Catherine - 12
Bagi Tanjung, ucapan ayahnya sebelum ia kembali ke Paris merupakan titik terakhir yang sanggup ditoleransi olehnya. Ayahnya boleh menghinanya, membandingkannya dengan kakaknya, mengatakan dirinya pria gagal -- namun ayahnya tidak boleh merusak keluarganya. Sekarang ia suami dan ayah pertama-tama, anak belakangan. Tugas utamanya adalah melindungi, mengayomi, dan menyayangi Catherine dan Jason. Ia justru harus menjadi pilar kekuatan bagi mereka, bukannya terlihat lemah seperti ini.
"Catherine," ujarnya sambil membuka mata.
Catherine berhenti mengusap rambut Tanjung. Jika suaminya menyebut nama lengkapnya, berarti ia sedang sangat, sangat serius.
"Ada apa, Tanjung?"
"Kamu benar, Sayang. Kamu selalu benar," sahut Tanjung sambil mengangkat kepalanya dan mencium Catherine. Ia meletakkan tangannya di belakang leher Catherine dan mendorongnya perlahan sehingga sang istri berbaring di atas tempat tidur.
"Benar apanya?"
"Ayo kita lanjutkan acara kita yang tertunda," bisik Tanjung sambil membuka kancing piyama sutera istrinya.
"Tunggu, kamu belum bilang apa yang kamu maksud," ujar Catherine sambil menahan tangan suaminya. "Aku benar? Apa yang benar?"
"Soal hidup mandiri dan nggak bergantung sama keluarga besar kita. Aku sudah muak dengan Ayah. Apapun perkataannya, kamu nggak usah tahu. Yang pasti, aku nggak akan membiarkannya merusak keluarga kita. Aku selalu bersama kalian. Meskipun aku harus putus hubungan dengannya."
Catherine mendorong dada suaminya yang hendak menyerbunya dengan ciuman-ciuman. "Tanjung Jati, apa yang sebenarnya terjadi di Jakarta?"
"Ayah cari gara-gara lagi," sahut Tanjung. "Dia marah karena kamu nggak datang ... dan selanjutnya mengatakan racun seperti biasa. Dia sampai mengancam nggak akan memberikan warisan padaku jika aku nggak menurutinya."
Catherine menutup mulutnya dengan tangan. "Kenapa Indra Jati benci sekali padaku?"
Tanjung mengangkat bahu. "Sudah kubilang, dia cuma cari gara-gara, Cath. Kalau kamu datang ke sana pun, dia akan cari alasan lain untuk menyalahkanmu. Mungkin itu caranya balas dendam karena kalah suara mengenai pernikahan kita."
"Tapi itu sudah dua tahun yang lalu!"
"Ayah emang pendendam," desah Tanjung. "Tapi, Cath, aku nggak akan tinggal diam diperlakukan begitu oleh Ayah. Seperti kamu, aku akan hidup mandiri seutuhnya. Bebas dari keluarga Jati. Aku nggak akan memakai fasilitas atau koneksi apapun dari mereka. Nanti, uang kuliah pun akan kuganti."
Catherine tersenyum. "Aku bisa bayarin ..."
"Enggak, itu uangmu. Nggak apa-apa, aku pinjam dulu sekarang, nanti kukembalikan ke Ibu atau Kak Surya. Pokoknya, mulai saat ini," ujar Tanjung dengan mata berkilat, "hanya ada kamu, aku, dan Jason. Orang lain nggak boleh mengatur hidup kita."
Catherine menatap suaminya dengan mata berbinar-binar. "Kenapa kamu selalu berhasil bikin aku semakin jatuh cinta padamu?"
"Karena kamu," jawab Tanjung. "Karena kamu selalu mencintaiku dan percaya padaku, meskipun aku merasa lemah. Karena kamu dan Jason menyayangiku tanpa batas dan mengajarkanku menjadi lelaki yang seutuhnya."
"Jadi dulu apa, dong? Hermafrodit? Atau androgini?"
"Catherine!"
Tawa mereka menyembur bersama sembari mereka melepas kerinduan malam itu. Tempat tidur yang berderit, sprei yang berantakan, dan Jason yang terbangun akibat teriakan-teriakan orangtuanya menjadi saksi pergulatan mereka.
***
Setahun kemudian, bulan September 1985, Puspa Jati mengenyam pendidikan tinggi di Universitas Panthéon-Assas alias Sorbonne Law School, sekolah hukum terbaik di Perancis. Hanya sang ibu yang mengantarnya. Indra mengaku sibuk, padahal ia memang tidak menyukai anak perempuannya yang suka membangkang. Selain itu, ia tidak mau berada satu kota dengan Tanjung.
Indra melarang Rara membawa pelayan karena ingin "menghukum" putrinya, namun Puspa malah senang karena ia ingin hidup normal dan mandiri seperti kakaknya. Sang ibu, yang tumbuh dalam keluarga yang mengajarkannya kerja keras, walaupun ia keturunan ningrat, menyetujuinya. Jadi hukuman Indra malah berbalik menjadi kesenangan bagi Rara dan Puspa.
Sementara Catherine dan Tanjung membantu Puspa melengkapi apartemennya dengan furnitur, Rara melampiaskan kerinduannya dengan menimang-nimang sang cucu yang semakin bertambah berat. Jason yang kini berusia dua tahun sembilan bulan sangat lincah dan ceria. Pada awalnya, ia lupa pada neneknya, namun setelah Rara membujuknya, ia malah terus mengajak main Yangti-nya, demikian Rara minta dirinya dipangil.
"Jason, istirahat dulu, Sayang. Yangti udah capek," ujar Catherine sambil menggotong dus berisi karpet dan keset.
Rara memangku Jason dan mengusap rambutnya yang basah. Jason tertawa-tawa sambil berusaha melepaskan dirinya dari pelukan sang nenek. Mereka sedang bermain petak umpet, walaupun Jason tidak bersembunyi sama sekali, hanya menutup wajahnya dengan tangan, mengira neneknya tidak bisa melihatnya.
"Haus? Mau minum, Sayang?" ujar Rara sambil menyodorkan botol minum anak ke cucunya. Jason langsung meneguk airnya dengan bersemangat. "Cathy, kenapa, sih, kamu harus tinggal jauh-jauh di Paris? Ibu, kan, kangen sama Jason. Udah cucu satu-satunya, susah ketemu."
"Ah, iya, Ibu," ujar Catherine, "Tanjung kan masih kuliah. Aku juga mau mengejar karir di sini."
"Gitu, ya. Benar juga, sih, mumpung masih muda. Nanti kalau ayahnya Tanjung udah pensiun dan Surya gantiin dia, Tanjung akan balik ke Indonesia, kan? Dan ingat, ya, Sayang, tugas utama seorang istri tetap mendukung suaminya."
Dalam hati Catherine memberontak. Namun di luar, ia hanya tersenyum, memaklumi ibu mertuanya yang lahir satu generasi di atasnya, tentu pikirannya masih tradisional.
Yah, tugas suami juga mendukung istri, batinnya.
Puspa tinggal di sisi kota yang berbeda dari Catherine dan Tanjung. Walaupun tidak terlalu sering bertemu karena kesibukan masing-masing, ia menyempatkan diri mengunjungi kakak dan kakak iparnya seminggu sekali. Apalagi ia sangat menyukai Jason, meskipun ia tak menyukai kebanyakan anak kecil.
Dari semua anggota keluarga Jati, selain Tanjung tentunya, Catherine paling menyukai Puspa. Ketika Puspa berkunjung dan bermain dengan Jason, ia dan Tanjung bisa beristirahat sejenak. Dan menurutnya Jason perlu mengenal keluarganya yang lain, di samping dua orang bibinya -- adik-adik Catherine -- yang telah berkuliah di Inggris dan kadang-kadang mengunjungi mereka saat liburan.
"Bagus, buat latihan jadi ibu nanti," goda Catherine saat Puspa sedang menyiapkan makanan untuk Jason. "Eh, nggak usah disuapin, biar Jason makan sendiri aja. Biasa juga gitu."
"Nanti berantakan, Kak?" sahut Puspa.
"Nanti dibersihin. Biar dia belajar mandiri juga. Di sini nggak kaya di Indonesia, bayi dari kecil disuapin, dilarang ini-itu, jadinya nggak mandiri."
"Oohh, gitu. Yah, nggak apa-apa, lah, pengalaman," cengir Puspa sambil mendudukkan Jason di kursi tinggi dan menyodorkan mangkok buburnya. "Aku belum kepengen jadi ibu dalam waktu yang lama, nggak kaya Kak Cathy."
Mata Catherine menyipit. "Aku juga nggak berencana, tapi dia datang."
Puspa melebarkan senyumnya. "Nggak apa-apa, Jason lucu."
Catherine mengedikkan bahunya. "Kadang aku berpikir, kalau belum punya anak, mungkin aku lebih bebas. Tapi meskipun repot, aku sangat bahagia dengan keberadaan Jason. Kuncinya kerja sama yang baik antar pasangan."
Puspa mengangguk. "Kak Cathy dan Kak Tanjung panutan. Walaupun aku belum berencana nikah, minimal nggak dalam sepuluh tahun."
"Sepuluh tahun?"
"Iya, umurku masih delapan belas, aku nggak mau nikah muda, di atas dua delapan atau mendekati tigapuluh juga nggak apa-apa. Aku mau berkarir jadi pengacara internasional, nggak mau dibatasi keluarga."
"Ibu bakal bilang apa kalau dengar," tawa Tanjung yang sedang memotong buah-buahan.
"Aku nggak bilang ke Ibu soal nggak nikah muda," ujar Puspa. "No offense to you, guys. Kalian, kan ... well, you know. Kalau aku hamil pun ... aku belum tentu mau menikah sama pria yang menghamiliku."
"Aku juga berpikir begitu. Tapi Mama dan Papa, serta Ibu, suruh kami nikah, ya, terpaksa ... lagipula saat itu aku belum mandiri secara finansial," tutur Catherine.
"Cathy, terpaksa?" protes Tanjung. "Aku menikahimu sebagai wujud tanggung jawabku, Sayang. Kalau semua perempuan berpikiran seperti kalian, bukannya keenakan pria-pria itu yang nggak tanggung jawab?"
"Of course, terminating it is an option," ujar Puspa. "But let's say I decide to keep the baby. Lebih baik aku hidup sendiri dengan anakku, atau mungkin menyerahkannya untuk diadopsi, daripada menikah dengan lelaki yang sebenarnya nggak mau tapi terpaksa. Dalam kasus Kak Tanjung, kamu rela, dan kamu bahagia dengan pilihanmu. Tapi kalau dia dari awal pengecut dan nggak mau tanggung jawab, buat apa aku menghabiskan waktuku bersamanya? Apalagi kalau ujung-ujungnya juga bakalan cerai."
Tanjung menggelengkan kepalanya. "Well, kamu harus pandai-pandai menjaga diri, Puspa. Cathy dan aku akan berusaha membantumu jika ada masalah -- tapi mencegah lebih baik daripada mengobati. Apalagi kamu tahu seperti apa Ayah ..."
"Ne t'inquiète pas (jangan khawatir)," senyum Puspa. "Aku tahu cara menjaga diri."
.
.
.
Bersambung.
(13 Agustus 2018) --> ultah Sebastian Stan XD
1200++ kata
Cerita ini emang semacam slice of life, alurnya agak datar, konfliknya juga nggak segimana. Entah kapan selesainya, tapi kayanya nggak lebih dari 20 sih.
Pandangan Puspa nggak mencerminkan pandangan penulis.
Aku nggak sepenuhnya anti aborsi, dalam beberapa kasus yang menurutku aborsi masih dapat kumaklumi, misalnya korban pemerkosaan atau kalau nyawa ibunya terancam. (Jangan bawa-bawa agama or whatever, ini opini pribadiku.) Tapi kalau mereka naena trus hamil dan nggak mau tanggung jawab, well, then I think they are jerks.
Aku pernah baca kalau ada feminis yang berpandangan bahwa tubuh mereka adalah milik mereka. Jika mereka nggak mengizinkan tubuh mereka "dipakai" orang lain (dalam hal ini janin), ya sah2 aja bagi mereka untuk membuangnya. Mereka nggak mengenyahkan kemanusiaan janin tersebut. Tapi walaupun aku bisa mahamin pandangan ini, aku masih nggak bisa terima.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top