Catherine - 1
London, September 1982
Hari pernikahan seharusnya menjadi hari yang paling membahagiakan di hidup Catherine. Mengenakan gaun indah dan terlihat cantik bak putri raja, dikelilingi keluarga yang menyayanginya, dan bersanding dengan lelaki pujaan hatinya yang juga amat mencintainya.
Namun Catherine membenci setiap detik keberadaannya di gereja kecil itu.
Alih-alih bahagia, pernikahannya lebih menyerupai upacara pemakaman. Sang ayah sama sekali tidak tersenyum saat mengantarkan dirinya menuju altar. Pihak kedua belah keluarga menatapnya tajam seakan-akan ia terdakwa suatu kasus kriminal. Dan yang lebih parah lagi, Tanjung, calon suaminya, malah melemparkan pandangannya ke karpet merah yang dipijaknya.
Tak ada sorot mata penuh cinta seperti biasanya. Seperti yang ia berikan kepada Catherine setiap hari.
Catherine membenci hari itu. Membenci Tanjung. Membenci semua orang yang duduk di bangku keluarga mempelai. Terutama calon ayah mertuanya dan calon kakak iparnya.
Indra Jati, taipan bermata elang, duduk di kursi kehormatan keluarga mempelai, bangku paling depan di sebelah kanan altar. Ekspresi wajahnya sedingin es, seperti biasanya, namun Catherine tahu lelaki berusia awal limapuluhan tahun itu menyimpan kobaran api di dadanya. Di sebelah kanannya duduk sang permaisuri, Rara Hayuningtyas, wanita Jawa berwajah menyenangkan, kontras dengan suaminya, namun kali ini matanya menyorotkan keprihatinannya.
Di sebelah kiri Indra, duduk putra pertamanya, Surya Jati, duplikat persis ayahnya. Sama-sama dingin dan angkuh, namun lebih tidak kejam. Adik perempuan Surya dan Tanjung yang masih remaja, Puspa, duduk di sebelah kakak sulungnya. Mungkin hanya ia yang paling antusias menyambut pernikahan Catherine. Satu-satunya anggota keluarga Jati yang mendukung dirinya.
Deretan bangku di seberang keluarga Jati tak lebih ceria. Seusai mendampingi Catherine, Hans Sastradireja mengambil tempat di sisi istrinya, Susan, dengan wajah menahan malu. Sang ibu malah terlihat akan menangis. Keempat adik Catherine -- Jessica, Agnes, Felicia, dan Melanie -- sebenarnya bersimpati terhadap kakak sulung mereka, namun mereka tidak berani menunjukkannya.
***
"Nggak usah nikah. Cukup membiayainya tiap bulan saja. Oh, ya, selain itu, saya akan menyuruh Tanjung transfer ke Amerika saja, ikut dengan Surya. Biar Surya bisa menjaganya. Dari dulu saya memang nggak percaya pada anak itu. Dan sekarang malah bikin malu keluarga saja. Bah!" gerutu Indra Jati.
"Mana bisa begitu, Yah?" protes sang istri. Suaranya yang biasanya lembut dinaikkan satu nada. "Tanjung harus bertanggung jawab dan menikahi Cathy! Anak Ibu harus menjadi lelaki sejati. Kalau dia berbuat kesalahan, dia harus memperbaikinya."
"Siapa bilang nggak tanggung jawab? Kan, Ayah suruh dia membiayai Catherine dan anaknya sampai seterusnya. Tapi kalau nikah sekarang, di usianya yang masih duapuluh tahun, itu sama saja menghancurkan masa depannya!" balas Indra.
"Nggak bisa. Lagipula Pak Hans dan Bu Susan ...." Rara menolehkan kepalanya ke arah pasangan suami istri Sastradireja yang syok mendengar ucapan calon besan mereka.
Catherine melirik ke arah pacarnya. Tanjung hanya menundukkan kepala, tidak berani mengangkat suara melawan kedua orangtuanya.
"Cathy dan Tanjung harus menikah secepatnya dan sesederhana mungkin. Titik," ucap Hans. "Lalu Cathy akan cuti kuliah dan tinggal di Swiss sampai anaknya lahir. Kita nggak mau skandal ini terdengar sampai ke Indonesia. Bisa hancur nama keluarga Sastradireja. Dan juga Jati."
Susan tak menimpali suaminya. Ia sibuk menyeka air matanya yang terus bercucuran sejak menginjakkan kakinya di villa keluarga Jati di dekat Regent's Park itu.
"Kalau nikah buru-buru lalu anaknya lahir sebelum sembilan bulan, tetap saja dianggap skandal," cibir Indra.
Hans menggeleng. "Tetap saja, anaknya dilindungi secara sah oleh hukum."
"Gugurkan saja sudah," kata Indra.
Sedetik kemudian Hans bangkit dari tempat duduknya, bergerak menerjang Indra, kalau saja Surya tidak menahan tangan Hans untuk melindungi ayahnya.
Catherine mengepalkan tangannya dengan kuat hingga kukunya tercetak di telapak tangannya. Akhirnya ia tak tahan dan angkat bicara.
"Aku nggak ngerti kenapa kalian memperumit semuanya. Aku bukan perempuan pertama yang hamil di luar nikah. Ayah bayiku juga ada di sini dan mau bertanggung jawab. Tapi kami nggak bisa mikir kalau kalian bertengkar terus! Bukannya memberi dukungan, malah bikin stres."
Spontan Indra dan Hans melotot ke arah Catherine.
"Tapi ini reputasi keluarga Sastradireja, Cathy!" seru ayahnya.
"Kalau begitu, coret saja aku dari keluarga Sastradireja. Tapi jangan ikut campur dan mengatur hidupku!"
"Kamu bilang apa?!" Hans mengangkat tangannya dan mengarahkannya kepada putri sulungnya.
Namun kali ini Tanjung bertindak cepat. Ia berdiri di depan Catherine sehingga tangan Hans menampar wajahnya. Kali ini giliran Indra mengamuk.
"Jangan tampar putraku!" teriaknya.
"Putramu yang busuk itu telah mengotori putriku!" balas Hans.
"Kamu pikir putrimu bukan perempuan murahan yang dengan gampang memberikan dirinya kepada putraku?"
"Beraninya kamu menghina Cathy! Benar, saya nggak sudi berbesan denganmu. Kita batalkan saja pernikahan ini!"
"Hentikan!" ujar Rara. "Kalian ini lelaki dewasa tapi bersikap kekanakan ...."
Catherine berlari keluar ruangan. Ia berhenti di bawah pohon dan berpegangan pada batangnya, seakan-akan kakinya tak sanggup menopang tubuhnya. Amarahnya meledak di dadanya, menumpahkan air matanya.
Mungkin lebih baik ia mati saja. Ia membenturkan dahinya perlahan ke batang pohon. Tidak sakit. Ia menggerakkan kepalanya ke belakang. Sebelum ia mengarahkannya ke depan dengan sekuat tenaga, sebuah suara menghentikannya.
"Stop!"
Catherine menoleh. Bukan Tanjung. Lelaki pengecut itu bahkan tidak berani mengejarnya.
"Puspa?"
"Kak Cathy, jangan lakukan itu," ujar gadis remaja tersebut. "Kakak terlalu berharga untuk mati. Kalau nggak mati, malah lebih parah. Udah sakit, tujuan nggak tercapai pula."
"Sok tahu kamu," cibir Catherine, namun hatinya sedikit terhibur.
Puspa mendekat dan memeluk Catherine. "Ucapan Kakak benar. Mereka bukannya mendukung Kakak, malah bikin stres. Kakak seharusnya diberi kesempatan berbicara."
Catherine mengusap air matanya. "Entahlah, Puspa, aku ..."
"Kalau Kak Cathy bisa memutuskan, apa yang akan Kakak lakukan?"
Catherine menelan liurnya. Berpikir sejenak. Apa yang akan ia lakukan?
Tanjung. Ia benar-benar membenci Tanjung saat ini. Pada awalnya, ia menganggap Tanjung imut dengan sikap pemalu dan pendiamnya, namun sekarang ia tidak tahan memikirkannya. Yah, tapi apa yang ia harapkan? Tanjung, mahasiswa tingkat dua di King's College London, juniornya, masih bergantung pada orangtuanya. Tentu ia tidak berani melawan mereka.
"Aku tetap akan melanjutkan hidupku. Menikah dengan Tanjung ataupun tidak, bedanya hanya di status dan dokumen saja, kan? Aku akan lulus kuliah dan mencari pekerjaan. Aku akan membuktikan bahwa anakku nggak menghancurkan hidupku, seperti kata mereka."
Puspa mengangguk. "Buktikan, Kak Cathy."
.
.
.
Bersambung.
(31 Juli 2018)
900++ kata
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top