[Cerpen] Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya (2019)

Sebelum kita berdiskusi, sebaiknya kalian langsung membaca cerpennya di link berikut: https://suarausu.co/ketika-semua-menolak-kehadiran-diriku-didekatnya/

Kalau susah buka link-nya, bisa dibaca dari screenshot ini:

Cukup singkat dan ringkas. Dibuat oleh Yael Stefani Sinaga, mahasiswi USU (Universitas Sumatera Utara), yang tidak lain adalah pemimpin redaksi dari Suara USU--pers mahasiswa USU.

** * **

Cerpen ini terdiri dari tiga bagian inti. Pertama, di mana pembaca bisa melihat bagaimana sang tokoh utama dihujat, dihina, di tengah kerumunan manusia. Sebagai konsekuensi dari perasaannya yang tidak wajar. Kedua, bagaimana tokoh utama menceritakan latar belakang dan perjalanan hidup keluarganya, dengan bapak sebagai pemilik perusahaan kayu jati dan ibu yang merupakan wartawan HAM idealis. Pembaca bisa menyimpulkan bagaimana hal itu akan membentuk tindak-tanduk sang tokoh utama nantinya, ketika ia menjadi mahasiswa. Ketiga, tokoh utama mulai menjelaskan proses perasaannya terhadap teman perempuannya. Ia mengagumi cara berpikir dan keberanian temannya itu yang mengingatkannya akan sosok sang ibu. Hingga rasa kagumnya merekah menjadi semakin membuncah dan membuatnya jadi berani untuk perlahan-lahan jujur mengakui. Akhirnya ia pun dengan frontal mengungkapkan segala keresahannya di hari pertunangan temannya itu.

Selanjutnya adalah gumpalan kekecewaan.

** * **

Menurut saya, cerpen itu sendiri tidak begitu menggambarkan dan mendalami sisi 'anxiety' atau 'gejolak batin' seorang LGBT, khususnya lesbian, untuk disebut sebagai promosi LGBT apalagi pornografi segala (Seriously, I don't see any porn in there). Ya mungkin juga karena itu adalah cerpen (cerita pendek).

Tapi bukan itu poin yang ingin saya sampaikan.

Faktanya, cerpen itu cukup kontroversial sampai-sampai menimbulkan banyak pro dan kontra di kalangan masyarakat negara +62 ini. Bahkan saking kontroversialnya, rektor USU sampai tega memecat seluruh pengurus pers Suara USU oleh karena mereka tidak bersedia menyingkirkan cerpen itu dari situs mereka.

Mahasiswa USU pun pada akhirnya ikut terpecah belah menjadi dua kubu. Ada yang pro Suara USU dan merasa sikap rektor tersebut adalah sebuah bentuk penindasan dan pengekangan pers, dan banyak pula yang pro Rektor USU dan menganggap paham LGBT dan pornografi harus dilenyapkan--termasuk orang-orang yang pro terhadapnya.

Berita / laporannya bisa dibaca di tirto.id dengan judul-judul berikut:
1) Kasus 'Cerpen LGBT' Suara USU: Diberedel Rektor, Didukung Alumni
2) Pers Mahasiswa Dibungkam, dari Kasus Cerpen hingga Menulis '65
3) Memberangus 'Cerpen LGBT', Rektor USU Runtung Sitepu "Homofobik"
4) USU: Perguruan Tinggi yang Fobia LGBT
Cukup komprehensif dan berimbang dibandingkan portal berita lain.

** * **

Jujur, membaca beritanya saja saya sedih dan ingin menangis. Segitu homofobiknya kah negara kita hingga tulisan-tulisan yang mengandung unsur LGBT--yang minim sekalipun--bisa menyebabkan masyarakat--bahkan mahasiswa!--tidak bisa membedakan mana 'kejahatan' dan mana 'perjuangan atas kebebasan berpendapat' itu?

Mengapa seakan-akan LGBT selama ini hanya dilihat dari sisi perilaku yang bejat (kriminil) dan bukan dari sisi manusia yang bisa berpikir dan merasa?

Aneh dan cupet saya rasa ketika orang-orang di sekitar saya pun--yang saya kira intelektuil dan berpikiran terbuka--masih selalu memandang LGBT dari sudut negatifnya saja. Menganggap mereka yang homo, lesbi, dan transgender, hanyalah orang-orang yang maniak seks dan suka memperkosa / membunuh (apabila cintanya tidak kesampaian).

Apakah bisa digeneralisir seperti itu? Lalu bagaimana dengan manusia-manusia pembunuh dan pemerkosa lainnya yang katanya 'normal' itu? Pernah tidak terlintas di pikiranmu sedikitpun hal-hal sesederhana itu?

Sudah capek saya katakan kalau orientasi seksual itu berbeda dengan perilaku seksual. Karena bahkan hukum di Indonesia sekalipun, tidak menghukum seseorang karena orientasi seksualnya yang berbeda (suka sejenis dipenjara? gile lu tong!). Tetapi perilaku seksual yang menyimpang lah yang dapat dipidana. Tidak peduli kau melakukan itu terhadap lawan jenismu atau sesama jenismu, kejahatan tetaplah kejahatan. Dan itu tidaklah memandang apa jenis kelaminmu, kawan.

Tapi saya pun disadarkan. Bahwa kebencian yang muncul dari itu semua bukanlah sekadar rasa benci terhadap LGBT, melainkan akibat dari ketidaktahuan. Semakin parah ketika sudah banyak pengetahuan yang bisa diambil dari buku, film, penelitian, atau internet, tapi kau tetap memilih untuk tidak mau tahu.

Maka tepatlah jika saya mengamini apa yang pernah dinyatakan oleh Elie Wiesel, seorang Yahudi yang nyaris jadi korban holocaust Nazi,

"The opposite of love is not hate, it's indifference." Bahwa lawan dari cinta bukanlah kebencian, tapi ketidakpedulian / pengabaian.

Jadi apa yang harus kita lakukan, kawan?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top