Perempuan dan Fiksi: Ruang untuk Diri Pribadi

Tidak ada alasan lain bagi saya menyalin esai berikut dari sebuah buku selain daripada fakta bahwa saya ingin berbagi--mengingat di internet tulisannya hanya terbatas pada halaman yang terpotong-potong--dan saya ingin serius membacanya tanpa rasa kantuk yang tak terelakkan--dengan jalan: mengetiknya.

Semoga Anda sendiri tidak mengantuk membacanya. Dan jika Anda pada gilirannya mengantuk karena bosan, setidaknya Anda harus mampu menyelesaikannya dengan sabar--cepat atau lambat--karena, pemikiran tentang "Perempuan dan Fiksi" yang dipaparkan Virginia Woolf dalam esai ini, penting untuk kita--khususnya perempuan--ketahui bersama dan jadikan motivasi diri, atau lebih-lebih, sebagai tamparan di pipi. Apalagi di jaman ketika banyak dari kita yang sudah punya privilege atas ruang pribadi, dan teknologi telah banyak memberi kesempatan bagi siapa pun untuk menonjolkan diri / menjadi lebih.

Namun terhambat dengan banyaknya distraksi dan rangsangan pada otak yang membuat kita susah fokus sehingga menihilkan banyak makna--menjadikannya tiada.

(Oke, kalau ini curhatan dan pembelaan saya saja. Anda pasti lebih baik.)

*

A ROOM OF ONE'S OWN

Sumber tulisan:
Virginia Woolf, A Room of One's Own, London: The Hogarth Press 1929.
Di-Indonesia-kan oleh Nicolette Moeliono.
(dari buku "Hidup Matinya Sang Pengarang:
Antologi Esai tentang Kepengarangan oleh Sastrawan & Filsuf"
Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Jakarta, 2018)

I

Katamu, kami diminta berbicara tentang perempuan dan fiksi, lalu mengapa sekarang bicara tentang ruang untuk diri sendiri? Baiklah, saya jelaskan. Sewaktu saya diminta berbicara tentang perempuan dan fiksi, saya duduk di pinggir sungai, merenung. Apa arti kata itu? Menyebut Fanny Burney; mengulas Jane Austen; memuji Bronte bersaudara; berbicara tentang Haworth Personage, Miss Mitford, George Eliot, Mrs. Gaskell, lalu selesailah sudah? Tetapi setelah dipikir-pikir masalahnya tidak sesederhana itu. Perempuan dan fiksi dapat berarti perempuan dan seperti apa mereka, atau perempuan dan fiksi yang mereka tulis; atau perempuan dan fiksi yang ditulis tentang mereka; atau semua itu menyatu.

Tetapi setelah merenungkan semua subjek yang mungkin, saya melihat suatu kesalahan fatal, saya tidak pernah akan bisa menyimpulkannya, tidak akan pernah. Tugas pertama penceramah adalah menyerahkan butiran mutiara-mutiara kebenaran untuk dibungkus dalam halaman buku catatanmu agar disimpan selamanya. Tetapi saya hanya dapat menawarkan pendapat tentang satu hal kecil—seorang perempuan harus mempunyai uang dan ruang bagi dirinya sendiri untuk menulis fiksi, dan itu membiarkan hal besar tentang sifat perempuan dan sifat fiksi tidak terpecahkan.

Tetapi saya akan jelaskan bagaimana saya sampai pada pendapat itu. Bagaimanapun, jika suatu subjek bersifat kontroversial, dan semua subjek tentang gender memang begitu, seseorang tidak mungkin mengatakan apa yang benar. Yang dapat dijelaskan hanyalah bagaimana kita sampai pada pandangan yang diyakini, dan hanya dapat memberikan kepada pendengarnya kesempatan menarik kesimpulan sendiri dengan memandang keterbatasan, prasangka dan kekhasan pembaca. Ilusi di sini akan lebih benar daripada kenyataan.

Maka saya akan memakai semua kiat novelis untuk bercerita tentang dua hari sebelum kedatangan saya di sini. Oxbridge dan Fernham adalah ilusi, "aku" hanyalah kemudahan untuk menunjuk seseorang yang tidak ada, kebohongan akan mengalir dari bibir saya, mungkin dengan sedikit kebenaran di dalamnya. Adalah tugas Anda mencari kebenaran itu dan memutuskan kepantasannya untuk disimpan atau dibuang.

Jadi di sana aku, sebut 'aku' ini siapa saja, Mary Beton atau Mary Seton atau Mary Charmichael, duduk merenung di pinggir kali, dua minggu lalu di bulan Oktober yang cerah. Beban yang diberikan padaku, perempuan dan fiksi, subjek yang tidak dapat disimpulkan tanpa menimbulkan pelbagai prasangka dan gejolak perasaan, memaksa aku menundukkan kepala ke tanah. Dedaunan semak-semak bak menyala, di tepi yang lain pohon willow bak tunduk dalam tangis, dan sungai mencerminkan langit bagai kaca, dibelah sesaat oleh laju perahu, dan belahan itu menutup lagi seperti tidak pernah ada.

Begitulah aku duduk melamun, membiarkan pemikiran ini hanyut bersama air, timbul dan tenggelam, berkilat di sana dan di sini dengan riak, sehingga aku tidak dapat diam lebih lama dan mulai berjalan dengan cepat melalui lapangan rumput. Ternyata begitu kaki ini menginjak rumput, aku melihat suatu sosok berjalan menghadang, ternyata ia petugas keamanan kampus. Ini adalah wilayahnya, di seberang sana terdapat jalan setapak, hanya dosen dan mahasiswa yang boleh berada di rumput, kerikil adalah untukku.

Ide apa yang membuatku melamun hingga melakukan pelanggaran berjalan di rumput, aku tidak tahu. Roh kedamaian turun atasku, di hari sempurna bulan Oktober di Oxbridge yang dirancang begitu indah. Sambil berjalan melalui gedung dan ruangan tua yang tembok kasarnya saat kini seperti terkikis habis, badan seperti berada dalam lemari kaca yang kedap suara; pikiran dan jiwa seperti dibebaskan dari semua fakta, bebas melayang dan turun atas apa saja yang serasi dengan renungan saat itu.

Aku jadi ingat cerita bahwa Charles Lamb, Santo Charles menurut Tackeray, mengunjungi Oxbridge kalau berlibur. Bagiku ia adalah penulis yang paling menyenangkan di antara penulis besar. Tulisannya tidak sesempurna Max Beerbhom tetapi mempunyai daya khayal liar bagaikan petir memecahkan gendang telinga dan merusakkan apa yang disambarnya, tetapi menjadikannya bercahaya dengan puisi. Ia datang ke Oxbridge mungkin 100 tahun silam di mana ia menulis esai tentang Lycidasnya Milton, yang masih tersimpan di perpustakaan, di mana Esmond dari Tackeray, novelnya yang terbaik, juga tersimpan. Maka tanpa sadar langkah kaki membawaku ke sana, dan sampai ke pintu masuk. Begitu pintu kubuka, muncul malaikat penjaga bergaun akademis hitam bersayap putih, seorang tua berambut perak yang dengan suara pelan berkata perempuan hanya diizinkan masuk jika ditemani warga perguruan tinggi atau mempunyai surat pengantar.

Bahwa perpustakaan tersohor disumpahi seorang perempuan tidak ada akibatnya, tanpa terganggu ia tidur dengan semua hartanya dan akan tidur selamanya begitu. Tidak pernah aku akan menganggu tidurnya lagi, begitu aku bersumpah sambil turun dari tangga dengan marah. Tetapi masih ada satu jam yang harus dilalui, apakah yang akan kulakukan? Aku berjalan lagi dan melalui gereja tua di mana sejumlah guru besar berkumpul di pintu gerbangnya bagaikan lebah di mulut sarang. Mereka semua sudah melalui umur setengah baya, berjubah dan bertopi akademis, ada yang sudah sangat tua, sehingga mengingatkanku kepada udang batu atau kepiting yang dengan susah payah berjalan di atas pasir.

Mereka kemudian masuk, tetapi gereja tua tetap berdiri bagai kapal layar tinggi yang melayari abad-abad, tinggi di atas bukit dan terlihat dari jauh. Pernah di sana terdapat rawa dengan rumput melambai dan celeng alias babi hutan menggali akar-akar makanannya. Kemudian regu-regu sapi dan kuda menarik pedati berisi batu dari kejauhan, dan bekerja tanpa lelah menumpuk batu-batu kelabu itu, pelukis menghiasi jendela-jendela dan tukang batu sibuk untuk berabad-abad dengan peralatannya. Setiap akhir minggu seseorang pasti memberikan emas dan perak di tangan mereka. Emas dan perak mengalir tanpa henti demi kelangsungan pekerjaan itu.

Lebih lagi setelah raja, ratu dan para bangsawan memberikan hibahnya agar para rohaniwan dan sarjana dapat dididik.

Dan di Abad Pencerahan, uang tetap mengalir untuk beasiswa, untuk dana-dana pengajaran, tetapi bukan dari peti para bangsawan, melainkan dari kocek para saudagar dan pemilik pabrik, dari mereka yang keluar dari universitas, menjadi kaya, dan kemudian menyumbangkan kekayaan itu kembali ke almamaternya, untuk menambah bangunan, perpustakaan, laboratorium, observatorium, di mana babi hutan dulu berkubang di rawa. Kemudian jam berdentang, sudah waktu untuk pertemuan.

Makan siang bersama sangatlah mewah, menakjubkan disertai anggur kelas satu, di atas meja dipenuhi kain linen terbaik, porselen dan perak. Pembicaraan tenang, tidak perlu pintar. Betapa manisnya rasa hidup di saat seperti itu, betapa tidak berartinya dendam ini atau kejengkelan itu, betapa mengagumkan persahabatan dan berteman dengan kolega yang sepadan, seperti merokok sambil duduk di bantal empuk dekat jendela.

Karena tidak ada asbak aku membuang abu keluar jendela, dan di sana terlihat kucing tanpa buntut berjalan menyeberangi lapangan. Kucing Marx memang tidak berbuntut, tetapi ketiadaan itu membuatku berpikir, mengenang suatu makan siang di tempat lain pada kesempatan lain di masa lalu. Tetapi apa bedanya? Semua hampir sama, sampai aku memasang telinga dan menemukan perbedaannya. Ada suara latar belakang, orang mungkin mengatakan hal yang sama tetapi kedengarannya lain. Pada waktu itu orang berbicara dengan suatu nada seperti berlagu, bagaikan musik menggairahkan yang mengubah nilai dari kata yang sama. Apakah nada itu dapat disuarakan dalam bahasa? Mungkin dengan puisi bisa. Aku mengambil buku di dekatku dan membukanya, Tennyson:

Telah jatuh butir air mata indah,
          Dari bunga markisa di pintu taman,
Ia datang, merpatiku, kekasihku;
          Ia datang, hidupku, nasibku;
Mawar merah memanggil, "Ia dekat, ia dekat";
          Mawar putih mendesah, "Ia terlambat!";
Bunga Larkspur berbisik, "Kudengar, kudengar!";
          Bakung lirih, "Kutunggu saja."

Apa yang digumamkan laki-laki pada pertemuan makan siang sebelum perang, dan para perempuan, dilagukan Christina Foretti:

Hatiku bagai burung menyanyi
          Bersarang di pinggir kolam;
Hatiku bagai pohon apel
          Dahannya tunduk berbeban buah
Hatiku bagai kerang pelangi
          Berlayar di laut damai
Hatiku lebih bahagia dari semuanya;
          Karena kekasihku datang padaku

Apakah itu yang digumamkan perempuan sebelum perang? Pikiran ini membuatku ketawa mengagetkan kucing itu. Kemudian, karena keramahan tuan rumah, perjamuan berlanjut sampai malam, sehingga aku harus berjalan pulang ke Fernham. Aku berjalan melalui malam di bulan Oktober yang indah sambil penjaga kampus menutup dan mengunci pintu-pintu sekitarku. Aku memikirkan lalu melagukan sajak Tennyson, dan sajak Christina Foretti, dan membandingkan puisi dari dua zaman. Mengapa kita hafal penyair klasik tetapi hanya sebaris dua baris dari yang modern? Yang klasik mungkin menuangkan perasaan yang alamiah, tanpa hambatan. Yang modern merobek perasaan itu keluar dari sanubarinya. Tetapi siapa yang salah? Perang? Karena melamun aku hampir tersesat, tetapi akhirnya tiba juga di Fernham, kolese perempuan di mana aku ada janji makan malam.

Makan malam dihidangkan di hall makan yang besar. Dan ini sop untukku—sop berlemak yang sederhana, bening, di atas piring tanpa hiasan. Kemudian daging dan sayur mengingatkan aku kepada pasar rakyat di Senin pagi di mana ibu-ibu rumah tangga dan pembantu ramai tawar-menawar. Tidak ada alasan mengeluh, buruh kasar pasti mendapatkan yang kurang dari itu. Lalu datang buah yang kerdil dan tidak ada anggur, melainkan air putih. Setelah itu makan selesai, semua orang mendorong mundur kursinya, bangun dan pergi.

Kemudian pembicaraan dengan nyonya rumah, ibu Seton, menjadi seret, badan dan jiwa merupakan satu kesatuan, makanan yang baik membuat pembicaraan hidup dan kalau tidak, maka tidak banyak yang mau dikatakan. Untung Mary Seton mempunyai sebotol anggur di lemarinya yang ia buka. Akhirnya aku bercerita tentang tukang yang bekerja begitu lama di atap gereja yang kulihat; dan raja, ratu dan bangsawan yang membawa karung dengan emas dan perak, diikuti cek dan saham yang berasal dari penerus mereka. Semuanya itu untuk universitas di sana, kataku, sedangkan untuk perguruan kolese perempuan ini, mengapa tamannya berisi rumput yang tidak dipotong?

Kata Mary Seton: universitas ini baru didirikan tahun 1860—dan ia bercerita—tentang ruang yang harus disewa. Panitia-panitia yang bertemu. Amplop yang ditulisi alamat dan surat edaran. Pertemuan di mana surat-surat dibuka, dibacakan. Si Anu dan si Anu menyumbang sekian dan sekian. Berita dari Saturday Review menyinggung perasaan. Apakah editor dapat dibujuk untuk menerbitkan surat? Apakah lady Anu dapat diminta menandatanganinya? Apakah ia keluar kota? Bagaimana mencari uang untuk membayar kantor untuk bulan ini? Apakah kita dapat membuat bazar?

Setelah perjuangan begitu lama dan berat, terkumpul 30.000 pound. Maka jelas kita tidak dapat makan burung puyuh dan membayar pelayan untuk membawanya. Tidak ada bangku sofa dan kamar-kamar pribadi. "Kemudahan-kemudahan", kata dia, harus menunggu.

Kami berdua lalu marah-marah karena miskinnya gender kami. Apa sajakah yang dilakukan ibu-ibu generasi di atas kami selama ini? Memandang jendela pajangan toko? Berlibur? Terlihat beberapa potret ibunda Seton di atas lemari. Mungkin ia boros, tetapi ia mempunyai 13 anak dari seorang pendeta, dan jika ia menjalani hidup dengan bersenang-senang, tidak ada sisa kesenangan membekas di wajahnya. Badannya tak ada indahnya lagi, ia tua, duduk di kursi, berpakaian kuno. Nah, kalau ia dulu menjadi pengusaha, memproduksi sutra, berdagang saham, dan kemudian menyumbang 300.000 pound kepada Fernham, maka kami malam itu mungkin duduk dengan tenang mendiskusikan arkeologi, botani, ilmu pasti, ilmu bintang, sifat-sifat atom.

Jika ibu Seton, ibundanya dan neneknya mencari uang seperti bapaknya dan kakeknya, guna memberikan hibah, beasiswa, tunjangan mengajar dan hadiah bagi gendernya sendiri, maka malam ini pasti kami makan burung puyuh, minum anggur dan mempunyai masa depan yang terlindung di salah satu profesi yang diimbali begitu mewah. Kami dapat menulis, meneliti, menyelidiki, dan membuat konferensi. Itu, kalau ibunda Mary Seton menjadi pengusaha pada umur 15 tahun, tetapi masalahnya, tidak akan lahir Mary Seton. "Bagaimana Mary?", tanyaku.

Apakah ia bersedia untuk tidak dilahirkan dan melepas pengalaman malam ini yang indah dan kenangan-kenangan akan semua masa baik yang lalu? Tetapi ia berkata, kalau perempuan harus mencari harta, maka tidak ada keluarga. Dan tidak ada seorang perempuan pun bisa mempunyai sampai 13 anak sekaligus menjadi pengusaha yang berhasil. Hamil selama 9 bulan, diteruskan sekian bulan menyusui, sekian tahun bermain dengan anak itu dan mengasuhnya agar ia berkembang sehat badan dan jiwanya, apakah anak harus terlantar karena uang lebih penting? Apalagi ia tidak akan diberi kesempatan, dan kalaupun ia mendapatkan kesempatan itu, hukum tidak memberinya hak padanya untuk memiliki uang. Baru 48 tahun yang lalu perempuan diberi hak milik, berabad-abad sebelumnya, semua pemasukannya adalah hak suami.

Begitulah kami berdua memandang malam, merenung tentang kemiskinan gender kami, dan akhirnya aku pulang ke penginapan. Sambil berjalan aku berpikir tentang dampak kemiskinan perempuan akan pemilikan, dan sebaliknya. Dan aku membayangkan para pengajar tua yang aku lihat tadi pagi, bunyi organ di gereja, pintu perpustakaan yang tertutup bagiku, keamanan dan kemakmuran gender yang satu dan kemiskinan gender yang lain, dan dampak tradisi atau kurangnya tradisi pada minat seseorang untuk menjadi penulis. Aku putuskan menggulung kulit keriput hari itu dengan argumen, ketawa dan kemarahan. Aku pulang berjalan melalui malam gelap, seribu bintang bersinar di atasku dan kota sunyi sepi, semua orang tidur dan pintu penginapanku terbuka tanpa suara dan tidak ada penjaga yang masih melek.

II

Pemandangan berubah, aku berada di London, di ruang yang sama seperti ribuan orang lainnya, dengan pemandangan ke atas topi orang dan atap kendaraan; ke jendela lain pemandangannya juga serupa, dengan meja tulis, di atasnya kertas dengan tulisan besar, "Perempuan dan Fiksi." Dari Oxbridge aku pergi ke British Museum, mencari bahan kebenaran untuk menjawab pertanyaan, mengapa laki-laki minum anggur dan perempuan minum air putih? Mengapa gender yang satu begitu kaya sedangkan yang satu lagi begitu miskin; apa dampak kemiskinan pada tulisan? Aku butuh jawaban, bukan lebih banyak pertanyaan, dan di mana bisa mendapatkannya kalau tidak di perpustakaan British Museum? Maka kuambil buku catatan dan pensil lalu menuju ke sana.

Tetapi, apakah Anda dapat bayangkan berapa banyak buku ditulis tentang perempuan? Apakah Anda akan sadar bahwa Anda adalah makhluk yang paling banyak didiskusikan dalam jagad raya ini? Kupikir, aku dapat melewatkan pagi itu dengan membaca dan mencatat, tetapi kemudian aku tersadar bahwa aku butuh sekawanan gajah dan sahutan penuh laba-laba, agar hewan-hewan ini yang katanya hidup paling lama dan bermata paling banyak, dapat turut membantu. Aku menembus kulit permasalahannya saja. "Bagaimana dapat menemukan kebenaran dalam semua kertas itu?" pikirku sambil membaca sederatan judul dengan putus asa. Seks dan sifatnya dapat menarik dokter dan biologi; tetapi herannya bahwa seks (baca: perempuan), menarik esais, novelis, pemuda yang mencari gelar MA, laki-laki tanpa gelar, dan laki-laki yang tidak punya kualifikasi selain bahwa mereka bukan perempuan.

Ada judul yang tidak serius dan lucu, ada yang bernubuat, moralis, menganjurkan. Dengan membaca judul-judul itu saja sudah terbayangkan guru sekolah dan pendeta yang tidak terhitung jumlahnya menaiki panggung dan mimbar mereka kemudian berpidato dan berkuliah dengan semangat melewati sejam yang biasanya diberikan untuk ceramah tentang satu subjek. Aku terheran-heran, dan ternyata semua penulisnya laki-laki, di mana perempuan tidak menulis tentang laki-laki, hal yang melegakan. Karena kalau aku harus membaca apa yang ditulis perempuan tentang laki-laki setelah membaca laki-laki tentang perempuan, maka sebelum aku selesai dan dapat menulis, bunga aloe yang mekar sekali dalam seratus tahun sudah akan layu dua kali.

Mengapa demikian? Aku merenung lama... Mengapa perempuan begitu miskin? Pertanyaan itu beranak-pinak menjadi limapuluh pertanyaan lainnya, dan catatan yang kubuat makin penuh. Untuk menjelaskan pemikiran ini: Perempuan dan Kemiskinan ada pada catatanku dalam huruf cetak. Tetapi apa yang menyusul sesuai judul-judul... Keadaan P. di Abad Pertengahan; Kebiasaan P. di Kepulauan Fiji; Dipuja sebagai Dewi di; Lebih Lemah secara Moral daripada; Idealisme P.; Hati Nurani lebih Peka dari Penduduk Pasifik Selatan, umur Pubertas P.; Menariknya P.; Dipersembahkan sebagai Korban oleh; Ukuran Otak P. yang lebih Kecil dibandingkan dengan; Bawah Sadar P. yang lebih Jelas; Inferioritas Mental, Moral dan Fisik P.; Umur lebih panjang P.; Kasih pada Anak P.; Otot P. yang lebih Lemah; Kekuatan Perasaan P.; Pendidikan Tinggi P.; Pendapat Shakespeare tentang P.; Pendapat Lord Birkenhead tentang P.; Pendapat Dean Inge tentang P.; Pendapat Le Bruyer tentang P.; Pendapat Dr. Johnson tentang P.; Pendapat Oscar Browning tentang P., dan seterusnya.

Samuel Butler mengatakan, laki-laki bijak tidak pernah mengatakan apa yang ia pikirkan tentang perempuan. Tetapi mengapa semua laki-laki ini berpikir tentang perempuan, dan begitu berbeda-beda? Pope: "Kebanyakan perempuan tidak mempunyai watak sama sekali!"

Rupanya yang menjadi pertentangan para penulis: apakah perempuan mampu atau tidak mampu? Mampu dididik atau tidak? Napoleon, Dr. Johnson, Goethe, Musolini, semua berpendapat saling bertentangan, ada yang memuja, ada yang melecehkan. Aku merasa gagal mendapatkan kebenaran, yang menyelinap di antara jari-jemariku.

Sambil bingung aku mencoret-coret catatan, aku menggambar orang. Ternyata itu adalah wajah dan badan Prof. X yang sedang menulis buku "Inferioritas Mental, Moral dan Fisik Perempuan". Ia ternyata bukan tipe menarik buat perempuan. Ia besar gemuk, pipinya bergantung, bermata kecil, bermuka merah. Ia menulis seperti dengan emosional seolah menikam serangga di atas kertas dengan penanya, tetapi setelah serangganya mati ia pun tidak puas, ia harus membunuh terus, dan tetap marah.

"Apakah karena istrinya?" tanyaku sambil memandang gambar itu. "Apakah istrinya selingkuh dengan perwira kavaleri, yang semampai, langsing dan berseragam anggun?" Apakah ia ditertawakan oleh gadis-gadis cantik sewaktu bocah? Sambil memandang gambar itu aku mengerti bahwa aku melukis wajahnya pun juga sambil marah, kemarahan merenggut pensilku sewaktu aku melamun. Tetapi mengapa harus marah? Perhatian, kebingungan, kegelian, kebosanan, semua itu dapat kutemukan dan sebutkan sewaktu saling susul-menyusul silih berganti pagi ini. Apakah kemarahan itu bagai ular hitam bersembunyi di antaranya?

Akhirnya aku menemukan apa yang membuatku marah, yakni pernyataan sang profesor itu tentang inferioritas mental, moral dan fisik perempuan. Wajahku terasa panas. Hal itu wajar saja. "Siapa yang suka disebut sebagai kurang dari orang yang kerdil" pikirku sambil menutupi muka sang profesor dengan coretan-coretan galak hingga ia hilang. Kemarahanku hilang, diganti rasa ingin tahu. Bagaimana menjelaskan kemarahan para profesor? Mengapa mereka marah? Semua buku mereka mempunyai unsur panas. Yang panas itu berbentuk sindiran, teguran, sentimen. Ada unsur kemarahan, yang ditekan dan bercampur dengan pelbagai perasaan lainnya. Menjadi tersamar dan rumit, tetapi jelas ada di sana.

Kupandangi semua buku di mejaku, dan memutuskan bahwa semuanya itu tidak berguna untuk tujuanku. Dan tidak berguna secara ilmiah, karena penuh dengan instruksi, kepentingan, kebosanan dan hal-hal aneh tentang perempuan di Fiji. Ditulis dalam sinar merah emosi dan bukan dalam sinar putih kebenaran. Maka harus dikembalikan. Apa yang kudapatkan pagi ini? Fakta adanya kemarahan. "Tetapi mengapa", tanyaku sambil pergi mencari makan siang.

Sambil makan aku membaca koran yang ditinggalkan orang. Dan dari berita-beritanya aku menyimpulkan bahwa Inggris diperintah patriarki. Sang profesor kita itu adalah kekuasaan, uang dan pengaruh. Ia adalah pemilik koran ini dan penulisnya. Ia adalah menteri dalam negeri dan ia adalah hakim. Ia mempunyai perkumpulan olah raga, kapal pesiar dan kuda. Ia direktur perusahaan yang mendatangkan uang 200% di bursa saham dan menyumbang jutaan pound pada yayasan dan universitas yang ia jalankan sendiri. Tetapi mengapa ia marah sewaktu menulis tentang perempuan? Yang kubaca bukan yang ia katakan, tetapi apa yang kupikirkan tentang dirinya. Kalau tulisannya tentang perempuan objektif dan ilimiah, untuk apa aku marah? Tetapi aku marah karena ia marah. "Apakah kemarahan itu adalah bagian dari kekuasaan?" pikirku. Orang kaya sering marah karena curiga bahwa orang miskin ingin mendapatkan uangnya. Mungkin kaum profesor dan patriark untuk sebagian marah karena itu pula. Tetapi barangkali mereka tidak betul-betul marah, dalam kehidupan pribadi hal itu sering tidak kelihatan; mereka dapat saja merupakan suami yang penuh perhatian dan pengabdian pada anak-istrinya.

Tetapi kalau mereka menulis tentang kekurangan perempuan, mungkin mereka sibuk dengan kelebihannya sendiri. Inilah yang ia bela dengan panas, dengan berlebihan karena itulah mutiara miliknya. Kehidupan bersama bagi kedua gender adalah sulit, suatu perjuangan abadi. Hal itu menuntut keberanian besar dan kekuatan. Dan yang paling dituntut adalah rasa percaya diri. Tanpa itu kami bagaikan bayi dalam gendongan. Dan bagaimana memperoleh rasa percaya diri ini dengan cara paling cepat dan mudah? Tentu dengan percaya akan kekurangan orang lain. Dengan berpikir bahwa kita mempunyai kelebihan dalam diri, pangkat, kekayaan, hidung mancung, kakek bangsawan, dan andalan ilusi manusia ini terus berderet tanpa akhir –agar merasa lebih dari orang lain. Karena itu sang patriarki harus menaklukkan, harus memerintah, butuh perasaan bahwa jumlah orang yang besar, setengah dari umat manusia adalah kurang dibandingkan dirinya. Itulah salah satu sumber utama kekuasaannya.

Apakah ini lalu dapat menjelaskan keherananku beberapa waktu yang lalu sewaktu Z, laki-laki yang paling manusiawi dan baik, membuka buku Rebecca West dan berseru, "Feminis tak tahu malu! Ia mengatakan bahwa laki-laki adalah sombong!" Ucapan ini mengherankan, mengapa Rebecca West dicap feminis tak tahu malu karena mengatakan yang sebenarnya? Sebab bukan harga dirinya saja yang tersinggung, ia memprotes serangan atas kekuasaannya untuk percaya diri. Selama berabad-abad perempuan dipakai sebagai cermin yang mempunyai sihir dan kekuasaan nikmat untuk membantu seorang laki-laki tampil dua kali lebih besar dari yang sesungguhnya. Tanpa kekuasaan itu dunia mungkin masih rawa dan rimba. Kejayaan semua perang kita tidak akan tercatat. Kita mungkin masih hidup di zaman batu, kaisar dan raja tidak akan mendapatkan mahkota, bahkan kehilangan mahkota. Maka Napoleon dan Mussolini begitu getol mempertahankan pendapatnya bahwa perempuan itu inferior, kalau tidak begitu, mereka tidak akan besar. Untuk itu perempuan dibutuhkan laki-laki, karena itu perempuan tidak dapat mengatakan buku ini kurang atau gambar ini jelek atau apapun tanpa menimbulkan sakit hati dan amarah laki-laki jika dikritik. Karena kalau ia mulai menceritakan kebenaran, gambar di cermin mengkerut, kemampuannya bertahan hidup berkurang jauh. Bagaimana ia dapat menghakimi, memperadabkan dunia, menulis buku, berpakaian kebesaran dan berpidato kalau ia tidak dapat melihat dirinya dua kali lebih besar dari sesungguhnya, sekali sebelum dan sekali setelah makan pagi?

Metafor ini sangat penting karena cermin ajaib tersebut mengisi daya hidup, merangsang sistem syaraf, dan kalau cermin diambil si laki-laki bakal mati seperti pemadat yang diambil madatnya. Dan dengan ilusi ini, kupikir sambil memandang keluar jendela, setengah jumlah orang berjalan menuju tempat kerjanya. Mereka bangun pagi-pagi dan menghadapi hari baru dengan percaya diri, merasa diri lebih unggul dari sisa setengah umat manusia, dengan rasa percaya diri yang begitu tinggi untuk menghadap kehidupan publik.

Tetapi lamunanku kepada soal berbahaya ini, yaitu psikologi lawan jenis ini, diputus oleh keharusan membayar makan pagi lima shilling dan sembilan pence—dan masih ada sisa selembar sepuluh shilling dalam dompetku. Menakjubkan! Maka masyarakat memberiku daging ayam, kopi, tempat tidur dan tempat tinggal, ditukar dengan sejumlah lembaran kertas yang diwariskan bibiku, hanya karena nama keluarga kami sama.

Bibiku, Mary Beton, meninggal karena jatuh dari kuda di Bombay, dan ia mewariskan aku bunga deposito 500 pound sebulan, untuk selamanya. Sebelum itu aku menghidupi diri dengan menulis untuk koran, tentang pameran kedelai atau pernikahan, dengan pekerjaan administrasi ringan, membacakan buku kepada seorang nyonya tua, mengajar di TK. Anda tahu 'kan pekerjaan yang dilakukan perempuan, pahitnya pekerjaan itu, sulitnya menyambung hidup. Selalu melakukan pekerjaan yang tidak mau dikerjakan orang lain, bagai budak, mencari muka karena tidak ingin kehilangan pekerjaan. Ini semua seperti karat yang menggerogoti baja jiwaku, menggerogoti bunga musim semi, jantung pohon hidup.

Tetapi dengan sepuluh shilling di dompet, karat itu sedikit terkikis, ketakutan dan kepahitan memudar. Menakjubkan bagaimana sikap bisa berubah dengan 500 pound sebulan, usaha dan banting tulang tidak perlu, begitu pula kepahitan dan kebencian. Aku tak perlu membenci laki-laki, ia tidak dapat melukaiku. Aku tak perlu mencari muka pada laki-laki manapun, ia tidak kubutuhkan. Ini mengubah sikapku dan aku tidak perlu menyalahkan setengah umat manusia. Percuma menyalahkan kelas, ras, gender. Banyak orang tidak dapat disalahkan karena tindakan mereka; mereka didorong naluri yang tidak dapat mereka kuasai.

Para profesor dan patriark juga menghadapi kesulitan-kesulitan besar dan menderita kekalahan-kekalahan. Mereka juga salah asuhan, dan memang, mereka punya uang dan kekuasaan, tetapi itu ada harganya. Mereka harus memelihara rajawali di hatinya, burung nasar yang merobek-robek hatinya dan mencakar paru-parunya—naluri untuk memiliki, nafsu untuk mengambil, yang memacu mereka untuk menghendaki ladang dan barang orang lain selama-lamanya, membuat garis demarkasi dan bendera, kapal perang dan gas racun, untuk mengorbankan nyawa mereka dan nyawa anak-anak mereka. Renungkanlah segala macam kejayaan yang mereka agungkan, atau pandanglah pengacara besar dan pedagang saham yang mencari uang, dan lebih banyak uang, dan lebih banyak lagi uang, padahal 500 pound cukup untuk hidup dengan senang di bawah sinar matahari. Dengan memikirkan itu, maka kepahitan dan ketakutanku yang dulu, kini menjadi rasa kasihan dan toleransi, yang akhirnya berganti lagi dengan rasa nikmat terbesar, yakni kebebasan untuk memikirkan tentang apa saja.

III

Adalah mengecewakan bila gagal membawa pulang suatu fakta penting, perempuan lebih miskin karena ini atau itu. Mungkin lebih baik untuk berhenti mencari kebenaran dan menerima banjir pendapat, sepanas lava, sebasi air cucian. Lebih baik bertanya kepada ahli sejarah yang mencatat fakta, bukan pendapat, bagaimana keadaan perempuan, di Inggris, katakanlah, di zaman Elizabeth.

Karena merupakan teka-teki abadi mengapa tidak ada perempuan yang menulis sepatah kata pun dari sastra hebat zaman itu di mana seolah setiap lelaki mampu membuat soneta. Dalam keadaan apa mereka hidup, tanyaku, karena fiksi bukanlah kerikil yang jatuh di tanah, seperti ilmu mungkin. Fiksi adalah jaring laba-laba, ringan, tetapi terikat pada semua sudut kehidupan. Jaring itu seperti berada di sana dengan sendirinya, seperti karya Shakespeare, begitu utuh. Tetapi tariklah, robeklah, maka akan kelihatan jaring ini ditenun bukan oleh makhluk tanpa jasad, tetapi merupakan karya manusia yang berjuang dan menderita, yang terikat pada hal material kasar seperti uang dan kesehatan.

Apa kata ahli sejarah? Profesor Trevalyan dalam History of England? Kucari lagi entry "Perempuan", dan menemukan "kedudukan dari...", dan membuka halaman yang membicarakan "pemukulan istri". "Memukul istri" kubaca, "adalah hak laki-laki yang diakui dan dilakukan tanpa malu oleh kelas atas dan bawah". Kemudian Trevalyan menulis, "Anak perempuan yang menolak menikahi laki-laki pilihan orang tuanya dapat dikurung, dipukuli dan didera tanpa hal ini mengejutkan umum. Pernikahan bukan karena cinta, tetapi karena kerakusan keluarga, terutama kelas atas... Pertunangan sering dilakukan pada saat satu atau kedua pihak masih bayi, dan pernikahan dilangsungkan pada saat mereka masih anak-anak". Ini suasana tahun 1470.

Referensi kedudukan perempuan 200 tahun kemudian, pada zaman wangsa Stuart, "Masih merupakan keanehan bagi perempuan kelas atas dan menengah memilih suaminya sendiri, dan setelah ia dinikahi, ia adalah tuan dan raja, sejauh kebiasaan dan hukum menjadikannya. "Namun" tulis Trevalyan, "Perempuan-perempuan Shakespeare, maupun yang muncul dalam memoir abad ke-17 yang otentik seperti dari Verney dan Hutchinson, mempunyai kekurangan dalam kepribadian dan watak." Tentu Cleopatra, Lady MacBeth, Rosalind, semua merupakan perempuan menarik yang mempunyai kemauan kuat. Memang, dalam sastra, perempuan menyala bagaikan menara api dari zaman paling awal: Clytemnestra, Antigone, Cleopatra, Lady Macbeth, Phedre, Cressida, Rosalind, Desdemona, Duchess dari Malfi, Millament, Clarissa, Becky Sharp, Anna Karenina, Emma Bovary, Madame de Guermentas, daftar ini panjang sekali. Bagi pengarang laki-laki, perempuan sangat penting, berkarakter, berani dan kejam, agung dan hina, cantik luar biasa sekaligus mengerikan, sebesar laki-laki, atau lebih besar. Tetapi dalam kenyataan, seperti tulis Profesor Trevalyan, mereka dikurung, dipukuli dan dibanting-banting.

Maka muncul sesuatu yang aneh. Dalam khayalan, ia teramat penting, dalam kenyataan tidak sama sekali. Ia muncul dalam sastra dari zaman ke zaman, tetapi tidak ada dalam sejarah. Dalam sastra, perempuan menentukan kehidupan raja, dalam kenyataan ia budak setiap laki-laki dengan siapa orangtuanya memaksanya tukar cincin. Kata-kata mutiara terilhami mengalir dari bibirnya dalam sastra, dalam kenyataan ia nyaris tidak dapat membaca.

Aku melanjutkan himpunan Trevalyan dari masa ke masa. Sesekali muncul nama ratu atau bangsawan besar, seperti Mary dan Elizabeth, tetapi jelas bahwa tidak ada perempuan kelas menengah yang hanya bermodalkan otak dan watak dapat mempengaruhi peristiwa besar yang kemudian menjadi sejarah, atau menulis tentang sejarah. Juga tidak terdapat anekdot, Aubrey hampir tidak menulis tentangnya, atau meninggalkan sastra dengan mana ia dapat kita nilai. Ia juga tidak menulis tentang dirinya sendiri, jarang mempunyai buku harian, hanya tersisa beberapa surat; ia tidak meninggalkan sastra dengan mana ia dapat dinilai. Mengapa tidak ada data tentang dirinya? Tentang siapa dia, umur menikahnya, jumlah anaknya, jenis rumahnya, apakah ia mempunyai kamar untuk dirinya. Tidak ada yang diketahui tentang perempuan sebelum abad ke-18. Aku bertanya mengapa tidak ada perempuan menulis syair di zaman Elizabeth, dan aku tidak tahu bagaimana mereka dididik.

Jelas mereka tidak punya uang, dan menurut Profesor Trevalyan mereka dinikahkan lepas dari apakah mereka mau atau tidak, pada umur 15 atau 16. Maka akan sangat aneh kalau di antara mereka ada yang tiba-tiba menulis karya besar setara Shakespeare. Saya teringat seorang uskup tua yang menulis bahwa tidak mungkin untuk perempuan, dari zaman manapun, untuk memiliki jenius Shakespeare. Ia menulis di koran tentang itu, dan tentang jawabannya kepada seseorang yang bertanya apakah kucing bisa masuk surga. Betapa mencerahkan pemikiran orang tua seperti dia! Kucing tidak masuk surga, perempuan tidak bisa menulis seperti Shakespeare.

Kuperhatikan buku-buku di lemari, dan berpikir, memang tidak mungkin perempuan menulis seperti Shakespeare di zaman Shakespeare. Bayangkan apa yang akan terjadi jika Shakespeare mempunyai adik perempuan yang sangat berbakat, sebutlah dia Judith. Shakespeare pasti ke sekolah yang bagus karena ibunya mendapatkan warisan besar, di sana ia belajar tentang Ovidius, Virgilius dan Horatius, serta dasar-dasar gramatika dan logika. Shakespeare adalah anak nakal, pemburu gelap, dan tumbuh lebih cepat dari seharusnya, menikahi perempuan anak tetangga yang melahirkan anaknya lebih cepat dari sepantasnya. Petualangan membawanya ke London. Ia suka teater, dan mulai dengan memegang kuda di pintu teater itu. Setelah itu ia bekerja di teater dan menjadi aktor yang berhasil, tinggal di pusat jagad, bertemu dengan semua orang, mengasah keterampilannya di panggung dan akalnya di jalanan, dan malah mengunjungi ratu di istana.

Sementara itu adik perempuannya—Judith yang sangat berbakat itu—tetap tinggal di rumah. Ia mempunyai semangat bertualang sama seperti kakaknya, mempunyai daya khayal seperti dia, dan sama-sama terpesona dengan dunia. Tetapi dia tidak disekolahkan. Ia tidak belajar gramatika dan logika, apalagi tentang Horatius dan Virgilius. Mungkin sesekali ia membuka-buka buku kakaknya, dan membaca beberapa halaman. Tetapi lalu orang tuanya masuk dan menyuruhnya menjahit atau memasak dan jangan macam-macam dengan buku dan kertas.

Mereka pasti berbicara tajam tetapi ramah, karena mereka orang pintar yang tahu apa yang baik bagi perempuan. Besar kemungkinan ia sangat disayangi bapaknya. Mungkin ia menulis beberapa halaman di loteng dengan sembunyi-sembunyi, tetapi lantas menyembunyikan atau membakarnya. Dia menjadi gadis remaja dan segera dipertunangkan dengan anak pedagang wol yang bertetangga. Ia berteriak bahwa ia belum mau untuk dinikahkan, namun ganjaran yang ia terima: dipukuli bapaknya. Kemudian sang bapak berhenti memarahinya, lalu memohon agar tidak menyakiti hatinya, jangan mempermalukannya. Sang bapak berjanji akan membelikan dia kalung atau baju bagus, dengan mata berkaca. Kalau sudah begini, bagaimana ia bisa melawan bapaknya? Membuatnya sedih?

Tetapi lantaran dipaksa oleh bakatnya, si gadis ini nekad membungkus beberapa baju miliknya dan malam hari di suatu waktu di musim panas, turun dari jendela dengan tali dan pergi ke London. Ia belum genap 17 tahun. Burung yang berkicau semerdu pemusik hebat tidak lebih berbakat dari dia. Ia mempunyai bakat seperti kakaknya dalam hal kata dan bahasa. Ia suka teater. Ia selalu berdiri di depan teater; ia ingin jadi aktris, katanya.

Sang manajer teater, seorang yang gemuk dan berbibir lembek tertawa terbahak-bahak. Ia mengatakan sesuatu tentang anjing menari dan perempuan berakting, ia bilang bahwa tidak ada perempuan yang mampu berakting. Sang manajer itu bilang bahwa ia tidak dapat dilatih. Lalu apakah ia harus mencari makan di kedai, atau menjelajahi jalanan di tengah malam. Tetapi jeniusnya adalah untuk fiksi, dan bergairah untuk mendapatkan hidup dari kehidupan lelaki dan perempuan dan mempelajari gaya mereka.

Dan akhirnya, karena ia sangat muda, dan mirip Shakespeare dengan mata kelabu dan alis melengkung, Nick Greene sang manajer, menaruh kasihan padanya dan menghamilinya, sehingga ia—dan siapa yang dapat mengukur gairah dan bara hati perempuan yang terperangkap dalam tubuh penyair?—bunuh diri pada suatu malam di musim dingin dan dikubur di persimpangan jalan di mana sekarang ini bis-bis pada berhenti.

Begitulah kira-kira ceritanya yang akan terjadi jika seorang perempuan di masa Shakespeare mempunyai bakat jenius Shakespeare. Karena jenius seperti Shakespeare tidak lahir di antara hamba sahaya tidak terdidik yang hidup membanting tulang. Ia tidak lahir di Inggris zaman Briton atau Saxon, tidak lahir pada masa ini dari kelas buruh. Jadi bagaimana, jenius dapat lahir dari perempuan yang, menurut Profesor Trevalyan, mulai bekerja begitu meningkat remaja, dipaksa orangtuanya untuk sesuatu yang didukung kekuatan hukum dan adat?

Namun jenius seperti itu musti ada di antara perempuan dan kelas pekerja. Pasti ada seorang Jane Austen atau Emile Bronte, hanya, mereka tidak sempat berkarya. Jika kita membaca tentang tukang tenung yang ditenggelamkan, perempuan yang kerasukan setan, perempuan bijak yang menjual jamu, maka mungkin kita membaca tentang penyair yang tertekan, yang menjadi gila karena siksaan bakatnya. Pasti ada sejumlah besar syair tidak bernama yang ditulis perempuan, seperti misalnya sejumlah besar balada dan lagu rakyat yang dilantunkan bagi anak-anak atau menemani pekerjaan menenun di malam-malam musim dingin.

Itu mungkin saja, kita tidak butuh banyak ilmu jiwa untuk memastikan bahwa perempuan yang lahir di abad ke-16 dengan bakat jenius dan mencoba menyalurkan bakat pujangga, akan begitu dihalangi dan diganggu orang, begitu tersiksa dan disesatkan nalurinya yang khas, sehingga kehilangan akal dan kesehatannya. Dan perempuan yang berbakat sebagai artis, kesucian pada waktu itu dan sekarang diberi arti religius dan menjadi penjara perempuan, sehingga untuk memotongnya dan membebaskan diri dibutuhkan keberanian luar biasa, dan hal ini berlangsung hingga abad ke-19.

Currer Bell, George Eliot, George Sand, semua ini korban perjuangan batin yang mencoba bersembunyi di balik nama laki-laki. Perempuan yang lahir dengan bakat pujangga di abad ke-16 harus bertempur melawan diri sendiri. Hidupnya, nalurinya, memusuhi keadaan batin yang paling mendukung tindakan penciptaan. Bagaimana keadaan batin Shakespeare sewaktu menulis King Lear, Anthony dan Cleopatra? Kita tidak tahu, karena ia tidak pernah mengatakan sesuatu tentang itu. Jiwa penulis baru mulai kita kenal di abad ke-18, mungkin sejak Rousseau.

Maka kita tidak tahu jiwa Shakespeare tetapi tahu keadaan kejiwaan Carlyle sewaktu menulis Revolusi Perancis dan Flaubert sewaktu menulis Madame Bovary; apa yang dirasakan Keats sewaktu bersajak melawan maut dan ketidakacuhan dunia. Yang kita tahu tentang mereka bahwa menulis karya agung adalah karya yang teramat sukar. Semua melawan kemungkinan bahwa karya itu lahir utuh dan seluruhnya. Secara umum, keadaan mempersukar, anjing menggonggong dan orang mengganggu, uang harus dicari, kesehatan tersendat. Dan dunia tidak acuh. Dunia tidak minta orang menulis sajak, novel atau sejarah, karena tidak membutuhkannya, dan tidak membayar untuk itu. Keats, Flaubert, Carlyle, dalam umur masa muda mereka, menderita karena setiap gangguan dan halangan, maka mengherankan bahwa toh masih ada yang dihasilkan, dan rasanya tidak ada buku yang muncul utuh dan lengkap sebagaimana dilahirkan dalam jiwa.

Dan bagi perempuan, kesulitan ini lebih besar lagi. Pertama-tama, memiliki kamar bagi dirinya, apalagi yang tenang dan kedap suara, adalah mustahil, kecuali jika orang tuanya sangat kaya atau berpengaruh, biarpun pada awal abad ke-19. Karena uang saku tergantung dari ayahnya, pas-pasan untuk membeli baju, maka ia tidak mampu untuk mendapatkan apa yang dilakukan, biarpun oleh laki-laki miskin seperti Keats, Tennyson atau Carlyle, berjalan-jalan, pergi ke Prancis, di mana betapapun miskinnya tempat tinggal mereka, toh dapat melindungi mereka dari penjajahan keluarga. Gangguan material seperti itu besar, dan lebih besar lagi gangguan non-material. Ketidakacuhan dunia terhadap Keats dan Flaubert dan jenius lain begitu besar, sehingga sudah dapat dikatakan permusuhan.

Lalu bagaimana untuk perempuan? Dengarkanlah pendapat Oscar Browning. Kesan yang didapatkan setelah melihat semua kertas ujian adalah bahwa perempuan yang terbaik secara intelektual tetap lebih kurang dari laki-laki terburuk. Suatu ucapan yang dapat dipakai setiap ayah terhadap putrinya yang ingin menulis. Dan masih ada Greg yang mengatakan bahwa inti dari keperempuanan adalah dilindungi oleh dan mengabdi pada laki-laki.

Begitulah seterusnya, terdapat suatu kumpulan pendapat maskulin luar biasa besarnya yang semua mengatakan, tidak ada apa pun yang sifatnya intelektual yang dapat diharapkan dari perempuan. Pendeknya, perempuan tidak dianjurkan menjadi seniman, sebaliknya ia terus-menerus disindir, dicemooh, dikuliahi dan dimaki. Jiwanya pasti jadi tegang dan semangatnya dirongrong. Sejarah perlawanan laki-laki terhadap emansipasi perempuan bagiku lebih menarik daripada kisah emansipasi itu sendiri, tentang itu dapat ditulis suatu buku yang lucu. Tetapi harus diingat bahwa apa yang lucu sekarang adalah sangat serius pada beberapa generasi lalu, di mana nenek-nenek dan buyut-buyut kalian banyak yang menangis dan Florence Nightingale berteriak karena batinnya terluka.

Bagi kalian kaum perempuan yang sampai duduk di perguruan tinggi dan paling tidak mempunyai kamar sendiri biarpun kos-kosan, kalian bisa mengatakan bahwa jenius itu ada di atas apa yang dibilang orang. Tetapi sayangnya, justru jenius yang paling peduli apa yang dikatakan tentang mereka. Ingat Keats dan kata-kata di nisannya, "Seorang seniman adalah orang yang paling peka tentang apa yang dikatakan tentangnya." Sastra penuh dengan orang yang hancur karena mereka terlalu peduli tentang apa kata orang lain. Dan ini pasti mempunyai dampak pada karya kreatif. Karena jiwa seorang seniman agar dapat membebaskan karya yang terkandung di dalamnya harus berpijar seperti jiwa Shakespeare. Dan kita tidak tahu banyak tentang Shakespeare seperti kita tahu tentang Ben Johnson dan Milton, karena sakit hatinya, uneg-unegnya dan kebenciannya yang tersembunyi, kita tidak dihambat karena ada ungkapan tentang penulis. Semua keinginan untuk protes, berkhotbah, menyatakan ketersinggungan atau dendam, terbakar habis dan tersingkir dari dirinya. Karena itu sastranya mengalir bebas dan tanpa gangguan. Jika pernah ada jiwa yang menyala tanpa halangan, maka itu jiwa Shakespeare.

IV

Bahwa kita akan bertemu perempuan yang keadaan jiwanya seperti Shakespeare di abad ke-16 jelas tidak mungkin. Ingat saja nisan-nisan anak kecil yang mati muda dari zaman itu, rumah-rumah yang sempit dan gelap, untuk paham bahwa tidak ada perempuan yang dapat menulis sastra di sana, kecuali kalau ia nyonya besar yang sedikit bebas dan tidak peduli kalau dianggap monster. Sedangkan laki-laki juga lebih menerima apa yang dilakukan perempuan bangsawan, tetapi karya mereka pun memperlihatkan ketakutan dan kebencian. Sebagai contoh ambil karya Lady Winchillsea, yang lahir tahun 1661, lahir dan menikah dalam lingkungan ningrat, ia menulis syair, yang ternyata meledak-ledak dengan kemarahan atas kedudukan perempuan.

          Bagaimana kami tidak tersungkur! Dijatuhkan aturan sesat.
          Dan pendidikan tak lebih dari kepandiran alami;
          Terhalang dari semua peningkatan jiwa,
          Agar bodoh, terkirakan dan terancang;
          Dan jika ada yang terbang di atas yang lain,
          Dengan khayal yang lebih hangat, dan ambisi mendesak,
          Begitu kuat hingga lawan terdesak,
          Tak pernah harapan berjuang mengalahkan ketakutan.

Jelas ia belum mengikis semua halangan dan berpijar. Ia diganggu dan dikejar oleh kebencian dan sakit hati. Umat manusia terbagi dua. Laki-laki adalah lawan yang ditakuti, karena mereka mempunyai kekuasaan menghalangi apa yang diingini perempuan, yakni menulis:

          Duh! Perempuan yang coba menulis
          Adalah makhluk sedemikian sok,
          Kesalahan tidak terimbangi kebaikan apapun.
          Mereka bilang kita menyalahi jenis dan jalan;
          Sopan santun, mode, dansa, bersolek dan bergaya,
          Adalah keberhasilan yang harus kami minati;
          Menulis, membaca, berpikir dan bertanya,
          Menggelapkan kecantikan kami, buang waktu,
          Mengganggu pemenuhan diri kami,
          Sedangkan mengatur rumah-rumah tangga dengan patuh
          Dilihat sebagai seni dan guna terbesar

Memang, ia mempunyai keberanian untuk menulis, dengan catatan tulisan ini tidak pernah akan diterbitkan; ia hanya dapat menghibur diri dengan ratapan:

          Kepada beberapa kawan dan kepada dukamu berlagu;
          Mahkota penyair bukan takdirmu;
          Biar cukup gelap tiraimu, biar kamu di sana berpuas diri

Jelas kalau ia membebaskan diri dari kebencian dan ketakutan dan tidak menumpuk kepahitan dan penyesalan, maka api panas berpijar dalam dirinya. Kadang-kadang ia menghasilkan syair murni:

          Tak akan mencipta dengan sutra lusuh
          Biar samar-samar, mawar yang tak tertiru

Seribu kali sayang bahwa perempuan yang dapat menulis seperti itu dipaksa merasakan kepahitan dan kemarahan. Tetapi bagaimana itu terhindar? pikirku sambil membayangkan sindiran dan ejekan, pujian palsu dan keraguan penyair laki-laki. Ia mengurung diri dan sering mengalami depresi. Kita dapat baca:

          Kalimat-kalimatku diremehkan dan kegiatanku dianggap
          Kebodohan yang tidak berguna atau kesombongan;

Kegiatan inilah dianggap berceloteh tentang alam dan bermimpi:

          My hand delights to trace unusual things,
          And deviates from the known and common way,
          Nor will in fading silk compose,
          Faintly, the immitable rose.

*

Tentang Penulis:

Virginia Woolf dilahirkan pada tahun 1882 dalam keluarga Inggris yang terhormat dan berpendidikan dan dibesarkan oleh orang tua yang berpikiran bebas. Dia mulai menulis sejak muda dan menerbitkan novel pertamanya, The Voyage Out, pada tahun 1915. Dia menulis sastra klasik modernis termasuk Mrs. Dalloway, To the Lighthouse and Orlando, serta karya-karya feminis perintis, A Room of One's Own dan Three Guineas. Dalam kehidupan pribadinya, dia menderita depresi berat, dan pada tahun 1941 di usianya yang ke-59, dia bunuh diri.

FYI:

Terjemahan "A Room of One's Own" terbitan Buku Obor ini tidak lengkap. Kalau mau baca keseluruhannya--versi bahasa Inggris--bisa klik di external link tulisan ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top