5

Solyn membuka berkas pertama yang dibuat ibunya. Saat itu, usia Julius tujuh belas tahun. Solyn berusaha tenang mendapati lampiran profiler yang memuat penjelasan karakter Julius sebagai tahanan remaja. Sedikit banyak Solyn mengerti tentang diagnosis beberapa penyakit mental dan yang Julius alami saat remaja membuatnya ingin menangis. Dakwaan kejahatannya juga sangat serius; penyekapan, perundungan, tindak kekerasan hingga bertanggung jawab pada kematian salah satu teman sekolahnya. Solyn menahan asam yang siap melejit dari lambungnya sewaktu mendapati lampiran foto Julius remaja; kurus, muram, tatapan matanya lebih dingin dan lebih kosong dari saat ini. Julius juga dinyatakan positif sebagai pengguna obat terlarang.

Solyn menguatkan diri untuk membuka berkas berikutnya dan masih belum mendapati perubahan yang berarti. Julius masih dinyatakan sebagai remaja bermasalah dan tidak kooperatif dalam setiap sesi konseling. Di berkas kedelapan, tepatnya satu tahun setelah penahanan, barulah terdapat perubahan. Reina menuliskan Julius mulai berbaur dengan para tahanan remaja lain. Ia mendapatkan pembebasan bersyarat setelah tujuh tahun masa tahanan. C.C. adalah tato pertama yang Julius buat setelah keluar dari penjara.

Solyn menghabiskan sore itu dengan membaca setiap proses terapi dan metode yang ibunya lakukan untuk mengenali kepribadian Julius. Ada banyak keterangan tambahan yang harus diperhatikan oleh orang di sekitar Julius, terutama untuk orang tuanya. Semakin banyak membaca berkas tersebut, semakin Solyn bisa merasakan kelegaan ibunya saat laporan-laporan itu mengindikasikan perubahan berarti terkait kontrol emosi Julius.

"Solyn." Panggilan tersebut seketika membuat Solyn menoleh ke pintu.

Julius menggendong Sheo yang lelap tertidur. Solyn buru-buru menyingkap selimut. "Ma-maaf, aku sampai lupa mengurus Sheo. A-aku—"

"Sheo bukan anak yang merepotkan," sela Julius saat membaringkan bocah empat tahun itu ke tempat tidur. Julius melepaskan kaus kaki dan menyelimuti Sheo hingga sebatas dada. "Sheo sudah makan. Aku akan menunggumu untuk makan sama-sama."

"Oh, te-tentu saja," kata Solyn kikuk. Ia meletakkan ponselnya dan ikut keluar kamar.

Di meja, tersedia beberapa menu Chinese food yang masih mengepulkan sedikit asap. Ayam kungpao, chop suey, mapo sup, dan beragam jenis pangsit. Solyn juga mendapati semua menu tersebut tersaji dengan piring berukiran ornamen khas negeri tirai bambu.

"Aku memesan tanpa bertanya. Aku enggak begitu cocok dengan masakan nusantara, jadi sering memesan chinese atau western dan karena—"

"Aku suka ayam kungpao. Ta Wan Resto adalah salah satu tempat makan favorit keluargaku."

Julius mengenali salah satu restoran China yang terkenal itu dan mengangguk. Solyn mengambil tempat duduk berhadapan dengan Julius, lebih dulu meminum setengah gelas air putih sebelum mengambil sumpit dan mulai makan. Jarang melewatkan acara makan tanpa pembicaraan, ia melirik Julius yang terlihat begitu tenang. Sungguh mengejutkan karena pria itu mendapatkan diagnosis kesulitan mengontrol emosi. Julius saat ini lebih cocok disebut tidak memiliki emosi.

"Aku sudah membacanya," mulai Solyn dan Julius mengangguk. Karenanya, ia memberanikan diri. "Bolehkah aku bertanya tentang apa yang kubaca?"

"Silakan."

"Kamu benar-benar mem-membunuh temanmu?"

Solyn pikir ia akan mendapati Julius berhenti makan atau terkesiap, tapi pria itu langsung meresponsnya dengan anggukan. "Aku berperan besar dalam hilangnya nyawa gadis itu."

"Ren juga terlibat dan aku tahu ceritanya. Kalian saat itu dalam posisi bertengkar. Kamu dalam pengaruh obat."

"Itu memperkuat bukti bahwa aku memiliki peran besar dalam peristiwa tersebut."

Julis terlihat sangat tenang, tidak ada perubahan emosi yang seharusnya tampak dalam tatapan pria itu.

"Dan tentang obat-obatan, kenapa kamu membutuhkannya?" tanya Solyn.

"Saat sekolah, satu-satunya hal yang bisa kubanggakan hanyalah basket. Aku pernah menjadi calon atlet nasional sebelum peristiwa itu terjadi. Ren terlalu tangguh untuk kukalahkan. Ia punya mental pemimpin dan ketahanan fisik yang bagus. Jadi, aku berusaha mengunggulinya dengan berbagai cara termasuk doping... dan obat yang aku gunakan masih ilegal di sini."

"Maaf jika pertanyaanku mengganggumu."

Julius menggeleng. "Sudah enggak terhitung lagi aku berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti ini saat konseling. Sama sekali bukan masalah bagiku untuk menjawabnya."

"Apakah Ibu bersikap keras padamu?"

"Awalnya iya," jawab Julius, mengenang saat-saat pertamanya berkonsultasi. "Reina sulit diabaikan dan terus mencoba membuatku bicara. Saat akhirnya aku bicara dan mengeluarkan semua isi kepalaku, aku memakinya, menggebrak meja di hadapannya. Ia bilang itu suatu kemajuan dan mendukung sikapku. Perlahan, aku sendiri yang melembutkan suara padanya."

"Orang mengatakan itu Reina's effect."

Julius tahu julukan tersebut diberikan oleh banyak mantan pasien Reina, orang-orang tak beradab yang entah bagaimana bisa bicara dengan nada bersahabat setelah menjalani konseling teratur. Merasa tak akan mendapatkan pertanyaan lagi, Julius menyelesaikan makan malamnya. Solyn mengikuti tak lama kemudian, meminum sisa air putihnya.

"Aku enggak menginginkan kehidupan lamaku," ucap Solyn, membuat Julius batal berdiri untuk memanggil petugas kebersihan. "Aku enggak ingin menjadi Solyn yang patuh ataupun tenang. Aku membaca berkas-berkasmu dan aku merasa kamu telah menjalani kehidupan ini dengan cara yang luar biasa. Setiap perjuangan yang kamu lakukan membuahkan kekuatan yang kini membantumu tetap bertahan. Aku juga menginginkan kekuatan itu."

"Reina membiarkanku melakukan banyak hal kecuali menyakiti diri sendiri." Julius mengingatkan dengan serius.

"Aku enggak akan melakukan hal yang menjauhkanku dari Sheo." Solyn memandangi bekas cincin di jari manisnya. "Aku ingin lebih berani dalam menjalani kehidupan ini. Aku ingin melakukan hal yang seenggaknya mampu membuat diriku merasa berharga lagi."

Julius tidak yakin ia harus merespons seperti apa. Detik berikutnya, Solyn kembali bicara. "Aku berada di sini karena enggak ingin berhadapan dengan mantan tunanganku, enggak ingin menghadapi orang-orang yang berpikir aku enggak cukup baik sehingga Krisna memilih perempuan lain," ungkap Solyn. Sebening air mengalir di pipinya.

"Solyn," panggil Julius lirih saat air mata gadis di hadapannya semakin deras menetes.

"Bantu aku, Julius," pinta Solyn sembari mengulurkan tangan dan menyentuh lengan Julius. "Bantu aku menemukan kekuatanku."

"Aku mungkin bukan orang yang tepat."

"Kamu adalah orang yang paling tepat. Kamu berhasil melalui semua itu. Kali ini, kamu hanya harus mengajariku agar berhasil melaluinya juga."

Julius menatap tangan dengan jemari ramping yang menggenggam lengannya. Ia beralih menatap iris sewarna kakao yang masih dibayangi air mata.

"Jadi, apa yang kamu inginkan?"

***

Pertama-tama, aku ingin pergi ke kelab malam dan mencoba alkohol.

Julius memijit pelipisnya atas permintaan yang Solyn ajukan. Solyn seperti remaja penasaran yang ingin menjajal segalanya, padahal sudah jelas bahwa alkohol bukanlah penyelesaian atas masalah, apalagi yang berkaitan dengan kedukaan dan patah hati.

"Lius!" Suara Rangga mengejutkan Julius dari tempat duduknya di lobi hotel.

Asistennya membawa dua koper dan sebuah ransel. Langkahnya langsung melambat mendapati Sheo duduk di samping Julius, membaca sebuah buku cerita bergambar.

"Li-Lius ...." Rangga melirik Sheo.

Sheo mendongak dan menatap penasaran. "Siapa?"

"Rangga, ini Sheo," kata Julius, memindahkan balita itu ke pangkuannya dan mengacungkan lengan mungil agar dijabat Rangga. "Sheo, ini Om Rangga."

"Om Angga," sapa Sheo lalu tersenyum.

Rangga terkesima sebelum menjabat tangan Sheo. "Halo, Sheo baca buku apa?"

"Wendy and Peterpan," jawab Sheo seraya menunjukkan sampul bukunya.

"Check-in aja dulu, Ga." Julius kembali menggeser Sheo ke sampingnya.

Rangga melambaikan tangan pada Sheo saat beralih menuju meja resepsionis. Sembari berjalan, ia menyipitkan mata melihat gadis yang sibuk merapatkan topi lebar hingga menutupi setengah wajahnya. Gadis itu mengenakan gaun lengan pendek dan sandal santai, berjalan ke arahnya.

Rangga sudah siap memamerkan senyum terbaiknya, tapi gadis itu melangkah melewatinya, langsung memberi tahu, "Julius, ponselmu tertinggal di kamar. Tante Tia menelepon."

Rangga melongo seketika. "What?"

Julius menoleh, membuat Rangga meneruskan langkah dengan ekspresi penuh duga.

Solyn menatap tidak enak karena sadar apa yang Rangga pikirkan. "Ma-maaf, pasti aku menimbulkan kesan yang salah."

"Jangan khawatir, dia asistenku," ungkap Julius lalu menatap kursi di hadapannya. "Duduklah. Setelah Rangga check-in, kita bisa sarapan sama-sama."

Sheo yang sedari tadi membaca, perlahan mendongak menatap kakaknya. "Why Peterpan didn't want to grow up?"

"Oh, because," Solyn menggantung jawabannya sebelum meringis, "childhood is one of the best times of our lives."

"Really?" Kali ini Sheo menatap Julius.

"Yeah, right," angguk Julius.

"Tapi Sheo mau gede biar kuat lempar bola basket seperti Ayah, Ren, Lius juga."

Julius mengangguk. "Harus makan banyak nanti."

Rangga mendekat sembari menatap layar ponsel. Terdengar nada dering yang khas dari sana. Ia menunjukkan layarnya ke arah Julius. "Lius, duluan aja, mau angkat ini."

Julius memperhatikan identitas penelepon dan menggandeng Sheo ke restoran hotel. Solyn merapatkan topinya karena gugup atas kejadian sore kemarin. Pagi setelah mandi, ia memeriksa beberapa portal gosip dan mereka masih membahas tentang pernyataan Krisna.

"Untuk berapa orang, Pak?" Petugas memeriksa keycard Julius.

"Empat." Julius menggendong Sheo karena suasana restoran yang ramai.

"Untuk putranya, kursi khusus atau biasa?" tanya petugas lagi.

Julius langsung bertanya, "Sheo mau duduk di kursi itu?"

Sheo melihat anak-anak duduk di kursi tinggi khusus dan menggeleng. "Enggak."

"Empat kursi biasa, ya, Pak."

Petugas langsung menghubungi seseorang dengan hand radio dan tidak lama mengarahkan mereka ke meja bundar dengan empat kursi. Taplak linennya terlihat sama bersih dengan tisu yang terpajang bersama bunga mawar segar.

Julius membantu Sheo memilih sarapan—pancake dan susu. Solyn memilih salad dan jus, sedangkan Julius menunggu Rangga. Ketika bergabung, pria itu yang memesankan sarapan Julius.

"Aku punya proyek pemanjatan. Akan ada peliputan tentang itu, jadi harus menjaga berat badan. Rangga perfeksionis soal tampilanku di kamera." Julius memberi tahu.

Dan benar saja, saat kembali, Rangga membawakan Julius sarapan dengan menu diet.

"Belum kenalan," kata Rangga saat duduk di kursinya, mengulurkan tangan pada Solyn. "Rangga, asistennya Julius."

Solyn mengangguk. "Solyn."

"Solyn siapanya Julius?" tanya Rangga sambil terkekeh-kekeh melepas jabat tangannya.

"Rangga." Julius langsung memperingatkan.

Rangga nyengir dan Solyn beralih membantu adiknya memotong pancake untuk mengalihkan kegugupan. Bagi orang lain, pasti keberadaannya dan Sheo bersama Julius terlihat seperti keluarga kecil yang sedang liburan. Bukan sekali saja Julius dikira ayah Sheo.

Rangga dan Julius membicarakan tentang beberapa rute pemanjatan. Solyn mencoba mengerti tapi setengah jam berusaha mengikuti pembicaraan tersebut, satu-satunya hal yang ia pahami adalah Julius ingin mencoba rute tersulit untuk proyek pemanjatannya. Bahkan jika memungkinkan, pria itu tidak ingin memakai pengaman yang berlebihan.

Rangga berkata tidak mau mengambil risiko terutama untuk pekerjaan yang sudah pasti bisa diselesaikan dengan lebih cepat. Jelas, pria berambut keriting itu sangat memperhitungkan efisiensi waktu. Julius justru mengatakan, ia suka memanjat dan menikmati ketinggian tertentu serta tak ingin diburu-buru. Julius sendiri yang akan menentukan kapan saatnya ia turun.

"Om Angga marah sama Lius?" tanya Sheo sebelum meraih gelas susunya.

Rangga langsung menelan ludah dan Julius menggeleng, mengalihkan pembicaraan. "Sheo mau main ke mana hari ini?"

"Berenang boleh?" tanya Sheo, sadar dirinya belum mandi.

"Sheo, Lyn sama Lius sudah mandi," kata Solyn.

Rangga nyengir. "Berenang sama Om Rangga, mau?" tawarnya dengan senyum lebar.

"Bisa berenang katak?"

"Bisa, dong," kata Rangga dan Sheo langsung bersemangat menyelesaikan sarapan.

Bocah itu bahkan menarik-narik Solyn kembali ke kamar untuk bersiap-siap. Rangga tersenyum mengamati kakak-beradik tersebut meninggalkan restoran.

"Ibu Cynthia tahu?" tanya Rangga.

Julius menghabiskan air mineralnya. "Jangan melaporkan hal yang enggak penting."

"Ada berita tentangmu di media. Gadis itu sedang jadi bahan pembicaraan di Jakarta."

"Nanti juga reda."

Rangga menatap tak yakin. "Begitu mereka tahu Julius Cesare adalah model sepatu dan pakaian olahraga terkenal, semua ini akan semakin parah. Tunangan gadis itu—"

"Mantan tunangan." Julius meralat begitu saja.

"Yeah, mantan tunangannya adalah politikus yang cukup disorot. Partai pengusungnya diperkirakan menempati dua puluh persen kursi dewan. Ia bisa lolos dari seluruh petaka ini dengan kamuflase bahwa Solyn yang lebih dulu bermain denganmu."

"Solyn mungkin enggak peduli selama itu menjauhkannya dari Krisna."

Rangga memejamkan mata. "Aku tahu dia putri dari mantan psikiatermu."

Julius memilih memundurkan kursi dan berdiri, menatap Rangga serius. "Jangan melepaskan tangan dari Sheo atau membiarkannya bermain hingga ke tengah kolam," katanya sebelum pergi.

Itu adalah cara terhalus untuk memberi tahu bahwa Rangga tidak diperbolehkan berkomentar terlalu banyak tentang urusan pribadi Julius.

***

Lama Julius bertelepon sampai Solyn kembali menggandeng Sheo. Bocah itu mengenakan celana renang dan ikatan pelampung di kedua lengan. Rangga berjalan di belakangnya sembari merapikan jubah mandi untuk menutupi badan.

"Kalau sudah satu jam, berhenti, ya," pesan Solyn saat mendekat ke deretan kursi berjemur, memilih satu yang terlindung bayangan pohon kamboja sebelum meletakkan barang-barang. Solyn memakaikan sunblock ke tubuh adiknya.

Rangga sendiri melakukan pemanasan singkat sebelum menggendong Sheo ke kolam.

Julius menutup telepon dan memperhatikan keceriaan Sheo yang belajar berenang gaya katak. Solyn tahu Rangga akan menjaga adiknya, jadi ia beranjak mendekati Julius. "Aku ingin membicarakan rencanaku."

Julius menoleh. "Ya?"

"Aku mau pergi malam ini."

Julius tahu sia-sia saja memberi nasihat pada seorang gadis yang sedang patah hati dan penuh tekad dalam mencari pelampiasan emosi. Menimbang beberapa hal, akhirnya ia mengangguk.

"Setelah Sheo tidur, kita bisa pergi. Akan kuminta Rangga tinggal di suite untuk menjaganya."

"Pakaian seperti apa yang harus kukenakan? Ini satu-satunya gaun semi formalku, sisanya hanya ada jins, kemeja, dan kaus biasa."

"Jins dan kemeja oke."

Solyn menggeleng. "Aku rasa enggak," katanya lalu mengingat deretan butik yang ada di lobi hotel. "Ada butik di lobi, mau membantuku memilih gaun?"

Julius sebenarnya tidak mau, tapi ia khawatir Solyn memilih sesuatu yang berbahaya sehingga mengikutinya menjelajah butik. Ia berusaha memberikan penilaian terhadap baju yang Solyn pilih, tapi gadis itu seperti memiliki tekad untuk benar-benar tampil berbeda.

"Solyn, dengar. Enggak perlu memaksakan diri untuk tampil seperti orang lain."

"Aku pikir ini gaun yang bagus. Aku belum pernah mencoba gaun di atas lutut dan mengenakan heels lebih dari lima senti." Solyn tak mendengarkan Julius. Ia menghilang di ruang ganti selama beberapa menit lalu saat keluar, Solyn membiarkan pramuniaga mengepak pilihan gaun dan sepatunya.

Julius menahan kartu kredit Solyn. "Tagihkan ke satu nol satu sembilan."

"Enggak, bayar dengan—" Kartu di tangan Solyn berpindah ke tangan Julius. "Julius?"

"Sudah kubilang, Reina memberiku konseling gratis selama bertahun-tahun. Aku serius saat mengatakan ingin membalasnya." Julius memasukkan kartu Solyn ke saku belakang jinsnya. "Sampai kita kembali ke Jakarta, kartu ini akan kusimpan."

Solyn langsung bingung. Jumlah uang di dompetnya tidaklah seberapa. "Ta-tapi—"

"Permisi, Pak. Silakan belanjaannya." Pramuniaga menyela dan mengulurkan dua paper bag.

Julius membawanya dan kembali ke kolam renang. Rangga berada di pinggir kolam, mengawasi Sheo dan lima anak seusianya bermain tembakan dengan pistol air.

Solyn memperhatikan jam di pergelangan tangannya. "Sheo, udahan, ya? Sini bilas!"

"Nanti!" tolak Sheo sembari berlari menghindari salah satu temannya.

"Sheo, sudah satu jam," bujuk Solyn meski adiknya tetap cuek.

Salah satu dari bocah itu menatap Solyn. "Sheo, your Mom is waiting."

Seketika Sheo berhenti bermain. Seperti terkesiap, ia melepaskan pistol air dan berjalan ke pinggir kolam. Rangga tahu ada yang tidak beres saat balita tersebut berlari ke pelukan Solyn dan menangis.

"Sheo ... Sheo ...," panggil Solyn bingung.

"Kangen Ibu," ucap Sheo sebelum tangisnya semakin keras terdengar.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top