The Third Station - "Unheard Voice"
Gracia masih berpegang teguh untuk mendalami bukunya dan memegang bolpen berhiaskan Hello Kitty itu. Keningnya mengerut, tatapannya sesekali berubah cepat dan tanpa disadarinya, digigitnya hiasan di bolpennya, yang membuat kepala Hello Kitty itu menjadi korbannya.
Bukan, Gracia bukan sedang belajar atau sedang menyusun rencana untuk laporan yang akan dikumpulkan minggu depan. Dia sedang membuat kerangka karangan untuk cerita karangannya yang dibuat sendiri dan dipubliskan di sosial media-nya.
"Ra." Dia mencolek bahuku dengan bolpennya itu, membuatku refleks meringis jijik dan menjauhkan tubuhku dari bolpen itu. "Menurutmu, karakter seorang pemeran utama-nya lebih bagus bagaimana?"
"Yah, tergantung genre cerita yang kamu lagi buat," jawabku sambil melirik buku karya yang dituliskannya hampir sejam. Tak kusangka dia hanya menulis dua kata disana.
Kind / Rude.
"Katanya mau buat kerangka karangan?"
Gracia lagi-lagi dengan kurang ajarnya memukul punggung tanganku dengan bolpennya, membuatku hampir merebut bolpen itu dan melemparkannya jauh-jauh dariku.
"Kan setiap orang beda-beda, Ra." Gracia meringis. "Memang, kebanyakan orang itu bikin kerangka karangannya dulu, baru nentuin karakter tokoh utamanya. Tapi aku ngerasa kayak ..., aku bakalan fail kalau aku nggak mendalami tokohnya sejak awal. Jadi mending aku susun aja dulu nama tokohnya sama sifatnya."
Aku kurang mengerti apa yang disampaikan Gracia, sebenarnya. Tapi daripada dia terus memaksaku mendengar ceritanya nanti?
"Oke, terserahmu." Aku berpikir-pikir sejenak. "Kamu penulis cerita roman, kan? Maaf. Kamu salah orang kalau nanya tentang itu."
Baru saja hendak meninggalkan kantin dan meninggalkan Gracia, dia buru-buru menarik ujung seragamku dan menatapku penuh harap.
"Kali ini aku nulis fantasy. Please, help."
Aku berdengus, lalu memutuskan duduk kembali di bangku panjang itu. Kurasa keputusanku begitu bodoh sampai aku menyesalinya.
"Kamu tahu kan, Gracia? Aku ini paling nggak bisa berimajinasi di fantasi. Ngebaca cerita fantasi, halaman ketiga saja aku nyaris mati bosan."
Gracia menjawabku dengan datar. "Itu karena kamu kurang mendalami cerita. Coba saja kamu dalamin cerita itu dan beranggapan kalau pemeran utamanya adalah kamu, atau munculin bayangan tulisan yang kamu baca. Ugh, kamu bakal ketagihan!"
Aku memutar bola mataku jengkel. "Apa semua penulis dan pembaca bertipe sama sepertimu?"
"Kurang-lebih." Gracia memamerkan giginya. "Ugh, Come on, Ra. Kasih aku satu topik dan aku bakal nyoba buat kembangin topik itu sampai mekar, deh. Just help me, please. Otakku nggak sanggup mikir jauh."
"Kalau nggak nyampe, yah jangan bikin," balasku kesal.
Gracia mengerucutkan bibirnya. "Kamu ini. Sesekali kamu harus mikir kalau kejadian fantasi dan hebat itu benar-benar ada."
Aku memikirkan ucapannya sampai aku teringat pada keberadaan kereta api itu. Namun segera kutepiskan dengan cepat.
"Realistis, Cia."
Gracia berdiri dari bangku, menatapku kesal dan menghentakan kakinya sebelum meninggalkanku sendiri di kursi panjang itu.
"Makan tuh elastis."
Dia pergi, meninggalkanku dengan mulut menganga dan pikiran kosong yang kebingungan.
"Kok bisa yah, tuh anak jadi penulis? Elastis sama realistis aja dia gagal paham."
Ngomong-ngomong, aku memang tipe orang yang realistis. Aku sudah menerima kepergian Kakek-Nenekku ataupun sudah siap haus akan kasih sayang dari orangtuaku.
Yah.
Tidak mungkin aku hanya diam dan berdoa memohon kepada Tuhan menghidupkan kembali orang yang telah meninggal, kan? Atau tidak mungkin aku berdoa memohon kasih sayang dari orangtua-ku yang selalu sibuk?
Aku dan orangtua-ku tinggal satu rumah, tapi kami bisa tidak saling melihat sampai seminggu.
Aku seperti seorang anak yang hanya menumpang tinggal dan menumpang hidup di sana. Aku merasakan seperti itu.
Keterlantaran tidak langsung yang mereka berikan kepadaku.
Aku hanya berharap suatu hari mereka akan menyadari kehadiranku, menyayangi diriku seperti anak-anak normal lainnya dan mengasihiku dengan bertubi-tubi cinta yang selama ini membuatku merasa kekurangan.
Tiba-tiba kulihat Gracia kembali lagi, menatapku datar dan masih memeluk dua benda keramatnya itu di tangannya.
"Ayo, Ra. Kita balik ke kelas."
Labil-nya nggak ketolongan.
*
Saat ini dalam salah satu pelajaran yang agak tidak kusukai, pelajaran musik. Bukan salahku tidak bisa membaca not ataupun menyuarakan do-re-mi dengan baik. Ya, aku buta nada.
Yah, mau bagaimana lagi?
Gracia kebetulan adalah seorang pemain piano yang paling lincah di angkatan kami. Dia sudah beberapa kali mengikuti perlombaan dan kontes.
Karena dianggap murid terbuang yang sama sekali tidak bisa memainkan alat musik, terpaksa aku harus menjadi anggota paduan suara meskipun aku tidak ingin. Ada sekitar sepuluh dari banyaknya teman kelasku. Tapi itu biasanya, sebab sekarang semua anak musik pun dipadu menjadi anak paduan suara.
"Ayolah cuman nanyi lagu Indonesia Raya, Halo-halo bandung dan lagu hymne sekolah kita aja kok."
"Lho, kita perwakilan buat upacara senin nanti, ya?" Runa bertanya dengan kerutan kening.
Bu Lia mengangguk mengiyakan, membuat mereka semua sontak menjerit riang.
"YES!"
Yah, kedengarannya aneh. Menurutku ini adalah beban. Tapi semua orang di kelasku menganggapnya anugerah karena dua pelajaran terakhir akan di potong demi kelangsungan latihan. Baik untuk latihan pengibarkan bendera, pemimpin upacara, para pembaca-pembaca dan unek-uneknya, juga Padus.
"Semuanya wajib nanyi yah." Bu Lia menatap kami dengan tatapan tajam.
Biasanya aku hanya akan menggerakan mulutku mengikuti lagu atau lebih gaulnya, kita menyebutnya--
"Nggak boleh ada yang lipsync, yah!"
Beberapa wajah murid-murid memucat, termasuk aku.
"Baiklah. Pemimpin, para protokol dan para pengibar bendera keluar dari padus. Kalian latihan saja di luar ruangan."
Mereka ngacir dengan senang hati.
Ketika bu Lia sedang menyusun barisan sesuai ketinggian badan, wajahku kembali pucat pasi saat tiba-tiba saja aku mendengar suara itu.
Argh, suara itu lagi.
Aku ingin meminta izin keluar dari jam pelajaran musik dan segera pulang. Atau setidaknya tiduran di UKS dan menutup telingaku dengan bantal hanya untuk sekedar meredam kerasnya suara itu.
Tiba-tiba kurasakan seseorang mencolek bahuku.
"Ra, kamu kenapa?"
Tidak, aku bahkan tidak dapat mendengarkan suara Gracia saking kerasnya suara itu. Aku hanya bisa melihat gestur mulutnya yang bergerak dan aku hanya menerjemahkannya dalam hati.
Aku menggelengkan kepalaku dan menjawab dengan bisikan, "Nggak papa, Cia."
Sangat tersiksa untukku, hanya mendengarkan suara kereta api itu di dalam telingaku. Aku juga harus menelitikan mataku agar bisa membaca gerak bibir dari sang dirigen, Juliet.
Kereta api itu benar-benar menyiksaku.
Kulirik jendela yang ada di dekatku, dan betapa terkejutnya aku saat melihat sebuah gerbong besar berbahan besi hitam yang sedikit mengkarat ada di sana. Dengan suara mesin yang terdengar makin mengebu-gebu.
Sontak aku terjatuh dari tempatku berdiri, sampai-sampai aku nyaris terjungkal balik. Aku meringis meratapi pukulan keras di kakiku dan suasana kacau saat semua anggota padus melirikku bingung.
"Kamu kenapa, Ra?"
Dari sekian banyak bibir yang bergerak, aku hanya menemukan gestur bibir yang umum dan terus saja diucapkan mereka. Aku hanya bisa tersenyum konyol dan menjawab 'aku baik-baik saja', walaupun sebenarnya aku juga tidak yakin suaraku keluar dari tenggorokan.
Setelah jam pelajaran musik berakhir, barulah suara kereta api itu menghilang bersamaan dengan menjauhnya gerbong-gerbong itu ke arah langit. Aku meratapi kepergian kereta api itu sambil terus menanyakan hal-hal yang sama berulang kali.
Apa sebenarnya kereta api itu dan mengapa hanya aku yang bisa melihatnya?
***TBC***
10 Juni 2016, Jumat.
Cindyana's Note
Saya rasa kalian sudah mati bosan membaca tulisan terakhir yang ada di atas sana.
Dan saya rasa kalian bisa bosan dengan Air Train ini. Haha, soalnya saya nulis ini saja pas bosan banget, haha.
But, saya bisa menjanjikan stasiun keempat yang akan di up besok.
Karena konflik dimulai next chapter, yay!
Santai saja yaa bacanyaaaa, santai. Karena saya bawain cerita ini buat santai doang, okay? Konfliknya mungkin agak susah, tapi tetap saja santai #Duh, saya ngomong opo si?
Di ketik tanggal [14/01/2016-23:44]
Salam, Cindyana
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top