Catherine - 14
Acara pertunangan Surya diselenggarakan di taman di sebuah hotel Los Angeles dan bersifat ekslusif. Selain kedua belah keluarga, hanya teman-teman terdekat Surya dan relasi-relasi yang sangat penting yang diundang. Konsepnya semi-formal, diadakan di luar ruangan, dengan paviliun yang dihiasi bunga-bunga dan pita-pita sutera. Setiap keluarga mendapat meja sendiri-sendiri. Total tamu undangan hanya seratus orang lebih, termasuk sedikit untuk keluarga Jati yang koneksinya sangat besar. Kata Surya, acara pertunangannya memang hanya cukup dihadiri orang-orang tertentu saja. Relasi lainnya bisa datang ke pernikahannya kelak.
Cornelia, tunangan Surya, merupakan seorang gadis seperti yang dideskripsikan oleh Puspa -- cantik, sopan, lembut, dan sangat manis. Ia tersenyum malu-malu sepanjang acara, tangannya tak pernah lepas dari genggaman Surya, bagaikan seorang putri yang anggun. Kontras dengan calon istrinya, Surya juga tersenyum, namun senyumnya bagaikan seorang jenderal yang bangga karena memenangkan peperangan, bukan bagaikan seorang lelaki yang sedang jatuh cinta. Atau setidaknya itulah pendapat Catherine.
Indra dan Rara sangat menyukai calon menantu mereka, terlihat dari interaksi mereka dengan Cornelia, senyum mereka sangat lebar. Catherine tahu, ibu mertuanya, meskipun bersikap baik terhadapnya, tak pernah tertawa selepas itu di hadapannya. Jelas bahwa Cornelia adalah menantu yang mereka idamkan.
Indra sama sekali tak menggubris Catherine, Tanjung, dan Jason. Bahkan ketika mereka berfoto bersama, konglomerat tua itu sama sekali tidak melirik ke arah putra keduanya dan keluarga kecilnya. Namun Catherine merasa lega. Lebih baik diabaikan daripada diperhatikan secara negatif.
"Selamat, Kak," ujar Tanjung sambil memeluk dan menepuk punggung kakaknya.
Surya terlihat canggung dengan gestur adiknya, namun setelah melirik ke arah Cornelia, ia membalasnya. Adegan ini tak luput dari penglihatan Catherine yang berdiri di belakang Tanjung, menunggu gilirannya. Dalam hati ia tersenyum.
"Terima kasih sudah datang," ucap Surya ketika Catherine menyalaminya. Lelaki itu juga membungkuk untuk menyalami Jason kecil, yang lebih terpana memandangi Cornelia dengan gaun berwarna gadingnya.
"Hai," sapa Catherine kepada Cornelia. "Selamat, ya, untuk pertunanganmu. Aku Catherine ... calon adik iparmu." Agak aneh rasanya mengenalkan diri sebagai adik ipar, padahal usia Catherine lebih tua daripada Cornelia.
"Makasih, and it's nice to meet you," balas Cornelia dengan senyum malu-malu. Ia membungkuk untuk menyalami Jason. "Lucu sekali, siapa namanya?"
Jason masih menatap Cornelia dengan mata bulatnya.
"Jason, tante demande, comment vous appellez-vous (bibi bertanya, siapa namamu)," bisik Catherine.
"Jason," jawab bocah itu sambil menyembunyikan separuh badannya di belakang tubuh Catherine.
Cornelia mengambil tangan Jason, yang semakin malu-malu disapa perempuan cantik ini. "Oh, dia bicara bahasa Perancis, ya? Oiya, kalian dari Paris, kan?"
"Iya, kami bekerja di Paris," sahut Catherine.
Mereka mengobrol sejenak. Cornelia baru saja meraih gelar Bachelor of Arts in English dari Pepperdine University, Mei kemarin. Tahun ini, usianya menginjak duapuluh dua tahun. Ia berasal dari Manado, bungsu dari empat bersaudara.
"Oya? Aku sulung dari lima bersaudara. Adik-adikku semuanya perempuan," ujar Catherine sambil tertawa. Lalu ia menghela napas. "Saat usiaku sekamu, aku sudah melahirkan Jason."
"Jason lucu sekali, kelihatannya dia sangat pintar. Kalau aku punya anak, aku harap bisa selucu dia," senyum Cornelia.
"Kapan kalian menikah?"
"Kata Surya, tahun depan. Sementara menunggu, aku akan bekerja di tempat aku dulu magang. Kantor periklanan."
Catherine mengangguk-angguk. "Lalu setelah menikah?"
Cornelia mengedikkan bahu. "Kurasa aku hanya ingin jadi istri dan ibu yang baik. Membesarkan anak-anak dan membahagiakan keluargaku."
Lagi-lagi, Catherine hanya tersenyum.
***
Ketika acara berakhir dan mereka kembali ke kamar mereka di hotel, Catherine tak dapat berhenti memikirkan Cornelia. Entah apa yang ia rasakan terhadap calon kakak iparnya itu. Jelas bukan iri. Mungkin sedikit prihatin, karena Cornelia, yang tampaknya sangat lugu dan polos, akan masuk ke keluarga Jati dengan segala drama dan tetek-bengeknya.
Apalagi Surya sama sekali tidak seperti Tanjung yang lembut dan penuh perhatian. Padahal Cornelia akan sangat membutuhkan dukungan suaminya untuk memasuki keluarga barunya. Catherine tidak melihat cinta di mata Surya. Ia berharap ia salah, mungkin Surya memang hanya sulit berekspresi.
Ah, mungkin Cornelia nggak butuh semua itu. Calon mertuanya kan menyayangi dia, batin Catherine.
"Dari tadi diam saja," tegur Tanjung sambil membaringkan Jason yang sudah tertidur di atas kasur.
"Aku sedang memikirkan acara tadi," sahut Catherine sambil menggerai rambutnya yang sejak tadi disanggul rendah.
"Kita nggak pernah punya acara pertunangan seperti itu," ujar Tanjung. "Aku bahkan nggak melamarmu secara resmi." Sorot matanya sedikit sedih.
"Nggak perlu," potong Catherine cepat. Sambil membaringkan tubuhnya di sebelah Jason, ia mengusap dahi putranya yang tertutup rambut dan menciumnya. "Kita punya dia. Dia lebih dari segala pesta apapun."
Tanjung tersenyum. "Istriku sangat bijak."
"Aku cuma memikirkan Cornelia." Catherine menggelengkan kepalanya. "Kuharap orangtuamu -- maksudku ayahmu -- memperlakukannya dengan baik."
Tanjung memeluk Catherine. "Sayang," hanya itu yang diucapkannya sambil mengusap rambut istrinya. "Maaf ... maaf karena kamu harus mengalami ini gara-gara aku ..."
Catherine mendorong dada Tanjung. "Jangan minta maaf untuk sesuatu yang bukan salahmu," tegasnya. "Kamu suami yang sangat baik. Aku bahagia, kok, jadi istrimu."
***
Selain pertunangan Surya, tak ada acara besar lainnya yang dialami mereka. Jason naik kelas dari petite section ke moyenne section, masih sama-sama jenjang prasekolah, semacam TK-A di Indonesia. Walaupun sibuk, Catherine dan Tanjung tetap menyempatkan diri mengajari putra mereka. Catatan guru di kelasnya menyebutkan bahwa Jason termasuk cerdas dan berkelakuan baik. Orangtuanya sangat bahagia.
"Siapa dulu mamanya, benar, kan, Sayang?" ucap Catherine sambil mencium pipi Jason. Ia dan Tanjung sedang mengambil rapor putranya di suatu siang di bulan Juli.
"Papanya juga," celetuk Tanjung, yang memegang tas dan rapor Jason. Beginilah kebiasaan istrinya, pasti memonopoli putranya. Ia yang harus membawakan barang-barang Jason.
Mereka mengambil cuti bersama di musim panas dan berlibur ke Italia. Hanya seminggu, karena mereka tidak mau cuti lama-lama. Mereka ingin menghabiskan Natal dan Tahun Baru di Indonesia nanti. Lagipula berlibur dengan balita tidak mungkin bisa lama, pasti anak itu cepat lelah. Jason juga belum terlalu mengerti bangunan bersejarah. Mereka mengunjungi Roma, Venice, dan Pulau Sicily.
Natal 1987 dan Tahun Baru 1988 diluangkan di Jakarta bersama keluarga Sastradireja. Seluruh adik-adik Catherine juga berkumpul. Jessica, adik keduanya, sekarang bekerja di London dan berpacaran dengan pria Inggris. Sedangkan Agnes, yang baru lulus Mei kemarin dan memiliki kekasih putra konglomerat Singapura, sudah pulang dan bekerja di perusahaan orangtuanya sebelum menikah. Mereka membawa pacar masing-masing ke Indonesia, sehingga kediaman Sastradireja menjadi sangat ramai.
Keluarga besar Sastradireja tampak mengagungkan Jessica dan Agnes yang sukses "menggaet" pria asing, terutama Jessica yang berkencan dengan bule tampan. Apalagi kekasih Jessica, Bernard Ansley, merupakan keturunan bangsawan Inggris yang memiliki gelar Viscount.
"Keren, ya. Kuliah di luar negeri, terus gaet bule. Udah ganteng, bangsawan lagi. Hoki bener si Jessica!" ujar salah satu adik Susan yang berkunjung.
Catherine tersenyum sinis sambil memutar bola matanya. "Yang penting orangnya baik, dan dia cinta sama Jessica, Ayi (bibi)."
"Kamu masih muda, jadi ngomong gitu, Cath," sahut bibinya. Lalu ia menepuk pundak Catherine. "Suamimu juga oke, kok. Anak keluarga Jati, gitu. Cuma, ya, rada item. Untung anakmu putih."
Kulit Tanjung memang sedikit kecoklatan, mewarisi kulit ibunya yang sawo matang terang.
Catherine mengernyitkan hidungnya. "Répugnant (menjijikkan)," ujarnya sebelum beranjak meninggalkan sang bibi.
***
Di luar kejadian tersebut, Catherine menikmati liburan akhir tahunnya. Menjelang tahun baru, keluarga Sastradireja berwisata ke Bali. Hanya keluarga inti saja: Hans, Susan, Catherine, Tanjung, Jason, adik-adik Catherine, serta kekasih adik-adiknya. Tanpa keluarga besar yang cerewet dan tukang nyinyir.
Jason selalu menjadi kesayangan tante-tantenya. Baik Puspa maupun adik-adik Catherine semuanya berebut memanjakannya. Catherine sampai tidak tahu lagi siapa yang sedang menjaga putranya. Ia hanya berpesan kepada adik-adiknya untuk mengurus Jason baik-baik.
"Jangan sampai pasir kemakan, jangan bawa dekat air laut kalau ombak lagi tinggi, jangan lepas sandalnya," peringat Catherine sambil mengoleskan losion SPF ke lengannya. Ia akan menaiki kayak bersama Tanjung, dan adik-adik bungsunya, Felicia dan Melanie, berjanji akan menjaga Jason.
"Tenang, Ci, udah sana pergi, ditungguin Ko Tanjung, tuh," ujar Melanie.
"Oya, pasirnya jangan sampai masuk mata, loh," tegas Catherine sekali lagi.
"Aku guru sekolah Minggu, aku biasa jaga bayi," sesumbar Melanie.
"Sama nursery percaya, sama kita nggak percaya," keluh Felicia.
"Nursery kan emang profesional kerjanya ngurusin bayi, kalau kalian?"
Untunglah Jason masih utuh, tidak terluka, dan tidak memakan apapun yang tidak boleh dimakan, menurut Melanie, saat Catherine dan Tanjung kembali dan memeriksa keadaan putra mereka. Felicia dan Melanie hanya menertawakan kecemasan kakak sulung mereka.
Selain bermain di pantai, mereka juga mencoba berbagai kuliner yang hanya ada di Bali. Bahkan, jika mereka sedang ingin beristirahat, mereka dapat menghabiskan seharian hanya di hotel saja. Catherine menikmati spa yang hanya tersedia di Indonesia -- di Perancis, perawatan semacam itu sangat mahal.
Secara keseluruhan, liburan Catherine dan Tanjung sungguh menyenangkan dan tak terlupakan, hingga akhirnya mereka harus kembali ke dunia nyata dan pulang ke Paris.
***
Januari 1988, bulan yang takkan pernah dilupakan oleh Catherine dan Tanjung. Waktu yang akan mengubah hidup mereka selamanya. Sore itu, Catherine sedang membereskan berkas-berkas di mejanya sebelum pulang dari kantornya ketika anak buahnya memberitahunya ada telepon untuknya.
"Madame Catherine Jati?"
"Oui, c'est moi."
"Jason, anakmu, kesulitan bernapas. Sekarang dia sedang dilarikan ke rumah sakit."
Catherine menjatuhkan teleponnya. Namun ia segera memperoleh kesadarannya.
"Hubungi ayahnya. Suamiku," ujarnya.
"Baik, Nyonya. Kami akan menghubunginya setelah ini."
Catherine segera mengambil tasnya dan berlari meninggalkan kantor.
.
.
.
Bersambung.
(14 Agustus 2018)
1400++ kata
Cerita ini kok reads nya banyak tapi votes nya sedikit? Satu cerita bisa puluhan reads tapi votes cuma 4-5 maksimal. Hayo ngaku siapa yang baca tapi gak vote? :P
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top