BAB XVI
BAB XVI
Seharusnya Lucy tersenyum senang, apa yang ia inginkan semua telah tercapai. Adrian Wilder dan beberapa anggota kelompoknya sudah diberi hukuman yang setimpal. Tuntutan berbalik pada mereka dan mereka sudah menerima dampak dari perbuatan mereka.
Frederick Patton dipenjara selama lima belas tahun karena pembunuhan pada Kenneth Landen terbukti, Randy Patton dihukum penjara dengan jangka waktu yang sama seperti anaknya dan dituntut denda sebanyak yang ia ambil dari para pedagang kecil diperas, Garret Luis tidak pernah bebas lagi dan dipenjara seumur hidup, Jimmy Colton, Jennifer Frith, Derek Bowman dan Patrick Aston ditarik jabatannya dan diblokir dari akses pemerintahan, mereka juga dikenakan denda dengan jumlah yang berbeda, Keluarga Ranford tidak diberi hukuman karena uang hasil korupsi tidak terbukti telah dikirim pada mereka, Adrian Wilder dihukum penjara seumur hidup dan denda yang sangat banyak terkait kasus korupsi, Giovanni Wilder dipenjara selama lima tahun karena penyalahgunaan badan usaha dan yang terakhir membuat Lucy merasa bersalah, NC Group disegel, tidak boleh beroperasi lagi.
Ia menjadi perempuan yang dikagumi karena berani melawan rezim penguasa yang tidak benar, namun ia juga dibenci karena membuat banyak orang kehilangan lapangan pekerjaan. Semua pekerja NC Group dihentikan. Lucy mengembuskan napas berat, ia udah memikirkan ini dan ia akan mengambil keputusan.
Hari ini ia datang sedikit lebih siang ke gedung NC Times. Beberapa pegawai terlihat mengemasi barangnya, ada pula yang meliriknya kemudian menggerutu kesal. Lucy hanya menunduk. Tujuannya datang ke sini hanya satu.
Lucy naik lift ke ruangan Gio. Saat masuk ruangan, ia terkejut lantaran seorang perempuan paruh baya terlebih dahulu berada di sana, berdiri membelakangi pintu masuk. Perempuan itu berambut keriting pendek, tubuhnya sedikit gemuk, penampilan berkelas, anting emas besar di kedua telinganya. Ia berbalik, Lucy terdiam.
"Oh, kau," ujar perempuan itu datar, kemudian duduk di kursi yang biasa diduduki oleh Gio. "Ada perlu apa kau datang ke sini? Kau sudah menghancurkan semuanya, perusahaanku, juga keluargaku."
Lucy berusaha bersikap tenang, ia maju mendekati perempuan itu dan meletakkan sepucuk surat di atas meja.
"Aku hanya ingin menyerahkan ini."
"Bagus! Tapi kau tidak perlu repot-repot membuat surat ini. Perusahaan ini sudah tutup," sinis perempuan itu, Nyonya Wilder.
"Apa yang terjadi saat ini adalah buah dari perilaku keluarga Anda, Nyonya. Jika Anda dan keluarga Anda tidak rakus akan harta dan kekuasaan, semua ini tidak akan terjadi," ujar Lucy datar.
Mata Nyonya Wilder menatap lucy marah, ia bangkit dari kursinya.
"Kau berbicara dengan lancang! Kau hanya perempuan miskin yang beruntung saat anakku menerimamu di sini! Kau semakin beruntung saat anak Landen dekat denganmu! Sekarang kau merasa hebat?"
Lucy menunduk, tersenyum lemah. "Tapi aku tidak menerima atau memanfaatkan itu semua untuk keperluanku sendiri. Aku masih seorang perempuan miskin dan aku tahu diri untuk mengerti di mana tempatku."
Nyonya Wilder tersenyum sinis. "Oh, kau tahu tempatmu? Itu bagus!"
"Aku mengundurkan diri dan akan pulang ke kampung halamanku."
"Setelah semua ini? Kau memang tidak tahu diri! Tapi syukurlah!" Perempuan itu duduk kembali di kursinya. "Orang sepertimu tidak pantas berada di sini! Kau adalah sampah dan selamanya akan menjadi sampah! Jangan pernah kembali ke New York atau aku, Claudia Wilder akan melenyapkanmu!"
"Terima kasih, aku undur diri."
Lucy keluar dari ruangan, terlihat jelas Nyonya Wilder begitu marah padanya.
Hal pertama sudah selesai, ia berani bertaruh ... hal kedua ini pasti akan sangat sulit.
^^^
"Aku pulang ...."
Lucy bangkit saat seseorang masuk. Itu adalah Kyan, pemilik apartemen. Kyan tersenyum saat mereka saling bertatap muka.
"Kyan, aku ...."
"Ayahku ingin bertemu denganmu, Lu. Ayo kita ke Brooklyn!"
Lucy mengerutkan keningnya. "Apa? Tidak, Kyan! Aku ...."
"Hannah, ayo bersiap! Kita akan ke Brooklyn."
Sepertinya Kyan tidak mendengarkan, Lucy hanya menunduk.
Persiapan tidak membutuhkan waktu yang lama, mereka bertiga pergi ke Brooklyn dengan naik motor Kyan. Hannah duduk di antara mereka. Sepanjang perjalanan, Lucy hanya diam.
Tak lama kemudian, mereka sampai di rumah Kyan. Lucy melihat ke sekeliling. Terakhir ia datang saat seluruh permukaan tanah ditutupi oleh salju, namun sekarang berbeda. Ia bisa melihat gulungan ombak dan indahnya pemandangan di sekitar rumah Kyan, tempat Kyan tumbuh hingga seperti ini.
"Selamat datang! Aku sudah menunggu kalian," sambut seorang laki-laki paruh baya saat mereka bertiga masuk ke rumah. Laki-laki itu tampak sedikit santai bila tidak sedang mengenakan jas hitam, wajahnya ramah.
"Hei Ayah, aku membawa mereka," ujar Kyan melihat pada Lucy dan Hannah.
"Ajak mereka berdua duduk terlebih dahulu, itu akan lebih sopan."
"Tentu, Ayah."
Ada suasana canggung yang terasa di antara Kyan dan ayahnya, meskipun mereka sudah saling menyapa.
"Ayo duduk, Lu! Hannah, selamat datang di rumahku."
Lucy duduk di dekat Kyan lantaran Kyan terus menggenggam tangannya. Hannah melihat ke sekeliling, takjub dengan isi rumah Kyan.
"Kau tidak pernah bercerita tentang rumahmu, Kyan," ujar Hannah masih tidak percaya, sebaliknya Kyan hanya tersenyum.
"Aku sangat berterima kasih padamu, Lucia," ujar laki-laki paruh baya yang ikut duduk bersama mereka, "kau sudah berusaha membantu kami, tapi bodohnya aku, aku lebih percaya pada Ranford. Aku tahu semua dari Kyan saat kau dan adikmu menyebarluaskan informasi itu. Awalnya aku tidak percaya, tapi aku kenal Sanford, aku juga kenal bagaimana anakku. Ia tidak pernah menyerah dan tidak pernah berbohong. Maaf karena aku sempat tidak menyukaimu," ujar Tuan Richard dengan tulus.
Lucy tersenyum, Kyan menatap Lucy senang.
"Well, kau harus makan malam di sini, Lucia! Koki kami sudah memasak banyak karena kalian datang. Kulihat Kyan begitu menyayangimu, jadi aku memperlakukanmu sama seperti anakku sendiri. Rumah ini selalu terbuka untukmu, Lucia."
Ada rona merah di wajah Lucy. Tentu saja ia senang, ayah dari sang kekasih sudah memberi lampu hijau untuknya, namun ia juga merasa sedih di waktu yang bersamaan.
"Hannah, kau bisa tinggal di sini. Kurasa ... rumah ini akan ramai dengan hadirnya anak kecil sepertimu."
Hannah tersenyum lebar. "Benarkah?"
Tuan Richard tersenyum. "Aku sungguh-sungguh. Kau bisa memanggilku Kakek kalau kau mau."
Tanpa ragu, Hannah bangkit menghampiri Tuan Richard, kemudian memeluknya dengan penuh kasih sayang.
"Terima kasih, Kakek!"
"Ayah? Apa kau begitu menginginkan cucu?" sindir Kyan.
"Kalau begitu, bolehkah aku memanggil kalian Ayah dan Ibu?" tanya Hannah.
Dengan cepat Lucy dan Kyan saling berpandangan, kemudian mereka kompak menggeleng. Lucy tersipu malu dan memilih untuk menunduk, sedangkan Kyan menggosok hidungnya tiga kali.
"Well, aku masih belum tua untuk memiliki anak berusia sepuluh tahun. Cukup panggil aku seperti biasa kau memanggilku," ujar Kyan gugup.
Hannah melepas peluknya dari Tuan Richard, pipinya menggembung.
"Hah ... baiklah!" desahnya kecewa.
"Aku akan menunjukkan kamarmu." Tuan Richard bangkit dan menggandeng tangan Hannah. "Anggap rumah sendiri, oke?"
Mereka berdua pergi, hanya tersisa Kyan dan Lucy.
"Ayahku sebenarnya orang yang ramah, Lu. Mudah bergaul dengan siapa saja, hanya terkadang pengaruh orang-orang Circle A membuatnya berubah. Syukurlah kita bisa membawa ayahku menjauhi mereka. Terima kasih, Lu."
"Kyan, sebenarnya ... ada yang ingin kubicarakan denganmu."
"Ada apa, Lu?"
Lucy menatap ke luar dinding kaca, melihat pemandangan laut dan bebatuan yang bisa dilihat dari dalam rumah.
"Bisakah kita ke sana? Di sana tampak sangat indah," pinta Lucy.
"Baiklah."
^^^
Kyan mengikuti Lucy, duduk di bebatuan yang mengarah ke laut lepas dipayungi langit biru. Lucy benar, ini sangat indah! Ia melupakan semua itu, keindahan yang bisa didapat dari halaman rumahnya, sejak kakak dan ibunya meninggal. Sebenarnya Kyan punya firasat buruk saat Lucy mengajaknya. Hal yang ditakutkannya saat ini adalah perpisahan.
"Kyan ... aku ingin kita mengakhiri hubungan ini."
Jantung Kyan seakan berhenti berdetak kala firasatnya berkata benar.
"Ada apa, Lu? Apa aku salah? Ayahku menerimamu dan kau ... hanya perlu menjawabku."
"Aku akan menjawabnya dan jawabanku adalah ... tidak."
Sungguh! Kyan tidak pernah mengira akan hal itu, sang kekasih menolak lamarannya, padahal hubungan mereka selama ini baik-baik saja. Ia melihat kesedihan di wajah Lucy, perempuan itu terus menatap lurus ke depan, ke arah laut lepas, tak menatapnya sama sekali.
Ia yakin, perempuannya juga merasakan hal yang sama seperti yang ia rasakan saat ini, tapi mengapa ia melakukan semua ini?
"Kau tidak perlu melakukan semua ini bila kau tidak ingin, Lu. Apa seseorang mengancammu? Wilder lagi?"
Kali ini Lucy menoleh pada Kyan sesaat, kemudian mengalihkan pandangannya lagi.
"Tidak, Kyan. Bukan ... tidak ada seorang pun yang memaksaku. Aku berpikir ... untuk pergi dari New York."
"Ke Lafayette? Kau tidak perlu mengakhiri hubungan kita bila kau hanya pergi ke rumah ibumu."
"Bukan! Ke suatu tempat. Suatu ... tempat," ujar Lucy lirih, menunduk dalam.
Kyan menggenggam tangan Lucy dan saat itu mereka berdua saling menatap lagi.
"Kenapa kau memutuskan untuk pergi, Lu? Apa kau tidak peduli lagi padaku?"
"Aku merasa banyak yang membenciku karena ditutupnya NC Group."
"Aku bisa mengatasinya! Landen Group masih cukup besar untuk menampung mereka!"
"Aku juga merasa ... keberadaanku menghambatmu meraih mimpimu."
"Lalu bagaimana dengan mimpimu?"
Lucy tersenyum lemah, tangan kanannya memegang pipi Kyan, Kyan merasakan kehangatan dari tangan itu, begitu lembut dan adiktif.
"Aku memilih mimpi yang salah. Setelah keluar dari NC Times, aku memilih mundur."
"Aku juga sudah memilih untuk mundur!" Kyan masih berusaha untuk meyakinkan Lucy agar tidak pergi dari hidupnya.
"Mimpiku dan mimpimu adalah dunia yang berbeda, Kyan. Kau harus menggapai mimpimu! Kau harus tetap menyanyi karena itulah kau! kau mampu memberi kekuatan pada orang lain dengan nyanyianmu." Lucy melepas tangannya, kembali menerawang ke arah lautan. "Aku melihatmu saat bernyanyi di atas panggung, kau sungguh berbeda dan kau tampak sangat bahagia. Aku merindukan hal itu."
"Apalah artinya bila aku berada di atas panggung sedangkan kau tidak ada di sekitarku. Aku sudah berjanji bahwa aku hanya akan menyanyi untukmu, Lu!"
"Kalau begitu berjanjilah lagi!" Lucy menatap Kyan. "Berjanjilah kau tetap bernyanyi dan menjadi penyanyi seperti mimpimu, hal yang kau ungkapkan saat pertama kali kita bertemu."
"Aku tidak mau!"
"Aku memaksa, Kyan."
Kyan mengalihkan pandangannya, keputusan sepihak perempuannya begitu menyakitkan.
"Luke sebentar lagi akan datang menjemputku," ujar Lucy.
Kyan menatap Lucy terkejut. "Tapi ayahku menyuruhmu untuk ...."
"Tidak perlu, Kyan. Aku juga harus berpamitan pada Luke. Berjanjilah untuk menjadi penyanyi, Kyan! Berjanjilah untuk tidak mencari atau menghubungiku lagi."
Mata Kyan membulat tak percaya. "Apa? Tidak!"
"Kyan? Aku memaksa!"
"Aku tidak mau!"
"Berjanjilah untukku, Kyan! Ini bukan pilihan, tapi paksaan."
Kyan terdiam. "Aku tidak mau," lirihnya.
"Aku akan marah bila kau mencariku, jangan pernah tanya pada Luke di mana aku!"
Lucy bangkit dari duduknya, Kyan masih duduk, tidak ingin menatap Lucy.
"Luke sudah tiba," ujar Lucy melihat ponselnya, kemudian menyimpannya kembali, suaranya bergetar lantaran menahan tangis. "Aku menitipkan Hannah padamu. Sampaikan pada ayahmu ucapan terima kasihku karena telah menyelamatkanku. Untukmu ... terima kasih telah mencintaiku, Kyan."
Lucy melangkah, Kyan segera bangkit, menarik tangan Lucy dan membawa perempuan itu ke dalam pelukannya. Saat itu tangis Lucy semakin pecah dan saat itu pula ... pertama kali Lucy melihat Kyan menangis.
"Aku mencintaimu, Kyan."
"Kalau kau mencintaiku, kenapa kau meninggalkanku?"
Lucy tidak menjawab pertanyaannya. "Berjanjilah untuk menjadi penyanyi seperti mimpimu, jangan pernah mencariku!"
Kyan melepas peluknya, kemudian mencium bibir Lucy, saling memagut lembut dalam kepedihan. Perpisahan secara paksa bukan hal yang baru bagi Kyan. Ia pernah dipaksa berpisah dengan kakaknya karena kematian, ia juga pernah dipaksa untuk berpisah dengan ibunya karena kematian, tapi tetap saja hatinya terasa begitu sakit. Ia sangat tidak menyukai perpisahan.
"Bisakah kita bertemu lagi?" tanya Kyan putus asa, ia berharap kekasihnya sedikit memberikan harapan untuknya.
"Tidak!"
Harapan itu putus karena penolakan Lucy yang begitu tegas.
"Lu ...."
Kyan merajuk, seperti anak kecil yang tidak diizinkan untuk membeli permen.
"Aku tidak akan menemuimu!" Lucy masih tegas pada pendiriannya, tidak memberi celah sedikit pun untuk Kyan kembali padanya.
"Kau tidak boleh melanggar janjimu, Kyan! Bahkan untuk beberapa tahun yang akan datang. Berjanjilah untukku sebagai bukti bahwa kau ... memang mencintaiku."
"Tidak!"
"Itu artinya kau tidak mencintaiku," ujar Lucy sambil tersenyum pedih.
Kyan terdiam, Lucy membuatnya tidak punya pilihan selain menuruti keinginannya.
"Baiklah, aku berjanji, Lu."
"Terima kasih, Kyan. Dengan begitu ... aku tahu bahwa cintamu padaku sangatlah besar. Selamat tinggal, Kyan."
Lucy pergi. Kyan melepas tangan Lucy dengan berat. Hatinya yang hangat berubah menjadi dingin kala kekasihnya ... tidak mau lagi berada di sisinya.
^^^
"Cinta tidak pernah bisa kumengerti
Apa arti cinta yang selama ini di hati
Apa yang kucinta, apakah tidak bisa kumiliki?
Bukankah cinta seharusnya mempersatukan hati?
Cinta tidak pernah bisa kumengerti
Sejenak ada dan dalam sekejap ia pergi
Apa yang kucinta, apakah tidak bisa kumengerti?
Tidak bisakah kehangatan ini kudapat dalam cinta sejati?
Oh cintaku ...
Mengapa kau pergi?
Tidakkah kau tahu bahwa aku tidak bisa hidup tanpamu?
Oh cintaku ...
Hati ini menangis pilu
Aku merasa dingin, aku merasa hampa, aku merasa mati
Tanpa cintamu, tanpa dirimu di sisiku."
^^^
Lucy berulang kali menghapus air matanya, air mata itu tidak bisa berhenti sejak ia pergi dari rumah Kyan. Sekarang ia malah merepotkan Luke untuk berhenti di suatu tempat yang tenang.
"Kalau kau begitu kehilangan, kenapa kau malah melepaskannya? Kau juga memaksanya berjanji," protes Luke.
"Aku tidak bisa, Luke. Dia tidak akan pernah meraih mimpinya bila aku terus berada di sisinya."
Luke mengernyit tidak setuju. "Dia tidak perlu! KnK dan Landen Group adalah miliknya."
"Tapi ia tidak menyukainya. Aku melihatnya saat pertama kali bertemu dan ia bercerita tentang mimpinya. Aku ... tidak sampai hati untuk menghalanginya." Lucy menangis lagi. "Aku melihatnya menangis, Luke."
Luke memutar bola matanya, hal yang jarang sekali dilakukannya, kemudian ia memeluk kakaknya.
"Tentu saja, Kak! Dia sangat mencintaimu, sudah pasti dia menangis saat kau memutuskan untuk pergi."
Ada orang yang berkata bahwa seorang lelaki jarang sekali mengeluarkan air matanya, namun ia akan menangis ketika merasakan kepedihan yang sangat dalam sekaligus merasa tidak mampu lagi untuk mengobatinya.
Mungkin saja itu benar.
^^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top