The Twentieth Station - "Night"
Sejak kemarin, aku tidak bisa berhenti berpikir.
Aku terus saja teringat dengan sosok pemuda yang kulihat di ruang terapi kemarin. Pemuda yang kuyakini adalah Aetherd. Mereka punya wajah dan bola mata yang sama, dan bahkan nama yang sama.
Aku tidak mungkin salah mengenali orang, terlebih lagi orang itu hampir muncul terus menerus selama ini dan waktu-waktu tertentu.
Kemarin, setelah kejadian di ruang terapi itu, Papa dan Mama tidak lagi berkata apa-apa. Mereka terbungkam, wajah mereka lebih pucat pasi dibandingkanku. Itu membuatku merasa lega karena sempat mengungkapkan apa yang ada di pikiranku sebelum kami bertemu seperti ini. Mungkin dengan begini, mereka akan mempercayaiku.
Kukira saat terapi tadi, aku akan kembali bertemu dengannya, sebab aku datang sesuai dengan jadwal kemarin. Tapi sepertinya dugaanku salah, sebab aku sama sekali tak melihatnya lagi.
Aku tahu kali ini aku tidak lagi bisa dikatakan berkhayal. Mama dan Papa juga melihatnya. Dokter juga melihatnya. Dan aku juga melihatnya.
Tadi aku keliling rumah sakit sendirian, begitu Papa dan Mama kembali ke kantor. Tapi aku sama sekali tidak bisa mencari keberadaan Aetherd, sebab saat ini aku masih menggunakan kursi roda dan aku hanya bisa mengelilingi lantai dasar.
Tadi aku hampir nekat menaiki lift. Tapi aku tidak diperbolehkan naik oleh seorang suster yang menemaniku.
Katanya lantai atas hanya untuk orang-orang tertentu saja.
Dan aku tidak bisa membantah. Dengan berat hati, aku mengikuti saran suster untuk beristirahat agar terapiku bisa dilanjutkan lagi besok.
"Gracia!" pekikku saat melihat Gracia datang membawa snack, permen dan makanan kecil. "Sini, sini. Aku mau cerita."
Gracia terkekeh. "Apaan sih, kok seneng banget kayaknya?"
Aku membalasnya dengan kekehan singkat, "Cia, kamu ingat nggak tentang laki-laki yang kuceritakan di kereta api itu?"
"Tentu saja, kamu baru menceritakannya lusa kemarin. Tidak mungkin aku lupa," ujarnya. "Kenapa memangnya?" tanyanya sambil meminum jus jeruk yang dibawanya.
"Aku bertemu dengannya kemarin!"
Gracia nampak tersedak, lalu matanya melotot kaget. "Serius?"
"Dua rius, Cia! Wajahnya, warna bola matanya dan bahkan namanya sama persis, Cia!"
Gracia menerjapkan matanya. "Kereta-nya muncul lagi? Terus, dimana kemarin kamu bertemu dengannya? Setahuku kamu di rumah sakit terus deh." Gracia melirik jendela dengan sedikit curiga.
"Di ruang terapi. Dia baru bangun dari komanya selama dua setengah tahun, seminggu yang lalu," balasku dengan semangat. "Pertama kalinya aku melihatnya saat malam tahun baru, semester dua kelas satu! Waktunya juga pas banget, Cia."
"Nah, ini dia jalan-jalan yang kumaksud saat koma itu!" Gracia menjentikkan tangannya dengan semangat. "Dia pasti masih disini, kamarnya dimana, kira-kira?"
Aku mengendikkan bahuku. "Entahlah."
"Siapa nama lelaki itu?" tanya Gracia nampak ingin tahu. "Aku akan mencarinya sampai ketemu meskipun harus keliling rumah sakit ini!"
"Ae-Therd." Kuakui sampai sekarangpun, aku masih tidak bisa melafalkan namanya dengan baik.
"Ei-therd?"
"A-E, Cia. A-E."
Gracia mengangguk, lalu menuliskan namanya di atas kertas, dan menunjukannya kepadaku. "Gini kan, Ra?"
Aetherd.
Aku mengangguk, sedangan Gracia meratapi nama itu dengan sangat serius. Entahlah apa yang sedang dipikirkannya itu.
"Ra, boleh pinjam laptopmu tidak?"
Aku mengernyit bingung, namun kuiyakan juga. Gracia berjalan ke nakas kiriku dan meraih laptopku. Entah apa saja yang dilakukannya sampai-sampai dia bisa menyambungkan koneksi wi-fi rumah sakit ke laptopku.
"Oh! Pantas saja aku ngerasa familiar sama namanya." Gracia memperlihatkan padaku monitor laptop. "Aetherd itu anak dari keluarga Eugilans. Keluarganya berjaya banget, detail perusahaannya sih aku lupa, tapi yang kutahu, kecelakaan yang menimpa Aetherd sempat membuat heboh."
"Kecelakaan?"
"Uhm, oh. Kamu tahu kan jalur kereta api yang dekat rumahmu?"
Aku berpikir sejenak. "Aku ingat. Tapi jalur itu ditutup, dan pengangkatan relnya sudah dilakukan karena sudah lama tidak ada kereta api yang lewat," balasku. "Kenapa?"
"Aeth...pft, namanya susah banget. Aeth-erd kecelakaan di jalur yang sama." Gracia menerangkan sambil menatap kembali monitor laptop. "Tragedi itu terjadi tanggal 31 desember ..., ah, benar Ra, malam tahun baru itu." Gracia menambahkan. "Jadi saat itu dia dan keluarganya nyewa seluruh gerbong gitu buat acara tahun baru, tapi kereta api itu malah dibajak... terus entah gimana ceritanya, dia terjatuh dari kereta api, deh."
Aku menatap Gracia yang tiba-tiba nampak horor menatapku.
"Ra, asli, ini ngeri banget." Gracia meremas selimutku. "Pantas saja dia bergentayangan bersama kereta api!" tekiknya.
"Cia!" tegurku, "Bukan bergentayangan."
"Maaf, maaf," ucap Gracia menyesal. "Tapi tetap saja, itu ngeri, Ra! Tapi aku heran..., mengapa katamu kamu bisa sampai naik di kereta api-nya?"
Aku menatap Gracia melotot. "Kamu nggak percaya sama aku?"
"A-aku percaya kok, Ra..." Gracia menghindari kontak mata dariku. "Aku pernah melihat kunci itu di lehermu."
"Lalu sekarang..."
Gracia bangkit dari duduknya setelah mematikan laptopku. "Kamu tidur saja di sini, biar aku yang nyari dimana kamarnya, oke?"
Dan aku tidak sempat mencegahnya atau berkata apa-apa saat kulihat Gracia sudah keluar dan meninggalkan kamarku. Entahlah, aku hanya merasa bahwa justru Gracia-lah yang lebih antusias dibandingkanku.
*
Gracia mendorong kursi roda yang kutumpangi keluar kamarku. Kalau saja dia tak memintanya dengan memelas tadi kepada Papa, mungkin saja sekarang aku masih berada di atas ranjang dan tiduran bosan sambil menebak-nebak apa yang membuat Gracia memekik senang di telepon tadi.
"Cia, kita mau kemana?" tanyaku saat melihat kami baru saja melewati taman rumah sakit. Gracia hanya memasang senyuman tipis, sebelum akhirnya berbelok ke kiri.
"Taman," balasnya singkat, dengan senyuman misterius di bibirnya.
Yang bisa kulakukan hanyalah menghela nafas sambil sesekali memperhatikan koridor yang kami lewati. Oh, juga berbalik melihat keberadaan Gracia, tentunya. Sebab horrornya suasana rumah sakit pada malam hari ini membuatku teringat pada film horror yang pernah kutonton dulu. Tentu saja aku tidak mau Gracia berubah menjadi apapun itu yang meloncat-loncat sambil mendorong kursi rodaku.
"Ngapain ke taman malam-malam?" tanyaku memecah keheningan. Aku tidak pernah tahu bahwa berada di dalam situasi seperti ini bersama Gracia, membuatku sedikit ngeri juga.
Kulirik jam digital yang tak sengaja terlihat saat kami melewati salah satu koridor yang sedikit gelap. Jam telah menunjukan pukul 20.54, sudah empat menit perjalanan berlalu-aku tak sengaja melihat jam sebelum di bawa Gracia tadi.
Beberapa orang masih lalu lalang ditemani suster yang membantu mendorong tiang infus. Tiang infusku sendiri di dorong oleh Gracia tanpa beban.
"Oh ya, kamu belum pernah cerita apapun soal laki-laki UFO-mu itu."
Gracia terdengar berdehem pendek. "Aku sudah menceritakannya, Ra."
Aku menaikan alisku. "Kamu hanya bercerita bahwa kalian tetanggaan sejak dulu, dan kamu suka dia."
"Ih, kok Tyara kepo, nih?" goda Gracia sambil menoel-noel pipiku. "Udah deh, entar Gracia ceritain, oke? Sekarang kamu nikmatin saja udara segar yang ada di taman. Oke?"
Meskipun omongan Gracia selalu dapat dipercaya, entah mengapa ada satu hal yang membuatku hanya mampu menaikkan sebelah alisku-kurang yakin. Gracia seperti baru saja merencanakan sebuah naskah untuk cerita baru di dalam kepalanya.
"Aduh, Ra." Omongannya itu membuatku memiringkan setengah kepalaku guna melihat keadaannya. Gracia sedang meraba-raba saku di jaketnya yang kini diikatnya di pinggang, dan wajah paniknya secara sadar tak sadar membuatku ikut panik. "Tadi kamu liat handphone-ku?"
Aku mencoba memutar kejadian sebelum Gracia membantuku naik di kursi roda, hingga aku teringat dimana benda yang direferensikan Gracia berada. "Oh, tadi kamu taro di atas meja dekat televisi. Kukira kamu mau charge dulu sebelum pulang..."
"Ya udah, aku ambil dulu, ya, Ra." ucapannya itu membuatku melotot. "Oke, aku akan mengantarkanmu di taman dulu, tentu saja. Tenang saja, tamannya ramai, kok."
Itu lebih membuatku tenang daripada ditinggalkan disini, pikirku sambil meratapi koridor gelap dan penuh dengan keanehan itu.
Gracia tidak berbohong saat mengatakan bahwa taman rumah sakit ini selalu ramai kapan saja, bahkan di jam seperti ini. Masih ada beberapa pasien yang juga menikmati angin malam, menikmati bintang dan bulan. Gracia mengenalku, mungkin dia tahu aku bisa mati sesak di dalam kamar itu sepanjang hari.
"Mutiaraku sayang, kamu di sini sebentar yaa...aku jemput Gralien (nama Hpnya) dulu."
Aku menghela nafas, "Jangan lama-lama, lho, Cia."
"Iya, nggak lama-lama kok!" ujar Gracia sambil mengerucutkan bibirnya. "Oke, kamu di sana aja ya, Ra. Aku serius. Kamu nunggu di sana aja."
"Oke."
Obrolan para pasien bersama para pendamping yang menemani mereka, sejujurnya membuatku merasa aneh. Bukan, aku pasti bukan merasa ngenes seperti yang dibicarakan Gracia, sebab aku sama sekali tidak merasa keberatan akan itu.
Aku hanya merasa..., aneh.
Ada sesuatu yang aneh mengganjal di pikiranku. Seratus persen bukan perasaan kesepian, cemburu ataupun amarah.
Malahan, itu membuatku sangat bingung.
Ada sesuatu yang membuatku terus meratapi langit. Meski tahu Aetherd tidak lagi berada dalam kereta, meski tahu bahwa langit tak sedang melepaskan bintang, meski tahu bahwa bulan sedang tak ingin menampakan diri.
Secara reflek pula, setelah memandangi langit lumayan lama, kepalaku secara otomatis menoleh ke satu arah yang membuatku penasaran.
Dan rasa penasaran itu berubah menjadi kepanikan yang luar biasa hebat.
Pemuda itu berada di seberangku, tak lupa mata birunya yang sedalam samudera itu menatapku dengan tatapan mengintimidasi, seolah hendak menenggelamkanku.
Ini masih sama seperti dulu.
Kupikir aku akan meminta suster untuk membantuku menuju kesana, sebab tiang infus ini benar-benar menggangguku. Tapi tanpa di duga, dialah yang duluan meminta pemuda berjas hitam kemarin untuk mendorong kursi rodanya menjauh dari taman.
"Ae-Aetherd!"
Pemuda berjas berhenti mendorong, dan Aetherd menolehkan kepalanya ke arahku-kembali menatapku dengan mata birunya.
Aku tiba-tiba saja lupa cara untuk bernafas.
Entah darimana datangnya keberanian untuk mempermalukan diriku sendiri barusan, sebab bukan hanya Aetherd dan pemuda berjas itu yang menoleh ke arahku.
Semua orang di taman itu sudah mengalihkan pandangannya kepadaku. Entahlah, aku hanya berharap mereka tak mendengar suaraku yang terdengar aneh karena aku tak sengaja menggigit lidahku sendiri.
Pemuda berjas tampak bercakap sebentar dengan Aetherd, dan kulihat Aetherd menatapku sejenak sebelum akhirnya memilih menggelengkan kepalanya.
Jujur, aku kecewa sekali.
Dan baru saja berusaha memutar roda dengan salah satu tanganku, mencoba mendekat ke arahnya, suara seruan dari Gracia membuat semuanya terhenti begitu saja.
"TYARAAA!"
Aku baru saja berpikir untuk memarahinya karena dia baru saja mengacaukan rencanaku. Tapi melihatnya yang berlari tergesa dengan ekspresi yang sulit kubaca, aku terdiam dengan keseriusannya itu.
Pasti ada sesuatu yang baru saja terjadi....
"...Ayah dan Ibumu menyuruhku membawamu kembali ke kamar."
"Kenapa?"
Gracia menarik nafasnya sebelum memutuskan untuk menjawab, "Tante-mu baru saja meninggal..."
***TBC***
1 November 2016, Selasa.
Cindyana's Note
Hanya tersisa beberapa chapter lagi sebelum END, terima kasih.
Cindyana
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top