Catherine - 13

Tak terasa, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun.

Jason merayakan ulangtahun ketiganya pada Januari 1986.

Bulan Mei, Tanjung meraih gelar magister sosiologi dari University of Paris. Kali ini, ia tidak merayakannya secara besar-besaran. Selain Catherine dan Jason, keluarga Tanjung yang menghadiri wisudanya hanyalah Puspa.

Surya tidak datang. Ia sedang mengikuti acara wisudanya sendiri di Los Angeles, yang dihadiri oleh Indra dan Rara. Selain itu, ia juga sedang mengakuisisi sebuah perusahaan periklanan di Los Angeles, yang konon menjadi tempat magang seorang gadis cantik yang digebet olehnya.

Catherine, Tanjung, dan Puspa terbahak mendengar kabar yang disampaikan oleh Alfred Darmadi itu. Putra sang pelayan kepercayaan Indra Jati itu menyusul ke Paris sambil mengantar Rara yang bersikeras mengunjungi Tanjung, walaupun Indra melarangnya.

"Kak Surya? Jatuh cinta?" ucap Puspa sambil berguling-guling di tepi kolam tempat mereka berkumpul sore itu di apartemennya yang lebih mewah daripada milik Catherine dan Tanjung.

Alfred membalik panggangan barbeque dan melumurinya dengan saus sebelum menjawab, "Saya tidak bilang Tuan Muda Surya jatuh cinta, Non Puspa. Hanya sedang mencari istri."

"Oh, ya, benar. 'Mencari istri,'" tutur adik tak tahu sopan santun itu sambil memutar bola matanya.

"Seperti apa orangnya?" tanya Tanjung.

"Saya belum bertemu dengannya secara langsung, Tuan Muda," ujar Alfred. Dengan kata lain, tak sopan jika ia mengomentari gadis yang akan menjadi calon istri Surya Jati.

"Ibu punya fotonya," ujar Rara dari tempat duduknya, sedang memangku Jason. Pokoknya jika sang nenek sudah berkunjung, Jason menjadi miliknya.

Rara mengeluarkan selembar foto dari tasnya dan menyerahkannya kepada Catherine, yang duduk paling dekat dengannya. Catherine mengamati wajah gadis yang berada di dalam foto itu, sangat cantik. Sepertinya beberapa tahun lebih muda darinya. Namun sebelum puas memandangnya, Puspa sudah merebut foto itu dari tangannya.

"Puspa!" tegur Rara.

"Mana, sini lihat," ujar Tanjung sambil berusaha mengambil foto itu dari tangan adikknya.

"Gue belum selesai lihat," protes Puspa sambil menjauhkan foto tersebut.

Catherine mengabaikan pertengkaran kakak beradik yang kekanakan itu, walaupun salah satunya telah menjadi ayah dan satunya lagi akan menjadi sarjana hukum tahun depan.

"Siapa namanya, Bu? Udah pernah ketemu secara langsung?" tanyanya.

"Cornelia, anak mantan jenderal ABRI di Manado," sahut Rara. "Surya berteman baik dengan kakaknya waktu mereka sama-sama S1. Belum, Ibu belum pernah ketemu langsung dengannya. Surya aja belum ngomong sama anaknya, masa langsung Ibu temuin? Bisa-bisa dia takut."

"Nggak heran, tipe muka gini yang bakal disukain Kak Surya," komentar Puspa.

"Seperti apa?" tanya Tanjung yang kali ini berhasil merebut foto Cornelia dari tangan Puspa.

"Manis dan kelihatannya berkelakuan baik. Tipe yang behave di society tapi nggak akan mendobrak dunia," cengir Puspa. "Heh, Kak Tanjung, ingat udah punya istri," sambungnya ketika ia melihat Tanjung mengamati foto itu dengan sangat detil.

"Ah, aku cuma lihat," kata Tanjung sambil mengembalikan foto itu kepada ibunya. Lalu duduk di sebelah Catherine. "Nggak ada perempuan yang lebih baik untukku daripada Cathy." Ia pun merangkul istrinya, yang tersenyum setengah cuek setengah maklum.

"Gimana, Al, lu sendiri nyari cewek, nggak?" goda Puspa. "Umur lu kan udah duapuluh enam tahun. Masa ngurusin Kak Surya sama Kak Tanjung mulu, nggak nikah-nikah?"

Alfred hanya tersenyum. "Belum menemukan yang pas, Non Puspa."

"Kalau lu nggak botak, Al, sebenarnya lu nggak jelek-jelek amat, kok. Mungkin gue masih mau macarin," ledek Puspa lagi.

Gadis ini sudah beberapa kali gonta-ganti pacar selama kuliah di Paris, namun ia merahasiakannya dari ibu dan kakaknya. Tanjung sebenarnya tahu, namun ia menutup matanya. Daripada Puspa marah dan berhenti menemuinya. Ia hanya mengingatkan Puspa secara implisit untuk berbijaksana dalam memilih teman.

"Puspa!" tegur ibunya. "Nggak boleh gitu sama Nak Alfred."

"Tidak apa-apa, Nyonya. Saya juga tidak mungkin mengincar Non Puspa. Saya tahu diri," ucap Alfred.

***

Bulan September, Jason mulai menghadiri maternelle (prasekolah) yang diikuti anak-anak berusia tiga tahun. Sebenarnya ada sekolah internasional yang menggunakan bahasa Inggris, namun karena mahal, Catherine dan Tanjung mengirim Jason ke sekolah negeri yang menggunakan bahasa Perancis. Lagipula Jason juga sudah terbiasa dikirim ke nursery berbahasa Perancis. Ia lebih mengerti bahasa Perancis dan Indonesia daripada bahasa Inggris, walaupun Catherine dan Tanjung menggunakan ketiga bahasa itu campur-campur saat di rumah.

Kali ini Catherine yang mengantar Jason ke sekolah karena ia sudah naik pangkat di IMF sehingga jam kerjanya lebih fleksibel. Sementara itu, Tanjung baru mulai bekerja di Divisi Sumber Daya Manusia di sebuah perusahaan multinasional selepas kelulusannya.

Catherine menatap Jason penuh haru ketika putra tunggalnya itu, dengan ransel mungil di punggungnya, melambaikan tangannya kepadanya, masuk ke ruang kelas bersama guru dan anak-anak lainnya. Sepertinya baru kemarin ia bertengkar dengan orangtuanya, menikah dengan Tanjung, diasingkan di Swiss, dan melahirkan Jason dengan susah payah. Sekarang Jason sudah berusia tiga tahun dan berangkat sekolah.

Sebentar lagi dia masuk SD, SMP, SMA, lalu kuliah, pikir sang ibu dengan sedikit sedih.

Catherine menghela napas sambil mengemudikan mobilnya ke kantor -- sekarang ia sudah punya mobil. Melihat kilas balik hidupnya, ia merasa rencananya boleh dikatakan berhasil. Ia dan Tanjung sedang meniti karir di Paris setelah meraih gelar magister. Jason tumbuh sebagai anak yang sehat dan pintar. Hubungan mereka dengan keluarga Sastradireja masih baik-baik saja, begitu pula dengan keluarga Jati, kecuali Indra yang memang keras kepala, dan Surya yang terlalu cuek. Walaupun demikian, Catherine dan Surya tidak bermusuhan lagi.

Tahun depan, ia akan diangkat menjadi analis keuangan senior yang akan ikut memutuskan kebijakan-kebijakan keuangan. Gajinya akan ditingkatkan. Mereka akan sanggup menyicil rumah. Jason dapat memelihara anjing -- sejak lama ia meminta hewan peliharaan karena melihat banyak pejalan kaki sedang berjalan-jalan dengan anjing mereka. Dan nanti, saat Jason berusia lima atau enam tahun, mereka mungkin sudah siap untuk menambah anak lagi.

Jika kehidupan keluarga kecil Catherine dan Tanjung relatif lancar, tidak demikian dengan keluarga Jati yang berada di Jakarta. Awal tahun 1987, Indra Jati terkena serangan jantung lagi. Kali ini sedikit lebih ringan. Ia didampingi oleh Rara dan Surya, yang sudah kembali ke Jakarta pasca kelulusannya. Tanjung hanya menelepon ibunya untuk menyampaikan perhatiannya. Ia tidak pulang dengan alasan belum bisa ambil cuti -- padahal ia tidak mau menemui ayahnya lagi sejak kejadian yang terakhir. Sedangkan Puspa tidak memedulikan ayahnya sama sekali.

Karena dokter memperingatkan Indra untuk mengurangi beban kerjanya, posisi direktur utama perlahan-lahan dialihkan kepada Surya, sementara Indra tetap mengawasi jajaran direksi sebagai penasihat. Demikianlah kabar yang disampaikan oleh Alfred kepada Tanjung. Surya sendiri mulai memercayakan tugas-tugas berat kepada Alfred, karena ia kurang menyukai Edward Darmadi.

"Aku merasa gimana gitu," desah Tanjung kepada istrinya. "Nggak pulang sama sekali untuk menjenguk Ayah... rasanya jahat. Tapi kalau aku pulang, Ayah mungkin akan memarahiku. Alfred bilang Ayah sudah memanggil pengacara dan mencoret namaku serta Puspa dari daftar warisannya."

"Kamu mau warisan ayahmu?" tanya Catherine yang sedang menemani Jason mewarnai.

"Entahlah. Saat ini, sih, nggak perlu. Namun kalau aku bilang aku sama sekali nggak mau ... Maksudnya aku bukan mata duitan, tapi siapa, sih, yang nggak mau uang? Lebih baik jatuh ke tanganku daripada ke tangan orang-orang yang nggak bertanggung jawab."

"Hmm," cibir Catherine. "Kalau soal uang, nggak usah khawatir. Aku juga punya warisan."

Tanjung menggeleng. "Kurasa, aku sedikit sakit karena seakan-akan Ayah sudah nggak menganggapku anak."

"Ayahmu nggak menganggap Jason cucunya," Catherine mengingatkan.

Tanjung meraih tangan Catherine dan mengusapnya. "Tenanglah, Cath. Aku nggak menyesali keputusanku. Aku cuma curhat padamu bahwa aku masih merasa sakit atas penolakan Ayah, dan konflik antara harus menjadi anak berbakti atau benar-benar lepas dari keluarga Jati. Kehidupan kita di sini, nggak ada yang berubah."

"Kamu beruntung punya istri pengertian sepertiku," ujar Catherine sambil memutar bola matanya. "Kadang aku berpikir ... apakah begini rasanya punya suami lebih muda ... serasa aku yang jadi ibumu."

Tanjung tertawa dan memeluk Catherine. "Enggak, Sayang. Kita saling melengkapi. Kaya kamu nggak pernah curhat ke aku aja."

"Sepertinya seringan kamu." Catherine menjulurkan lidahnya.

"Ya, deh, kalau kamu nggak mau ..."

"Nggak apa-apa, kok. Daripada dipendam."

***

Bulan Mei 1987, Catherine dan Tanjung mendengar kabar pertunangan Surya Jati di Los Angeles, selepas kelulusan Cornelia. Surya mengundang adik dan adik iparnya, bahkan sampai mengirimkan jet pribadi untuk menjemput mereka. Tadinya Catherine dan Tanjung ragu apakah mereka harus menghadiri pesta pertunangan Surya, namun Surya mengingatkan Tanjung bahwa ia dulu pernah membantu hubungannya dengan Catherine. Bahkan Tanjung bisa tinggal di Geneva bersama Catherine atas perintahnya kepada Alfred Darmadi.

"Sekarang aku minta kalian datang untuk menjaga reputasi keluarga Jati. Biar Nella dan tamu-tamu lainnya melihat keluarga kita sebagai keluarga yang harmonis," tutur Surya melalui telepon.

"Baiklah," ujar Tanjung.

Giliran Tanjung yang memohon-mohon pada Catherine untuk ikut dengannya ke Los Angeles. Setelah beberapa perdebatan panjang, akhirnya Catherine bersedia karena ini acara Surya, bukan Indra.

"Tanyakan kakakmu yang berbahagia itu, aku harus apa kalau berpapasan dengan ayahmu."

"Jadilah dirimu sendiri, Cath," ujar Tanjung. "Aku yakin, Ayah nggak akan bikin ulah di pesta pertunangan anak emasnya."

.

.

.

Bersambung.

(14 Agustus 2018)

1400++ kata

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top