The Fifth Station - "Pretend"
The Fifth Station
Aku tidak pernah menceritakan kejadian yang kulihat tentang kereta api itu sejak beberapa bulan yang lalu. Aku tidak pernah melupakan bagaimana bentakan yang diberikan oleh Mama kepadaku saat aku menceritakannya. Aku bahkan tidak pernah melupakan kalimat yang ia lontarkan untuk meyakinkanku bahwa kereta api itu tidak nyata.
"Sadarlah! Kamu terus menceloteh tentang kereta api itu sejak kematian Kakek dan Nenek. Mama ingatkan sekali lagi yah, Kereta api itu tidak nyata. Itu cuma imajinasimu saja karena kamu mempunyai kenangan yang banyak bersama Kakek dan Nenek tentang kereta api!"
Sejak itu, aku selalu menganggap hal itu adalah taboo yang tidak boleh dibicarakan di publik.
Mau bagaimana lagi?
Menceritakannya di depan orangtua-ku saja, mereka seperti tidak menerimaku. Apalagi menceritakannya kepada publik yang bukan siapa-siapaku.
"Ra?" Gracia menegurku di tengah pelajaran Matematika. "Kamu ngelamun terus kerjaannya akhir-akhir ini. Ada apaan sih?"
Aku tersenyum menanggapinya. "Aku tidak apa-apa."
Gracia berdengus. "Seratus kali aku menanyakan keadaanmu, seratus limapuluh kali kamu menjawab kamu nggak papa."
"Seriusan. Aku tidak apa-apa."
"Seratus limapuluh satu kali." Kali ini Gracia memutar bola matanya kesal. "Kamu nggak percayaan sama aku? Kita udah hampir kenal lima tahun, lho."
Aku menghela nafasku dengan berat. Bagaimana cara meyakinkannya bahwa aku benar-benar baik-baik saja?
"Bukannya nggak percaya." Aku menghela nafasku pendek. "Tapi seriusan deh, aku ceritain pun, sama sekali nggak bisa ngebantu."
Gracia menatapku cemberut. Hanya dialah satu-satunya teman yang peduli denganku sekarang. Aku adalah tipe introvert yang menutup diri sejak dulu, pokoknya yang berbeda dengan Gracia yang terbuka pada siapa saja.
Aku tidak pernah mempunyai teman saat kelas satu sampai akhirnya aku mengenal Gracia saat kelas tiga. Gracia adalah murid pindahan baru dari kota besar yang entah mengapa memilih untuk berpindah ke kota yang lebih kecil seperti kota ini.
Aku tidak pernah berkenalan langsung dengan orang. Gracia-lah saat itu yang memaksaku berkenalan dengannya saat itu. Lihat saja saat perkenalan di halte, aku diam kayak orang bego sampai Riryn-lah yang mengajakku berkenalan.
Oh ya. Ngomong-ngomong saat di bus hari itu, Metta dan Riryn meminta contact-ku. Aku punya contact mereka di ponselku. Aku ingat jelas saat Riryn berdecak karena tidak mendapatkan contact Clay dan Alenna.
"Kalau begitu ceritain. Biar aku yang nyimpulin sendiri."
Aku menghela nafas panjang. "Kamu nggak bakalan percaya ini, Cia." Aku meratapi langit biru dengan tatapan kosong. "Sebaiknya kamu nggak tahu."
Gracia lagi-lagi berdengus kesal. "Oke-oke. Aku nggak bakal maksa. Tapi kapanpun kamu mau cerita, aku bakal siap dengerin."
Aku melemparakan senyuman tipis. Inilah alasan mengapa pertemanan kami langgeng hingga lima tahun. Gracia yang manja sebenarnya punya sifat yang pengertian.
*
Begitu aku membuka pintu rumah, aku di hadiahkan oleh kemunculan dua pasang sepatu yang masing-masingnya adalah sepatu hak tinggi dan sepatu pemuda. Senyum lebar terbesit di bibirku dan tanpa keraguan, aku berlari sambil mengucapkan salam dengan semangat.
"Aku pulang!"
Tapi langkahku terhenti saat aku mendengar suara dari ruang keluarga. Aku melangkah pelan tanpa suara, mengusahakan aku bisa mendengar percakapan mereka tanpa menganggu mereka sama sekali.
"-sudah kubilang sejak awal!"
Ah, suara Mama.
"Apa-apaan maksud perkataanmu itu?! Kau ingin bilang kalau kau tidak menganggapnya?!"
Suara Papa. Membentak Mama.
"Sudah kubilang sejak awal! Kalau terus-terusan begini, Tyara yang akan dapat imbasnya!" Mama berseru dengan suara keras, mengatasnamakan namaku.
Ada apa ini?
"Kalau begitu, segera berhenti dan perhatikan dia!" balas Papa tak kalah kerasnya.
"Aku masih ingin bekerja. Mengapa tidak kau saja? Ini benar-benar merepotkan!"
"Tugas suami menafkahi keluarganya. Jangan pernah bilang kalau kau menyesal telah melahirkan-"
"Aku tidak pernah mengatakannya. Tapi kalau kau meminta pengakuan, aku memang sedikit menyesal." Mama memotong.
DEG.
Nafasku serasa berhenti.
Menyesal soal apa? Me-lahirkanku?
"Tapi sisanya tidak terlalu. Aku masih ingat dengan Ayah dan Ibu yang dulu mendesak ingin mempunyai cucu."
Ayah memotong dengan nada yang terdengar sinis. "Sebagai pemegang alih waris, maksudmu?"
Sekarang, aku tahu arah pembicaraan mereka. Meskipun aku memang tidak terlalu mengerti soal alih waris-alih waris itu, aku mengerti apa yang sebenarnya sedang mereka bahas dan apa yang mereka perdebatkan tadi.
Aku..., anak yang tidak diinginkan.
Aku merasa dimanfaatkan oleh orangtua-ku sendiri meskipun aku paham bahwa mereka-lah yang membawaku ke dunia ini.
Bahkan Mama, menyesal telah melahirkanku.
Lalu, apa sebenarnya tujuanku hidup disini? Apa sebenarnya rencana mereka mengurungku di dunia mereka? Apa aku boleh pergi? Apa aku boleh menghilang saja? Apa aku boleh?
Mengapa sikap egois itu bisa muncul dan menyakiti orang?
"Sudahlah. Jangan membahas itu lagi." Suara Mama terdengar kembali, dengan penekanan yang jelas disetiap kata-katanya.
Tak lama kemudian terdengar suara televisi dibuka. Aku memutuskan untuk naik ke lantai atas tempat dimana kamarku berada. Merenungkan ucapan-ucapan mereka di dalam hati.
"Hanya imajinasi, hanya halusinasi. Jangan dengarkan, jangan pikirkan." Kuucapkan mantra pendek yang sering kuucapkan saat kereta api itu muncul.
Tapi, alasan aku mengumamkan kata-kata itu kali ini berbeda. Bukan untuk memanipulasi pemikiranku tentang tidak adanya keberadaan kereta api itu. Tapi untuk memaksa pikiranku untuk melupakan semua kata-kata yang mereka katakan tadi.
Jangan dengarkan, jangan pikirkan.
"Tyara?" Terdengar suara Mama dari luar pintu dan kemudian dia mengetuk pintunya. "Kapan kamu pulang? Ayo makan siang di bawah."
Aku menghirup nafasku kuat-kuat, menahannya sejenak lalu membuangnya pelan-pelan. Aku berjalan ke arah pintu, memutar kenop dan memberikan senyuman hangat.
"Mama pulang?"
Mama mengangguk. "Kantor lagi nggak sibuk. Lagipula sudah tutup buku dan Mama udah nggak ada kerjaan lagi di kantor."
Aku masih setia dengan topeng senyum yang kini tengah kugunakan. "Papa?"
"Papa juga di bawah. Yuk turun."
Saat turun itulah aku melihat Papa sudah duduk di meja makan yang besar dan nyaris tak pernah terisi oleh orang-orang itu.
"Anak Papa sudah pulang sekolah, rupanya."
Aku terkekeh kecil lalu duduk di seberangnya. Mama duduk di tengah dan kami mulai makan makanan yang dimasak bi Erni.
Biasanya, aku akan antusias jika makan bersama.
Namun kali ini berbeda.
Makanan yang dimasak Bi Erni yang keahlian masaknya menyamai chef-chef di restoran bintang limapun, terasa hambar di lidahku. Namun kucoba menelannya dengan paksa.
Setelah kupikir-pikir, aku memutuskan untuk bersikap biasa saja. Aku hanya perlu berpura-pura tidak mendengarkan percakapan tadi dan semuanya akan baik-baik saja.
Aku hanya perlu mengikuti alur yang mereka buat, seperti bagaimana kereta api mengikuti relnya. Akan tetap ada satu tujuan yang sampai sekalipun itu adalah jalan buntu.
Tapi..., selama aku belum berada di depan jalan buntu, aku masih bisa menikmati perjalanan.
Tunggu sampai aku melihat jalan buntunya, dan..., aku hanya perlu berputar ke arah dimana aku datang.
Begitu, kan?
***TBC***
14 Juni 2016, Selasa
Cindyana's Note
Finally, kalian akhirnya membaca sisi gelap Tyara. Mungkin bukan sisi gelap ya, namanya...err, sisi lain dari Tyara? Sound like a psycho? Ah, saya rasa tidak.
Cerita ini lebih ke Slice Of Life, dan bagian fantasy-nya hanya di kereta api itu.
Santai saja, para penumpang. Kereta api masih akan melaju, tempat peberhentian selanjutnya akan menambah penumpang, atau mungkin mengurangi. Tergantung kemana tujuanmu mengikuti gerbong cerita ini.
Perjalanan masih akan dilanjutkan, have a nice trip!
Diketik tanggal [16/01/2016-00:28]
Salam, Cindyana
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top