The Seventh Station - "Another Moment"
The Seventh Station
Hari-H.
Hari yang telah ditunggu-tunggu oleh kelompok stand di kelas kami. Stand kelas kami membuka toko es krim dan permen kapas. Kebetulan, salah satu orangtua teman sekelas kami mempunyai peralatan membuatnya dan beliau bersedia meminjamkannya kepada kami.
Dikarenakan sketsa drama yang dibuat Runa gagal, maka mereka memutuskan untuk memainkan drama yang mainstream. Apalagi mereka memilih drama yang simple dan tidak menggunakan banyak peralatan.
Dan terpilihlah cerita Snow White yang membuat Gracia merenggut minggu lalu karena mendapat peran yang menurutnya menyusahkan. Meskipun, semua orang beranggapan bahwa drama itulah yang menonjolkan pemeran wajib yang berjumlah sepuluh.
Sebenarnya, aku terpilih menjadi salah satu kurcaci, tapi aku menolaknya.
Kalian tahu alasan lain aku tidak menyukai School Meeting?
Semua orangtua temanku datang untuk menyaksikan drama yang ditampilkan anak mereka. Dan orangtuaku tidak pernah datang sekalipun.
"Beliin susu sama vanila extract dong di minimarket. Udah mau habis nih," Aku mengangguk patuh dan saat hendak meranjak pergi, Maya buru-buru menambahkan. "Sama gula jugaa."
Minimarket di dekat sekolahku ini memang menjual barang lebih mahal dari biasanya. Ini karena pasar dan toko lainnya berada jauh dari sini. Tapi lebih baik begini daripada disuruh jalan sampai berkilo-kilo hanya untuk tiga barang itu, kan?
Begitu masuk ke minimarket, aku melihat suasana tidak terlalu ramai, namun ada beberapa pengunjung yang tampak.
Samar-samar aku melihat sesosok perempuan berambut panjang coklat gelap yang membuatku terus bertanya-tanya tentang orang itu. Sepertinya aku pernah bertemu dengannya.
Saat dia berbalik kebelakang dan menatapku balik, aku pun akhirnya tersenyum lebar.
"Alenna?"
Alenna yang mendengarkan namanya terpanggil, pun segera menoleh kearahku.
"Tyara?"
Oh, kukira dia sudah lupa namaku.
"Hai, apa kabar?" Aku mendekatinya dan mulai melihat-lihat barang disana. Rupanya kami sedang ada dilorong pewarna makanan.
"Baik," jawabnya sambil tersenyum simpul.
Kami sempat mengobrol-ngobrol sejenak dan bahkan sempat bertukar kontak. Aku meminta kontaknya karena teringat dengan Riryn yang terus saja mengoceh di grup line yang dibuatnya; Five Rain women-tetapi baru mempunyai tiga anggota saja. Kurang Alenna dan Clay.
"Oh iya, sekolahku lagi ngadain acara School Meeting. Dibuka umum, mau ikutan tidak?"
Kulihat Alenna mengerjapkan matanya menatapku gelisah, membuatku ikutan gelisah karena mengira dia akan menolak tawaranku. Lalu dia bertanya dengan gugup.
"A-apa tidak apa?"
"Hah?"
"Aku boleh ikut?"
Aku tersenyum saat menemukan vanilla extract, hal terakhir yang diminta oleh Maya. Aku mengambilnya dan memasukannya ke keranjang yang kutenteng.
"Tentu saja."
Kami berdua pun berjalan bersama sampai di sekolah. Baru saja sampai di gerbang sekolah, keramaian kembali menyambut, orang-orang lalu lalang membawa kantung plastik, tas sandang atau mengandeng anak kecil ditangannya.
"Ramai sekali," gumam Alenna saat melihat keadaannya.
Aku mengangguk dan berjalan mendahuluinya ke stand. Alenna mengikutiku dari belakang dan sebenarnya sedikit membuatku takut jika dia tersesat di sini. Tapi, seberapa jauhpun aku berjalan mendahului di tengah keramaian, dia tetap bisa menemukanku.
Aku menyerahkan barang-barang yang diminta Maya dan akhirnya yang lain segera memasukan bahan-bahan itu di dalam sebuah mesin. Mereka menaruh es batu dibagian bawah mesin itu, lalu tersenyum lega.
"Huft, kukira nggak bakal sempat." Yusuf mendesah lega.
Maya tersenyum kepadaku. "Thanks ya. Kamu boleh istirahat, deh."
Aku pun mengangguk dan mengajak Alenna ke ruang Auditorium, dimana drama tengah dipertontonkan. Kulirik jam besar di tembok tinggi di dekat hall.
"Ah, sudah waktunya."
Kami berdua masuk dan duduk di kursi kosong yang kami temukan. Lokasinya strategis untuk bisa menonton drama itu. Dugaan mereka memang benar. Banyak anak kecil yang menonton drama mereka. Tapi anak-anak itu duduk di lantai dekat panggung, sedangkan aku dan Alenna duduk di kursi yang disediakan panitia.
Belum juga drama dimulai, membuatku dan Alenna menunggu hampir lima belas menitan.
"Kamu..., punya banyak teman, yah."
Aku menoleh tak percaya kepadanya.
"Tidak. Temanku hanya satu di sekolah," jawabku langsung.
"Lebih baik daripada tidak ada, kan?" Alenna tersenyum simpul.
Entahlah hanya perasaanku saja atau apa. aku benar-benar tertutup pada oranglain, bahkan teman sekelasku sendiri. Entah mengapa aku bisa dengan mudahnya berbicara dengan santai kepada Alenna, Clay, Riryn dan Metta.
Mereka seperti..., punya sesuatu yang membuatku nyaman.
"Sekarang, kita teman, kan?" Tiba-tiba Alenna angkat suara, membuatku kaget. "Kalau kamu punya masalah, jangan sungkan bercerita kepadaku, yah."
Benar. Alenna memang punya sesuatu yang..., membuatku merasa nyaman.
"Baiklah. Kamu juga," jawabku semangat.
Tak lama setelah itu, drama dimulai. Tampaklah Gracia yang sedang berjalan menelusuri hutan dan memperlihatkan kebingungan yang menonjol, seperti tengah tersesat.
"Dimana aku?" Gracia nampak panik, nyaris menangis. Dia benar-benar mendalami perannya menjadi Snow White.
Sebenarnya drama Snow White punya beberapa cara untuk menyampaikan bahwa Snow White hendak dibunuh oleh pemburu, dan cara yang mereka pilih adalah dengan menceritakannya kepada penonton lewat pertanyaan kurcaci.
"Aku tidak tahu. Tiba-tiba pengawal-pengawal menyeretku keluar. Aku dikejar oleh seorang pemburu sampai di hutan. Lalu, si pemburu menyuruhku pergi dan jangan kembali ke istana." Ungkapnya kepada para kurcaci dengan linangan airmata.
Gracia benar-benar multi-talenta. Berteman denganku benar-benar tidak cocok untuknya.
"A-aku bingung. Mengapa Ibu membuangku? Apa dia tidak menginginkanku?"
DEG!
Sejenak, terasa getaran yang amat pedih di dalam sana. Tapi segera kutepis rasa itu dengan melihat aksi anak-anak di bawah panggung yang berteriak menyemangati Gracia bahwa dia baik-baik saja.
"Tidak apa-apa, kakak Putri Salju!"
"Semangat, kak!"
"Kakak bebas dari Nenek sihir. Semangat, kakak!"
Atau sejenisnya.
Gracia tersenyum tipis mendengar reaksi anak-anak itu. Padahal seharusnya dia dilarang tersenyum sedikitpun untuk mendalami perannya.
"Terima kasih yah, adik-adik."
"Snow White-nya ramah," komentar Alenna sambil menatap kagum Gracia. Aku hanya mengangguk menyetujui.
Saat adegan Putri Salju memakan apel beracun, keadaan pun canggung saat seorang anak kecil dengan nekadnya berlari ke panggung dan menghentikan Gracia yang hendak menggigit apel. Sampai-sampai Gracia kewalahan dan harus menambah dialog tambahan.
"Duh, dik. Ini apelnya segar sekali lho. Dikasih gratis sama Nenek itu, lagi. Kamu mau?"
Anak itu menggeleng kuat, dan menatap Gracia yang mendekatkan apel dan hendak memakannya, namun anak itu lagi-lagi menahannya.
"Jangan, kak! Apel itu-"
Gracia tidak tampak gugup, dia malah berjongkok dan mengelus kepala anak itu.
"Tidak baik menolak rezeki. Apalagi ini pemberian orang."
Aku merasakan sekelilingku hening, semuanya menonton drama yang dibawa Gracia dengan serius, bahkan ada di antara mereka yang tersenyum lekat. Akhirnya, aku ikut tersenyum saat anak itu menurut, dia turun dan menyaksikan drama yang berhasil dibawa dengan baik itu.
*
Pukul 17:00. Langit jingga memamerkan warnanya, menghadiahkan segores warna indah yang menyejukan mata. Senja tiba saat keadaan sekolah sudah sepi, dan gerbang sekolah akan ditutup setengah jam lagi.
Para murid-murid sudah menutup stand mereka dan pulang ke rumah, bersiap-siap menunggu esok dimana hari terakhir School Meeting akan dilaksanakan.
Alenna masih berada di sini, menungguku menutup Stand kelas kami sampai selesai.
"Maaf ya, membuatmu menunggu."
Alenna menggeleng. "Tidak masalah. Aku senang berada disini."
Aku mulai berjalan disampingnya, dia mengikutiku dan kami berjalan ke gerbang.
"Menunggu bus?" tanyaku padanya saat melihatnya masih berjalan ke arah yang sama denganku, Alenna mengangguk sampai akhirnya kuputuskan untuk menganggunya sedikit. "Atau menunggu pacarmu itu?"
Dugaanku benar. Alenna tersipu dan wajahnya memerah. Kulihat dia menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinganya dengan buru-buru.
"Ti-dak. Kami hanya tetangga," ujarnya.
Aku pun hanya mangut-mangut dan memutuskan untuk mendiamkannya. Kami berdua kembali dalam keheningan yang sama saat pertama kalinya kami bertemu disini.
Bedanya, hening kali ini terjadi meskipun kami sudah saling mengenal.
"Ka-kamu kelas berapa?" Alenna bertanya dengan suara kecil namun aku masih dapat mendengarkannya.
"Sembilan. Kalau kamu?"
"Sama." Alenna menjawab sambil memperhatikan beberapa orang yang masih lewat.
Mata kami tertuju pada bus merah yang menghampiri kami dan berhenti di halte. Kami berdua pun masuk ke dalam bersama.
Bus sepi meskipun sekarang sudah sore. Mungkin karena jam pulang kerja sudah lewat dan kami terbebas dari pengap yang mungkin menjebak kami di sepanjang perjalanan pulang. Aku dan Alenna mengobrol tentang Insiden akhir drama Snow White yang berakhir lucu tadi. Si anak yang tadinya berdiri untuk mencegah Gracia memakan apel, menjadi pangerannya.
Tentu saja semua penonton disana juga tertawa. Apalagi saat anak kecil itu mengandengnya dan mereka berdiri dengan jarak tinggi badan yang jauh.
Tapi akhirnya obrolan kami terputus saat halte perbehentianku telah tiba dan aku pun pamit pulang.
Begitu kakiku menginjak tangga pintu bus untuk sampai diluar, tubuhku menegang. Aku mendengar suara itu kembali, suara kereta api yang beberapa hari ini menganggu tidurku, menganggu diriku, membuatku gelisah, membuatku terus saja memikirkan alasan logis tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Aku mendongkakan kepalaku ke atas, dan tampaklah kereta api itu melaju dengan cepat di atasku, nyaris beberapa centi diatasku. Kereta itu menembus bagian kepala bus sampai aku terus melihat cat merah yang seharusnya lecet itu.
Kulirik Alenna di jendela yang tampak diam memperhatikanku. Detik berikutnya, dia tersenyum lemah dan melambaikan tangannya.
Kuharap dia tidak berpikir aku aneh.
Kuperhatikan terus bus merah itu sampai badan bus sama sekali tidak terlihat lagi. Bus maupun kereta api itu sudah pergi. Tapi bedanya, suara bus itu telah lenyap beberapa detik lalu dan suara khas kereta api itu masih berputar-putar dikepalaku.
***TBC***
20 Juni 2016, Senin.
Cindyana's Note
Hai! Ngomong-ngomong sebelum kita lanjut ke stasiun berikutnya, saya ingin memberi info sedikit, nih. Alenna memperhatikan sesuatu ya, hahaha. Meskipun LFS(es) lain nanti agak lama baru buatnya, tapi setting waktunya sama. That's mean, ada sesuatu yang terjadi pada keempat heroine LFS(es) diwaktu yang sama.
Dan kalau saya bilang, saya berniat membuat salah satu diantara kelima LFS(es) mendapatkan Sad Ending, siapa yang akan mendapatkannya?
Diketik tanggal-[22/01/16-00:56]
Salam, Cindyana
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top