Catherine - 17

"Jadi ..." ucap Catherine, "... setelah empat tahun kita hidup mandiri, akhirnya kamu ingin pulang juga." 

"Bukan begitu, Cath," sanggah suaminya, "Kak Surya bilang dia membutuhkanku."

"Kakakmu itu pandai memanipulasi orang, Tanjung. Dia tahu kamu nggak akan bisa menolaknya jika dia bilang begitu." 

"Kakakku nggak akan minta bantuanku kalau dia nggak benar-benar butuh. Kamu tahu? Pengawalnya sampai terluka gara-gara persaingan dengan Grup Purnomo. Maybe it doesn't matter to you, darling, but it matters to me," ujar Tanjung dengan nada memelas. 

"Lalu bagaimana denganku? Dengan Jason?" Catherine masih berusaha menggunakan suara pelan. 

Tanjung melebarkan matanya terkejut. "Kalian ikut denganku, tentu saja."

"Kalau Jason kenapa-kenapa ..."

"Kita bisa panggil Jean Matheson untuk menanganinya. Aku bisa minta Alfred persiapkan rumah sakit dengan fasilitas yang memadai ..."

Catherine tertawa sekaligus mendengus. "Dengar kamu bicara, Sayang. Enak sekali, ya, punya uang banyak. Bisa mengatur semuanya." 

"Cathy, ini bukan saatnya mencibirku. Aku butuh dukunganmu. Aku rela pindah ke Paris, mengikuti kemauanmu, mendukungmu sepenuhnya, masa aku nggak bisa minta kamu mengalah sedikit saja?" 

"Ini bukan masalah aku mau mengalah atau enggak. Bukannya aku sudah banyak mengalah saat kamu belum lulus sarjana di London? Ini soal kesepakatan, Tanjung. Kita sepakat untuk hidup mandiri, lepas dari orangtua kita, dan sekarang kamu mau balik lagi kepada mereka ketika mereka sudah membuangmu." 

Tanjung menghela napas. "Kak Surya sudah banyak menolong kita, Cathy. Kalau bukan gara-gara dia, kita nggak akan tinggal bersama di Geneva. Mungkin aku nggak bisa mendampingimu setiap check up, menghiburmu saat mood-mu jelek, atau membelikanmu makanan saat kamu ngidam. Masa kita nggak bisa membantunya sedikit? Lagipula ini bukan untuk selamanya. Aku bantu dia sebentar, lalu kita bisa balik lagi ke Paris untuk meneruskan karirmu dan segala macam itu."

"Kamu pikir ini soal karirku, hah? Kamu salah, Tanjung. Aku nggak memikirkan diriku sama sekali di sini. Kamu tahu, aku rela meninggalkan pekerjaanku untuk merawat Jason penuh waktu. Ini soal konsistensi dan keteguhan hati. Kamu ditelepon sekali saja, sudah langsung berubah hati dan mau pulang. Lalu kalau Surya memelas padamu, memintamu menjadi wakilnya, kamu pasti akan luluh. Kapan kita bisa lepas kalau kita masih menempel terus pada Grup Jati?" 

"Cath ... kamu dan Jason adalah keluargaku yang terpenting ... tapi Kak Surya juga keluargaku." 

"Nggak apa-apa," ujar Catherine sambil melipat tangannya. "Pulanglah. Pulang dan jadilah kacung kakakmu. Tapi aku dan Jason akan tetap di Paris. Aku bisa tinggal dengan Puspa." 

"Kenapa kamu sangat keras kepala? Kamu tahu, Nella sampai keguguran ... gara-gara stres memikirkan Kak Surya?" 

Catherine terdiam. Untuk beberapa saat, sepasang suami istri itu hanya bertatapan. Sebagai seorang ibu, Catherine tahu betapa menyakitkannya kehilangan seorang anak, meskipun masih berbentuk janin. 

"Aku ... aku turut bersedih," ucapnya. "Tapi ini nggak mengubah keyakinanku." 

Tanjung menutup wajahnya dengan tangan. Catherine melepasnya perlahan dan menempelkan kedua tangannya sendiri di pipi suaminya, menatap matanya dalam-dalam. 

"Pulanglah dan bantu kakakmu. Aku dan Jason akan baik-baik saja di sini. Daripada repot-repot membawa dokter dan peralatan rumah sakit segala macam, kami tetap akan tinggal di Paris dan menunggumu kembali."

"Cathy, aku maunya kamu ikut bersamaku. Aku nggak mau kita terpisah seperti ini." 

Catherine menggenggam tangan Tanjung. "Tapi ini keputusanku, Sayang. Nggak apa-apa, aku merelakanmu demi keluargamu. Kamu tahu, aku bisa hidup tanpamu untuk sementara." 

"Tapi aku nggak bisa!"

Catherine tersenyum dan menggeleng. "Jangan kekanakkan, Sayang. Banyak suami-istri hidup terpisah dan baik-baik saja. Pulanglah, bantu Surya, lalu kembali kemari. Kalau aku ikut denganmu, kamu pasti akan membujukku untuk tinggal di Indonesia selamanya dan menjadi Nyonya Tanjung Jati. Aku nggak mau itu terjadi." 

Tanjung ikut tersenyum kecil. "Kukira sekarang kamu sudah menjadi Nyonya Tanjung Jati?" 

"Ih, kamu ini, salah fokus," gerutu Catherine sambil mencubit pipi suaminya. "Kamu tahu maksudku. Kalau kita pulang ... ibumu pasti akan membujukmu, lalu aku, untuk tinggal di sana. Belum lagi tekanan dari keluargaku. Aku akan susah menolak mereka. Keputusan ini sudah yang terbaik."

"Baiklah," ucap Tanjung dengan terpaksa.

***

Tanjung mengundurkan diri dari perusahaan tempatnya bekerja dan pulang ke Jakarta. Ia minta Surya agar mengizinkannya berkunjung ke Perancis tiga bulan sekali. Jika bantuannya tak lagi diperlukan, ia juga minta kakaknya membiarkan dia keluar dari Grup Jati. Surya hanya tertawa mendengar syarat dari adiknya. 

"Kamu pikir perusahaan hanya untuk main-main?" 

"Tapi Kak Surya bilang hanya butuh nama dan statusku," balas Tanjung. "Catherine mau kami benar-benar lepas dari Grup Jati dan Grup Sastradireja."

Surya tertawa lagi. "Sudah jelas, your wife wears the pants in your house (istrimu yang berkuasa dalam rumah tanggamu). Jangan khawatir, aku tahu sifatmu. Aku bisa mengatur agar kamu memegang Grup Jati cabang Paris yang kurencanakan akan dibuka tahun depan. Kamu bisa berkumpul dengan Cathy-mu tersayang." 

Tanjung cemberut mendengar ledekan kakaknya. Catherine jelas akan keberatan jika ia memegang Grup Jati cabang Paris, namun ia mungkin dapat membujuknya. Yang penting mereka tetap bersama. 

"Thanks, Kak," ucapnya tanpa tersenyum. 

"Sekarang, ayo kita pulang," ujar Surya sambil membuka pintu mobil Mercedes S-Class hitam dan membiarkan adiknya masuk. 

***

"Maman, ou est Papa?" tanya Jason begitu ia terbangun dan tidak menemukan ayahnya di seluruh pelosok unit apartemen mereka. Padahal Tanjung sudah berpamitan kepada Jason sebelum berangkat, namun tampaknya anak itu mengira ayahnya akan cepat pulang. 

"Papa lagi pergi ke Jakarta, ketemu Yangti dan Om Surya," jawab Catherine yang sedang melipat pakaian di kasurnya. "Ingat Jakarta? Tempat pernikahan Om Surya dan Tante Nella?"

Jason mengangguk. "Lama nggak perginya?" 

Catherine meletakkan pakaian yang sudah dilipatnya di tumpukan baju di sebelahnya. "Kemari, Sayang, Mama pangku." Sambil memeluk Jason erat, Catherine mencium pipinya. "Papa lagi bantu Om Surya lawan penjahat, jadi agak lama perginya. Jason boleh, kan, Papa lawan penjahat?" 

"Comme (seperti) Superman?" 

"Oui, c'est ça (ya, itu benar)," sahut Catherine. 

"Jason mau lawan penjahat juga, Maman," pinta Jason. 

"Jason tunggu tinggi dan besar seperti Papa, baru lawan penjahat, oke? Sekarang kita ke rumah Tante Puspa, yuk," bujuk Catherine, berharap Jason berhenti menanyakan soal ayahnya. 

"Je veux (aku mau), Maman!" sahut anak berusia lima tahun itu dengan semangat. 

Syukurlah ia mudah dibujuk, batin Catherine.

***

Puspa mendengar cerita mengenai kepulangan Tanjung dari Catherine. Perempuan berusia duapuluh satu tahun itu sedang sibuk mengerjakan laporan proyek akhirnya karena ia akan lulus semester depan, Mei 1989, namun ia meluangkan hari Sabtunya untuk kakak ipar dan keponakannya. 

"Pindah sini? Boleh aja, biar aku usir si Julien," sahut Puspa.

"Tapi ... nggak enak, lah, Pus," ujar Catherine. "Masa gara-gara kami, kamu harus mengusir pacarmu?" 

"Nggak apa-apa, Kak. Dia udah mulai nyebelin juga. Mulai cemburuan dan posesif. Udah saatnya aku putusin dia dan fokus di tugas akhirku. Lagian enak kali tinggal sama Kak Cathy, aku bakal dimasakin, kan? Nggak usah makan luar terus," celetuk Puspa sambil menyengir.  

Catherine hanya menghela napas pada kelakuan adik iparnya. "Aku nggak selalu sempat masak, kok." 

"It's okay. Paling nggak, lumayan suasana baru, pasti seru. Kita bisa punya girls night in atau out, sesukamu. Aku juga bisa ketemu Jason setiap hari." 

Pada akhirnya Catherine melepas apartemennya yang dihuni bersama Tanjung dan pindah ke tempat Puspa. Ia bersikeras membayar uang sewanya walaupun Puspa mengatakan tidak perlu. Ia tidak mau tinggal gratis di fasilitas yang dibiayai Grup Jati, apalagi ia sudah bekerja. 

Catherine sempat kewalahan menghadapi Puspa yang berantakan setengah mati, jarang cuci piring, serta masih belajar hingga dini hari. Meskipun ia sendiri bukan orang yang paling rapi, ia belum pernah melihat orang seberantakan ini. Untunglah Puspa sadar diri dan sedikit membereskan kekacauannya, setidaknya hanya di kamarnya saja. Lagipula Catherine memaklumi mahasiswa memang sibuk dan tidak selalu sempat bebersih. 

Seminggu pertama berpisah dari Tanjung, Catherine selalu ditelepon setiap malam. Lambat laun, frekuensinya berkurang, menjadi tiga hari sekali, lalu seminggu sekali. Kakaknya yang memang workaholic itu membuat Tanjung mengikuti ritme kerjanya. Namun hasilnya terlihat dengan cepat. Di bawah tangan dingin Surya yang mengatur strategi bisnis, dipadukan dengan Tanjung yang hangat dan ramah terhadap bawahan-bawahannya, Grup Jati bangkit kembali. 

***

Sementara itu, Catherine masih bekerja di IMF sebagai analis finansial senior. Pada awal tahun 1989, ia membawa Jason check up ke dokter Matheson di Geneva. Tanjung menyusul menemui keluarganya di sana, walaupun ia hanya meluangkan dua hari di akhir pekan. Itu pun sudah melawan keberatan kakaknya. 

Dokter Matheson masih belum mengetahui keanehan di tubuh Jason. Ia meminta sampel DNA dari Catherine dan Tanjung, bahkan dari Indra dan Rara, serta Hans dan Susan -- yang dikumpulkan Tanjung dari Jakarta -- namun tidak menemukan jawabannya. 

"Gimana dengan gejalanya? Sering muncul? Jason, kamu masih sering sakit di dadamu?" tanya dokter Matheson. 

Jason menggeleng. "Kadang merasa deg-degan tapi normal lagi, dokter," sahutnya. 

Dokter Matheson tersenyum. "Baguslah, berarti ICD-nya bekerja. Sekarang biar dokter periksa, ya? Apakah ICD-nya masih bagus?" 

"Apakah ICD rusak secepat itu?" tanya Catherine. 

"Seharusnya tidak," jawab sang dokter. "Hanya memastikan saja." 

Namun apa yang ditemukan dokter Matheson sangat mengejutkannya. Alat itu bukan saja rusak, melainkan juga menghitam seperti bekas terbakar. 

"Ada apa, dokter? Apa yang Anda temukan?" tanya Tanjung.

.

.

.

Bersambung.

(18 Agustus 2018)

1400++ kata

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top