Catherine - 2
"Cathy!"
Catherine menghentikan langkahnya di jalan setapak yang mengelilingi villa. Ia minta Puspa membiarkan dirinya menjernihkan pikirannya sendirian. Sebenarnya ia ingin meninggalkan villa terkutuk ini, namun apa boleh buat, penjaga keluarga Jati dan Sastradireja berjajar di gerbang keluar. Pagar yang mengurung villa terlalu tinggi, lagipula keadaan dirinya sekarang tidak memungkinkannya memanjat.
Tanjung berhenti di hadapannya, terengah-engah, memegang tangannya seakan-akan ia akan melarikan diri. Pipi kanannya merah keunguan -- Catherine bergidik menyadari betapa keras Hans akan menamparnya tadi, kalau saja Tanjung tak menamenginya.
"Maafkan aku, Cathy, maafkan aku," ujar Tanjung dengan mata memelas, seakan-akan dua kali mengatakannya memperbesar peluang Catherine memaafkannya.
"Buat apa?" balas Catherine dingin.
"Aku ingin meminta maaf ... untuk perlakuan keluargaku terhadapmu. Ayahku benar-benar keterlaluan terhadapmu."
Catherine menghela napas. "Papaku sendiri nggak bersikap baik padamu." Tangannya terulur, hendak menyentuh pipi Tanjung, namun ia mengurungkannya. "Itu sudah diobati?"
Tanjung mengangguk. "Ibu memberikan obat sebelum aku mencarimu." Ia menangkap tangan Catherine dan menggenggamnya. "Cath, apa yang harus kita lakukan?"
Catherine menghentakkan kakinya tak sabar. "Aku tak tahu, melarikan diri, mungkin?" ujarnya sarkas. Walaupun hatinya mendorong dirinya untuk menangkup wajah Tanjung dan menciumnya habis-habisan, kekesalannya pada kekashnya itu masih belum hilang.
Tanjung menundukkan kepalanya. "Maafkan aku, Cath. Aku tahu, kamu pasti kecewa padaku. Aku nggak berani membelamu di hadapan Ayah. Tapi ..." ia menggeleng, "aku nggak bisa. Aku takut pada Ayah. Aku memang pengecut. Dan aku membuatmu kesal."
Air mengalir dari pelupuk matanya, suatu hal yang pasti akan dihina oleh Indra dan Surya tanpa ampun. Ia hanya berani menangis di hadapan Catherine, karena seberapa besar perempuan itu akan mengejeknya, ia tahu Catherine tetap mencintainya.
Biasanya Catherine akan memeluk Tanjung, namun ia masih kesal. "Hen--hentikan, Tanjung. Jangan kira, aku akan memaafkanmu kalau menangis di depanku."
"Apa yang harus -- tidak, apa yang kamu inginkan, Cath? Apapun itu. Katakanlah, aku akan melakukannya demi kamu."
"Tanjung -- kalau kita memutus hubungan dengan keluarga kita -- apakah kamu sanggup?"
Tanjung terperanjat.
"Kita bisa hidup berdua saja, Tanjung. Hanya aku dan kamu. Kita orang pintar, pasti bisa mencari pekerjaan dan hidup dengan layak. Kita bisa jadi keluarga kecil yang bahagia. Jauh dari keangkuhan keluarga kita yang hanya memerhatikan reputasi mereka daripada perasaan kita," bisik Catherine.
"Cathy, aku sangat menginginkannya. Tapi kamu tahu, seberapa besar pengaruh Ayah. Kalau kita melawannya, bisa-bisa Ayah akan mencelakai kita. Semua koneksinya dimanfaatkan untuk menghalangi kita hidup layak."
"Apakah dia akan sejahat itu padamu?"
Tanjung mengangguk perlahan. "Di matanya, hanya ada Kakak. Aku selalu diremehkan, dianggap nggak bisa melakukan apapun."
"Lalu kamu mau mengikuti keinginannya? Meninggalkanku dan pergi ke Amerika bersama Surya?" Catherine setengah berteriak. Wajahnya memerah. Ia harus menarik napas untuk menenangkan dirinya.
Tanjung menggeleng. "Tidak, aku akan menikahimu, Cathy. Bagaimanapun caranya."
"Tapi ayahmu nggak mau kita menikah."
"Ibu akan meyakinkannya. Orangtuamu juga. Kalau kita kabur, baik Ayah maupun Ibu akan marah terhadap kita. Tapi kalau kita mengalah sebentar ... mungkin kita bisa melunakkan hati mereka dan mendapatkan kebahagiaan yang kita inginkan."
Sebenarnya Catherine tidak keberatan jika tidak dinikahi. Cara pandangnya termasuk modern dan liberal dibandingkan perempuan pada umumnya, apalagi perempuan Asia. Ia hanya ingin Tanjung di sisinya. Namun dalam keadaannya yang belum sepenuhnya memaafkan Tanjung, ia tak mau mengatakannya.
"Baiklah. Kalau sampai minggu depan ayahmu masih nggak mau kamu menikahiku, mari kita melarikan diri. Kalau kamu nggak mau, aku akan pergi sendirian."
"Tidak, Cath. Apapun keputusanmu, aku akan menemanimu."
***
Selama seminggu ke depan, keluarga Jati dan keluarga Sastradireja masih bernegosiasi alot. Tiga melawan satu. Indra masih bersikeras dengan pendapatnya, namun Rara mendukung pendapat Hans dan Susan bahwa Tanjung harus menikahi Catherine.
Jika tidak didukung istrinya, Indra hanya dapat mengomel ke mana-mana. Benar-benar menyebalkan. Walaupun Rara masih menemani suaminya dan tidak mengangkat suaranya, ia juga tidak mau meladeninya bicara. Ia hanya membuka mulut seperlunya saja. Surya sampai tidak tahan dengan keributan orangtuanya dan memilih mengasingkan diri di perpustakaan sebelum kembali ke Washington DC untuk melanjutkan pekerjaannya di Bank Dunia.
Puspa menemani Catherine, yang ditinggalkan oleh adik-adiknya, bukan karena mereka tak lagi sayang padanya, namun karena mereka takut pada Hans dan Susan. Tidak seperti Tanjung yang tumbuh menjadi pemuda tak percaya diri, Puspa memiliki jiwa pemberontak. Ia tidak menyukai ayahnya yang tidak adil dan pilih kasih. Oleh sebab itu, ia mendukung Catherine.
"Kak Surya, katakan sesuatu pada Kak Tanjung dan Kak Cathy!" ujar Puspa kepada kakak sulungnya yang sedang membaca buku.
Surya membenarkan posisi kacamatanya. "Memangnya aku perlu bilang apa?"
"Kakak nggak kasihan sama mereka? Ayah mau mendengarkan Kakak, jadilah penengah di antara mereka. Bukannya mempersulit hidup mereka," tegur Puspa.
"Tanjung memang melakukan kebodohan. Ayah juga, buat apa, sih, ribut-ribut begitu? Bikin capek dan nggak ada ujungnya," ujar Surya.
Puspa menarik buku dari tangan Surya. "Dengarkan aku, Kak!"
Surya memutar bola matanya dan melipat tangannya. "Anak kecil nggak usah ikut campur."
"Kak Tanjung adalah kakakku dan anak Kak Cathy keponakanku. Aku harus ikut campur."
"Baiklah, kamu mau apa?"
***
Pertemuan keluarga diadakan kembali di villa keluarga Jati. Catherine dan Tanjung telah mengemas pakaiannya dan membeli tiket ke Edinburgh, Skotlandia. Dari sana mereka akan terbang lagi ke salah satu negara di Eropa Utara, antara Finlandia atau Norwegia. Mereka sengaja ke Skotlandia dulu untuk menghilangkan jejak. Kenalan Catherine ada yang bekerja di penerbangan dan mau menyelundupkan mereka ke pesawat atas nama orang lain.
"Kalian mau melarikan diri?"
Surya menghadang mereka di teras villa, duapuluh menit sebelum pertemuan dimulai. Lelaki jangkung itu melipat tangannya bagaikan polisi yang menangkap dua anak nakal.
"Ka--Kakak?!" ucap Tanjung.
"Jangan mengada-ada, Surya. Kalau kami melarikan diri, untuk apa kami datang kemari?" cibir Catherine.
"Terserah. Tapi apapun rencana kalian, batalkan saja."
Catherine memicingkan matanya ke arah Surya. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan amarah yang akan keluar dari mulutnya. Setelah menenangkan diri, ia berkata dengan santai, "Kami nggak punya rencana apa-apa, tuh."
"Dengar dulu ucapanku sampai habis," ujar Surya. "Kalau kalian melarikan diri, kalian mau hidup dalam pelarian hingga berapa lama? Pakai uang siapa? Cepat atau lambat, kalian pasti akan ketahuan Ayah. Tanjung, kamu tahu sendiri seberapa keras Ayah kalau kita menentangnya."
Catherine melirik ke arah Tanjung. Kekasihnya meringis, seakan-akan ia mengingat suatu kejadian yang tidak menyenangkan.
"Lalu apa tujuanmu?" cecar Catherine.
"Kalian turuti saja keinginannya. Toh, kalian nggak akan pulang ke Indonesia dalam waktu dekat. Ayah juga nggak akan mengawasi kalian setiap saat,. Lebih baik hidup bersenang-senang daripada bersusah-susah, bukan?" seringai Surya.
"Tapi, Kak ... Ayah ... nggak mau aku menikah dengan Cathy," ucap Tanjung. "Dan aku bersikeras akan menikahinya." Ia menggenggam tangan Catherine dengan keteguhan yang mengejutkan.
Surya tersenyum licik. "Kalian lihat saja."
.
.
.
Bersambung.
(1 Agustus 2018)
1000++ kata
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top