The Sixth Station - "The Falling Name"

The Sixth Station

Tahun ajaran baru, dimana aku memasuki SMP tiga tahun ini. Aku mendesah saat mengingat acara School Meeting yang merupakan tradisi setiap tahun ajaran baru. Ada banyak stand yang dibuka dan ada banyak perlombaan yang diadakan. Selain itu, ada pula pertunjukan drama dan kontes bernyanyi.

Aku membenci School Meeting di setiap tahunnya. Salah satu alasannya karena keramaian.

Kelas kami dibagi dua kelompok. Satu kelompok menjaga stand dan kelompok lainnya mengikuti pertunjukan drama.

"Ra, kita ikutan drama yuk, tahun ini." Gracia mengajak dengan antusias.

Aku menggeleng, dengan jawaban yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya. "Aku jaga stand aja. Kamu aja yang ikut."

Gracia merenggut seperti biasanya, dia bahkan mengerucutkan bibirnya, seperti tengah merajuk memaksaku mengikuti kemauannya.

"Kenapa sih, kamu nggak pernah mau mengikuti hal-hal yang dilihat banyak orang semacam ini?"

Aku menghela nafas. "Karena aku tidak suka dilihat."

Gracia mengacak rambutnya frustasi, dia mengambil kertas sketsa yang dibuat dengan mengumpulkan kertas-kertas, menyusunnya rapi dan menguncinya dengan stapler.

"Ini sketsa-nya."

Aku melotot menatapnya galak. "Siapa yang bilang aku mau ikutan drama?"

"Siapa juga yang nyuruh kamu ikutan? PD!" Gracia menatapku cemberut. Padahal, tadi jelas-jelas dia memintaku mengikuti drama.

"Dasar Labil!"

Kami sekelas sempat menonton terlebih dahulu latihan drama mereka sebelum ditampilkan di depan panggung. Kami-lah yang menilai pantas atau tidaknya itu disebut drama.

Rupanya, Gracia dapat tokoh utamanya-Aretha.

Di sebuah mansion sederhana dengan kebun bunga yang subur dan indah, seorang gadis kecil bernama Aretha yang tinggal bersama Ibunya dan Ayahnya. Ibunya adalah pembuat cerita bergambar yang terkenal di desa kecil itu. Sedangkan ayahnya adalah seorang pemilik lahan terluas di desa itu yang memberikan sepetak lahan pada setiap orang yang membutuhkannya.

Aretha dan keluarganya hidup berkecukupan karena selalu mendapatkan sedikit bagian dari hasil panen yang diberikan oleh orang-orang yang ingin membalas budi.

Sekilas, desa ini tampak aman, damai dan tentram.

"Mendengar kata itu, firasatku mengatakan bahwa masalah mulai muncul di sini." Putri berkomentar, dia melirik Runa si pembuat naskah.

Aku ingat jelas bagaimana Runa dan Gracia berdebat tentang perihal siapa yang akan menulis naskah. Keduanya punya bakat menulis yang handal, menurutku. Sayangnya, Gracia harus mengalah saat voting menunjukan bahwa dia kalah dua suara.

"Memang benar, masalahnya ada di Aretha. Cerita ini sedikit disesuaikan dengan kisah nyata," jawab Runa dengan agak serius. "Setelah kupikir-pikir, cerita ini sedikit mengganggu. Memang, aku yang membuatnya. Tapi mengingat ada anak-anak yang akan menyaksikannya juga, aku jadi ragu."

"Memangnya Aretha kenapa?"

"Uhm, sedikit menyangkut ke psikologis." Runa menjawab.

"Kau benar. Itu benar-benar disturbing!" Ageha menyambung. "Masih ada seminggu sebelum kontes drama dimulai. Batas maksimum memainkan drama hanya limabelas menit. Kalau memang terdesak, kita tukar nomor saja sama yang dapat nomor terakhir."

"Tunggu." Gracia mengerutkan keningnya. "Tapi aku penasaran, mengapa Aretha bisa seperti itu? Bukannya dia hidup dalam keluarga yang damai?"

Runa menggeleng. "Tidak seindah yang kita pikirkan. Orangtua Aretha sering bertengkar. Di sanalah masalahnya. Terkadang sebuah keluarga yang tampak baik-baik saja diluar, belum tentu baik-baik saja di dalamnya, kan?"

DEG!

Jantungku terasa nyeri untuk beberapa alasan. Aku seperti merasa sedang dibicarakan? Tunggu, aku tidak mengerti.

"Maksudmu dia kurang kasih sayang?"

Runa mengangguk menyetujui. "Lebih parah dari itu. Retha sering menjadi pelampiasan amarah kedua orangtuanya. Biasa kita menyebutnya..., kekerasan fisik."

"Darimana kamu mendapat ide cerita ini, Na? Kok..., aku ngeri?"

"Based on True Story. Aku ngebaca dari artikel, yah, walau versi aslinya beda, sih," jawab Runa.

Aku berdiri dan bergerak menuju pintu dengan langkah lebar-lebar. Aku tidak sanggup mendengarkan.

Mengapa aku marah? Mengapa aku kesal? Dan mengapa..., aku merasa sedang dibicarakan?

"Ra?" Gracia menghentikan langkahku. "Kamu mau ke mana?"

Aku mengeluarkan ponselku dan memperlihatkan layar hitam disana. "Daritadi getar mulu, aku mau nge-check dulu."

"Oh, buruan ya."

Aku mengangguk, tersenyum, berjalan menuju pintu, menutupnya, melangkah cepat-cepat dan segera mencari tempat kosong untuk bernafas. Aku merasa berada di ruangan yang sempit dan kekurangan oksigen.

Sampai akhirnya aku sampai di atap sekolah yang didatangi oleh sepasang manusia yang tengah saling bergandengan yang entah mengapa memilih atap yang sepi sebagai tempat berkencan mereka. Tapi, aku tidak menghiraukan mereka dan memutuskan untuk menarik nafas panjang-panjang.

"Tenanglah, tenanglah," gumamku kecil mencoba menghibur diriku sendiri. "Itu hanya sebuah cerita yang sedikit dikembangkan dari cerita nyata, dan lagipula Papa dan Mama tidak menyiksaku." aku mengelus dadaku dan merasakan jantungku berdebar cepat.

Entahlah efek gelisah atau karena aku berlari disepanjang perjalananku kemari tadi.

Aku memutuskan untuk duduk di atap di dekat jaring-jaring besi yang berguna sebagai pembatas. Aku duduk dan memperhatikan lapangan di bawah sana. Mereka sudah mulai membangun stand.

Melihat ada banyak stand yang dibangun di sana dan juga kabar tentang anak SMA yang juga boleh membangun stand, aku langsung berpikir bahwa acara School Meeting kali ini akan sangat ramai. Apalagi acara ini bersifat terbuka, dimana semua orang boleh mengunjunginya.

Baru saja hanyut dalam pemikiranku beberapa detik, suara itu kembali mengangguku, membuatku sontak berdiri dan mencari asal suara itu.

Bahkan saat tak sengaja kulirik, pasangan yang kumaksud tadi menatapku gelagapan. Entah apa yang mereka lakukan tadi, yang jelas, aku sama sekali tidak melihatnya.

Dari ujung sana, aku melihat kedatangan kereta api itu. Kukira kereta api itu akan berhenti di atap, ternyata aku salah. Kereta api itu turun ke bawah dan mendarat di lapangan basket. Aku langsung turun untuk mendatangi kereta api itu saking penasarannya.

Aku masih penasaran dengan pemuda yang ada di dalam kereta api itu. Sudah beberapa minggu aku menunggu kedatangan kereta api yang tiba-tiba saja absen beberapa kali mendatangiku. Saat hendak turun, aku menabrak seseorang.

"Maaf!" sahutku tanpa melihat siapa yang kutabrak dan langsung turun dengan buru-buru.

Aku tidak menghiraukan umpatan yang dikeluarkan orang itu dan masih berusaha sampai di lantai dasar. Padahal, tadi aku berada di lantai tertinggi di sekolah-lantai lima.

Sesampainya di bawah, aku mendapati kereta api itu sudah mengeluarkan suara melengking tanda peringatan bahwa kereta api akan segera berangkat. Bahkan belum sampat aku berjalan ke lapangan basket, kereta api itu sudah melaju meninggalkanku.

Aku ingin mengumpat sial, namun batal saat kuperhatikan sebuah kertas berwarna biru muda jatuh dari atas langit, seperti ada yang membuangnya.

Aku pun menangkap kertas biru muda itu dan memutuskan untuk menyimpannya. Semuanya terasa aneh, saat kurasakan semua mata kini menatap ke arahku. Sudah kukatakan kalau aku tidak suka dilihat, tapi mengapa mereka sangat suka melihatku?

Mereka pasti mengira aku aneh, terus memperhatikan langit dan menangkap kertas tadi. Ugh.

Aku berjalan cepat memasuki gedung sekolah, menghindari malu.

Sampai di tempat yang sepi, kuberanikan diri membuka kertas itu. Ada sedikit rasa gugup, gelisah, gundah, galau, dan gembira yang bercampur aduk. Tulisan yang ditulis dengan tinta hitam cair di atas kertas biru itu, dan kubaca tulisan itu dalam hati.

Aetherd

***TBC***

17 Juni 2016, Jumat.

Cindyana's Note

Ah, sudahlah. Dari judulpun, kalian pasti mengerti apa topik kita hari ini.

Tetap santai, semuaa, kereta akan kembali berangkat! Jangan lupa menyerahkan tiket dengan bentuk vomment. And thanks for #98 Fantasy today.

Aetherd, abang Aeth. Oke, oke. Namanya susah dilafalkan. Aetherd Aetherd Aetherd Aetherd Aetherd. Lafalkan dengan cepat dan pastikan tidak ada meteor yang jatuh #Plak.

Diketik tanggal [20/01/2016-21:17]

Salam, Cindyana H

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top