabelas menit.
"Cathy, kamu baik-baik saja?" tanya Cornelia yang menyusulnya ke kamar mandi.
Catherine sedang mencuci mulutnya di wastafel. "Nel, aku keluar saja. Wangi kuenya bikin aku mual. Kalau kamu nggak keberatan, tolong bawakan brosur contoh kuenya, biar kupilih di luar toko."
Cornelia menuruti kemauan Catherine tanpa banyak protes. Namun diam-diam ia tersenyum.
"Cathy, kapan terakhir kali kamu datang bulan?"
Catherine berpikir sejenak. "Tahun lalu ... bulan November." Ia memandang Cornelia dengan mata terbelalak. "Maksudmu, aku? Tapi ... kukira ..."
"Coba dites saja," kata Cornelia sambil tersenyum. "Biar kuurus pesanan kuenya." Ia mengambil brosur dari tangan Catherine dan masuk kembali ke toko untuk membeli kue yang dipilih Catherine.
***
Ketika Tanjung mengetahui perihal kehamilan istrinya untuk kedua kalinya, ia sangat bersemangat, bahkan lebih daripada Catherine sendiri. Catherine sedikit was-was -- ia tak pernah membayangkan dirinya memiliki anak di usia tigapuluh tujuh tahun. Namun ia berusaha tidak terlalu khawatir. Kehamilannya termasuk lancar, walaupun ia merasakan bedanya saat usia duapuluh satu tahun dan tigapuluh tujuh tahun. Kali ini, ia lebih cepat lelah dan mengantuk. Ia selalu ingin tidur. Pinggangnya mulai terasa pegal di usia kandungan lima bulan, padahal dulu ia masih sanggup berjalan-jalan di Geneva di usia kandungan tujuh bulan.
"Setiap kehamilan beda-beda, Cath," ujar ibunya, yang telah melahirkan lima anak. "Selain karena usiamu, memang bawaan bayinya juga beda-beda."
Semua anggota keluarganya bahagia mendengar kabar ini, kecuali Indra yang masih pura-pura cuek, dan Surya yang memang benar-benar cuek. Namun Catherine tidak peduli. Yang penting ia sendiri merasa bahagia -- dan Tanjung merasa bahagia.
"Bapak Direktur Operasional Grup Jati, istrimu perlu bangun. Ada rapat jam sepuluh, Pak," ujar Catherine sambil menggenggam tangan suaminya yang masih mengusap perutnya.
Tanjung hanya melepaskan satu tangannya untuk memeriksa jam di nakas di sebelah tempat tidur. "Masih jam delapan, Bu Direktur Keuangan. Jangan pergi dulu."
"Tapi aku harus mandi, siap-siap, sarapan, lalu berangkat," protes Catherine.
"Tapi aku masih mau memeluk Angela," bisik Tanjung tak tahu malu.
Catherine hanya memutar bola matanya. Bapak-bapak berusia tigapuluh enam tahun ini memang campuran kekanakan dan kebapakan. Tanjung mengatakan, menjadi ayah adalah panggilan hidupnya. Apalagi impiannya memiliki seorang anak perempuan kini terkabul.
"Oke, deh, nanti kalau Angela lahir, kamu yang urus total. Aku cuma kasih susu doang," ledek Catherine.
"Setuju, Madame Jati," ujar suaminya. "By the way, untung, kan, kamu nggak potong 'itu'-ku?"
"Ngaco," balas Catherine sambil menyikut bagian berharga suaminya yang meringis kesakitan.
***
Catherine memandang wajahnya di cermin sambil tersenyum. Wajahnya berseri-seri, semakin cantik. Dengan terusan berwarna krem yang dipadukan dengan jas hitam, ia terlihat formal. Ia tinggal mengikat rambutnya menjadi cepol di bawah kepalanya, dan ia siap berangkat.
Angela, Sayang, batinnya, Mama sayang kamu. Tapi Mama nggak akan pernah melupakan kakakmu, yang sangat Mama cintai. Nanti Mama akan menceritakan dia padamu, supaya kamu juga bisa mengenal kakakmu yang hebat itu.
Senyuman bahagia Catherine berubah menjadi penuh haru. Tiba-tiba sepasang tangan yang wangi sabun merengkuhnya dari belakang.
"Istriku yang cantik," ucap Tanjung. Lelaki itu masih mengenakan kaos dan celana pendek sehabis mandi. "Biar aku saja."
Ia mengambil jepit dari tangan Catherine dan memasangkannya ke rambutnya. Lalu memasukkan rambut panjang Catherine ke dalam jaring-jaringnya membentuk cepol kecil. Namun leher jenjang Catherine kini menggoda nafsunya.
"Cath," ucapnya sambil mencium leher istrinya, "jangan pergi dulu, dong."
"Ya ampun, Bapak Tanjung Jati, jangan macam-macam. Aku udah harus berangkat!"
"Bentar, Angela pamit dulu sama Papa," bisik Tanjung. Ia berlutut dan mencium perut Catherine. "Angela, Sayang, biar kamu sama Mama dulu, ya. Karena kalau kamu udah lahir, Papa nggak akan berpisah denganmu."
Catherine tertawa. "Ngomong apa, sih, kamu? Udah, udah, lepasin aku, Sayang." Ia mencabut tangan Tanjung dari tubuhnya dan mencium bibirnya, lalu meninggalkan ruangan.
"Je t'aime, Madame Jati!" seru Tanjung sebelum Catherine keluar.
***
Rapat yang dipimpin Catherine berlangsung lancar. Ia sedang beristirahat di kantornya, memesan makan siang kepada sekretarisnya, ketika pintu tiba-tiba diketuk. Alfred Darmadi melongokkan kepalanya ke dalam ruangan.
"Bu Cathy," ucapnya, "Pak Tanjung meminta Anda menemuinya di helipad. Ada penembakan di kampus Trisakti. Kondisi Jakarta diprediksi akan memanas dan membahayakan keamanan warga, termasuk Anda."
"Apa? Tanjung sudah di sana?" tanya Catherine. Kantor Tanjung berbeda gedung dengan kantornya, namun bersebelahan.
"Ya, beliau menunggu Anda."
Catherine bergegas menaiki lift dari ruang pribadinya yang menuju ke puncak gedung, disusul Alfred dan beberapa bodyguard-nya. Di sana, Tanjung berdiri di sebelah helikopter milik keluarga Jati.
"Cathy, aku mau kamu menyusul Nella dan Tiara ke Singapura sampai keadaan kembali kondusif. Ada penembakan mahasiswa di kampus Trisakti. Pengamat memprediksi kekacauan di Jakarta selama beberapa hari ke depan. Jakarta nggak aman," tutur sang suami.
"Lalu bagaimana denganmu?" tanya Catherine.
Tanjung menggeleng. "Aku dan Kak Surya bertahan di sini untuk menangani situasi di Grup Jati. Kami punya banyak bodyguard, kami akan baik-baik saja."
"Tapi kamu ..."
"Aku akan baik-baik saja, Cath," ulang Tanjung. "Yang terpenting, kamu dan Angela aman. Sekarang naiklah. Helikopter ini akan membawamu ke bandara Halim, lalu dari sana kamu akan naik jet ke Singapura bersama Nella dan Tiara."
Pintu helikopter terbuka. Tanjung memeluk dan mencium istrinya, mengusap perutnya, lalu membantunya masuk ke dalam helikopter.
"Jaga diri, Sayang!" seru Catherine, mengeraskan suaranya yang bersaing dengan baling-baling helikopter. "I love you!"
"I love you too," balas Tanjung sambil melambaikan tangannya.
Catherine terus memandang ke bawah hingga suaminya hilang dari pandangannya.
***
Kekerasan terjadi di beberapa kota besar di Indonesia: Medan, Jakarta, Solo, dan Surabaya. Puluhan ribu korban berjatuhan. Gedung-gedung dibakar. Semua menuntut kejatuhan rezim pemerintah yang berkuasa saat itu, hingga presiden akhirnya mengundurkan diri sekitar seminggu setelah Catherine meninggalkan Jakarta.
Di Singapura, Catherine bergabung dengan Cornelia, Tiara, Indra, dan Rara. Orangtuanya pun mengungsi ke rumah Agnes, adiknya, yang menikah dengan warga Singapura. Catherine merasa gelisah setiap kali telepon berdering, kalau-kalau ada berita buruk mengenai Tanjung. Namun suaminya rutin menelepon setiap malam dan mengabarinya bahwa ia baik-baik saja. Di akhir pekan, ia menyusul Catherine ke Singapura atas perintah Surya. Surya sendiri tidak ikut ke Singapura. Ia bertahan di Jakarta sampai kerusuhan selesai.
"Kerusakan di Grup Jati kebanyakan hanya aset-aset fisik, namun secara finansial, kita aman," jelas Tanjung. "Ini berkat perencanaan ulung Kak Surya yang telah memindahkan sebagian kekayaan Grup Jati ke New York dan Paris."
Catherine memeluk suaminya semakin erat, mengabaikan bahwa ia sedang berada di dalam perkumpulan keluarga Jati yang juga dihadiri Indra, Rara, Cornelia, dan Tiara. Cornelia memeluk Tiara erat, namun kecemasan di matanya tidak luntur. Seperti dirinya, istri Surya itu pasti sangat mengkhawatirkan suaminya. Apalagi Surya tidak menemuinya.
Akhir bulan Mei, keluarga Jati pun kembali ke Jakarta. Untungnya, rumah mereka di Menteng tidak tersentuh, berkat pengamanan para pengawal keluarga Jati yang luar biasa. Keadaan di Jakarta berangsur-angsur pulih. Namun Catherine memutuskan untuk mengambil cuti dari pekerjaannya dan menjaga kandungannya yang telah memasuki awal trimester ketiga. Dokter memvonisnya terlalu stres saat mencemaskan Tanjung dari Singapura.
Alhasil, Catherine lebih banyak berdiam di rumah, membaca buku, atau membantu Cornelia mengurus yayasannya yang semakin sibuk. Apalagi kerusuhan yang baru terjadi menimbulkan banyak korban. Cornelia, yang sempat mengalami beberapa kali keguguran sebelum melahirkan Tiara, selalu mengingatkan Catherine untuk menjaga diri.
"Dulu kukira kamu nggak suka padaku," ucap Cornelia saat kedua Nyonya Jati itu sedang beristirahat bersama di ruangan Cornelia di yayasan.
"Setiap kali aku melihatmu dengan Tiara, aku selalu teringat pada Jason," ujar Catherine sambil meringis. "Kalau dia masih bersamaku sekarang, dia pasti sudah menjadi seorang remaja yang sangat tampan, seperti ayahnya. Semoga ia masih mengingatku saat kita bertemu nanti."
Membicarakan Jason terasa pahit bercampur manis. Catherine tidak keberatan membahasnya, karena seakan-akan Jason masih ada bersama mereka.
"Dia pasti akan mengingatmu, Cathy," sahut Cornelia sambil tersenyum. "Dan Tiara nggak ada miripnya sama Jason. Anak itu selalu seenaknya, persis Surya, walaupun mukanya mirip aku."
"Jason mirip Tanjung, muka maupun sifatnya," ujar Catherine. "Entahlah, itu saat ia masih kecil. Siapa tahu sekarang mirip denganku."
Mereka tertawa bersama.
"Aku nggak tahu harus bilang apa pada Angela soal kakaknya," desah Catherine sambil mengusap perutnya yang sudah menginjak usia sembilan bulan. "Aku mau dia mengenal Jason, tapi aku juga bingung bagaimana memberitahunya."
"Let's worry about it later," ucap Cornelia. "Aku juga akan mengikuti saranmu, bagaimana aku harus memberitahu Tiara tentang kakak sepupunya."
Tiara yang masih berusia tujuh tahun tidak pernah bertemu Jason. Baik Surya maupun Cornelia juga belum memberitahunya mengenai kakak sepupunya yang hilang. Mungkin Tiara pernah melihatnya di foto-foto keluarga Jati, seperti di pernikahan orangtuanya, namun begitu banyak tamu di foto, ia tidak mungkin mengingat semuanya.
"Jawab saja dengan jujur kalau dia bertanya," sahut Catherine. "Bagi Tiara, Jason mungkin nggak terlalu penting. Tapi bagi Angela ... Jason adalah kakak kandungnya."
Cornelia hanya mengusap tangan Catherine penuh pengertian.
***
Bulan Agustus, Catherine melahirkan seorang anak perempuan yang cantik dan sehat, Angela Tanjung Jati, nama yang diberikan oleh ayahnya dengan bangga. Setelah apa yang terjadi pada Jason, yang dilarang menggunakan nama Jati oleh sang kakek, Tanjung tidak segan-segan menamai putrinya dengan nama lengkapnya.
"Angela-ku," ucap sang ayah, sambil menggendong bayi yang masih kemerahan itu, dengan air mata mengalir di pipinya.
Tanjung menepati ucapannya. Ia mengurangi kesibukannya demi menghabiskan waktu bersama Angela, yang dimanjakannya tanpa tahu malu. Bahkan setiap kali Angela menangis di tengah malam meminta susu, Tanjung-lah yang bangun dan memberikan ASI perah di botol yang sudah dipompa oleh Catherine sebelum tidur. Catherine benar-benar dapat tidur nyenyak.
"Enak, kan, punya suami seperti aku?" ujar Tanjung bangga, sambil memegang botol susu Angela yang berbaring di atas bantal khusus.
"Gitu aja bangga. Udah kewajiban tahu," cibir Catherine yang bersandar ke paha suaminya. "Aku udah capek selama sembilan bulan, harusnya ayahnya yang gantian mengurusnya."
"Tapi bapak-bapak lain kan ..."
"Harus digetok," sela Catherine. "Bayi itu anak mereka apa bukan? Masa yang rawat cuma ibunya doang?"
"Iya, iya, Sayang," ujar Tanjung sambil mengusap rambut Catherine.
"Kalau kamu termasuk jenis bapak-bapak itu, yang ganti popok bayinya aja ogah, aku nggak akan mau nikah sama kamu."
"Tapi kamu kan nikah sama aku gara-gara ..."
"Udah, nggak usah diingatkan lagi," potong Catherine.
Di tengah-tengah candaan itu, mereka terdiam. Tanpa perlu berkata-kata, keduanya tahu apa yang dipikirkan satu sama lain.
"Jason," desah Catherine. "Beberapa hari ini, aku mimpi bertemu dengannya. Dia sudah remaja, tinggi dan ganteng seperti kamu."
"Puspa sudah menemukan sesuatu," ujar Tanjung. "Bukan Jason, tapi suatu laboratorium yang melakukan eksperimen ilegal pada manusia. Dia curiga ada hubungan antara kelompok itu dan Jason, hanya saja dia belum berhasil menemukannya."
Catherine menghela napas dan menggeleng. "Tell me, why haven't we given up? Setiap berita membuatku berharap, namun sebelum aku menemukannya, perasaanku akan turun kembali."
"Because we are his parents and we love him. We never give up," sahut Tanjung.
.
.
.
END
(22 Agustus 2018)
2000++ kata
Jason will return.
.
.
.
.
.
[POST-CREDIT SCENE]
.
.
.
.
.
2018
Catherine menghirup udara segar di tepi sebuah danau jernih kebiruan yang memantulkan gambar pegunungan yang mengelilinginya. Suhu dingin menjelang musim gugur menerpa pipi dan tangannya yang tak tertutup jaket.
Ia memejamkan matanya. Nyaris tigapuluh tahun berlalu sejak Jason menghilang. Catherine telah merasakan asam garam kehidupan, yang menempanya dari gadis penuh semangat yang bisa bertindak sesukanya, menjadi perempuan berusia paruh baya yang mengetahui rasanya kebahagiaan dan kesedihan, rasanya menjadi ibu dan kehilangan anak, rasanya berkorban demi seseorang yang dicintainya. Dan rasanya menyayangi seseorang yang telah pergi dari sisinya.
Tahun ini Catherine menginjak usia limapuluh tujuh tahun. Wajah cantiknya masih terawat dengan baik, walaupun beberapa kerut menghiasi wajahnya, dan helaian keperakan menghiasi rambutnya yang menipis. Begitu banyak peristiwa yang dialaminya, yang disaksikannya. Namun setidaknya ia masih memiliki Tanjung di sisinya.
Tanjung merangkul Catherine erat. Lelaki berusia limapuluh enam tahun itu tidak setegap dulu. Rambutnya juga sudah menipis dan memutih, dan penglihatannya harus ditolong oleh kacamata. Namun kehangatannya masih sama, dan rasa cintanya terhadap Catherine tidak pernah berkurang.
Mereka memilih meninggalkan Jakarta, membiarkan Tiara mengelola Grup Jati sepeninggal ayahnya. Indra Jati sudah meninggal tiga tahun yang lalu. Rara yang kini berusia delapan puluh tahun bergantung pada putra keduanya, karena Surya selalu sibuk. Puspa telah menjadi pengacara ternama di Eropa dan semakin jarang menghubungi keluarganya.
Hingga suatu saat berita mengejutkan itu membawa Catherine dan Tanjung ke tempat ini. Suatu desa indah di pegunungan Eropa.
Catherine melihat sosok seorang lelaki bertubuh tinggi mendekatinya. Lelaki itu berambut hitam dan berkulit putih. Ia mengenakan jaket hitam dan celana jins biru tua. Namun, semakin ia mendekat, wajahnya membuat Catherine menahan napas.
Perpaduan sempurna antara dirinya dan Tanjung tergambar jelas di wajah lelaki itu. Lebih banyak mirip Tanjung, namun sorot matanya adalah miliknya, seperti yang sering Catherine lihat saat bercermin. Lelaki yang luar biasa tampan ini berada dalam kondisi prima, masih muda namun sudah cukup matang. Catherine menduga, usianya sekitar tigapuluhan.
Usia yang sama dengan Jason, jika ia masih hidup, batin sang ibu.
"Maman?" ucap lelaki tersebut.
"Jason?"
.
.
.
Akhirnya tamat juga! Cerita habis ini harus pendek, seriusan. XD
Yang pasti, Puspa juga bakal dibikin cerita. Cuma belum tahu mau tokoh lain dulu atau langsung dia.
Anggap work ini sebagai bonus buat pembaca setia yang ngikutin cerita ini. Jason akan muncul lagi di Serial Pahlawan Nusantara. :D
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top