Catherine - 10

Paris, Juli 1984

"Jason, mon cher, regarde tour Eiffel! (Jason, sayang, lihat menara Eiffel!)" seru Catherine sambil menggendong putranya ketika mereka menyusuri trotoar sepanjang Rue Saint-Saens, jalanan di depan hotel tempat mereka menginap selagi mengurusi pindahan ke apartemen baru mereka. 

Tanjung berdiri di sebelahnya, mengangkut ransel besar di punggungnya, berisi perlengkapan kebutuhan Jason, tentu saja, seperti botol susu, tisu basah, popok, dan termos. Catherine sudah tidak menyusui Jason sejak tiga bulan yang lalu karena produksi ASI-nya sudah berhenti. 

"Kamu pikir Jason akan mengerti ucapanmu?" tawa Tanjung. Catherine bahkan menyebutkan nama Jason ala bahasa Perancis, Zha-song, bukannya Jey-sen seperti pelafalan bahasa Inggris. 

"Biarin, aku lagi ngajarin dia," ujar Catherine. 

Ibu muda ini telah belajar Perancis sejak awal tahun sejak menargetkan akan bekerja di IMF Paris. Tanjung juga mempelajarinya, namun kemampuannya masih di bawah Catherine. Untung program perkuliahannya menggunakan bahasa Inggris di awal-awal perkuliahan. 

"Nggak kebayang belajar sosiologi pakai bahasa Perancis," lanjut sang istri sambil menyengir. "Masih mending matematika, banyak hitung-hitungan doang. Sosiologi isinya bacaan semua." 

"Sayang, aku daftar ke Sorbonne, kan, gara-gara kamu mau kerja di sini," tutur Tanjung. "Seharusnya kamu mendukungku, bukan meledekku." Ia mengusap dahinya yang basah oleh peluh karena teriknya matahari Paris di bulan Juli. 

"Aku dukung tapi ledek juga," ucap Catherine sambil menyapukan ciuman cepat di bibir suaminya. "Ah, Paris, la ville d'amour (kota cinta)!"

"En fait, Paris est la ville des lumieres (sebenarnya, Paris adalah kota cahaya)," sahut Tanjung sambil tersenyum. "Tapi ville d'amour juga boleh, sih." 

Catherine mengabaikan ucapan suaminya. Ia malah berbelok ke Rue de du Finlay, ke arah Sungai Seine. "Jason, la Seine!" 

"Kamu seperti belum pernah ke Paris saja, Cath." Giliran Tanjung meledek Catherine. 

"Terakhir sepuluh tahun yang lalu. Lagian, Jason kan belum," balas Catherine sambil menjulurkan lidahnya. "Jason, turun, ya, kamu berat." Ia menurunkan Jason ke trotoar sambil menggandeng tangannya. 

"Kamu jalan-jalan, aku mau duduk, capek," ujar Tanjung, melepas ranselnya dan meletakkannya di atas kursi di trotoar. 

"Umur masih dua dua, udah kaya bapak-bapak umur empatpuluhan," tawa Catherine. 

"Biarin, yang capek kan aku," balas Tanjung. Ia tidak keberatan diledek Catherine karena berarti istrinya sedang senang. 

***

Setelah pertemuan Tanjung dan Catherine dengan Maya Fong, Indra tentu saja mengamuk akibat ulah putra keduanya. Namun Tanjung dan Catherine tidak ambil pusing. Bahkan ketika sang ayah mertua tidak menghadiri wisuda Catherine di London Business School hari berikutnya, Catherine tak peduli. Padahal Rara, Surya, dan Puspa datang. Hans Sastradireja sampai kesal mengetahui ulah besannya. Ia datang ke acara wisuda Tanjung kemarin, namun Indra tak mau datang ke wisuda putrinya. 

"Bodo amat, Pa. Pas aku wisuda S1 aja ayah Tanjung nggak datang, kenapa aku harus berharap dia datang kali ini?" ujar Catherine pada ayahnya.

Hans hanya mengedikkan bahu. Catherine tidak pernah menyebut Indra sebagai 'Ayah', kecuali terpaksa, di hadapan Indra. Sama halnya, Indra tidak pernah menyebut Jason cucunya, selalu mengatakannya anak Catherine. Seakan-akan Jason bukan anak Tanjung sama sekali. 

"Aku malah senang ayahnya Tanjung nggak datang," lanjut Catherine. "Nggak akan ada yang merusak mood-ku."  

"Apakah dia seburuk itu, Cath?" tanya Hans. 

Catherine menghela napas. "Ya, dia cukup buruk. Syukurlah aku nggak tinggal dengannya. Lagian yang kunikahi kan Tanjung, bukan ayahnya." 

Hans menepuk bahu putrinya sedikit menyesal. Ia tak rela putri kebanggaannya diperlakukan demikian oleh Indra Jati, namun ia juga tak mampu berbuat apapun. 

"Soal rencanamu itu, kamu serius? Papa bisa kasih kamu uang saku, buat memulai saja." 

Catherine mengangguk yakin. "Aku punya tabungan yang cukup, kok, Pa. Bulan Juli, aku juga sudah mulai kerja. Lagipula, Papa kan nggak mewariskan perusahaan ke aku. Aku harus mulai belajar hidup mandiri dari sekarang."

"Tapi kamu dan anak-anak lain tetap pemegang saham, Cathy. Hanya saja, untuk jajaran direksi, Papa harus kasih ke Om Ben, soalnya perusahaan ini kan punya keluarga Sastradireja, bukan punya Papa seorang. Beda sama Grup Jati yang emang dipegang sepenuhnya oleh Indra."

Catherine hanya tersenyum. "Nggak masalah. Papa seharusnya bangga punya anak sepertiku." 

"Papa bangga, Sayang," ujar Hans sambil memeluk Catherine. "Sekali lagi, maafkan Papa ... soal waktu itu ..."

"Sudah kumaafkan, kok, Pa. Aku juga minta maaf ... karena mengecewakan Papa saat itu." 

Hans mengusap pipi putrinya. "Papa sudah memaafkanmu sejak hari pernikahanmu, Sayang." 

Dan Catherine tak mampu menahan air yang sejak tadi menggenang di matanya untuk tak mengalir. 

***

Di Paris, Catherine merasa di puncak dunia. Memang, Paris tidak sesempurna deskripsi di novel maupun film. Kota itu sebenarnya kotor, bau, dan banyak copet. Namun Catherine amat menyukai aura kebebasan Paris yang bertolak belakang dengan London yang serius, kaku, dan kelabu. Ia menyukai pekerjaannya. Ia menyukai kemandiriannya, walaupun ia harus mencuci piring, membersihkan apartemen, berbelanja makanan, bergantian dengan Tanjung. Sebelumnya, ia tak perlu melakukan hal-hal itu di London karena sudah diurus pelayan. 

Lambat laun, kehidupan mereka menjadi rutinitas yang teratur. Setiap pagi, Catherine naik bus ke kantornya. Tanjung kuliah pagi seminggu tiga kali, sehingga ia harus mengantar Jason ke nursery sebelum berangkat ke kampus. Di hari-hari lainnya, Tanjung kuliah sore, setelah Catherine pulang kerja, sehingga Jason tidak perlu dititipkan. 

Mereka benar-benar hidup sendiri di Paris. Catherine dan Tanjung memiliki kenalan di sana, namun mereka sibuk dan hanya bertemu sesekali. Apalagi setelah mereka mengetahui pasangan muda ini sedang mencoba mandiri dari orangtua mereka, mereka tak lagi sering menghubungi Catherine dan Tanjung. 

"I guess we know what they really are, huh?" gerutu Catherine sambil menutup teleponnya ketika teman yang diajaknya makan malam menolaknya dengan alasan sibuk. 

"Kita makan bertiga saja kalau begitu," sahut Tanjung sambil menutup buku pelajaran yang dibacanya. "Biar aku yang bawa Jason," tambahnya melihat Catherine hendak memasangkan baby carrier ke tubuhnya. 

Mereka belum memiliki mobil, sehingga mereka pergi ke mana-mana berjalan kaki, naik bus atau taksi. Mereka punya kereta bayi, namun merepotkan jika harus melipat kereta lalu mengangkatnya ke bus atau taksi. 

"Ya udah, tapi aku nggak mau bawa ransel besar. Biar Jason makan bareng kita aja," sahut Catherine. Jason yang berusia satu tahun enam bulan sudah bisa makan makanan yang halus seperti mashed potato atau daging ayam yang disuwir tipis. 

"Jason, ayo jalan-jalan sama Mama dan Papa? Kita mau makan," ujar Tanjung sambil mengangkat putranya yang asyik bermain dikelilingi pagar mainan anak-anak. 

Jason menjatuhkan mainan yang dipegangnya dan berceloteh, "Pa-pa-pa." 

"Betul, Sayang, ini Papa," ucap Tanjung sambil mencium pipi Jason yang bulat. 

***

Beberapa minggu yang lalu, Catherine dan Tanjung lagi-lagi bertaruh, Jason akan menyebutkan kata 'Mama' atau 'Papa' terlebih dahulu. Ternyata Jason mengucapkan 'Papa' pertama kali, sehingga Tanjung menyuruh Catherine mengembalikan seratus franc yang dulu dibayarnya di Geneva. 

"Franc Perancis sama franc Swiss beda tahu!" protes Catherine. 

"Ya sudah, seratus franc Perancis," cengir Tanjung. 

Catherine cemberut. Sudah kalah dipanggil duluan, harus membayar pula. 

"Nggak apa-apa, Cathy, bukan berarti dia lebih sayang aku, kok. Kalau dia lebih sayang aku, akan kusuruh dia untuk lebih sayang kamu," hibur suaminya. 

"Tapi aku harus tetap bayar seratus franc?"

"Harus, Madame Jati." 

Catherine menyerahkan uang yang diminta suaminya. "Tapi kamu tidur di sofa malam ini," ujarnya sambil menggendong Jason dan masuk ke kamar. 

"Cathy, seriusan?" protes Tanjung. 

Selanjutnya Catherine mengajarkan Jason mengucapkan kata 'Mama' untuk memanggilnya, namun Jason tidak dapat membedakannya dengan kata 'makan' yang diucapkannya 'mam-mam-mam.' Jika bertemu Tanjung, dia menyebut 'pa-pa-pa', namun jika bertemu Catherine, dia diam saja, hanya minta gendong. Dia hanya mengucapkan 'mam-mam' saat meminta makanan.

***

Setelah makan malam, keluarga kecil itu berjalan-jalan di tepi Seine, menikmati keindahan malam Paris yang bertaburan cahaya. Menara Eiffel bersinar keemasan bersanding dengan hitamnya malam. Muda-mudi, baik turis maupun warga setempat, bermesraan sepanjang sungai. 

Puas berjalan-jalan, mereka kembali ke apartemen mereka. Salah satu alasan mengapa Catherine dan Tanjung senang membawa Jason keluar adalah bocah itu pasti tertidur saat pulang, sehingga mereka tak perlu menidurkannya lagi. Paling repot saat Catherine dan Tanjung sama-sama harus berangkat pagi, namun Jason masih aktif. Biasanya menidurkan Jason adalah tugas Tanjung, karena ia bisa tidur di gedung perkumpulan mahasiswa setelah kelas. 

"Mon amour, kita sudah lama nggak melakukan ... itu," senyum sang suami dengan tatapan jahil. 

"Kalau nggak aku yang terlalu capek, ya, kamu," cibir Catherine. 

"Sekarang kita berdua masih kuat. Jadi ... que dis tu (apa yang kamu katakan), Madame Jati?" 

"Boleh, asal pake pengaman. Aku belum mau nambah anak," ujar Catherine. 

Tanjung menarik Catherine ke pelukannya. "D'accord (baiklah)," bisiknya. "Eh, tadi kamu bilang 'belum', kan? Bukan 'nggak'?" 

"Iya. Kamu lulus aja belum, udah mau nambah?" Catherine meletakkan kedua tangannya di pipi Tanjung lalu menciumnya setelah selesai berbicara. 

"Nggak, kok. Aku sepakat denganmu. Tapi suatu saat nanti ..." sahut Tanjung sambil membuka satu persatu kancing kemeja istrinya. 

"Satu atau dua lagi. Jangan banyak-banyak," ujar Catherine sambil menepuk bahu Tanjung. "Kamu kira hamil itu enak?" 

"D'accord, Madame Jati." 

Dering telepon menghentikan aksi mereka. Pasangan itu gusar, siapa yang tidak tahu diri menelepon pukul sepuluh malam? 

"Kak Tanjung ..." sang penelepon membuka suara.

"Puspa? Ada apa? Kenapa sampai telepon kemari?" tanya Tanjung. 

"Ayah masuk rumah sakit. Serangan jantung." 

.

.

.

Bersambung.

(10 Agustus 2018)

1400++ kata

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top