Catherine - 18
Dokter Matheson menduga bahwa ICD-nya lebih cepat rusak daripada perkiraannya karena alat tersebut harus bekerja keras mengontrol jantung Jason yang sering sekali berdetak abnormal. Ditambah lagi, ketika jantung Jason berdetak cepat, suhu jantungnya juga meningkat sehingga alat tersebut sering terpapar panas berlebihan.
"Sejauh ini, kondisi Jason masih belum terlalu gawat karena alat ini berhasil menurunkan detak jantungnya sehingga suhu panas itu tidak menyebar ke seluruh tubuhnya. Namun jika didiamkan, Jason bisa mengalami hyperthermia (panas berlebihan)," ujar sang dokter.
"Belum terlalu gawat katamu? Belum terlalu gawat apanya?" seru Catherine. "Putraku harus bergantung pada alat yang cepat rusak seumur hidupnya dan kamu bilang kondisinya belum terlalu gawat?"
"Tenanglah, Madame Jati," respon dokter Matheson. "Saya akan memesan alat yang lebih tahan lama. Namun alat ini harus dibuat khusus sesuai permintaan saya, belum siap beli. Selama alatnya belum jadi, saya merekomendasikan Jason tinggal di rumah sakit di sini agar saya dapat selalu memantau keadaannya."
Catherine memejamkan matanya. Kepalanya terasa berputar. Ia buru-buru menduduki kursi sebelum terjatuh.
"Papa, kenapa Mama? Mama juga sakit?" bisik Jason dari gendongan ayahnya.
"Mama baik-baik saja, Sayang," ucap Tanjung dengan suara tercekat. "Mama ... hanya mencemaskan kamu."
"Aku sakit parah, ya, Papa?" tanya Jason.
Tanjung menggigit bibir bawahnya dan memeluk Jason, kepala putranya diletakkan di atas pundaknya, agar tidak melihat matanya yang berkaca-kaca. Tangannya tak berhenti mengusap punggung Jason. Namun ia tak boleh berbohong lagi. Jason akan menginjak usia enam tahun, ia harus diberitahu kebenarannya.
"Saya permisi sebentar untuk memberikan kalian waktu berpikir, Monsieur dan Madame Jati," ujar dokter Matheson.
Ketika sang dokter keluar dari kamar perawatan Jason, Tanjung membaringkan putranya di atas tempat tidur dan duduk di sebelahnya. Di sudut ruangan, Catherine diam-diam mengusap air matanya yang tak berhenti mengalir.
"Jason, Papa akan jujur padamu, Sayang. Benar, kamu sakit parah. Tapi Papa dan Mama akan berusaha sebaik mungkin untuk menyembuhkanmu," jelas Tanjung dengan suara serak.
"Aku ... sakit apa, Papa?"
Tanjung mengusap dada putranya. "Kamu tahu di dalam sini ada yang namanya jantung?"
Jason mengangguk.
"Jantung itu yang membuat kita hidup, Sayang. Jantung tak pernah berhenti bekerja, selalu memompa seperti ini," ujar Tanjung sambil mengepalkan tangan kanannya untuk mengilustrasikan cara kerja jantung. "Nah, jantung Jason ... bekerja dengan cara yang berbeda. Makanya dokter harus memberi obat padamu, supaya jantungmu bekerja dengan normal. Kamu paham, Sayang?"
Jason menggaruk kepalanya. "Sedikit."
Tanjung memeluk Jason sekali lagi. "Dokter bilang, kamu harus di rumah sakit dulu supaya sembuh, Sayang."
"Tapi kalau aku di rumah sakit ... aku nggak ketemu Mama dan Papa?"
Catherine beranjak dari tempat duduknya dan ikut memeluk Jason. "Tentu saja kamu tetap ketemu Mama, Sayang. Kalau Papa ... mungkin ... tetap harus kerja ..."
"Tapi Papa juga akan sering mengunjungimu, Jason," sambung sang ayah.
"Tapi kalau aku di rumah sakit ... gimana aku sekolah, Mama?"
"Sekolahnya kalau Jason udah sembuh, ya, Sayang?" bisik Catherine. "Kamu nggak akan ketinggalan, Mama yang akan mengajarimu."
Jason mengangguk. "Mama kan pintar sekali, aku pasti jadi pintar seperti Mama."
"Iya, Sayang. Mamamu sangat pintar," ucap Tanjung.
"Kalau begitu aku mau tinggal di rumah sakit sampai sembuh. Lalu sekolah lagi dan ikut Papa melawan penjahat."
"Melawan penjahat?" Tanjung melirik ke Catherine.
"Oh ... itu ... aku bilang kamu pulang ke Jakarta buat lawan penjahat," ringis istrinya.
***
Catherine tak mengatakan apapun ketika Tanjung bercerita bahwa Surya akan menunjuknya menjadi direktur perusahaan Grup Jati cabang Paris. Ia tak melontarkan protes seperti biasa, bahwa mereka harus lepas dari Grup Jati dan hidup mandiri. Tentu saja, di saat seperti ini, kesembuhan Jason menjadi yang utama.
"Paris, hah?" ucapnya datar. "Lebih baik bolak-balik Paris-Geneva daripada bolak-balik Jakarta-Geneva."
"Cath, aku bisa bujuk Kak Surya untuk berkompromi. Mungkin tiga hari di Paris, empat hari di Geneva ... atau minta dokter Matheson berpraktik di rumah sakit Paris. Akan kuatur."
Catherine menggeleng. "Terserah kamu saja, Jung. Aku akan mengundurkan diri dari IMF dan menemani Jason di sini."
"Kamu serius?"
"Nggak ada yang lebih penting bagiku, daripada kesembuhan Jason. Aku akan mengawasi dokter itu bekerja dengan benar," tegas Catherine.
"Lalu ... aku dan Grup Jati ..."
Catherine menghela napas. "Aku lelah, Jung. Aku nggak mau berdebat denganmu lagi soal ini. Yang penting kita bisa membayar biaya rumah sakit untuk Jason. Aku menyerah."
Tanjung menarik Catherine ke dalam pelukannya. Selama beberapa menit, mereka hanya diam di posisi tersebut. Sang suami mengalirkan semua perasaannya kepada Catherine, turut berbagi kesedihannya, serta rasa terima kasihnya.
"I'm blessed to have you for my wife," bisiknya. Ia melepaskan pelukannya dan memandang wajah istrinya yang penuh bekas air mata, mengusap pipinya lalu menciumnya. "Cath, aku akan berusaha sekeras mungkin. Kesembuhan Jason juga prioritasku."
Catherine hanya mengangguk. Rasanya ia ingin tidur saja dan bangun lagi ketika semua masalahnya usai, seakan-akan ini hanya mimpi buruk belaka. Namun itu tidak mungkin. Ia harus bersikap kuat untuk Jason. Hanya Jason yang utama di hidupnya. Bahkan Tanjung pun terpaksa dibiarkannya berbuat melakukan apapun yang ia inginkan. Samar-samar ia teringat dengan ucapannya pada Jason beberapa tahun yang lalu:
Manusia bukan Tuhan, dan tidak bisa mengatur semua hal untuk mengikuti keinginannya.
***
Tanjung masih bolak-balik Jakarta-Geneva selama beberapa minggu, sebelum Surya Jati akhirnya mengatakan bahwa Grup Jati cabang Paris sudah siap diluncurkan. Sementara itu, Catherine tinggal di rumah sakit bersama Jason. Ia menyewa apartemen, namun ia hanya menggunakan dapurnya untuk memasakkan makanan bagi Jason. Setiap malam ia tidur di kamar perawatan Jason supaya putranya tidak kesepian dan mencarinya saat terbangun. Pagi harinya, ia mengajak Jason berjalan-jalan di taman rumah sakit, lalu mengajarkannya pelajaran sekolah dan menemaninya bermain. Jika dokter mengizinkan, ia membawa Jason berkeliling Geneva supaya tidak bosan.
Dokter Matheson memasangkan ICD yang serupa dengan alat sebelumnya karena alat barunya belum datang. Setiap hari ia memonitor kondisi Jason, kegiatan apa yang menyebabkan detak jantungnya meningkat. Dapat ditebak, emosi berlebihan merupakan salah satu pemicu terkuat. Namun, bagaimana caranya meminta seorang anak berusia enam tahun untuk mengontrol emosinya? Ia belum mampu melakukan meditasi atau semacamnya. Lagipula, mustahil manusia dapat menahan emosinya seumur hidupnya.
"Madame Jati, saya perlu melakukan pemeriksaan menyeluruh pada Jason," ujar dokter Matheson. "Saya akan mematikan ICD-nya dan melihat seberapa besar dampaknya terhadap tubuh apabila detak jantungnya tak dikontrol. Namun saya butuh persetujuan Anda."
Catherine menggeleng kuat-kuat. "Tidak. Tidak boleh. Kamu mau menyiksa Jason-ku? Kamu tahu bagaimana dia pusing, sesak napas, demam tinggi, hingga pingsan. Sekarang kamu mau lihat seberapa parah ini dapat terjadi? Kamu pikir Jason-ku kelinci percobaan?"
"Madame, tubuh Jason memiliki mekanisme yang unik. Dengan kondisi seperti dia, orang lain pasti sudah mengalami kerusakan fatal yang permanen. Tapi Jason tidak. Dia spesial."
"Tidak! Pokoknya tidak boleh! Kalau kamu berani ... aku akan menuntutmu dan memastikan pengadilan mencabut izin praktikmu!" teriak Catherine.
Dokter Matheson mengangkat tangannya. "Baik, Madame, saya tidak akan melakukannya."
"Oh, ya, kapan ICD barunya datang? Ini sudah tiga bulan," cecar Catherine.
"Paling cepat sebulan lagi, Madame."
***
Ketika ICD baru yang ditunggu-tunggu datang, tubuh Jason ternyata bereaksi dengan logam khusus yang menjadi bahan utama alat tersebut. Alhasil, Jason tidak dapat menggunakan alat itu. Dokter Matheson terpaksa memasangkan ICD lama yang semakin cepat rusak -- kali ini harus diganti sebulan sekali -- namun ia membolehkan Catherine dan Jason keluar dari rumah sakit, hanya perlu berkunjung saat mengganti ICD. Sementara itu, dokter Matheson akan memesan alat baru yang diharapkan sesuai dengan tubuh Jason.
Agar perkembangan sosialnya tidak terhambat, Catherine mengirim Jason masuk sekolah khusus di Geneva, yang jumlah muridnya lebih sedikit dan setiap murid diberikan perhatian lebih. Catherine sampai melamar menjadi guru di sana supaya dapat memantau kondisi Jason terus-menerus. Karena sekolah itu merupakan sekolah informal, maka mereka menerima Catherine sebagai guru matematika.
Tanjung tinggal di Paris bersama Puspa, mengurus Grup Jati cabang Paris yang baru dibuka di sana. Setiap Jum'at malam, ia pergi ke Geneva untuk menemui istri dan anaknya. Mereka tetap menjadi keluarga 'normal' meskipun Jason menderita penyakit aneh ini. Jason tidak boleh berolahraga, namun ia pandai melukis dan bermain piano. Di akhir pekan, mereka sesekali berpiknik di villa yang dibeli Tanjung di dekat Danau Geneva.
Akhir tahun 1990, ketika Jason hampir berusia delapan tahun, ICD baru yang dirancang khusus untuknya selesai dibuat. Untuk memasang alat itu di jantungnya, Jason harus menjalani operasi lagi. Tanjung masih berada di Paris, namun malam itu ia akan datang ke Geneva. Catherine menemani Jason sebelum putranya masuk ke ruang operasi entah untuk keberapa kalinya.
"Bagaimana perasaanmu, Sayang?" tanya Catherine sambil mengusap rambut putranya.
"Ne t'inquiète pas, Maman, j'ai l'habitude (jangan khawatir, Mama, aku sudah terbiasa)," sahut Jason, tersenyum.
"Mon brave garçon (anakku yang pemberani)," bisik Catherine. "Mama sangat bangga padamu, Sayang."
"Jangan ngomong seperti aku bakal mati, Ma," canda Jason. "Besok kita ketemu lagi, seperti operasi-operasi sebelumnya."
Mata Catherine berkaca-kaca karena Jason sangat ringan menghadapi operasinya seakan-akan itu lumrah. Padahal anak seusianya tidak seharusnya menghabiskan begitu banyak waktu di rumah sakit.
"Ça ira, Maman. Ne pleure pas (Aku baik-baik saja, Mama. Jangan menangis)," ucap Jason sambil menggenggam tangan ibunya. "Mama dan Papa sudah melakukan yang terbaik untukku, dan aku bahagia."
"Mama senang mendengarnya, Sayang."
Pukul sebelas pagi, Jason masuk ke ruang operasi. Catherine memutuskan untuk membeli bahan makanan di kawasan pertokoan tak jauh dari rumah sakit. Jam makan siang, ia pulang ke apartemennya untuk makan siang, lalu menelepon Tanjung di Paris. Kemudian ia memasak skotel makaroni kesukaan Jason, untuk diberikan kepadanya setelah ia boleh makan nanti.
Pukul tiga sore, ia kembali ke rumah sakit. Operasi Jason seharusnya sudah selesai.
Namun, apa yang dilihatnya sangat mengejutkannya.
Sisi gedung rumah sakit tempat Jason dirawat menghitam dan hancur, seperti bekas terbakar.
.
.
.
Bersambung.
(21 Agustus 2018)
1500++ kata
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top