The Sixteenth Station - "So Near Yet Nobody Could Reach"

So near yet nobody could reach.

Bunyi ketukan pintu telah terdengar entah berapa kali di pendengaranku. Ketukan itu terdengar ragu dan pelan. Aku yakin pastilah Bi Erni yang mengetuknya. Adalah kebiasaan baginya untuk mengetuk pintu secara perlahan sedaridulu.

Bukan tanpa alasan aku mengunci pintu itu nyaris tiga jam. Mungkin aku memang butuh sendirian dan ketenangan diri. Di kegelapan dan kesunyian ini. Ya, mungkin aku memang membutuhkannya.

Mataku sedaritadi tak berminat membuka diri. Meskipun jika aku membuka mataku sekalipun, aku tetap akan menjumpai kegelapan di setiap sudut.

Aku masih belum menyalakan lampu, bukan kebiasaanku sekali. Biasanya aku akan membuka lampu dipukul enam, saat matahari menyisakan sedikit dirinya.

Terlalu lama memeluk buku cerita yang bercover tebal itu, membuat jejak yang jelas di lenganku. Aku dapat merasakannya saat aku merabanya.

TOK-TOK.

"Non," Bi Erni mengeluarkan suaranya, hampir menyamai suara bisikan. "Nyonya dan Tuan menyuruh Nona turun untuk makan malam bersama."

Mataku terbuka, namun aku masih menjumpai kegelapan. Hanya ada segaris cahaya yang terlihat dari bawah pintu.

"Uhm."

Aku beranjak, mendekati pintu, menarik nafas panjang sebelum membuka kunci dan memutar kenop pintu.

Makan malam bersama..., hari ini.

Mengapa harus hari ini? Mengapa tidak kemarin-kemarin? Sebab aku pasti akan melayang dan turun dengan perasaan berbunga-bunga. Aku pasti akan sangat bahagia.

Hal pertama yang kulihat begitu membuka pintu adalah..., cahaya yang begitu terang menyilaukan mata. Beberapa saat setelah mataku dapat menyesuaikan cahaya, barulah aku bisa melihat ekspresi khawatir dari Bi Erni.

Aku menuruni tangga, Bi Erni menyusul dari belakang dengan ragu di setiap langkahnya. Aku dapat merasakannya.

Di tengah meja makan, aku memilih duduk yang tidak berhadapan dengan mereka. Aku hanya berharap mereka tidak menyadari perubahan ekspresiku yang mungkin saja terjadi.

Suasana di sana sangatlah hening. Bukan karena aku tak mengetahuinya. Rumah ini punya etika makan yang tergolong bagus. Tidak akan ada orang yang menggerak-gerakan kakinya saat makan, atau memainkan sendok dan garpu. Bahkan dentingan laga saat sendok dan piring bertemu saja, hampir tak pernah terdengar.

Mungkin hari ini berbeda.

"Sudah menentukan SMA tujuanmu?"

Bibirku terkatup rapat, makanan yang ada di dalam mulutku berhenti kukunyah. Tanganku yang sedaritadi sibuk memotong steak pun ikut berhenti. Tatapan mataku menunduk melihat menu makanan yang tiba-tiba saja tidak membuatku berselera.

Rasa makanan yang kukunyah tiba-tiba terasa hambar.

"Uhm," jawabku sambil melanjutkan makanku, berusaha keras menelan makanan yang tengah kukunyah. "Permata."

TENG, tiba-tiba saja sendok dan garpu yang dipegang oleh Mama terhempas keras ke piring. Aku benar-benar terkejut dikarenanya. Agak ragu, aku meliriknya dari sudut mataku.

Amarah.

"Mengapa harus di Permata? Bukankah hari itu Mama sudah memberikan list?"

Aku melanjutkan makanku dengan buru-buru. Ingin rasanya aku segera menghabiskan makan malamku dan kembali ke kamar. Aku tidak pernah berdebat sebelumnya, apalagi dengan Mama. Selama ini aku selalu mendengarkannya. Apa salah memilih sendiri?

Aku melirik Papa yang melanjutkan makannya dan melihatku dengan tidak nyaman. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan setelah aku masuk tadi. Yang jelas, tidak ada tanda-tanda Papa akan membelaku.

"Tyara."

Nasi dan lauk-lauk, cepatlah habis.

"Tyara!"

Aku membeku diam. Tanganku, kegiatanku. Aku pun menaikan kepalaku dan melihat matanya, yang kini penuh dengan emosi yang meluap-luap.

"Mama akan mengizinkanmu memilih, sekali lagi. Pilihanmu harus ada di salah satu opsi yang ada di list!" ucapnya mutlak.

*

Menyedihkan.

Hidupku sangat menyedihkan.

Mengapa hidupku terikat seperti ini? Siapa sebenarnya yang tengah mengendalikannya? Aku atau orang lain?

Usai pembincangan kami di makan malam yang pertama kalinya terasa menyesakkan itu, aku naik ke kamarku dan merenungkan semua perkataannya.

Lagi, aku harus mengurung diri di kamar.

Saat menyalakan lampu kamar, terlihat jelas kamarku berantakan bagai kapal pecah, seperti tak terurus bertahun-tahun.

Aku tidak tahu bagaimana bisa, semua pakaianku keluar dari tempatnya, dalam keadaan remuk dan berantakan tentunya. Buku-buku di rak maupun di meja belajar terbongkar dan berceceran kemana-mana. Beberapa buku dalam kondisi terbuka, terbalik dan ada beberapa kertas yang sobek. Selimutku kusut, bantal dan gulingnya sudah ada di sudut kamarku. Kursi belajar terguling, tirai putih jendela sudah jatuh dari tempatnya.

Kamarku seperti habis diserang badai.

Aku menghela nafas gusar, mungkin besok. Hari ini terlalu melelahkan. Tubuh, pikiran dan bahkan ketenanganku. Semuanya sangat melelahkan.

Aku duduk di tepi tempat tidurku, lalu membanting tubuhku di kasur. Aku memejamkan mataku, berusaha menghilangkan nyeri di kepalaku.

Beberapa detik kemudian, tekadku bulat. Aku harus menenangkan diriku dengan musik klasik. Maka dari itulah, aku berjalan ke arah sisi kamarku yang berada di depan tempat tidurku. Radio berwarna magenta yang ada di atas meja-untuk menaruh figura-masih ada dalam keadaan terakhir, tak tersentuh olehku tadi.

Kutekan tombol play dan menyetelnya keras-keras.

Alunan itu menenangkan, menenangkanku. Bodoh sekali aku, sampai membuat seisi kamar ini berantakan seperti ini.

Saat tubuhku mulai rilex dan musik klasik pertama baru saja hendak masuk ke pembukaan musik kedua, tiba-tiba saja cahaya terang dari arah jendela menyilaukan pandanganku. Tirai kamarku lepas, aku dapat melihat jelas cahaya itu.

Aku pun mengecilkan volume radio, barulah aku dapat mendengar suara lengkingan keras dari luar.

Kereta api itu telah datang.

Setengah berlari, aku menjangkau pintu balkon dan membukanya tanpa ragu. Selain cahaya terang, hal lain yang menyambutku adalah angin.

Teringat dengan keterbatasan waktu setiap aku memasuki kereta api, aku pun segera mengeluarkan kunci yang kukenakan sebagai hiasan kalung. Bukan gampang saat melihat kereta api itu mendarat di atas pagar balkon, yang memaksaku untuk memanjatinya.

Agak takut, aku menatap ke bawah, rerumputan di taman rumahku yang terasa begitu jauh untuk kutapaki, namun aku memberanikan diri. Aku berdoa terlebih dahulu sebelum memanjat.

Butuh usaha yang tinggi untuk menaiki pagar balkon dan berdiri di atasnya, pegangan yang ada hanyalah tembok dan besi-besi kereta. Aku memilih menyandarkan tanganku pada besi saja agar mudah membuka gemboknya. Sedikit saja kereta api ini bergerak, aku akan terjatuh ke bawah sana.

Aku pun membuka gembok dengan tangan bergetar. Setelah gembok terbuka, aku membuka pintu gerbong. Usai membukanya pun, aku harus kembali memanjat agar bisa masuk ke dalam gerbong. Usahaku tidak sia-sia, sebab aku berhasil melakukannya-tanpa bisa kuduga.

Gerbong pertama adalah gerbong pengendali. Entah sudah berapa kali aku mengatakan ini. Hanya gerbong pertamalah yang bisa dibuka, hanya di sinilah aku bisa keluar-masuk. Tidak ada pintu cadangan atau pintu darurat di gerbong dua sampai empat.

Aku berlari masuk, melewati gerbong dua dan tiga. Saat membuka pintu penghubung gerbong empat, aku tersenyum lega.

Pemuda itu masih di sana-Aetherd.

Aku menghela nafas lega tanpa sadar.

Untunglah tadi aku tidak menemukan benda tajam apapun yang bisa saja membuatku melukai diriku. Untung. Untung saja.

"Maaf lama," ucapku sambil melangkah mendekat ke arahnya.

Mata biru Aetherd mengikuti arah gerakku. Saat aku sudah berada di dekatnya, aku pun langsung duduk di kursi kosong di depannya. Tempat duduk kereta ini membentuk vertikal dan terus lurus sampai dipisahkan oleh pintu penghubung gerbong, bukan perkursinya.

"Apa yang harus kulakukan?" tanyaku padanya.

Aetherd hanya tersenyum tipis, mata birunya tak berhenti menatapku. Jantungku serasa berdetak cepat setiap melihat tatapan mengintimidasinya.

"Bagaimana aku membawamu keluar?"

Masih tak menjawab, dirinya hanya tersenyum, membuatku merasa tengah berbicara dengan patung.

Aku menghela nafas panjang, kepalaku menyandari kaca jendela kereta api itu. Aku berpikir keras, mungkin kali ini aku harus menguras ide-ide di otakku. Pertemuan terakhir tidak membuahkan hasil, aku dan Aetherd sudah berkali-kali melewati gerbong penghubung dan kami tak kunjung sampai di gerbang pengontrol.

Parahnya, rupanya kami tidak pernah bergerak ke gerbong manapun. Kami hanya menetap di gerbong empat dan entah dengan ilusi apa yang membuat kami terlihat bergerak menembusi pintu penghubung.

"Aeth-pft, namamu masih sangat sulit dilafalkan." Rupanya membayangkan huruf-hurufnya lebih gampang dari melafalkannya. Aku pun berdiri, masih terasa matanya menatap punggungku, sampai aku membuka pintu penghubung, menginjak gerbong tiga dan berbalik ke belakang. "Sini."

Aetherd berdiri, saat melangkah sampai ke gerbong di tempatku, kukira ini akan berhasil. Tapi..., dia tidak bisa melewati pintu penghubung. Seperti ada sebuah kaca yang menghalangi kami.

"Tidak bisa," gumamku sambil melangkah masuk.

Ini aneh. Hanya Aetherd yang tidak bisa melewati pintu penghubung. Tapi..., kami pernah melewatinya. Oh, jangan-jangan Aetherd hanya bisa keluar kalau 'bersentuhan' denganku? Apa aku harus membimbingnya keluar?

Sedang berpikir panjang, suara peringatan berbunyi lantang.

Waktu-habis.

"Aku akan buka dua pintu penghubung lain. Kamu tunggu disini, aku akan kembali."

Inilah batas kemampuan berpikirku. Aku akan membuka dua pintu penghubung lain tanpa menutupnya, yang pokoknya akan menampakan gerbang pengendali. Setelah itu aku akan menarik Aetherd dari gerbong empat ke gerbong satu. Aku tidak tahu apa lagi yang harus kulakukan jika ini gagal.

"Semoga ini berhasil," gumamku saat aku kembali ke gerbong tiga dan mulai menarik tangan pemuda itu.

Aku tak bisa menahan senyumku saat kulihat jarak kami dengan gerbang pengontrol semakin dekat. Begitupun dengan bunyi peringatan yang semakin keras-tanda kereta akan segera meluncur pergi.

Aku sempat berbalik melihat Aetherd. Matanya menatap gerbong pengendali lurus-lurus, tangannya yang dingin mengenggamku makin kuat disetiap kami mendekat ke gerbang pengontrol.

Sampai akhirnya saat kami sampai di gerbang pengontrol.

"K-kita berhasil!" seruku, tak dapat menyembunyikan senyumanku.

Detik itulah, aku melihat hal yang mengerikan di ujung gerbong empat dari pintu terhubung yang masih terbuka. Gerbong keempat yang berada diujung sana menghilang bagai butiran debu. Serpihan debunya melayang ke udara, yang membuatku bergidik ngeri. Debu-debu itu seperti tengah memakan satu persatu gerbong. Saat debu-debu itu mulai 'memakan' gerbong ketiga, aku buru-buru menarik Aetherd menjauh dari pintu penghubung.

Kami berada di gerbong pengendali-gerbong pertama yang merupakan incaran kami sejak awal. Ideku habis, di tengah-tengah krisis seperti ini. Aku ingin menarik Aetherd keluar dari kereta api, tapi aku ragu. Ada firasat aneh yang membuatku membatalkan niat itu. Mungkin saja Aetherd juga akan berubah menjadi butiran debu jika keluar dari kereta ini.

Tapi...,

Aku lebih yakin lagi dia akan menjadi butiran itu jika dia tetap ada di dalam sini.

Maka dari itulah, aku memutuskan untuk membawanya keluar. Aku juga harus berpikir terlebih dahulu sebelum bertindak. Misalnya, jika aku keluar duluan, pintu masuk akan ditutup.

Aku pun mendorongnya.

Jantungku terasa berhenti saat kulihat tangan kirinya mulai menghilang dalam wujud yang sama dengan hilangnya kereta api ini. Menjadi debu.

Aku telah salah langkah. Aku salah. Aku telah membuat Aetherd...,

Kulihat mata biru Aetherd membulat saat melihat kondisi dibelakangku. Dengan semua bayangan yang ada, aku menolehkan kepalaku.

Tangan kanannya terulur, mencoba menjangkauku yang masih ada di dalam kereta api. Begitu tangan kami bersentuhan, kereta api itu menghilang total menjadi partikel debu terang yang terbang ke langit.

Aku berada di antara pilihan jatuh atau bertahan.

Aku melirik butiran debu yang kini melayang ke langit malam sedikit demi sedikit. Debu itu kini telah 'memakan' Aetherd hingga menghabiskan lengan kirinya.

Aku kembali merasa bersalah.

Aku yang ingin membebaskannya, malah membuatnya..., menghilang sia-sia seperti ini.

Ini salahku. Coba saja aku tidak memikirkan ide bodoh untuk mengeluarkannya. Coba saja aku tidak memikirkannya.

Bagaimana kalau..., Aetherd menghilang selamanya bersama kereta api itu? Mungkin aku akan dihantui rasa bersalah seumur hidupku. Aku tak mempedulikan lagi kakiku yang kini mengantung di udara, tanganku yang kini digenggam Aetherd agar aku tak terjatuh.

Perlahan, debu itu memakan bahunya.

Siapa sebenarnya Aetherd?

Lalu, apakah....,

"Apakah kita akan bertemu lagi?" tanyaku ditengah kegentingan itu.

Aetherd menatapku ragu, sedetik kemudian dia mengangguk.

Tidak bisa, ya?

Andai saja aku tidak pernah masuk ke kereta api itu...., semuanya akan baik-baik saja. Andai saja aku tidak pernah mendapatkan kunci itu..., semuanya akan baik-baik saja. Andai saja aku tidak pernah..., melihat kereta api itu.

Tunggu.

Aku menyesalinya?

Tidak, aku tidak pernah menyesali yang terakhir itu. Bagiku bertemu kereta api ini..., sama seperti bertemu dengan keajaiban yang selalu diceritakan oleh mendiang Kakek dan Nenekku.

Yang aku sesalkan hanyalah..., kehilangan.

Kehilangan kesempatan untuk mewujudkan keajaiban itu.

"Aku tidak ingin melihatmu menghilang," gumamku. "Bisa tolong lepaskan aku?"

Dirinya menatapku tak percaya. Dia menggeleng enggan. Aku hanya bisa tertawa meremehkannya. Bagaimana mungkin dia bisa menolongku hanya dengan sebelah tangannya seperti itu? Lihat, bahkan sebelah kakinya sudah..., menghilang.

"Aku tidak bisa menyelamatkanmu dan kamu tidak bisa menyelamatkanku. Bukankah itu sudah sebanding?" Aku tersenyum perih. "Maaf aku tidak bisa menepati janjiku."

Wajahnya yang pucat makin terlihat pucat saja. Kulitnya memutih seperti salju dan tangannya yang dingin terus menggenggamku.

"Terima kasih, sudah mengisi kekosonganku, selama hampir dua tahun ini."

Entah berapa lama kami berdua terdiam seperti ini. Kulihat sudah hampir semua tubuhnya menghilang, menyisakan wajahnya dan tangan kanannya saja. Tapi aku tahu itu tidak akan berlangsung lama. Sebab dalam genggaman kuatnya, aku dapat merasakan kumpulan benda hangat yang menggelitik tanganku. Benda itu berwujud debu yang terang dan melayang ke arah langit.

"Aku belum pernah mendengar suaramu," ujarku sambil menghela nafas. Aku tak lagi berani mengenggamnya kuat-kuat. Takut membuatnya makin rapuh dan hancur. "Sekali lagi, aku minta maaf." Kini tangannya hanya menyisakan sedikit wujud, sangat sedikit.

Ini waktunya.

Waktunya telah tiba.

"Aku ingin bertemu denganmu lagi, meskipun hanya di dalam mimpi atau..., di surga nanti."

Saat itu juga aku melepaskan genggamannya, bersamaan itu pula aku bisa melihat seluruh tubuh pemuda itu berlebur hancur menjadi serpihan debu itu. Semuanya terasa seperti mimpi, sampai akhirnya satu hentakan keras yang terasa begitu menyakitkan, membuat sekujur tubuhku mati rasa.

Remuk.

Hancur.

Aku terjatuh dari balkon kamarku? Atau dari Kereta api itu? Atau dari genggaman Aetherd? Aku tidak tahu.

Yang aku tahu, di masa-masa itu, seluruh hidupku terasa terjatuh di palung terdalam tak berdasar.

Aku hanya bisa tersenyum pedih, hatiku nyilu saat melihat benda-benda berkilauan yang berterbangan di atas langit. Bulan dan bintang menjadi saksi bisu kejadian barusan.

Kesadaranku pun berangsur-angsur menghilang. Hal terakhir yang kulihat adalah debu terang yang berasal dari leherku.

Ah-Kuncinya juga...

Aku memejamkan mataku, kurasakan cairan hangat yang jatuh dari sana. Lalu samar-samar, terdengar suara seseorang menyerukan namaku dengan keras sebelum kesadaranku benar-benar menghilang.

"Tyaraaa!"

***TBC***

5 Agustus 2016, Jumat.

Cindyana's Note

"If you were me, what would you do?" Tyara asked. "I probably crying all day, all night for my life. Your life was horrible, Me as author apology for the mess life I've made for you." I answered. "But, you taught me what life is... Thank you." I smiled as I saw her appreance gone slowly. "Hope you gotta see him again!"

Yang di atas jangan dibawa serius, hahaha.

BTW, ini scene terpenting di Air Train. Dari awal sampai disini, inilah chapter yang ngebuat saya niat ingin melanjutkan Air Train. Ini chapter puncaknya, dimana Tyara terjatuh dari klimaks yang saya buat.

Big apology for the disappointment.

Jadi..., menurut kalian bagaimana chapter ini?

[11/03/16-21:39]

CINDYANA H

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top