Nguping Srikandi w/ Leila Chudori & Laksmi Pamuntjak
Di sini saya mencoba menyediakan transkrip obrolan antara Leila Chudori & Laksmi Pamuntjak yang saya ketik sendiri--saking senangnya saya dengan kontennya--dari podcast COMING HOME with Leila Chudori - Season 2 Episode In Conversation with Laksmi Pamuntjak yang bisa kawan-kawan dengarkan via Spotify atau Anchor (https://anchor.fm/coming-home-with-leila/episodes/In-Conversation-with-Laksmi-Pamuntjak-e9enu8). Yang membuat saya sangat menyukai episode ini ialah karena topik pembahasannya yang luas, mendalam, dan berwarna. Apalagi ketika membicarakan kompleksitas seksualitas dan relasi antar karakternya.
Kamu yang sudah membaca novel AMBA barangkali sangat menanti kehadiran sekuel karya Laksmi Pamuntjak yang berjudul FALL BABY / HERBST KIND / SRIKANDI (judul edisi Indonesia-nya) ini. Bahkan saya yang belum membaca novel pertamanya saja dibikin begitu penasarannya sama novel ini--akibat mendengar obrolan mereka--sampai-sampai saya rela motoran cukup jauh demi ke toko buku monopolis berlogo "G" itu--you know which--hanya untuk mendapati kenyataan kalau buku edisi Indonesia-nya rupanya belum terbit. Haiiiiiiiih. Niatnya sih mau saya baca tanpa membaca novel pertamanya terlebih dahulu, tapi ternyata semesta berkata lain. Entah ini artinya saya diberi waktu untuk menyelami Amba dulu atau apalah, yang jelas saya aja yang nggak sabaran dan bego karena nggak ngecek lebih teliti di internet kapan edisi Indonesia buku ini diterbitkan. Meskipun di podcast ini dikatakan kalau kemungkinan terbit edisi Indonesia-nya adalah bulan Desember 2019--dan faktanya belum, alias molor. Dan dari hasil pencarian saya barusan hanya didapatkan info kalau edisi Indonesia buku ini bakal diterbitkan pada awal tahun 2020. Belum ada tanggal pasti.
Ngomong-ngomong, seksualitas di novel ini dikulik dari karakter utamanya yang bernama Srikandi / Siri, yang merupakan anak kandung dari Amba. Pendeknya, Siri merupakan seorang perupa dengan sejarah hidup, hubungan, dan kepribadian yang pelik, yang di antaranya pula digambarkan bahwa ia memiliki karakteristik/ciri androgini dan memiliki keadaan seksualitas yang fluid: biseksual. Dangkalnya seperti itu. Seutuhnya, kawan-kawan bisa baca sendiri ketikan di bawah ini karena saya jamin ada banyak sekali pengetahuan yang bisa kita dapatkan dari obrolan seru mereka. Atau, dengarkan saja lah podcast-nya biar ngalir cepat. Yah, kan saya ngetik juga karena saya memang suka mengarsipkan hal-hal yang saya sukai dan saya nilai berharga. Dan ini merupakan salah satunya.
"I had two fathers: one who ----- me and another who raised me, and they both ----- beautiful and lonely death. I didn't learn of the fact that they were two until the fall of two thousand and six when I was already fourty. But by then my birth father had been dead, or so my mother told me, for six years in an island that had been his prison and his deliverance, his past, and his future. She's waited until the fall to tell me, waited four months after my adopted father, the only father I'd ever known, died of a heart attack. And until she was able to travel to the sad island, to ascertain the time and manner of my other father's death. I was born in late summer and grew up oblivious of fall ----- spell. Where I was born in Jakarta, the capital city of Java, we know many seasons. There is the mating season, the divorce season, the season of ----- and -----there is also the grave season, the ----- season, the season of poison and ----- There's also the stupid season, which often ----- last three, mostly we ----- rain, the ----- that humidity that fills the time heavy ----- sorrow. Yet we do not have fall, ----- what is meant by fall as a season ----- number of heroes die in the battlefield. I don't even believe in official heroes because heroes are to be found in the everyday and those who sacrifice and those who injure. My two fathers were both heroes and non-heroes."
Leila: Halo, selamat berjumpa kembali di program Coming Home with Leila Chudori. Kali ini kita ada di Ubud Writers dan saya ditemani oleh sahabat saya, seorang penulis novel terkemuka. Kawan-kawan pendengar mungkin mengenalnya dari novel Amba, Aruna dan Lidahnya, dan kali ini dia akan meluncurkan novelnya yang terbaru, Fall Baby: Laksmi Pamuntjak. Halo Laksmi.
Laksmi: Hai Mbak Leila
Leila: Aduh, pake 'Mbak'. Dari mana itu 'Mbak'?
Laksmi: Udah lama sih kita nggak ketemu.
Leila: Iya, udah... Terakhir di London, ya? Ya ampun. Jadi kita bertemunya selalu di festival-festival—
Laksmi: He eh, nggak boleh tuh kayak gitu—
Leila: Nggak boleh. Ini novel yang saya baca dengan kecepatan yang luar biasa. Nggak bisa berhenti. Untuk para pendengar, ini novel yang akan diluncurkan oleh Laksmi. Judulnya Fall Baby. Ini tebalnya 350 halaman, diterbitkan oleh Penguin Random House, Southeast Asia, dan penerbitannya ini unik sekali karena semula ditulis dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan dulu ke dalam bahasa Jerman, ya? Apa judulnya?
Laksmi: Herbst Kind.
Leila: Herbst Kind, ya. Lalu itu diterbitkan oleh?
Laksmi: Oleh Ullstein Verlag. Mereka penerbit saya sudah dari tahun 2015. Itu untuk Amba yang dalam bahasa Jermannya Alle Farben Rot.
Leila: Jadi justru Fall Baby ini diterbitkan dalam bahasa Jerman dulu tahun lalu, ya?
Laksmi: Betul. September 2018.
Leila: Tahun lalu. Kemudian baru diterbitkan oleh Penguin Random House—
Laksmi: Dalam bahasa originalnya.
Leila: Sedangkan dalam bahasa Indonesia-nya itu adalah terjemahan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Dan akan terbit kapan? Pasti pendengar mau tahu.
Laksmi: Mudah-mudahan akhir tahun—
Leila: Oh gitu ya. Ini juga unik karena yang menerjemahkan bukan Laksmi sendiri. Biasanya kan Laksmi. Ini yang menerjemahkan teman kita, Arif Prasetyo. Bisa ceritain nggak kenapa unik sekali ini perjalanannya?
Laksmi: Memang riwayat buku ini nggak konvensional. Jadi awalnya penerbit saya itu, Ullstein Verlag, menerbitkan novel pertama saya, Amba, dalam bahasa Jerman. Dan buku itu sukses, sempat memenangi penghargaan sastra waktu itu di Jerman. Namanya Literature Prize tahun 2016. Disukai para kritikus dan lain sebagainya. Pendeknya, penerbit saya senang lalu menawarkan untuk menerbitkan sekuel Amba, meskipun waktu itu sekuel itu belum ditulis.
Leila: Oh, jadi kamu udah cerita duluan?
Laksmi: He eh. Saya bilang, "Bagaimana kalau sekuel ini adalah kisah Srikandi?" Anak yang lahir dari hubungan gelap Amba dan Bhisma. Srikandi atau Siri—panggilannya—itu seorang perupa kontemporer, sering menjelajahi dunia, dan dia peduli sekali pada cita-cita demokrasi di Indonesia. Dalam bayangan saya, dia lama tinggal di Berlin. Waktu itu saya memang ingin menulis sebuah novel yang settingnya di Berlin karena kebetulan saya cinta sekali pada Berlin. Kemudian penerbit saya bilang, "Ya oke, boleh. Coba tulis sinopsisnya. Tapi kalau bisa cepat." Karena mereka juga harus meng-approve dulu isinya. Lalu langsung diterjemahkan karena timelinenya sangat ketat.
Leila: Jadi ini semacam hampir seperti, kalau saya membayangkan produksinya, rada kayak film. Jadi pitching terus ditulis, ya?
Laksmi: Betul, betul, dan itu adalah bagian yang terus terang sangat riskan. Pertama-tama, apakah sinopsis itu sendiri akan cukup memadai. Jadinya pihak penerbit bisa saja menganggap, "Aduh, ini sebenarnya nggak begitu oke" atau bagaimana. Tapi ya gimana, kita sudah ada semacam ikatan batin dengan satu sama lain, atau nggak enak kan sudah pernah diperbincangkan kemungkinan untuk menerbitkan sekuel. Jadi, ada banyak faktor. Tetapi kayaknya mereka suka dengan sinopsis yang saya tulis waktu itu cepat-cepat. Tapi juga bukannya bahwa tidak ada sejarahnya, karena kisah Siri ini selalu ada di Amba. Jadi di versi-versi awal Amba ketika saya malah baru menulisnya dalam bahasa Inggris sebelum saya kemudian memutuskan untuk berhenti dengan versi bahasa Inggris itu, dan kemudian menulis ulang dalam bahasa Indonesia, itu sudah ada Siri. Namanya Blue Widow. Jadi waktu itu saya pikir menarik untuk dibahas sekarang, in hindsight, adalah bahwa naratornya ada tiga. Jadi ada Samuel yang sekarang di Fall Baby sudah tidak ada lagi, ada Amba sendiri, dan kemudian juga ada Siri.
Leila: Oh gitu.
Laksmi: Meskipun kompleks dan itu memang sesuatu yang saya inginkan, karena saya selalu melihat Amba dan Srikandi itu sebagai satu kesatuan. Saya tidak ingin mereka berpisah. Dari permulaan saya maunya mereka selang-seling. Tapi sebagai plot, apalagi itu novel pertama saya, terlalu kompleks, terlalu banyak alurnya. Jadi akhirnya saya pikir, yaudah, ini Siri harus dibikin sendiri. Makanya kemudian ketika Ullstein meminta saya untuk membikin sekuel, itu adalah kesempatan yang baik untuk melakukan ini. Jadi, bukannya dari nol.
Leila: Paham, paham. Akhirnya kan ke dalam bahasa Jerman. Apakah yang Inggrisnya yang sekarang diterbitkan itu mengalami suatu proses metamorfosa atau persis yang seperti itu yang diterjemahkan?
Laksmi: Saya pangkas sekitar 60 halaman.
Leila: Kenapa?
Laksmi: Karena pertama, waktu saya menulis Herbst Kind itu deadlinenya terlalu ketat dan dari sinopsis sampai penggarapan awal, riset, dan kemudian menulisnya, saya punya waktu sangat sedikit. Dan juga ada beban mental bahwa itu harus diterjemahkan secepat mungkin. Dan ketika draft pertama selesai, jadi tanpa ada waktu untuk ditinggalkan dulu terus kemudian di-revisit untuk bisa melihatnya dengan jarak, saya tidak punya waktu. Jadi saya selalu merasa kalau saya mendapat waktu, itu pasti lebih bagus hasilnya. Jadi ketika Herbst Kind sudah diluncurkan bulan September 2018 sampai ketika saya ada waktu untuk mengedit, menyunting bahasa Inggrisnya, saya ada waktu sekitar 6 bulanan. Jadi sudah ada cukup waktu untuk merenungkan dan menyerap apa-apa yang seharusnya tidak ada saja. Jadi memang perubahannya cukup besar. Tapi dari segi plot dasar, dari segi ceritanya, nggak ada yang berubah.
Leila: Sebelum ini saya ada pertanyaan soal judul, karena lain-lain ini antara judul Indonesia dengan judul Inggris. Rata-rata memang begitu biasanya kalau terjemahan, nggak harus literal. Saya ingin tahu, mungkin untuk pembaca biar langsung nyambung karena ini benar-benar fresh dari oven. Ringkesnya gimana? Seringkas mungkin, baru nanti kita dive into the story. Ringkasnya ini cerita apa?
Laksmi: Tadi sudah saya katakan, ini adalah sekuel atau lanjutan dari novel pertama saya, Amba, dan ini adalah kisah Srikandi atau Siri, anak Amba dan Bhisma, kedua tokoh utama dalam novel pertama saya, Amba. Jadi bagi mereka yang sudah membaca Amba, di akhir novel kan ada semacam for shadowing. Setelah suami Amba, Adalhart Eilers, meninggal di tahun 2006, Amba pergi ke pulau buru dan menemukan makam kekasihnya, Bhisma, setelah mereka terpisah dari satu sama lain selama 41 tahun. Sepulangnya dari Buru, ia akhirnya memberanikan diri memberitahu Siri yang waktu itu usianya menjelang 40 tahun, tentang asal-usulnya yang sebenarnya. Tapi, Fall Baby atau Srikandi ini pada dasarnya bukan saja kisah Siri tapi juga kisah tentang Dara, satu tokoh lagi, tokoh baru. And she's like the alter ego of Siri. Jadi novelnya tentang dua perempuan yang di permukaan sangat berbeda, begitu latar belakang dan karakternya. Yang satu seorang perupa kosmopolitan, yang satunya lagi seorang aktivis politik. Tapi secara prinsip mereka mempunyai banyak persamaan. Setelah bertahun-tahun berkelana di beberapa kota di dunia, ada London, New York, Madrid, sebagai seorang seniman si Siri ini kemudian memutuskan hidup di Berlin. Untuk menghindar dari masa lalu keluarganya yang kelam yang nanti tentu saja bisa dibaca seperti apa. Tak disangka sebuah berita kemudian memaksanya pulang ke Jakarta, terus di sana dia harus menghadapi nggak hanya realita keluarga yang pedih tapi juga semacam jalan kelindan antara seni rupa, agama, politik, dan sejarah. Terutama ketika salah satu pamerannya dihujat dan dilarang karena dianggap melanggar susila. Dalam pergulatannya ini, adapting di Jakarta, Siri juga harus memaknai ulang hubungannya dengan ibunya, Amba. Dengan Dara yang waktu itu sudah jadi musuhnya, tadinya sahabat sekarang sudah jadi musuh. Dan yang juga terpenting adalah dengan anak tirinya, Amalia. Dan dengan sejarah bapak kandungnya juga, Bhisma, bapak kandung yang tidak pernah dia ketahui.
Leila: Ini banyak sekali hal-hal yang kepengen saya tanya karena ketika saya membaca saya merasa begitu banyak hal-hal yang saya kenal di dalam ceritanya. Tapi sebelumnya soal judul, Fall Baby, dan dalam bahasa Jermannya, apa sih artinya?
Laksmi: Herbst Kind. Jadi, Herbst itu adalah musim gugur, Kind anak. Jadi sebenarnya kalau diterjemahkan dalam bahasa Inggris bisa juga Autumn Child atau Fall Child. Tapi kenapa Baby, jadi judul ini sebenarnya disarankan sama teman baik saya di Berlin. Dia seorang novelis juga. Waktu itu kita sedang sama-sama menggarap novel. Tapi saya belum ada judul waktu itu. Terus tiba-tiba dia bilang, "Eh gimana kalau Fall Baby." Kenapa, waktu itu sebenarnya nggak ada yang khusus, jadi kita lagi jalan-jalan di, misal, satu daerah yang paling saya ceritai, ada sebenarnya di novel ini, namanya ----- Terus pokoknya waktu itu sedang musim gugur, terus di pavement ada banyak daun-daun berguguran, terus semuanya sangat cantik. Terus saya waktu itu kalau nggak salah saya sedikit komentar, kok menarik bahwa di Indonesia kita nggak kenal musim gugur, karena di daerah tropis kita cuma mengenal musim hujan dan musim kemarau. Dan lucunya, ibu saya sendiri dia sangat percaya sama apa yang namanya palette, karena dia seorang mistisian. Jadi dia selalu melihat orang itu dari perspektif warna. Dia selalu melihat orang itu, "Oh ini kayaknya orang ini warna, ini palette musim gugur." Atau "Ini palette musim semi, ini palette musim kemarau." Dia selalu menganggap saya palettenya musim gugur, jadi warna-warna saya itu adalah kecoklatan, jingga, terakota, kuning-kuning yang rada ke mustard mungkin, yang earthy gitu, yang membumi. Benar-benar musim gugur. Jadi, saya singgung ini terhadap teman saya, kemudian saya juga rada jadi puitis gitu. Terus saya bilang, "Oh menarik sekali bahwa akhir-akhir ini selalu kalau pas musim gugur ada saja yang terjadi sama saya yang menyenangkan, yang positif gitu. Apakah saya dapat pekerjaan baru atau saya dapat proyek yang menyenangkan, atau mungkin, pokoknya semuanya oke." Jadi teman saya terus bilang, "Yaudah kalau gitu kenapa nggak Fall Baby?" Karena Baby itu bisa merujuk ke banyak hal, bisa bahwa Baby itu merupakan sebuah awal, di kamus sebagai anak, tapi juga sebagai anak yang baru memulai kehidupan. Bisa juga sebagai pencinta, sebagai lover, Baby. Kita manggil our loved one dengan Baby. Bisa juga anak yang dilahirkan pada musim gugur. Sebenarnya si Siri ini kalau kita merunut kembali ke sejarahnya, dia sebenarnya lahir bulan Agustus. Jadi bukan musim gugur. Tapi hal-hal yang bagus terjadi sama dia di musim gugur. Jadi itu saya pinjamkan lah kepada si Siri kisah saya. Jadi, semuanya rasanya kayaknya pas, makanya saya ingin Fall Baby. Tapi juga dengan karya ini, sama masalahnya dengan waktu saya harus memutuskan judul apa yang harus saya pake untuk bahasa Indonesianya Amba. Karena nama-nama itu di budaya kita, di perwayangan dan di dalam khasanah sastra kita, jauh lebih dikenal kan, Amba, Srikandi. Fall Baby bagaimana coba ini menerjemahkannya, sama juga dengan Blue Widow waktu itu sebelum menjadi Question of Red. Berarti Question of Red-nya juga bagaimana? Susah kan. Jadi itu sebenarnya penjelasannya.
Leila: Kalau saya melihatnya, tadi katanya meminjamkan keuntungan-keuntungan atau hal-hal yang positif di musim gugur yang terjadi pada Laksmi—
Laksmi: Itu enaknya fiksi, ya—
Leila: He eh. Tapi kalau saya merasa yang dipinjamin banyak banget—
Laksmi: Oh gitu—
Leila: Iya, iya, banyak banget. Nanti kita omongin itu—
Laksmi: Menarik.
Leila: It's not only about, you know, every autumn gitu, tapi yah a lot of things sebetulnya. Ini saya mau ngomongin soal karakter Srikandi. Saya melihat Laksmi berani sekali memperlihatkan seorang protagonis yang kalau vulnerable gapapa ya itu biasa tapi ini betul-betul di banyak titik, dia itu memang diperlihatkan oleh orang-orang sekelilingnya, termasuk anak tirinya, kawannya, dia dibilang dia salvation. Kemudian dia mengatakan, "I'm a painter, I'm not a yoga teacher." Pokoknya dia kadang-kadang ada snobnya gitu. Terus anaknya juga bahkan mengatakan, "You're a ----- snob." Itu lucu banget istilah-istilahnya. Karakternya ini jadi seolah-olah meskipun ketika kita sedang membaca point of view dia—ini gantian ya, ntar point of view Srikandi nanti bab berikutnya point of view Dara, abis itu point of view Srikandi lagi, selalu bergonta-ganti—begitu kita masuk ke point of view dia, saya nggak kesel sih sama dia, orang-orang yang kesal sama dia, orang-orang benar-benar jengkel sama dia. Sure sometimes dia kelihatan benar-benar self-indulgent, tapi nggak bisa kesel sama dia. Sementara orang-orang pada, anaknya, ibunya, Dara apalagi, gitu ya. Kenapa Laksmi berani sekali menampilkan orang yang sebenarnya nggak gampang untuk root for her, for the very beginning?
Laksmi: Baik. Menarik karena saya tentunya tidak meniatkan semua aspek dari karakter dia untuk begini, begitu, dengan sangat jelas ketika saya pertama kali menciptakan dia. Itu seperti juga tokoh fictional yang kita ciptakan, pada akhirnya mereka berkembang dan menjadi diri mereka sendiri, kadang-kadang tanpa kita niatkan. Dan kita sendiri yang liat, oh ternyata dia mau ke situ, dan kita ikutin juga, karena ternyata kok menarik yang tidak kita rencanakan, begitu. Dan itu juga salah satu dari apa yang menakjubkan mengenai fiksi. Tapi saya memang tidak pernah suka sama ide menampilkan orang-orang yang tidak kompleks, itu satu hal, yang ----- itu satu. Meskipun tentu saja ada beda-beda derajat. Seberapa kompleks maksudnya. Tetapi saya memang ingin mendalami karakter orang yang merasa rentan seumur hidupnya, meskipun dia tidak ingin menjadi korban, dan dia selalu melawan itu. Melawan perasaan itu kalau perasaan itu melanda. Dan juga justru karena seorang perupa. Kenapa dia perupa bukan profesi lain, tapi saya inginnya seseorang yang begitu sensitif terhadap segalanya, terhadap kehidupan, terhadap detail, warna, aroma, bau, tekstur. Perubahan dalam tindak-tanduk dan perilaku orang di sekitarnya dan dalam dirinya sendiri, kesadarannya dia sendiri, sangat analitis. Jadi, satu sisi dia tahu bahwa dia itu susah, dia itu mungkin memang ada selfishness-nya, memang dia self-centered, atau self-absorbed malah. Tetapi dia juga kukuh membela hal-hal itu di dalam dirinya karena itu adalah bagian dari dirinya, dan dalam hal itu dia sangat kenal dengan dirinya sendiri. Jadi dia tidak minta pemaafan atas hal-hal yang memang adalah bagian dalam dirinya. Tapi, karena semua hal-hal yang dia sadari tentang efek dari apa yang dia lakukan terhadap orang-orang di sekitarnya, kebanyakan orang-orang yang dia cintai semuanya, anak tirinya, suaminya mungkin, atau pacarnya, atau ibunya—
Leila: Love of her life, Javier—
Laksmi: He eh. Meskipun dia yang rada lebih menyakiti Siri ketimbang Siri menyakiti dia. Tapi nanti para pembaca akan melihat bagian itu dan menyimpulkan sendiri. Jadi dia sadar atas efek, hal-hal yang dia lakukan terhadap orang yang dia cintai, tapi pada saat yang bersamaan dia bukannya, bahwa dia berhenti melakukan hal-hal yang ingin dia lakukan, tetapi bahwa dia merasa bersalah terus-menerus. Jadi dia tanggungkan hidupnya itu dengan rasa bersalah, perasaan guilt itu yang terus-menerus menghantui dia. Dan di situlah kenapa mungkin akhirnya orang tidak bisa benci sama dia, orang tidak bisa tidak menyukai dia, pada akhirnya. Atau paling tidak, tidak simpati sama dia. Untuk menjawab pertanyaan Leila tadi, karena dia bukan orang yang tidak berpikir. Dia bukan orang yang tidak bisa merenungkan kehidupan, justru dia bisa merenungkan kehidupan. Tetapi dia merasa dia harus juga menjadi dirinya sendiri. Seperti juga kemudian Amalia, generasi sesudah dia, melakukan juga apa yang dia rasakan sebagai jalan hidupnya sendiri tetapi dengan cara yang lain, dengan jaga jarak, dengan semacam self-sufficiency. Dengan kemandirian yang sedikit berbeda dari Siri. Siri kan cantik, Siri cetar, membahana, begitu ya, sementara Amalia, semuanya lebih understated, dan dia tidak ingin menarik perhatian orang lain sama sekali. Malah dia pinginnya sedikit—
Leila: Low profile. Makanya mengejutkan ketika belakangan dia, apa—
Laksmi: Agak lashing out—
Leila: Iya, iya, agak mengejutkan. Berarti itu udah benar-benar unbearable ketika dia udah sampe speak up in front of public. Biasanya dia low profile sekali. Ada satu hal juga, ini untuk mereka yang tidak mau dengar spoiler silahkan dimatikan dulu, tapi saya terpaksa harus bertanya ini karena saya menganggap ini, I really like this novel, I think this is your best. Saya nggak bisa berhenti—
Laksmi: Wow, terima kasih—
Leila: Bukan hanya karena ini page turner, tapi every single decision you made about the character, itu spot on untuk saya. Jadi—
Laksmi: I'm glad.
Leila: Salah satu hal yang menurut saya, I'm glad you decide to do that, adalah fluidity dari sexuality-nya dia. Karena untuk saya, untuk mungkin sebagian pembaca nantinya, saya nggak tahu apakah itu sengaja, penulis ini kan kadang-kadang menulis naturally aja dan pembaca kemudian menginterpretasikan, itu buat saya fluidity sexuality dia itu lah yang kemudian memiliki relevansi dengan namanya. Jadi buat saya, okay, this is it. That's why it's called Srikandi. Bahkan nanti di dalam bahasa Indonesia, itu yang jadi judul dan buat saya itu penting. Jadi, that's one thing I want to tell you, bukan pertanyaan. The second thing adalah, ini tadi Laksmi bilangnya dia cantik, pokoknya memang dia kemana pun orang ngeliatin, orang gawking, dan all that, tapi saya juga melihat ada hint bahwa dia kadang-kadang kayak androgynous. Perasaan sexuality-nya itu kayak androgynous. Kadang-kadang dia bisa desire women and dia bisa desire men equally. Meskipun pada akhirnya dia ada pengakuan sedikit di belakangnya bahwa, "Ya gue nggak se-gay dia sih". Yah, ada pengakuan gitu. Itu boleh nggak ceritain sedikit proses untuk memutuskan bahwa, oke, Srikandi yang gue tulis ini secara seksual nih begini.
Laksmi: Menarik sekali kamu masuk ke dalam aspek ini, karena ini bagian yang sebenarnya paling tidak direncanakan juga. Justru bisa dibilang ini menjadi sangat berbeda dengan apa yang saya rencanakan dan saya niatkan sebelumnya. Tadinya begini, saya ingin sekali merobohkan semua stereotype nama—yang ada hubungannya dengan nama. Jadi Amba tidak harus menjadi seorang yang ditolak dua kali oleh laki-laki kemudian jadi pendendam, dan sepertinya hanya itu saja yang definisi dari itu. Dan yang saya coba lakukan dengan novel pertama adalah untuk merobohkan itu semua dan juga untuk menunjukkan bahwa seseorang tidak usah terpasung atau terbelenggu dengan pemaknaan namanya berdasarkan sistem-sistem lain yang ada di dunia ini, yang bukan datang dari dirinya sendiri. Saya tadinya ingin lakukan hal yang sama dengan Srikandi. Srikandi itu kalau di versi wayang lebih sering digambarkan sebagai istrinya Arjuna. Kebetulan pendekar yang tangguh, manahnya jago, dan satu-satunya pendekar yang ditakdirkan untuk bisa membunuh Bhisma. Kayaknya itu saja tujuannya hidup. Sementara kalau di versi India, aspek biseksualitasnya, androgyny-nya itu lebih ditonjolkan. Malah kadang-kadang Srikandi digambarkan sebagai Shikhandi, male warrior, pendekar laki-laki.
Leila: Ada perubahan seks. Di satu saat dia bertukaran gender dengan raksasa. Jadi yang versi India begitu, sehingga memang Srikandinya menjadi lelaki, raksasanya menjadi perempuan.
Laksmi: Yes. Kemudian saya mereview semua adegan-adegan atau aspek-aspek dari novel yang saya sudah tulis sampai saat itu. Kemudian saya melihat Candi Sukuh. Saya melihat ide atau gagasan dasar dari sebuah pameran yang pada akhirnya akan menjadi sangat penting di dalam novel—bahkan saya tidak ingin masuk terlalu jauh. Tetapi itu sangat ada hubungannya dengan seksualitas. Jadi saya pikir, wah, jangan-jangan ada bagusnya juga gitu kalau saya mencoba menubuhkan Siri dengan lebih dalam lagi, dengan melihat—karena masuk akal—dia sebagai perupa kan sangat sensitif terhadap segala macam, terhadap perubahan tubuh, terhadap tubuh. Pada hakikatnya tubuh itu penting sekali—
Leila: Apa lagi ini ada ide, terinspirasi setelah Candi Sukuh, ya—
Laksmi: Betul, betul. Bagi mereka yang tidak kenal dengan Candi Sukuh mungkin bisa berkunjung—
Leila: Bisa berkunjung kalau lagi ke Solo, silahkan. It's beautiful—
Laksmi: Betul. Atau ngecek di google apa artinya dan segala macam. Tetapi, kembali lagi kepada aspek Siri-nya yang sensual. Masuk akal juga bagi saya waktu itu untuk sedikit kembali ke masa kecilnya. Dan adanya Dara di dalam novel ini juga menjadi semacam conduit, semacam vehicle, untuk Siri bisa kembali ke masa lalunya. Dan juga bahkan dari perspektif Dara. Jadi, misalnya beberapa banyak dari kita yang di suatu saat di masa kecil atau di masa remaja, pernah kagum sekali sama seorang guru. Misalnya, guru perempuan atau—
Leila: Maksudnya crush, teenager crush?
Laksmi: Ya, ya. Yang bisa kemudian lebih dalam dari itu semua, bisa juga cuman semacam kekaguman dan rada-rada naksir-naksir gitu. Siri mengalami ini semua tapi kemudian ternyata dia juga bisa mempunyai ketertarikan yang lebih dalam terhadap perempuan, dan dia juga kemudian berani melangkah lebih jauh—
Leila: Berani explore dia—
Laksmi: Karena dia memang, begitulah, hakikatnya perupa. Dia sangat curious. Dan dia experiment memang, dan bagi saya itu semua masuk akal. Kebetulan saya tidak mau spoiler lagi. Tapi pada akhirnya memang itu penting sekali dan menarik bagi saya karena akhirnya saya rada melenceng gitu loh dari niat awal untuk membuat Srikandi sangat teramat berbeda dari mitos. Itu. Maunya si Srikandi, udahlah, heteroseksual aja, biar apa, segala macam. Yah mungkin sedikit, yah dia gairahnya tinggi, gitu yah. Nafsuan, gitu—
Leila: I'm glad you left that original idea, karena ini menurut saya justru membuat dia jauh lebih kompleks dan meskipun itu memang bermulanya, kalau untuk penulisnya karena dia perupa—meskipun menurut saya biarpun perupa belum tentu loh—
Laksmi: Saya juga baru mau bilang belum tentu, jadi, bukan artinya hanya seorang yang biseksual atau yang punya ketertarikan dengan dua, laki-laki atau perempuan, hanya mereka yang bisa membuat sebuah, sebuah gagasan seperti itu. Atau karya yang berbasis atau terilhami oleh Candi Sukuh.
Leila: Ngomong seorang perupa, kenapa milihnya—ini kan waktu dari awal paling enggak kan, sejak menciptakan tokoh Srikandi—kenapa perupa? Kalau saya tadinya mikir, because you put a lot of yourself too in this story, saya selalu mikirnya lebih musik karena banyak orang mengenal Laksmi sebagai seorang pianis, someone yang very very close to music, classical music. Jadi, meskipun di dalam novel ini banyak juga ya soal musik?
Laksmi: Iya—
Leila: Tapi, she's not a musician, professionally. Dia perupa. Kenapa memilih itu?
Laksmi: Sebenarnya juga seperti musik dan buku, dan sastra maksudnya, saya juga tumbuh besar dengan seni rupa. Dan tidak ada sebenarnya, sampai sekarang, kenikmatan yang melebihi pergi ke sebuah pameran atau ke sebuah galeri dan berdiri sendiri, berhadapan dengan sebuah karya seni, dengan sebuah lukisan atau instalasi. Dan membiarkan diri kita hanyut dalam privasi antara dua, antara karya dan kita. Itu suatu momen yang betul-betul private dan connection hanya bisa didapatkan dan mengambil bentuk antara dua orang itu saja. Dan entah gimana kalau saya itu baru dari sebuah pameran atau baru bertemu sebuah karya yang betul-betul menggerakkan saya, menyentuh, itu efeknya terhadap saya bisa berhari-hari dan bisa menjadi sebuah karya. Oh, saya mau menulis seperti ini. Oh, ternyata ada beberapa hal yang make sense sekarang, bagi saya, karena melihat karya itu. Dan saya rasa memang pada hakikatnya seni rupa itu, it's about ways of seeing. Dan saya rasa hampir semua karya saya selama ini, mau novel kek, mau puisi kek, mau apa itu, mau tentang makanan sekalipun, itu semua ada hubungannya dengan kemajemukan cara pandang. Bahwa kita sendiri bukan satu. Kita semua terdiri dari identitas yang berbeda-beda, kesadarannya juga berlapis-lapis. Kita bisa bereaksi terhadap satu hal seperti ini dan terhadap hal lain dengan cara lain. Padahal itu dalam satu diri kita sendiri. Jadi diri kita tidak pernah satu dan seni rupa dalam hal itu memang adalah simbol dan pengejawantahan juga dari itu semua. Dan mungkin—
Leila: Sori, karya Laksmi yang muse, Diary of R.S. itu kan tentang how one see, apa, karya seni rupa, ya—
Laksmi: Betul, jadi itu tahun 2006. Jadi itu adalah upaya-upaya awal bisa dikatakan—
Leila: It's, it's very interesting, I love it. I really like it—
Laksmi: Thank you—
Leila: Jadi benar-benar, you're really appreciating what you see in all the works of art—
Laksmi: Itu juga respon kita terhadap karya yang berbeda-beda, juga bisa berbeda. Jadi yang ingin saya tunjukkan dalam himpunan fiksi-fiksi pendek itu adalah kita bisa, misalnya, merespon dengan puisi, satu lukisan. Bisa juga merespon dengan sebuah renungan yang lebih meditatif atau bisa juga short story yang satirical atau bagaimana—
Leila: Pernah nggak respon dengan musik?
Laksmi: Menarik juga kamu singgung kehidupan saya pada suatu masa ketika saya masih main piano. Tapi tentu saja itu sangat dekat, itu adalah connection saya yang paling dalam dan paling purba. My oldest and deepest connection to the world itu through music dan itu musik classic lagi. Tapi ada beberapa, waktu itu ada beberapa pertimbangan. Satu, kalau nulis mengenai classical musician, musik-musik klasik, yang ngerti dikit. Itu tidak terlalu besar dan sangat khusus. Kedua juga, saya lebih ingin menampilkan seseorang yang musikus ketimbang menampilkan tokoh utama yang musikus karena, nggak tahu ya saya, belum siap aja mungkin—
Leila: Jadi musician-nya tokoh pendukung aja gitu ya—
Laksmi: Iya, ada satu tokoh di situ. Tetapi penting melihat bahwa mereka satu—
Leila: Oh, dia yang membuat si Siri kalem lah—
Laksmi: Sangat, sangat—
Leila: Ini orang penting nih, kalau nggak ada dia gawat— I like him—
Laksmi: Saya sebenarnya cinta sekali sama tokoh laki-laki itu dan itu bukan tokoh yang, oh I wish I met somebody like that. Begitu yah. Saya betul-betul inginnya Siri ketemu orang yang seperti itu, sudah pas gitu. Tapi ada sesuatu tentang tokoh itu yang kemudian— Membuat saya juga, kok, pelan-pelan jatuh cinta—
Leila: Lovable— Aku takut sekali bahwa, awas yah, ini nih awas ya kalau Laksmi bunuh dia— Don't ever do that to him—
Laksmi: Tapi musikus, ya kan—
Leila: Exactly—
Laksmi: Jadi perspektif tentang musik datang dari dia. Tetapi itu bisa menyatu juga dengan visi artistiknya si Siri. Jadi nggak aneh-aneh banget menurut saya. Now that you mention that—
Leila: Oke, jadi ini saya mau tanya tentang this men, women, reconfigured exhibition. Satu pameran yang penting sekali di dalam beberapa bab novel ini yang saya nggak mau panjang lebar menceritakan, karena biar aja nanti pembaca yang shocked sendiri.
Laksmi: Oh, jadi saya nggak boleh bilang ya ini tentang apa?
Leila: Ya boleh aja, gapapa, cuma saya pikir ini lucu aja. It's shocking tapi mungkin tokoh Sirinya ini kepengen kita shock gitu loh dengan membuat itu. Dia kepengen— I think that's her. Selain Candi Sukuh, how did you get into this idea about this exhibition?
Laksmi: Waktu itu saya juga kayaknya mencari contoh yang jelas tentang bagaimana sebenarnya ide dasar bahwa kita semua punya sisi perempuan dan sisi laki-laki di dalam diri kita sendiri, dan bahwa gagasan itu sebenarnya bukan sesuatu gagasan yang baru dan radikal. Sama sekali tidak. Bahkan sudah berabad-abad ada di dalam budaya kita, di Bali, di Lengger, kita tahu. Jadi bukan sesuatu yang kita harus anggap sebagai radikal atau apa namanya, punya shocked value atau—
Leila: Enggak, tapi pertanyaan saya ini karena masa kini sekarang justru era di mana kita sedang dipaksa untuk memasuki satu jalan yang dogmatis. Sementara kamu ngajak lagi, eh kita dari dulu tradisi kita juga udah seperti ini loh.
Laksmi: Dan di bagian itu saya katakan saja sekarang bahwa itu memang semacam statement politis dari pihak saya. Bahwa saya ingin mengatakan, come on, masa kita begitu jauhnya membiarkan diri kita untuk kembali lagi ke jaman sebelum pencerahan. Jadi memang itu penting bagi saya terutama saya pikir memang saat ini kita hidup di mana ide-ide itu sekarang sedang dikepung dan sedang di, apa—
Leila: Kita sekarang seperti sedang disuruh jalan, nggak pake sendal nggak pake sepatu, di atas pecahan beling—
Laksmi: Yeah, couldn't have said it any better—
Leila: Jadi pameran semacam itu yang dilakukan, direncanakan oleh Srikandi ataupun yang lain-lainnya itu, ancaman buat orang yang meletakkan potongan beling ini.
Laksmi: Betul, dan moralitas itu pada akhirnya selalu diasosiasikan dengan seksualitas atau dengan seks. Itu pasti kita tahu lah, sebagai sebuah, apa ya, realita.
Leila: Ini yang juga mau saya tanya juga relationship two mothers, antara Amba dengan Srikandi itu hubungannya buruk. Kalau mau sedikit lebih diplomatis, hubungannya sulit, kompleks, difficult. Tapi sebetulnya kalau kita secara, baru beberapa halaman saja kita bisa melihat mereka hubungannya buruk, kemudian hubungannya Srikandi dengan anak tirinya itu juga buruk. Dari awal udah dibuka. Jadi Laksmi sudah membuka halaman-halaman pertama dengan memperlihatkan bahwa antara Srikandi dengan Amalia itu ada a bit problem.
Laksmi: Ya, juga antara Amba dengan Srikandi.
Leila: Iya, antara Amba dan Srikandi, Srikandi dan Amalia. Makanya two mothers and two daughters. Nanti kita ngomongin dari lain lagi nih, karena dia outsider sebenarnya. Ini kenapa memilih this issue? Karena ini sebetulnya issue yang terus menerus tampil dari babak awal halaman pertama sampai terakhir, bahkan penyelesaiannya pun itu juga kelihatan, it's about the relationship of these three women.
Laksmi: Memang hubungan antara ibu dan anak bagi saya adalah hal terpenting dalam kehidupan saya, dan tentunya kita, tanpa musti menjawab apakah karya ini autobiografi atau segala macam, boleh dong mengedepankan dan mengeksplor, menggali sedalam-dalamnya hal-hal yang penting bagi kita. Bagi saya, motherhood ini ada hubungannya juga dengan teman lain yang saya rasa mungkin, correct me if I'm wrong Leila juga bisa merasakan di dalam novel ini yaitu tentang adopsi—
Leila: Yeah, adopsi dan about the two fathers that, dari halaman pertama sudah disebutkan. Jadi ini bukan sebuah spoiler karena sudah disebutkan di sinopsisnya bahwa dia baru tahu mempunyai ayah, biological father. Dan selama ini ayah yang dia kenal sebagai ayah ternyata bukan ayahnya, jadi dia dalam keadaan shocked. Ini kemudian makin membuat hubungan Srikandi dengan ibunya dan anaknya makin kompleks. Sebenarnya ini memang bukan spoiler karena even di Amba juga sudah ada. Kita udah tahu bahwa dia adalah anak Bhisma.
Laksmi: Tema sentral di sini memang adalah adopsi. Saya sengaja dari dulu menciptakan Srikandi di dalam konteks Amba dan Bhisma ini, karena sebenarnya di mitologi tidak ada yang mengatakan bahwa Srikandi lahir dari Amba dan Bhisma. Tapi saya ingin bahwa Srikandi itu lahir dari hubungan cinta. Dan juga tidak pernah dikatakan di mitologi bahwa Amba dan Bhisma saling mencintai. Tapi bagi saya penting sekali bahwa seorang anak mempunyai awal itu. Satu. Kemudian apa yang terjadi ketika anak itu terpisahkan juga atau terenggut dari salah satu dari orang tua. Ini yang terjadi pada Srikandi. Srikandi tumbuh besar tidak mengetahui bahwa dia sebenarnya bukan anaknya Adalhart Eilers, seorang peneliti Amerika berdarah Jerman yang mengawini ibunya—karena kebetulan dia memang cinta dan untuk memberi kehormatan bagi Amba. Srikandi sangat mencintai bapaknya. Jadi di satu lapisan, ini adalah mengenai seorang anak yang sangat teramat mencintai bapak angkatnya. Tidak pernah tahu bahwa ini bukan bapak kandungnya. Kemudian diberitahu pada usia menjelang 40 tahun bahwa dia bukan anak dari bapak tersebut, bahwa dia punya bapak lain. Apa yang terjadi pada dia ketika itu? Yang saya ingin sebenarnya katakan adalah, yang terjadi di dalam diri seseorang ketika dia baru saja diberitahu bahwa dia bukan anak dari seorang bapak yang dia cintai sekali, tiba-tiba ada satu identitas lain yang tidak dia miliki. Jadi sesuatu yang bukan milik dia, sesuatu yang bukan dia ciptakan. Ini bukan hidup saya, begitu. Dan yang saya ingin katakan sebenarnya bahwa efek kebenaran itu, ketika itu sudah diungkapkan, itu berbeda-beda bagi anak yang diadopsi dan juga bagi orang tua yang mengadopsi. Jadi yang ingin saya katakan adalah bahwa efek terhadap Srikandi, mungkin, ketika dia baru tahu mengenai hal itu, dia mendapat jawaban atas mengapa ibunya selama ini di dalam perspektifnya dia, kok selama ini begitu dingin, ada jarak antara dia dan ibunya dan bapaknya juga. Dia baru dapat jawaban. Karena sebelumnya dia selalu mengira apa jangan-jangan itu karena dia, karena Srikandi sendiri. Apakah ibunya tidak menyukai dia atau kenapa ibunya selalu seperti ada jarak itu, dan juga tidak bisa mencintai secara sepenuhnya. Jadi yang membuat dia marah itu sebenarnya itu, bukan karena dia dibohongi selama ini. Banyak orang takut untuk memberitahu anak mereka bahwa mereka diadopsi, itu karena takut, wah kalau semakin panjang, semakin lama, nanti mereka akan merasa bahwa mereka dibohongi. Tapi sebenarnya mungkin bukan itu yang dirasakan, yang dirasakan adalah ada banyak bolong-bolong, gaps, dots, yang tidak bisa dikonek. Dan ketika dia mengerti itu, apalagi ini sedikit menyakitkan bahwa ternyata bapak dia itu tidak cukup dicintai itu betul, karena ibunya selama 41 tahun mencintai orang lain yang kebetulan bapak kandungnya dia. Tapi dia tidak kenal sama bapaknya. Jadi di mana loyalitasnya? Jadi ini soal loyalitas juga. Loyalitas terhadap orang tua yang mana? Yang memberi kehidupan bagi kita atau mereka yang membesarkan kita? Karena yang membesarkan juga itu sebuah laku cinta juga. Karena yang membesarkan juga perlu mencintai dengan tanpa pamrih juga, kalau dipikir-pikir. Kita harus memutuskan untuk mencintai seseorang yang bukan anak kita sendiri, bukan darah kita sendiri, dan kita akan memperlakukannya seperti anak kita sendiri. Jadi, itu tidak ada laku cinta yang lebih besar. Tapi pada saat yang bersamaan, bisa aja dong si Siri sebel sama Amba. Dan ketika bapaknya meninggal—orang yang dia selalu panggil bapak, satu-satunya bapak yang dia kenal—Adalhart Eilers meninggal, Siri sempat berpikir, "Ini ibu saya yang membunuh bapak saya."
Leila: Maksudnya membunuh dalam arti?
Laksmi: Karena tidak mencintai dengan memadai.
Leila: Which is true. Tidak mencintainya itu memang betul, tapi yah sakitnya—
Laksmi: Dan juga ketika dia kemudian mengetahui bahwa dia diadopsi, karena dia juga analitis banget si Siri ini. Terus kemudian merasa, "Oh, sekarang saya mengerti kenapa ibu saya kadang-kadang kalau melihat saya seperti dia melihat sesuatu yang, seperti melihat orang lain." Dan tentu saja ini masuk akal. Amba melihat Srikandi dan kadang-kadang yang dilihat Amba adalah Bhisma. Bagi mereka yang membaca Amba tahu bahwa, ingat bahwa ketika Amba dan Bhisma terpisahkan tahun '65, Amba tidak pernah yakin apakah sebenarnya Bhisma meninggalkan dia aja atau—
Leila: Atau nggak ketemu nggak disengaja—
Laksmi: Karena dia pada dasarnya memang suka ga pede, si Amba ini, jadi dia bertahun-tahun memberi dirinya dia kemungkinan atau menerima kemungkinan bahwa Bhisma—Jadi bayangkan dia punya anak dari Bhisma, jadi dia merasa jangan-jangan pada suatu saat dia juga akan pergi. Jadi ada hal-hal yang tidak selesai di situ. Bagi saya dinamika seperti itu menarik. Semakin tua juga orang itu makin lama makin pahit, semakin tidak bisa menutupi kesedihan atau ketakpuasan atau kekecewaan, dan kepahitan mengenai banyak hal dalam hidupnya. Semakin tua. Jadi Amba juga semakin pahit, kelihatan semakin getir, sementara si Srikandinya juga over-analytical aja jadi orang, dari dulu.
Leila: Saya sengaja nggak mau menyentuh bagaimana Dara ini came into the mix of this mother and daughter, biar pembaca aja yang melihat. Sebenarnya dari awal juga kita baru mengetahui bagaimana Amalia ini akhirnya malah memilih untuk, ya semacam rindung lah, di keluarganya Dara. Itu biar pembaca yang membaca kenapanya karena itu satu perjalanan yang menarik buat saya. Yang juga saya mau tanya adalah karakter Amba. Segalanya berpusat dari Amba, sebetulnya di awal. Di sini semakin lama, seperti yang tadi Laksmi bilang, semakin tua, jadi dia semakin unsympathetic—semakin bitter. Meskipun Srikandi itu digambarkan dia selfish, dia maunya lari ke sana ke mari, ke luar negeri meninggalkan semua orang dan sebagainya sehingga saya kadang-kadang, "Ini root for her gimana caranya ya?" Tapi Amba lebih lagi, digambarkan dingin sekali. Jauh lebih dingin daripada di novel Amba.
Laksmi: Meskipun di novel Amba kita tidak kenal Amba sebagai seorang ibu?
Leila: Tidak, tidak. Dan dia juga nggak pernah overly warmed juga. Tapi di sini semakin dingin. Ini karena development character yang semakin tua, ya?
Laksmi: Saya rasa begitu, dan memendam ketidaktahuan tentang nasibnya Bhisma selama begitu lama, 41 tahun. Semakin tua dan itu mungkin umum ya, bahwa semakin tua orang semakin rewel dan juga semakin banyak kecemasan mengenai banyak hal. Dan memang pada dasarnya Amba seperti itu dan itu juga mungkin semacam defense mechanism dari pihak dia, bahwa dia mendapatkan seorang anak yang dia juga merasa bahwa ini lebih anaknya Bhisma dibanding anak dia. Dia jadi perupa kemudian dia jadi begitu kosmopolitan. Mengingatkan dia juga kepada perbedaan antara environmental, antara Bhisma dan Amba, yang juga secara paradoxal membuat Amba tertarik sama Bhisma. Jadi ini semuanya sangat kontradiktif memang terhadap satu sama lain, tapi kita mengerti bahwa orang bisa tertarik sama orang lain karena banyak hal. Ada yang berlawanan dan bisa juga dengan menunjukkan persamaan mereka. Jadi sebegitu kompleksnya memang dinamika mereka. Betul yang Leila katakan bahwa ada hubungannya mungkin dengan faktor usia, dan juga Siri-nya juga semakin tua.
Leila: Tapi buat saya dia konsisten, karena mungkin ini satu buku novel tentang dia. Jadi semakin tua tapi tetap ada her core, itu konsisten buat saya. Meskipun dia kelihatannya selalu dituduh selfish dan sebagainya, tapi at the end we know dia sebenarnya orang yang care. A lot of time kita menganggap ini dia sebenarnya gimana sih sama tokoh Dara, tapi at the end kita lihat bahwa dia sebenarnya juga care sama Dara. Saya senang ini tokoh-tokoh perempuannya semua penggambarannya kuat.
Laksmi: Mereka semua dingin sama satu sama lain tetapi itu semua semacam defense mechanism yang pada akhirnya juga rada tragis.
Leila: Sebenarnya Amalia nggak dingin amat, ya. She's actually—she's nice. Dia sama yang lain-lain. Kecuali sama ibunya lagi marah gitu ya. Tapi Amalia ini tokoh menarik. Another novel kali, ya.
Laksmi: Meskipun degree dari kehilangan dia, dalam hidupnya dia, itu berlapis-lapis. Kehilangan ibu kandungnya, kemudian kehilangan bapaknya, kehilangan ibu tirinya juga—
Leila: That's another tragic story yang biar aja mereka cari tau sendiri. Itu makanya bagian itu nggak dieksplor terlalu banyak karena kita fokusnya ke Srikandi. Itu kali, one day, bisa di—Karena aku sebal banget sama tokoh yang namanya Arif ini. And you chose nama Arif, menarik itu.
*Jeda iklan*
Leila: Saya harus masuk karena kita udah mendekati 50 menit. Ada audience's questions-nya ini banyak sekali—yang masuk banyak bener. Jadi biasanya kita memilih dua tapi sekarang kita pilih tiga. Pertama dari Tia Agnes, ini kayaknya anak detikcom, yang tersulit dan berat dalam penulisan novel itu riset. Buat seorang Laksmi Pamuntjak bagaimana biasanya melakukan proses riset? Apakah sampai harus membaca pustaka yang banyak atau mendatangi lokasi yang ingin diceritakan?
Laksmi: Elemen itu ada semua. Dalam Fall Baby / Srikandi pun tidak berbeda karena setting dari novel ini banyak mengambil tempat di Berlin, saya lama di sana, dan semua tempat-tempat yang saya sebut—museum, galeri, neighborhoods—itu semuanya saya alami sendiri. Kemudian riset pustaka juga banyak, terutama mengenai seni rupa. Sudjojono juga karena itu dari dulu merupakan favorit saya dan saya ada ketertarikan pribadi terhadap ceritanya Sudjojono, bukan saja karya-karyanya yang luar biasa. Dan juga salah satu trigger-nya adalah sketsanya Sudjojono tidak begitu ingat saya kapan, mungkin tahun 70an, tetapi saya sempat ngobrol-ngobrol sama Amir Sidharta, sama sahabat saya juga itu, menanyakan origin-nya dari karya itu. Jadi di setiap level ada riset tentunya.
Leila: Yang kedua ada @maharani2999. Apakah alasan sastra terjemahan itu sedikit peminat pembacanya itu karena mengurangi esensi makna dari bahasa aslinya? Laksmi kan pernah menerjemahkan karya sendiri tapi juga pernah diterjemahkan oleh orang lain. Coba jawab.
Laksmi: Yang sudah pasti saya tidak lagi mau menerjemahkan karya saya sendiri ke bahasa lain. Pertama-tama karena kita sudah capek dan kita sudah memberikan segalanya dalam bahasa apapun itu yang kita pertama dari diri kita sendiri. Tetapi kita juga punya kebebasan, sebenarnya, untuk mengedit, mengurangi, menambah, dan segala macam, karena kita masih hidup dan kita sendiri yang menerjemahkan. Kita punya kekuatan, kekuasaan itu. Tetapi saya terus terang capek saja. Kita perlu istirahat berapa lama kalau baru selesai bikin novel itu karena kadang-kadang hidup kita dalam novel itu jauh lebih intens daripada kehidupan nyata kita. Dan secara emosional, secara fisik, semuanya. Kalau misalnya saya bisa menulisnya dalam bahasa satunya lagi, tidak mungkin akan sama cara penulisan saya. Jadi keputusan itu sudah dibuat dari permulaan, saya mau menulis ini dalam bahasa ini. Yaudah, that is what is going to be.
Leila: Tapi pertanyaan dia adalah, sastra terjemahan suka mengurangi esensinya, apakah karena itu peminatnya kurang? Kalau saya boleh jawab sebenarnya tergantung terjemahannya karena pada akhirnya kita nggak selalu membaca karya sastra dalam karya aslinya. Kita misalnya membaca Orhan Pamuk, nggak bisa saya dalam Turki karena saya nggak bisa bahasa Turki. Atau kalau misalnya membaca Haruki Murakami atau Kawabata harus bahasa Inggris atau Indonesia, in some of his books. Jadi apa boleh buat, we do not speak all languages in the world, kita harus ikhlas membaca beberapa karya di dalam bahasa terjemahan.
Laksmi: Dan juga kembali lagi kepada background penerbitan ini. Comissioning editor saya adalah penerbit Jerman saya yang menuntut memang bahwa dia harus paham apa yang saya tulis, dan itu hanya bisa dilakukan kalau saya menulisnya dalam bahasa Inggris. Meskipun terus terang memang impuls pertama dari karya ini yang datang ke saya memang bahasa Inggris. Jadi saya selalu mengikuti itu, saya selalu ingin menghargai impuls pertama. Dan itu yang saya lakukan. Jadi karena kebetulan saya beruntung bisa menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, kebetulan datang kepada saya kisah ini dalam bahasa Inggris, ya sudah saya ikuti saja konsekuensinya belakangan.
Leila: Ini yang bahasa Indonesia Desember ini, ya? Karena ini pasti—
Laksmi: Mudah-mudahan, doain ya Lei, ya. Tapi alot memang, penerjemahannya alot sekali.
Leila: Jadi harus mengalami satu proses lagi—
Laksmi: Saya ikut-ikutan memang, jadi itu tidak membuatnya lebih mudah. Mungkin.
Leila: Jadi ikut terlibat, ya. Oke, yang terakhir dari @nindisaputri. Jika melihat sastra Indonesia 5 tahun ke belakang, 5 tahun terakhir, bagaimana peluang sastra kita di kesusastraan dunia?
Laksmi: Dalam 5 tahun terakhir ini kita sudah melihat ada kemajuan. Bukan saja dalam upaya pemerintah Indonesia, misalnya, untuk memberi dukungan kepada kita dengan menciptakan begitu banyak platform dan lain-lain sebagainya. Dan juga menghargai dalam banyak level, apa yang telah kita capai selama ini sebagai penulis. Tetapi saya rasa ada kemajuan meskipun tentunya kita inginnya lebih oke lagi, lebih banyak penulis-penulis Indonesia yang dikenal, yang diterjemahkan dengan baik. Kita ingin ini dalam skala yang lebih besar tentunya. Meskipun saya cukup optimistis bahwa trend ke depannya akan begitu.
Leila: Mudah-mudahan. Karena begini, tantangan yang terbesar sebetulnya adalah penerjemahan—
Laksmi: Betul. It's always that.
Leila: Jumlah penerjemah dan jumlah karyanya itu berbandingnya itu luar biasa. Karya baik tetapi penerjemah yang mampu menerjemahkan karya sastra itu sedikit. Kalau menerjemahkan bahasa Indonesia ke bahasa asing, banyak mungkin. Tapi beda gitu menerjemahkan karya sastra.
Laksmi: Oh, beda. Saya juga sudah mengalami karya saya diterjemahkan dari bahasa Indonesia ke bahasa lain atau dari bahasa Inggris ke bahasa Iain. Sudah pasti ada perbedaan dalam kualitas dan dalam hasilnya.
Leila: Itu satu. Dan kedua juga infrastruktur sastra di Indonesia masih harus ditambah, dilengakpi, ada yang namanya agent—literary agent—itu masih sedikit di Indonesia, masih ada satu-dua. Sementara literary agent itu lah yang bertugas mengetuk pintu penerbit. Saya kira Laksmi benar bahwa ini memang poisitif tetapi memang kurang banyak. Harus lebih banyak lagi. Dan mudah-mudahan bukan hanya pemerintah saja tapi semua stakholder yang berkepentingan—
Laksmi: Komunitas-komunitas sastra penting dalam hal ini untuk saling mendukung, saling menyebarluaskan, saling mereview satu sama lain, supaya kesadaran kolektif itu terbentuk dan kita tahu apa aja yang ada, yang sudah diterbitkan. Karena tentu saja ini bukan hanya upaya pemerintah saja, tapi tanpa itu juga mungkin lebih sulit.
Leila: Lebih susah aja karena pemerintah itu, government to government kadang-kadang memberi platform yang seperti tadi Laksmi bilang. Sebelum Laksmi melakukan reading, pertanyaan terakhir yang biasa saya tanya kepada semua tamu saya—ini kita sama-sama tamu di Ubud sebenarnya—buku apa yang paling berkesan dalam hidup seorang Laksmi Pamuntjak? It doesn't have to be one, it can be two, and it doesn't have to be sastra Indonesia, it could be any literature. Tapi jangan sepuluh ya. Nggak habis-habis nanti.
Laksmi: Ada beberapa. Buku pertama yang saya baca, yang benar-benar meninggalkan jejak yang lama sekali, adalah Jane Eyre karya Charlotte Bronte abad ke-19. Itu kisah tentang seorang pengasuh anak sebatang kara yang bekerja untuk seorang bangsawan. Mereka lalu jatuh cinta. Dari dulu entah kenapa saya tertarik sekali dengan cerita-cerita tentang perempuan-perempuan yang kuat dan tabah dan juga berjiwa independen, terutama dalam menghadapi ketidaksetaraan, kelas, ketidakadilan, dan cinta yang sulit. Si Jane Eyre juga seorang pembaca, jadi saya banyak belajar dari caranya melihat dan menilai kehidupan melalui bacaannya. Dan juga proses Charlotte Bronte itu sangat kaya, sangat indah, bahkan cemerlang. Kapan pun saya membaca ulang karya ini, dalam usia berapa pun, hal itu selalu tetap menggugah saya, selalu ada aja bagian buku yang membuat saya bilang, "Aduh, bagusnya deskripsi ini-itu. Aduh, luar biasa banget dia menguraikan sesuatu." Jadi saya selalu merasa terdidik ulang tentang empati dan tentang pengorbanan setiap kali saya baca buku ini. Terus buku kedua yang sangat membekas adalah Portrait of a Lady-nya Henry James. Itu tokoh utamanya Isabel Archer. Sebagaimana banyak tokoh-tokoh perempuan dalam novelnya Henry James, dia pintar, dia terdidik, berwawasan luas, cantik juga, tapi sering diperlakukan sebagai objek, hanya objek yang sekadar untuk dikagumi, didambakan oleh laki-laki. Yang menarik tentang si Isabel Archer ini dia sadar akan kekurangan diri dia, tapi dia punya integritas moral dan dia tahu apa yang benar dan salah, dia berani mengambil keputusan yang dia yakini adalah benar, demi kebaikan semua orang. Meskipun kadang-kadang dia sendiri harus berkoban untuk itu. Kemudian ada lagi dua orang, dua tokoh penting yang membentuk cara pandang saya tentang dunia, dan saya nggak bicara cuma satu tapi pelbagai cara pandang, terutama tentang cara pandang tentang seni rupa, dan itu adalah Susan Sontag dan John Berger. Susan Sontag, bagi mereka yang mungkin belum kenal, adalah seorang penulis intelektual publik dan filmmaker dari Amerika. Saya sangat suka dengan himpunan-himpunan esainya, seperti Against Interpretation, On Photography, Regarding the Pain of Others—
Leila: Betul. Pokoknya kalau Susan Sontag, pahlawan lah.
Laksmi: Pokoknya dari apapun yang dia tulis, media, budaya, film, fotografi, human rights, sampai komunis, pokoknya prosanya selalu cemerlang dan erudisinya luar biasa. Kalau John Berger, dia seorang pemikir budaya dan penulis Inggris, dan karya yang paling tersohor, Ways of Seeing atau berbagai cara pandang atau cara-cara memandang dunia, itu saya baca dalam sebuah mata kuliah pemula di universitas, dan itu betul-betul membentuk cara saya berpikir tentang dunia dan juga tentang seni rupa. Pokoknya setelah membaca itu saya mengerti, semua upaya untuk memaksakan cara pandang tunggal tentang apapun, apakah tentang Islam yang tunggal, tentang idealisme, ideologi yang tunggal, atau gaya atau estetika tunggal, itu nggak mungkin aja—
Leila: Nggak mungkin satu. Tapi saya ingat—sedikit saya interject karena ngomongin Ways of Seeing—your novel itu ada bagian Ways of Seeing, tadinya saya pikir referensi ke dia, ke Berger. Karena ada penekanan kepada Ways of Seeing, bahkan dikutip. Tetapi penulis lain ya sebetulnya?
Laksmi: Bukan, memang John Berger. Sangat betul. Kemudian satu lagi, ada Toni Morrison. Penulis besar dan tentu saja kita sedih sekali ya waktu dia meninggal beberapa bulan yang lalu, dia itu contoh penulis yang bisa memadukan presisi dan keindahan puisi dan tema-tema besar kemanusiaan, seperti perbudakan, ketidakadilan, penjajahan, keterbelunggan manusia. Jadi dia itu ibarat seseorang yang bisa menulis kecil dan besar. Terus ada kalimat dalam novel pertamanya yang saya baca, Beloved—tahun 93an kalau nggak salah—saya ingat banget saya bacanya pas di universitas pas baru mau lulus. Terus itu saya pake kebetulan untuk judul pidato kunci saya minggu lalu, "Freeing one's self is one thing. Claiming ownership of one's freed self is another."—"Membebaskan diri kita adalah satu hal. Mengklaim diri kita yang telah terbebaskan itu adalah lain hal." Dia, Toni Morrison, Nadine Gordimer juga saya suka sekali novelnya, July's People terutama, Renata Adler dengan karyanya yang sebagian memoar, sebagian narasi jurnalisme, sebagian meditasi filosofis, sebagian main-main, itu Speedboat juga berkesan sekali. Dan terakhir, Christa Wolf, penulis Jerman, dengan karya awalnya, The Quest for Christa T. Itu novel identitas dengan elemen autobiografi luar biasa juga.
Leila: Oke. Thank you. Banyak banget itu—
Laksmi: I know. Pertanyaannya cuma satu—
Leila: Dan ini belum masuk ke kontemporer. Ini masih abad ke-19—Pendengar kira-kira sudah mengetahui more or less your books, bukan book. What's your next project?
Laksmi: Saya sekarang sedang menggarap himpunan cerita pendek mengenai perempuan-perempuan dalam pelbagai macam hubungan. In many relationships. Jadi bisa dalam hubungan yang, bisa mengenai poligami, bisa mengenai perempuan dengan pasangan banyak, bisa mengenai incest, bisa mengenai, macam-macam.
Leila: That's really really interesting—
Laksmi: Dan juga bisa, sebuah hubungan yang keliatannya oke-oke saja—
Leila: Nggak taunya di dalamnya—
Laksmi: Bobrok atau apa, atau aneh atau janggal—
Leila: I cannot wait. Ini mau dalam bahasa Inggris atau Indonesia?
Laksmi: Indonesia.
Leila: Sekarang terakhir, tolong dong bacain dari Fall Baby dua alinea.
Laksmi: Saya akan baca dua paragraf pendek yang dimaksudkan sebagai kontras antara kehidupan di Berlin, yang satu lagi di Jakarta.
"I'm a ----- and there's something to some days that reminds me of my rural hometown in Central Java, of easy days at the market. And leisurely ----- in our backyard. Of long hours on the football field and nights sweeten by the scent of ----- The hours of Malice, my city ----- friends speak of, are alien to me. But too late. There's a new case and they need me back in my office in Jakarta, early on Monday morning. And the moment was mocked, for there I am, twenty hours early on the night train from Solo. About ----- into Gambir Station at the crack of town. It could have stayed on in Magelang until Sunday night at my brother, Rangga's. ----- my ancestor weekend in the countryside, for all it's worth. But the idea of going straight from the train station into work the next days, even more depressing than spending my Sunday in the solemn urban induce comma. One day's advance trip, that's all you need to lessen the pain. And it pays. At least over the blurred of traffic industrial ----- of the last fetch. There have been intimation of the sunrise, not and like the one I grew up with, it glimmer of concentrated copper before a soft languorous' capturing. Even the city when ----- entered is the kind of ----- dystopia ----- of the new economist ----- I might not greet the world in color the way artists do, or certain artists say they do. But I know enough of it to love these guys. They are our handmaids in our unicorns. They carried the city's struggle ----- good year, they are my days best hope, not all best lost."
Ini mengenai Berlin:
"Berlin is willful and wily, and ally one day and ----- the next, poised, poison, and cure. You get out, you walk on tumble down streets and density of stone. You bury yourself to the openness, the wide, shabby, unvarnished boulevards. You will yourself to be part of his unspoken pride ----- of the world beyond history. There is something about Berlin that is meant to be and that's why I stay. And Berlin is a season passion host -----without even trying, gain your trust like a denying doctor. ----- in front of you like an ----- father. It always has your back and takes hold if you like ----- seas, slow building truck. So, you start talking to yourself a lot, you absorb and absorb. ----- impulses are gone, like a helpless writer you write in long hand. You sit back and drink it all in until one day you wake up and realize you have been in the city for three months and have no new work to show for."
Leila: Thank you so much—
Laksmi: Thank you, Lei.
Leila: Jadi nanti kita tunggu karya berikutnya supaya bisa datang lagi dan ngobrol lagi. Thank you, Laksmi.
Laksmi: Terima kasih.
Leila: Terima kasih yang sudah mendengarkan. Sampai jumpa kembali Rabu mendatang. Bye bye.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top