Catherine - 19
Hari-hari yang menyusul bagaikan kabut yang menyelaputi mata Catherine. Ia sulit membedakan mana kenyataan, ingatan, mimpi buruk, dan halusinasi. Hal yang terakhir ia sadari, ia berlari menuju halaman rumah sakit dengan setengah linglung, menerobos penjagaan para pemadam kebakaran yang baru saja selesai memadamkan api dan memastikan korban selamat sudah mendapatkan pertolongan yang sesuai.
Baik Jason maupun dokter Matheson tidak tertolong.
Catherine menangis histeris ketika pemadam kebakaran memberitahunya bahwa tubuh gosong dengan wajah rusak sepenuhnya adalah putranya. Ia tak mau percaya hingga mereka melakukan tes DNA untuk membuktikan bahwa tubuh itu benar-benar milik Jason. Namun melihat luka bekas operasi di bagian dada kirinya, selang infus yang menancap di lengannya, serta alat-alat pengukur detak jantung yang katanya ditemukan menempel di dadanya, Catherine mau tidak mau menghadapi kenyataan bahwa Jason telah tiada.
Putranya meninggalkannya selamanya.
Hingga malam hari, ketika Tanjung dan Puspa terbang dari Paris ke Geneva, Catherine hanya duduk di lobby rumah sakit yang masih utuh, tersesat dalam pikirannya. Air matanya sudah habis. Ia termenung, terpaku bagaikan batu, berkali-kali meyakinkan dirinya bahwa itu semua tidak nyata, itu semua hanya mimpi buruk.
"Cathy ..." Suara suaminya membuyarkan lamunannya.
Dan air mata itu kembali membanjiri wajahnya. "Ini semua salahmu!" ucapnya tersedu-sedu. "Kalau kamu nggak ada di Paris ... kalau kamu menemaninya di Geneva ... Bukan, ini salahku. Kenapa aku meninggalkannya? Kenapa aku pulang untuk makan dan memasak? Seharusnya aku tetap menunggu di luar kamar operasi supaya aku bisa menolongnya!"
"Cathy, ini bukan salahmu," tutur Tanjung di sela-sela air matanya. "Nggak ada yang bisa menduga kalau ini akan terjadi."
"Tapi kalau aku tetap di sini ... aku bisa menolongnya ..."
"Kak Cathy," panggil Puspa dengan suara serak, sambil memeluknya erat. "Kak Tanjung benar. Ini bukan salahmu."
"Diamlah kalian!" pinta Catherine. "Salahku bukan salahku, itu nggak akan membawa Jason kembali. Kembalikan Jason padaku, Tanjung. Kamu bilang akan menjaganya. Mana janjimu? Kenapa nggak kamu penuhi?"
Tanjung hanya menundukkan kepalanya. Ia menarik Catherine ke dalam pelukannya, membiarkan istrinya mencurahkan segala kesedihannya. Selama beberapa menit, ketiganya hanya bertangisan di sana. Namun Puspa segera melepaskan diri.
"Mau ke mana, Puspa?" tanya kakaknya.
"Memeriksa jasad mereka," sahut sang pengacara.
***
Rara Hayuningtyas, Hans Sastradireja, dan Susan Sastradireja mengunjungi Catherine dan Tanjung di Geneva. Tidak ada acara pemakaman bagi Jason, karena Puspa masih bersikeras untuk menunggu hasil forensik. Rara dan Hans hanya menemani pasangan suami istri itu selama dua minggu, namun Susan tetap tinggal selama beberapa bulan untuk merawat putri sulungnya.
Pikiran gelap menguasai Catherine. Beberapa kali ia berpikir untuk menenggelamkan dirinya di Danau Geneva, atau di Sungai Seine, tempat kesukaan Jason. Lagipula, jika putranya sudah tidak ada, untuk apa ia hidup lebih lama di dunia ini?
"Mama," ucapnya, "aku masih ingat melahirkan Jason, tangisan pertamanya di dadaku, serta menghabiskan malam tanpa tidur hanya untuk menyusuinya. Lalu mengajarinya berjalan, berbicara, hingga ia masuk SD. Aku melindunginya dari Indra Jati. Aku membiarkan semua ucapan racunnya melukaiku, tapi nggak pernah menyentuh Jason. Aku sudah mencurahkan semua hidupku untuk Jason. Dia pasti kesepian sekarang, Ma."
Susan hanya memeluk Catherine beberapa saat tanpa mengatakan apapun. Lalu, ketika tangisan putrinya mulai mereda, ia membuka suaranya, "Cathy, Sayang, Mama ngerti kalau kamu sekarang merasa sangat sedih dan kehilangan. Tapi masih banyak yang menyayangimu, membutuhkanmu, Sayang."
Catherine menggeleng. "Nggak ada yang membutuhkan aku, Ma."
"Suamimu membutuhkanmu, Cathy."
"Tanjung ... setiap kali aku melihatnya ... aku selalu teringat pada Jason," ujar Catherine. "Aku nggak bisa menemuinya, Ma."
"Tapi dia juga sama sedihnya denganmu ..."
Sekali lagi, Catherine menggeleng kuat-kuat. "Nggak mungkin, Ma. Tanjung bukanlah seorang ibu. Dia nggak melahirkan Jason, menyusui Jason, menemaninya di rumah sakit, mengundurkan diri dari pekerjaannya demi merawat Jason. Dia bukan aku, Ma."
"Baiklah, Mama nggak akan memaksamu untuk menemui Tanjung sekarang. Tapi nanti ... kalau kesedihanmu sedikit mereda ..."
"Aku nggak mau kesedihanku mereda, Ma! Rasanya ... seperti melupakan Jason ...."
Akhirnya Susan hanya diam dan mengusap punggung putrinya hingga tertidur.
***
Catherine masih tidak mau menemui Tanjung walaupun mereka tinggal di apartemen yang sama. Susan dan Puspa yang menghibur lelaki malang tersebut. Surya datang bersama Alfred untuk turut berbelasungkawa, namun Catherine tidak mau menemui mereka. Ketika Puspa akhirnya harus kembali ke Paris untuk bekerja, Alfred-lah yang menemani Tanjung, padahal istrinya akan melahirkan tiga bulan lagi.
"Tuan Muda Tanjung, jangan menyalahkan diri sendiri," ujar Alfred, berusaha menghibur. "Ini bukan salah Tuan, bukan juga salah Nyonya Muda Catherine."
"Tapi Cathy benar. Seharusnya aku menemani Jason, bukan mengurus Grup Jati di Paris. Apa yang kupikirkan? Anakku mau operasi, aku bukannya datang malah ikut rapat nggak guna!"
Alfred menggeleng. "Operasi Jason selalu berjalan lancar, Tuan. Kali ini pun demikian. Kebakaran itu adalah suatu hal yang nggak bisa kita duga, Tuan."
"Tapi sekarang Cathy nggak mau melihatku," desah Tanjung.
"Nyonya Muda Catherine masih bersedih, Tuan. Berikan dia sedikit waktu lagi untuk menenangkan diri."
"Lalu menurutmu ... aku harus bagaimana?"
"Tunggu sebentar lagi di sini, Tuan Muda Tanjung. Non Puspa punya berita untuk Anda."
***
Ahli forensik resmi dari pemerintahan Geneva mengidentifikasi jasad anak lelaki berusia delapan tahun dan lelaki dewasa berusia enampuluh lima tahun atas nama Jason Sastradireja dan Jean Matheson. Selain keduanya, terdapat belasan korban meninggal lainnya dan puluhan korban luka ringan maupun berat. Kebakaran disebabkan oleh saluran pipa gas yang bocor di lorong rumah sakit, tepat di luar ruang operasi Jason.
"Kalau begitu," desah Tanjung sambil menyingkirkan laporan forensik yang sudah dibacanya, "tunggu apa lagi, Kak Alfred? Siapkan upacara pemakaman untuk Jason."
"Tunggu, Tuan Muda," ujar Alfred.
Puspa memasuki ruang tengah yang hingga kini menjadi ruang tidur Tanjung karena Catherine melarangnya masuk ke kamar tidur mereka. Tangannya memegang selembar amplop besar berwarna coklat. Ia menyerahkannya kepada Tanjung.
"Apa ini, Puspa?" tanya sang kakak.
"Bacalah," jawab adiknya.
Selama beberapa menit, hanya detak jam dinding yang terdengar di ruangan tersebut. Mata Tanjung bergerak dari kiri ke kanan menatap laporan yang diserahkan Puspa. Begitu ia selesai membaca, ia langsung melompat turun dari sofa, bergegas ke kamar tidur istrinya yang gelap gulita karena tirainya tak dibuka.
"Cathy!"
"Siapa yang bolehin kamu masuk kemari?" ujar istrinya parau.
Tanjung mengabaikan protes Catherine dan membuka tirai jendela. Mata Catherine menyipit kesilauan ketika sinar matahari memasuki ruangan.
"Tanjung Jati, keluar!" serunya.
"Bacalah ini, Sayang."
"Apa ini?"
"Hasil forensik dari Puspa."
"Apa bedanya dengan ..."
"Bacalah," desak suaminya tak sabar.
Catherine mendengus dan melotot ke arah Tanjung, namun tak digubris. Dengan enggan ia mengambil dokumen tersebut dari tangan suaminya dan membacanya. Sesaat wajahnya berubah sedikit cerah, namun matanya kembali sayu.
"Gimana aku tahu ini benar dan bukan cuma bualan Puspa?"
Puspa memasuki ruangan. "Pertama, karena aku nggak mungkin menipumu dengan memberi harapan palsu. Itu terlalu kejam, Kak Cathy. Kedua, karena lembaga forensik yang kukirimkan adalah lembaga independen. Nggak perlu menutupi sesuatu."
"Tapi ..." kata Catherine, "kalau tubuh anak lelaki itu bukan tubuh Jason ... apakah ini berarti Jason masih hidup? Lalu di mana dia? Dan kenapa lembaga forensik pemerintah Geneva menipu kita?"
Puspa menggelengkan kepalanya. "Itulah yang akan kucari jawabannya. Dugaanku, ini berhubungan dengan penyakit yang diderita Jason."
Catherine mengepalkan tangannya. "Dari dulu aku nggak percaya sama dokter Matheson!"
"Menurutku, Jason diambil untuk diteliti oleh suatu lembaga riset untuk ..." celetuk Puspa.
"Tunggu, Puspa," sela Tanjung tak percaya. "Kamu bukan kebanyakan baca komik, kan?"
"Puspa ada benarnya," ujar Catherine. "Beberapa bulan lalu, dokter Matheson pernah meminta izin padaku untuk mencoba seberapa tahan Jason dengan kondisinya. Maksudnya, tachycardia-nya dibiarkan, lalu dilihat bagaimana respon tubuhnya jika didiamkan. Langsung kutolak."
Tanjung melongo, sementara Puspa mendapat angin.
"Tuh, kan, hipotesisku nggak salah?"
"Kenapa kamu nggak cerita padaku, Cathy?" tanya Tanjung.
"Aku lupa," ujar Catherine. "Aku sangat marah padanya sampai aku nggak mau mengingat ucapannya lagi." Lalu ia mendesah. "Tapi ini bukan berarti Jason aman atau baik-baik saja. Kita harus mencarinya. Mulai dari mana?"
"Biar aku yang mencarinya," tegas Puspa.
.
.
.
Bersambung.
(21 Agustus 2018)
1200++ kata
Panjang juga nih, apa dijadiin works sendiri aja? wkwkwk
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top