The Second Station - "Those Rain That Passes by"

Second Station

Jika seseorang menanyakan apa hal yang paling kubenci, aku akan menjawab malam. Tidak, aku tidak membenci gelap ataupun bintang dan bulan. Jika orang-orang menganggap alasanku konyol, mungkin aku harus menjawab 'tanpa alasan' saja lain kali.

Baiklah, kembali ke dunia nyata, dimana aku tengah terjebak hujan di teras sekolah. Aku sama sekali tidak menyangka bahwa hari ini akan hujan, sebab aku ingat persis tadi pagi masih cerah dan matahari terlihat begitu bersemangat.

Aku makin gelisah, apalagi mengingat jam keberangkatan bus akan berangkat lima menit mendatang. Akan memakan waktu lima menit jika berjalan dari sini.

Aku pun dengan nekatnya menerobos hujan. Saat tetes air hujan pertama menyentuh kulitku, aku pun merutuki diriku bodoh sebab menolak tawaran Gracia untuk menumpang pulang dengannya beberapa menit yang lalu.

Aku berlari di antara hujan-hujan yang jatuh bebas ke tanah, tak peduli pendaratannya menciptakan kehidupan atau menjadi bagian dari genangan yang tidak diakui. Beberapa kali, langkahku akan menyebabkan cipratan kecil, yang membuat kaos kakiku yang awalnya basah, semakin basah.

Kutolehkan kepalaku ke kiri-kanan, sebelum hendak menyeberang untuk mencapai halte bus. Halte bus itu tampak berada tidak jauh dari keberadaanku. Tanpa berpikir dua kali, aku pun berlari ke tempat itu, menjadikan tempat itu sebagai tempat perteduhan sementaraku dan tempat penungguanku.

Ada empat orang lainnya yang juga menunggu kedatangan bus, atau mungkin hanya sekedar menumpang teduh di sana.

Seragamku basah total, begitu juga dengan rambutku. Beberapa kali, kuperas rambutku agar air di dalamnya keluar dan setidaknya membuatnya tidak terlalu basah.

Tampaknya, hujan ini menjadi hujan yang paling lebat bulan ini. Bahkan setelah air hujan tumpah sederas ini, langit tampaknya belum ingin menyudahi tangis lebatnya.

Saking lebatnya, bahkan tidak terlihat seekorpun burung yang terbang di langit dan berkicau-kicau seperti biasa.

Kuperhatikan jadwal keberangkatan bus yang ternyata sudah melewati jadwal yang kutargetkan tadi. Hal itu membuatku lesu.

Tiba-tiba terdengar suara nada dering dari salah satu orang yang tengah menunggu. Gadis disampingku langsung buru-buru mengangkat teleponnya.

"Halo? Bentar lagi juga pulang, kok, Yah." Seorang perempuan di sampingku tersenyum lebar sambil memperhatikan gantungan dream catcher mini yang tergantung di tasnya. "Tinggal nunggu hujan reda."

Kuperhatikan lagi gadis di sebelahnya yang terus saja berkomat-kamit mengucapkan sesuatu. Tapi dipastikan dia sedang tidak berbicara dengan salah satu di antara kami berempat.

Ada pula seorang perempuan yang terus memperhatikan kami satu persatu. Dia bahkan menatapku lirih, dan kulemparkan senyuman tipis sebelum dia membalas senyuman itu dengan sedikit ragu.

Gadis terakhir yang duduk paling ujung di sana, tampak sedang memperhatikan sesuatu dengan gelisah di ujung jalan, setelah kuperhatikan dengan teliti, ternyata itu hanya kodok yang tersesat dijalanan saat hujan dan dikelilingi genangan air.

keadaan hening dalam kecanggungan yang luar biasa, karena aku sama sekali tidak mengenal mereka berempat.

"Uhm..." Gadis yang bertelepon tadi berbicara dengan gadis yang berkomat-kamit tadi. "Boleh minta tissue?"

Gadis yang berkomat-kamit tadi memang sedaritadi mengelap tubuhnya dengan tissue tebal dari tasnya. "Oh, boleh." Dia mengeluarkan tissue-nya dan menawarkan pada kami satu persatu.

Baik sekali, dia.

Suara telepon pun memecah kembali. Kulirik ke arah salah satu orang di sampingku dan ternyata pemilik ponsel yang berbunyi itu adalah milik perempuan yang tadi bertelepon.

"Halo? Aduh, Yah..."

Gadis itu melirik gelisah ke arah kami berempat yang masing-masing memakai seragam sekolah. Tiga diantaranya memakai putih-biru tetapi dengan logo berbeda di lengan kanan mereka. Sedangkan aku dan gadis yang sedang menelepon itu memakai pakaian yang agak lain.

Seragam sekolahku bermodel sailor, hampir mirip dengan seragam-seragam anak sekolahan Jepang, dengan warna biru muda yang menurutku pucat. Sedangkan gadis yang tengah menelepon itu memakai seragam berompi merah dengan rok kotak-kotak merah-hitam.

"Errm, bentar dong. Ini busnya belum datang," ujar gadis tadi dengan cemas, dia mengigit bibir bawahnya tanpa sadar sambil menoleh kiri-kanan menunggu kedatangan bus. "Tidak perlu, Yah. Clay bisa pulang sendiri."

Tak lama kemudian, gadis yang--mungkin--bernama Clay itu mematikan ponselnya dan menatap ke arah kami berempat yang kini memperhatikannya sambil mengeringkan tubuh kami dengan tissue yang terus ditawarkan gadis tadi.

"Biasa-lah, Ayah over protective," ujarnya sambil mengulum senyum, membuat kami berempat tanpa sadar juga membalas senyumnya.

"Orangtua-ku juga gitu."

Samar-samar, aku bisa merasakan ada sesuatu yang menusuk diriku dengan perlahan. Kualihkan pandanganku ke orang yang mengeluarkan suara.

Gadis yang tadinya melihat kodok itu tersenyum dan mengulurkan tangan ke Clay. "Namaku Metta."

"Clayrine. Salam kenal, Metta."

"Ah! Aku ingat sekarang." Gadis yang membagikan tissue itu pun mengangguk paham. "Kalian ingat aku? Dulu sepertinya kita satu sekolah, saat SD."

"Clay."

"Riryn."

Tanpa diduga, gadis yang bernama Riryn itu berjalan mendekatiku dan tersenyum lebar. "Hehe, sekalian aja yah." Dia mengulurkan tangannya. "Riryn."

Aku membalas uluran tangannya, masih dengan tanda tanya besar di pikiranku.

"Tyara," ucapku.

Selanjutnya, Clay dan Metta menyalamiku sambil tersenyum .

"Daritadi kulihat, kamu yang melihatku keheranan." Riryn mengelus tengkuknya bingung, lalu mengulurkan tangannya. "Maaf yah, aku orangnya emang sableng dikit. Jangan bingung kalau kamu sering ngeliat aku ketawa sendiri."

Gadis itu mengerjapkan matanya dan menatap kami semua dengan ragu.

"Namamu siapa?" Metta tersenyum hangat.

Gadis itu pun akhirnya menjawab dengan suara pelan. "A-Alenna."

Lalu acara jabat-menjabat tangan terjadi pada kami.

Baru saja selesai, tiba-tiba kulihat dari kejauhan sebuah benda merah yang bergerak mendekat. Ternyata, seorang pemuda berpayung merah mendekati halte. Kami menatap pemuda itu bingung sampai akhirnya Alenna berjalan memasuki payung itu dan berjalan di samping pemuda itu.

"A-aku pulang dulu," ujarnya dengan suara kecil namun dapat kami dengar. Kami berempat menganggukan kepala kami, menerima salam selamat tinggalnya. "S-sampai bertemu lagi," bisiknya.

Samar-samar, aku mendengar suara pemuda itu berbisik. "Temanmu?"

Tak lama setelah mereka berdua tak lagi tampak, kami berempat menghela napas bersamaan.

Riryn-lah yang pertama kali mengeluarkan suara.

"Enak banget Alenna udah punya pacar. Daku jones, atuh."

Baik aku, Clay dan Metta saling tersenyum canggung.

Wajah Riryn tampak kesal karena suatu hal. Lalu dia menatap kami semua dengan tatapan curiga.

"Kalian, ada yang lagi pacaran?" Kami bertiga menggeleng cepat. "Oh, baguslah! Kukira aku jones sendiri di sini." Riryn mengelap mata-nya yang kering, mendramatis.

Kurasa, dia-lah yang paling heboh sedaritadi dan jujur, Riryn-lah yang sedaritadi membuat keadaan menjadi longgar dan tidak canggung.

Beberapa saat kemudian, bus yang kami tunggu-tunggu datang. Aku mempersilakan Riryn terlebih dahulu menaiki bus, sebab Riryn berada di paling pojok. Saat Riryn memasuki bus dengan langkah lebar menghindari hujan, aku mempersilahkan Clay memasuki bus.

"Err, Ayahku minta aku nunggu di sini saja." Clay mundur hingga punggungnya menyentuh tembok halte di belakang, dipersilakannya Metta untuk lewat.

Metta pun melakukan hal yang sama, berlari memasuki bus dengan cepat.

"Baiklah, hati-hati," ujarku sebelum aku memutuskan untuk berlari masuk ke pintu bus. Tapi langkahku berhenti saat kurasakan sesuatu yang janggal.

Aku sama sekali tidak terkena air hujan di antara banyaknya tetes hujan yang jatuh itu.

Kudongakan kepalaku ke atas dan mendapati pemandangan yang cukup mengagetkan.

Roda besi, mesin yang dilumuri oli, asap hitam dan air yang menetes dari ujung rodanya. Sebuah kereta api yang tengah berhenti tepat di atasku, membuatku dapat melihat bagian bawah dari kereta api itu.

Aku benar-benar tidak mendengar suaranya sedikitpun, mungkin suara itu dikalahkan oleh suara air hujan atau mungkin..., kereta api itu tiba-tiba saja muncul di atasku.

Kulirik Clay yang menatapku bingung, mengikuti arah pandangku sebelum akhirnya dia menatapku heran. Begitupun dengan Metta dan Riryn yang juga melihat ke atas, lalu menatapku bingung dari dalam jendela bus.

Mereka tidak melihatnya?

Ah, tentu saja.

Aku merasakan ngeri yang teramat sangat sampai akhirnya aku memutuskan untuk memasuki bus tanpa berpikir dua kali.

Dari tempat duduk, Metta melambaikan tangannya sambil tersenyum ke arah jendela, sedangkan Riryn melambaikan kedua tangannya dengan heboh ke arah Clay yang sendirian di sana.

Sementara aku?

Tenggelam dalam pemikiranku sendiri mengenai kereta api itu.

Apa sebenarnya kereta api itu?

Dan mengapa hanya aku yang bisa melihatnya?

***TBC***

4 Juni 2016, Sabtu

Cindyana's Note

Mungkin bagi kalian..., chapter ini nggak terlalu penting ya? Si Aku-nya cuman kenalan sama empat cewek di halte.

Tapi kalian tahu nggak sih...

Sebenarnya...

Keempat cewek itu..., pemeran utama dari LFS 2-LFS 5 yang bakal muncul nanti! YUHUUU~

Oke, yaa, jadi nama heroine di sini Tyara yaa...

P/S: Rel kereta api mungkin bakalan banyak lurus, tapi bisa saja rel bisa belok tajam tiba-tiba. Waspadalah~

(Iya, ini saya ngode, tapi buat yang ngerti saja yaah).

[13/01/2016-22:00]

Salam, Cindyana H

🎆

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top