The Fifteenth Station - "Heartache"

Acara perpisahan kemarin sore berlangsung khidmat. Acara itu adalah acara yang menandakan bahwa semua murid angkatan kelas sembilan tahun ini telah lepas sepenuhnya dari sekolah. Status 'murid' berganti dengan status 'alumni', meskipun aku tidak tahu apakah masih ada yang melanjutkan SMA-nya di sana. Langit cerah, semuanya masih berkumpul dengan sehat, dan semua kenangan itu disimpan dalam sebuah video recorder yang rencananya akan diputar kembali saat reuni nanti.

Aku memperhatikan kebaya emas yang kukenakan kemarin. Aku menyewanya dari sebuah toko yang tidak jauh dari rumahku, toko yang memang memberikan jasa pinjaman kebaya.

Kemarin kami sekelas yang putri, menjadikan kebaya sebagai pakaian formal kelas kami. Semua rambut kami disanggul ke atas. Kami sempat memotretnya, membekukannya dalam sebuah foto, menjadikannya kenangan untuk selamanya.

Ada sesuatu yang membuatku begitu sakit kemarin. Kedua orangtuaku tidak mendatangi acara perpisahan. Memang, acara itu bukanlah acara yang wajib dihadiri oleh orangtua sekalian. Lucunya, semua orangtua datang, terkecuali Papa dan Mama.

Lucu.

Acara yang memang seharusnya adalah acara yang menghantarkan perpisahan juang, menjadi acara yang begitu menyakitkan.

*

Aku berhenti berlari saat berada di depan sebuah toko buku yang mempunyai peneduh, tepatnya, tempat terdekat yang dapat kutemui di hari hujan deras begini.

Jujur, aku menyesal tidak membawa payung sesuai dengan yang diingatkan oleh Gracia di telepon tadi. Padahal, langit begitu gelap, para awan berwarna kelam suram dan matahari tak diizinkan untuk bertemu dengan bumi.

Ada banyak orang yang berteduh di sini, sebuah kendaraanpun tak tampak di jalanan seperti biasanya, saking derasnya hujan. Ada beberapa orang yang berlagak tak peduli, dia tetap saja membaca bukunya, tanpa takut bukunya terkena air hujan.

"Tyara?"

Aku pun menoleh, dan mendapati Riryn tengah menatapku dengan senyuman lebar di wajahnya. Dia membawa plastik putih yang berisikan buku, tampaknya dia baru saja keluar dari toko buku itu tersebut.

"Kamu ngapain disini?"

Aku tersenyum saat dia mendekat. "Numpang teduh," jawabku.

Riryn mengulurkan tangannya kepadaku dan menatapku galak. "Pajaknya, seribu rupiah per menit!"

Aku hampir menyemburkan tawaku jika aku tidak menahannya dengan sepenuh hati. "Aku baru teduh kok, belum semenit malah."

Riryn langsung gelagapan. "Aku cuman bercanda kok, jangan dibawa serius, apalagi ke hati. Nanti kamu baper, lho."

"Apa-apaan itu?" tanyaku dengan kening berkerut.

"Aih, kamu ini..." Riryn pun berdiri di sampingku. "Eh, Ra. Aku denger-denger, kamu dan Alenna baru selesai UN ya?"

Keningku makin berkerut mendengar itu. "Uhm, iya." Hanya aku dan Alenna? Berarti sisanya berbeda?

Seolah mendengar pertanyaan dalam benakku, Riryn berkata, "Aku, Clay sama Metta SMA satu otewe dua!"

Aku pun ber-oh ria.

"Aih, Bunda bakal marah lagi deh, lihat aku basah kuyup lagi hari ini, huuu." Riryn mengerucutkan bibirnya.

Riryn..., beruntung yah?

Aku tahu semua orang punya masalah. Tergantung bagaimana mereka menerima dan menghadapi masalah itu. Bukannya aku ingin mengatakan bahwa Riryn tidak punya masalah. Tapi seandainya dia punya masalah sekarang, dan dia masih bisa tertawa seperti itu...,

Riryn adalah orang yang paling hebat menyembunyikannya.

Tapi, itupun kalau dia ada masalah.

"Tapi...,"

Riryn menatapku dengan senyuman lebar. Atau...., bukan? Entahlah, aku seperti melihat dirinya menatapku dengan pandangan kosong.

"Aku sedang pengen hujan-hujanan." Riryn meloncat keluar dari peneduh, lalu berlari ke arah jalan yang tadinya membawaku kemari. "Bye, Tyara!"

Dari kejauhan aku melihatnya melambaikan tangannya dengan semangat. Riryn masih memasang senyuman di bibirnya. Wajahnya sudah dirintiki oleh air hujan. Air yang mengalir dari matanya, entahlah itu air hujan atau air matanya.

*

Tangisan langit mereda, namun masih mendung dan gelap. Tampaknya langit mengizinkan kami semua untuk keluar dari perteduhan. Hampir setengah jam aku terjebak di toko buku itu. Selama itulah aku terus memikirkan pandanganku tentang Riryn, orang yang kukenal di halte bus saat hujan deras bersama tiga orang lainnya, kurang-lebih satu setengah tahun yang lalu.

Bukan butuh perjuangan untuk menjangkau rumah Gracia yang meskipun telah dekat, namun masih belum tampak dimata. Apalagi genangan air yang sesekali menganggu mulusnya perjalanan. Aku harus ekstra hati-hati untuk tidak menginjak genangan, atau air genangan itu akan bercipratan dan membasahi sepatuku.

Begitu aku sampai di depan rumah Gracia, aku sudah melihat pintu rumahnya terbuka, dan Gracia duduk di kursi depan, meratapi langit. Wajahnya yang tadinya gelisah pun cerah kembali saat matanya menemukanku.

"Tyara. Ugh, untunglah." Gracia menatapku dengan senyum lega. Segera dibukanya pagar rumahnya dan mempersilahkanku masuk. "Kukira kamu nggak bakal datang. Oh iya, film-nya belum diputar dan kue-nya masih ada seporsi untukmu."

"I...,ya."

"Kamu lari ya?" tanya Gracia sambil menatapku yang tengah ngos-ngosan dengan perihatin. Lalu, Gracia menatap ke arah langit. "Kayaknya bakal hujan lagi," gumamnya.

"Iya, kayaknya," ujarku menyetujuinya.

Gracia mempersilahkanku masuk duluan, barulah dirinya menyusul sekaligus menutup pintunya. "Yuk, masuk," ucapnya.

Begitu melangkah masuk ke rumah Gracia, aku langsung merasa hangat. Segera kubuka sepatu yang sebenarnya menyempit tiba-tiba, seperti meminta dibebaskan. Gracia menungguku hingga aku bangkit dengan telanjang kaki.

"Tinggal aku ya?" tanyaku saat melangkah masuk. Gracia mengangguk menanggapiku.

Dari sini saja, aku dapat mendengar keributan yang terjadi di ruang tamu. Suara para gadis yang sebenarnya memang adalah acara untuk para putri di kelas kami. Kali ini dengan pakaian casual, jadi aku tidak mungkin salah kostum lagi. Bukan maksud diskriminan disetiap acara, tetapi menurut mereka, pesta perempuan paling tidak enak jika laki-laki terlibat di dalamnya. Katanya sih, mereka tidak bisa di atur, terus seenaknya saja (Mereka menelitinya saat acara BBQ, natal dan setiap tahun baru). Lagipula para laki-laki dikelasku tidak protes. Malahan mereka membuat pesta anti-perempuan dan membuat acara sendiri dengan acara utama menonton bola.

Baru saja sampai di lorong rumah Gracia, tiba-tiba saja terdengar percakapan dari dalam, yang membuatku dan Gracia membatalkan niat kami untuk masuk karenanya.

"Tinggal Tyara yang belum hadir?" Suara Sarah terdengar.

"Iya, kayaknya dia tidak datang. Tapi Gracia nekad menunggunya diluar, hujan-hujan begini lagi." Entah suara milik siapa itu.

"Dia datang tidak yaa?"

Tangan Gracia terulur hendak menjangkau kenop pintu, namun terhenti diudara begitu suara Putri terdengar jelas dikeheningan yang tiba-tiba itu.

"Kalian sadar nggak, sih? Kemarin, hanya orangtua Tyara yang nggak datang."

Terdiam. Baik aku, Gracia maupun semua orang yang berada di dalam sana.

"Uh-uh. Katanya orangtua Tyara itu business people, kan? Ibunya saja wanita karir."

"Kasihan yah, Tyara."

Aku tidak nyaman dengan hal yang diungkapkan oleh mereka, namun aku tak kunjung masuk untuk menghentikan obrolan mereka.

Tubuhku mengkhianatiku, seperti memintaku diam mendengarkan ucapan mereka, menunggu saatnya dimana seseorang membelaku dan sependapat denganku. Atau mungkin..., bukan?

"Ra...."

"Ini bukan apa-apa, kok," bisikku kepadanya, tak lupa senyuman andalan yang selalu menutup kenyataan dipandangan orang lain setiap aku bersedih. "Ayo, kita masuk."

Tanganku terulur hendak menyentuh kenop. Saat itulah aku tahu bahwa tanganku tengah bergetar. Aku tidak tahu. Mereka tidak menyakitiku. Mengapa aku bisa seperti ini?

Tapi aku tetap memutar kenop, dan mendorong pintu itu, membuat dinding yang memisahkan pun terbuka, menyatukan dua ruang.

Keadaan di dalam sana langsung hening. Hening sampai aku bahkan bisa mendengar suara jam yang tengah berdetik, bahkan aku bisa mendengar suara air yang menetes dari kejauhan. Ekspresi mereka semua bermacam-macam, namun yang paling dominan adalah ekspresi panik seperti tertangkap basah. Sepertinya mereka semua sadar bahwa aku telah mendengar perbicaraan mereka.

"Maaf ya, aku terlambat. Aku terjebak hujan," ucapku dengan senyuman menyesal.

Mereka semua mengerjapkan mata, Gracia menggeleng-geleng, detik berikutnya barulah mereka semua mengangguk mengerti.

"Kukira kamu nggak bakal dateng, Ra. Untung aja kuenya belum kami habisin." Clara mengucapkannya dengan senyuman paksa, dan tatapan bersalah.

Sarah mencibir dengan sedikit gagap. "K-kalo kita gabung sama cowok, tadi, pasti sudah habis kuenya disedot si rakus Frendy."

Yang lain pun mengangguk menyetujui, sementara aku hanya bisa memasang senyuman tipis. Gracia segera berjalan ke dapur dengan terburu-buru, kemudian kembali membawa seporsi kue dengan topping strawberry.

"...Ra, kamu nggak papa?" tanya Gracia setengah berbisik.

Aku menggeleng. "Nggak papa, kok."

Seketika itu, aku merasakan aura canggung yang dikeluarkan hampir dari semua orang yang tengah duduk di sofa. Saat aku duduk begitu menemukan tempat kosong di salah satu sofa panjang, kecanggungan itu semakin terasa saja. Mereka menggeser dan tampak bersalah saat bersentuhan denganku. Terlihat dari wajah-wajah yang dikeluarkan oleh mereka.

"Ayo kita mulai film-nya."

Putri memasukan CD ke dalam DVD Player, bahkan saat film dimulai, keheningan itu tetap terasa kental disetiap detiknya. Hingga akhirnya terkikis sedikit demi sedikit, teralihkan oleh film seiring dengan waktu, dilupakan sepenuhnya, dan tidak akan pernah dibahas sampai kapanpun.

*

Di sekitar waktu maghrib sebelum matahari tenggelam sepenuhnya, dan hujan telah berhenti sepenuhnya dan menciptakan genangan disetiap sudut jalan, aku berjalan pulang dengan kejadian yang terjadi di rumah Gracia tadi. Satupun scene di film tadi sama sekali tidak sangkut di kepalaku. Bebanku terasa makin banyak saja.

Apakah pantas anak seusiaku ini memikirkan hal-hal yang tergolong beban seperti ini? Aku tidak tahu.

Kurasa sampai dirumah nanti, dengan merenungkan diri dibawa air dingin akan menenangkanku. Mungkin sedikit musik klasik dan teh. Oh, mungkin aku akan membaca buku cerita yang kubawa dari rumah kakek nenek hari itu. Banyak hal yang bisa kulakukan, ada banyak hal yang bisa mengalihkan pemikiranku, ya.

Tapi rupanya, begitu rumahku kelihatan, hal pertama yang mendominasi halaman rumah adalah mobil silver dan hitam, milik Papa dan Mama.

Dari luar melihat saja, aku sepertinya sadar bahwa terapi hari ini tidak akan berjalan lancar. Aku tidak ingin munafik, sebab karena kejadian kemarin, aku tidak ingin melihat mereka. Takutnya, aku malah menangis di depan mereka berdua.

Lagipula ini salahku. Aku tidak meminta mereka datang, dan itu bukanlah acara wajib yang harus mereka hadiri. Mereka sibuk, aku harus mengerti itu. Aku harus senang karena mereka kembali hari ini. Ya, aku harus senang.

Aku pun masuk ke dalam rumah. "Aku pul-"

"Mengapa kemarin kau tidak ambil cuti, huh?"

Ada apa ini?

"Memangnya kemarin kenapa?" Suara Mama terdengar jelas, penuh dengan nada menantang.

"Kemarin itu acara perpisahannya Tyara. Bukannya aku sudah kirim SMS padamu?"

Oh. Masalah itu?

"Aku kan sudah bilang aku tidak bisa." Mama menjawab dengan malas.

"Kau benar-benar tidak punya hati. Bagaimana mungkin kau bisa tidak menghadirinya?!"

"Mengapa tidak kau saja yang pergi?!" Mama membalas dengan tajam.

"Tapi Tyara lebih mengharapkanmu!" balas Papa.

"Oh ya? Darimana kau tahu?"

Sejujurnya..., aku mengharapkan kedatangan kedua dari mereka. Ya, harus kuakui aku adalah anak yang egois, memaksa kedua orangtuaku untuk mendatangi acara perpisahan disaat mereka punya pekerjaan yang lebih penting. Aku tidak bisa menyalahkan mereka berdua, tidak Mama yang menolak datang, atau Papa yang meminta Mama datang.

Aku pernah mendengar pernyataan umum dari banyak orang tentang sosok seorang Ayah. Ayah adalah orangtua yang mencintai putrinya dalam diam, menganggap putrinya lebih menyayangi sosok Ibu. Memang hal yang umum bagi para anak perempuan untuk menyadari itu. Tapi, aku tahu kalau pernyataan itu hanya diambil dari fakta dominan, bukan keseluruhan.

Karena itulah, aku tidak bisa menyalahkan mereka.

"Salahmu sejak awal. Bahkan sebelum dia dilahirkan, aku sudah pernah bilang kalau punya anak, hanya akan menyusahkan kita."

DEG.

"Ucapanku terjadi, Tyara menjadi anak tak terurus!"

"Kau tidak boleh berbicara begitu!"

Tunggu. Ini..., terlalu cepat.

Mengapa aku harus mendengarnya hari ini? Mengapa aku harus mendengarnya? Mengapa harus aku? Mengapa aku mendengarnya? Mengapa aku bisa mendengarnya? Mengapa tuhan membiarkanku mendengarkan hal sesakit ini lagi?

Bukan.

Mengapa aku harus dilahirkan, di sini? Dikeluarga ini?

Ini tidak adil. Mengapa aku harus mendengar kalimat sesakit itu lagi? Setelah aku mencoba mengabaikan kata penyesalan, setelah bertahun-tahun aku mencoba bertahan, tidak mengeluh dan sama sekali tidak meminta banyak. Mengapa? Mengapa?!

"N-non."

Terdengar suara Bi Erni dari belakang. Dia tampak memegang sebuah keranjang sampah ditangannya, dengan wajah pucat pasi dan sekujur tubuhnya terlihat membatu.

"Non tidak apa?"

Tentu saja.

Aku hanya menggelengkan kepalaku dan tersenyum hambar. "Aku naik dulu, Bi. Kalau Papa dan Mama sudah pergi dan makan malam sudah selesai, tolong panggil aku turun ya?"

Bi Erni mengangguk cepat, namun kekhawatiran di matanya masih terlihat begitu jelas. Aku merasakan tatapannya yang menatap lurus ke arah punggungku, bahkan saat matanya tak lagi mampu menangkap sosokku di atas.

Aku masuk ke dalam kamar, menguncinya dengan pelan dan tanpa suara. Aku menatap kakiku yang kini menapak lantai yang warnanya lebih gelap. Kakiku melemas tanpa alasan, tubuhku meluncur turun hingga membuatku terduduk di atas lantai.

Hari ini..., sungguh mengejutkan.

Hatiku sakit, sangat. Aku menunggu air mataku terjatuh, namun air itu tak juga lepas dari mataku. Dadaku sesak tanpa alasan. Pasokan oksigen di paru-paruku terasa habis.

"Keluarlah, keluarlah," gumamku sambil mengepalkan tanganku dan memukul dadaku. "Keluarlah."

Ingin sekali aku melukai diriku, agar rasa sakit hatiku dapat teralihkan. Namun aku tidak menemukan satupun benda tajam di kamarku.

Aku mencari-cari keberadaan benda tajam itu. Apapun itu, gunting, pisau lipat atau bahkan pensil. Pasti ada sesuatu yang bisa digunakan untuk melukaiku, mengalihkan sakit ini dengan luka baru di fisik.

Dan aku sangat ingin menangis.

Mungkin dengan melukai diriku, aku bisa menangis, mungkin.

Detik berikutnya, di tengah keputusasaanku, wajahku memucat menyadari pemikiranku barusan. Apa barusan aku berniat bunuh diri? Bukan, bukan. Aku memang bukan mau mati. Aku hanya ingin melukai tubuhku, itu saja. Tidak lebih. Tapi aku tidak tahu apa jadinya kalau tadi aku menemukan sebuah gunting yang biasanya ada di dalam tasku.

Mungkin aku sudah menusukan gunting itu ke dadaku.

Aku benar-benar harus menenangkan diri. Aku harus. Tapi apa. Buku, mungkin aku butuh buku. Yah, mungkin aku butuh buku.

Aku segera berlari ke arah rak buku, membongkar semua buku cerita bergambar yang mungkin kutemukan.

Emily dan Anjing Liar.

Aku pun naik ke kasurku bersama buku itu, tanpa peduli dengan keadaan kamarku yang sudah acak-acakan. Aku harus segera membaca buku ini dan tenang. Aku harus tenang, ya, aku harus tenang.

Alkisah-tunggu.

Bagian ini terlalu sedih.

Aku segera membalik halaman ke halaman paling terakhir, segera kubaca dalam hati isi ending cerita yang selalu berhasil menenangkanku itu

Emily selalu ingat dengan kata-kata batin yang ditolaknya dahulu. Dia ingat kata hatinya yang memintanya untuk melindungi anjing itu sejak pandangan pertama. Dia melewatkan hal itu dan dia berjanji dalam hati untuk melindungi anjing itu kembali,

Di kesempatan kedua.

Aku janji akan melindungimu.

Selesai.

Tidak-berefek.

Aku pun tiduran di kasurku, sambil memeluk buku cerita itu. Aku yang biasanya tidak bisa tahan dengan kamar yang berantakan pun tak peduli dengan keadaan di sekitarku. Hatiku masih ngilu mengingat setiap kata-kata yang terdengar olehku tadi.

"Hanya mimpi, hanya mimpi."

Saat keheningan menguasai kamar itu, di saat matahari sudah menghilang sepenuhnya di ufuk barat, hanya terdengar suara kendaraan dari kejauhan. Aku gelisah, namun aku memejamkan mataku.

"Hanya mimpi, Tyara. Hanya mimpi."

Saat terdengar suara khas kereta api, pikiranku pun teralihkan. Semua kekhawatiranku meluap begitu saja. Semuanya.

Aetherd.

Kesadaranku perlahan disudutkan oleh rasa kantuk, rasanya tenang. Aku tertidur. Disaat yang sama, aku merasakan pipiku dialiri oleh cairan hangat.

Air itu telah jatuh.

***TBC***

30 Juli 2016, Sabtu.

Cindyana's Note

Ini bukan klimaks. Klimaks-nya next chapter.

Ada yang aneh sama Riryn?
YEAH!

Sekarang, kalo nyuruh saya ngetik ulang Air Train tanpa liat plot, saya gaakan sanggup, saya rasa. Air Train susahnya minta ampun.

Baiklah, saya ngasih tahu urutan pemeran utama di LFS.

1. Tyara [Air Train]

2. Alenna

3. Riryn

4. Clay

5. Metta

Udah FIX dari dulu. Judul amat dirahasiakan, dan juga 'fantasi' yang terjadi, juga sangat rahasia.

[10/03/16-23:13]

CINDYANA

🎆

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top