BAB XII

Dua hari yang lalu, Kyan menelepon dan berkata bahwa Lucy mengalami teror selama tiga malam. Malam ini, Kyan ada urusan dan tidak bisa menjaga Lucy, maka Luke mengajukan diri untuk berjaga di apartemen sang kakak. Ia memang melihat sebuah mobil berhenti di kejauhan saat berjaga, seperti mengawasi, kemudian pergi setelah menyadari bahwa Luke ada di sana.

Luke tahu alasan bagaimana bisa kakaknya berada di situasi seperti ini, akan tetapi ia lebih tahu alasan dipanggil ke ruangan kepala kepolisian siang ini.

"Anda memanggil saya?" tanya Luke sopan saat masuk ke ruangan. Di sana tidak hanya ada Patrick Aston, kekasihnya juga ada, orang yang sudah pasti akan membantunya.

"Duduklah, Kinston."

Luke duduk di kursi yang ada di sebelah Sandra.

"Sudah dua hari kau tidak melaksanakan tugasmu, apa kau mau diberi hukuman?"

"Aku sedang mengawasi kakakku, ia mendapat teror tiap malam dan aku melihat mereka mengawasi apartemennya."

"Apa kau mulai percaya fantasi anak remaja?" sindir Patrick.

"Kakakku bukan seorang remaja, Sir," geram Luke, "Ke mana para officer saat warganya membutuhkan pertolongan?"

"Karena tidak ada saksi lain yang melihat kejadian itu! Jendela dilempar batu? Orang yang mondar-mandir di depan pintu? Kau kira kita sedang bermain film laga?"

"Apa pun yang dilakukan Luke juga bagian dari tugasnya, sudah sepatutnya polisi melindungi warga, bukan menganggap laporan sebagai cerita fiksi," ujar Sandra menatap tajam Patrick.

"Kau tidak perlu ikut campur, Sandra!" geram Patrick, terlihat jelas dari wajahnya bahwa ia kesal dengan pembelaan Sandra pada Luke.

"Bagaimanapun, urusan pribadi dalam pekerjaan menunjukkan tidak profesionalnya seseorang dalam bekerja," ujar Patrick.

Sandra berdehem. "Lucy adalah warga New York dan adiknya kebetulan seorang polisi yang diwajibkan melindungi warganya. Lebih baik Anda kembali bersekolah kemudian tunjukkan pada saya siapa yang tidak profesional."

Sandra menatap Luke. "Luke, kembalilah bekerja! Aku akan kembali berbincang-bincang dengan Pak Kepala kita yang terhormat."

"Terima kasih, Sandra."

Luke berdiri kemudian pergi dari ruangan. Samar-samar ia mendengar suara Patrick Aston di dalam ruangan.

"Aku akan mengajukan usulan mengenai pemecatan dirimu." suara Patrick Aston terdengar marah pada Sandra.

Luke tersenyum, posisi Sandra tidak akan terancam hanya karena hal ini, ia inspektur polisi berbakat yang ditunjuk langsung tanpa harus melalui tes dan segala macamnya, tidak akan mudah untuk menyingkirkannya.

^^^

Hari mulai beranjak siang, sejujurnya Lucy tidak tenang menjalani hari-harinya berpisah dengan Hannah. Ia memikirkan bagaimana kondisi anak perempuan itu karena hanya seorang diri di apartemen dengan teror sepanjang malam.

Teror itu mengancamnya, di malam kedua ada orang yang menyorot jendela kamarnya dengan senter dan ketika pagi hari beberapa penghuni apartemen menjadi heboh karena ada tulisan berwarna merah di depan pintu apartemen Lucy.

'Kau akan mendapat apa yang kau inginkan'

Dalam hati ia bersyukur karena Kyan bermalam di sana, ia membantu membersihkan pintu. Kalau saja tidak ada Kyan, ia pasti sudah ketakutan.

"Lima hari ini kau selalu melihat jam dinding, apa yang kau pikirkan?" tegur Gio, "apa ada sesuatu di luar pekerjaan yang begitu mengganggumu?"

"Jika memang ada yang menggangguku, sebaiknya kau tidak perlu tahu."

"Aku bisa menghilangkan segala hal yang mengganggu pikiranmu itu."

Lucy tersenyum sinis. "Apa kau berubah profesi menjadi cenayang atau sejenisnya?"

"Menikahlah denganku."

Lucy tercekat, ia mencoba memasang kembali pendengarannya. Tidak mungkin salah dengar, kan?

"A ... apa?"

"Menikahlah denganku."

Tatapan Gio lurus pada matanya, tajam dan tidak ada keraguan di dalamnya. Ini seperti saat mereka pertama kali bertemu, tatapan yang seakan menelanjanginya.

"Jangan bercanda!" tegas Lucy, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bila perkataan Gio tidak serius.

"Aku sungguh-sungguh! Menikahlah denganku! Aku akan menjamin semuanya," ujar Gio kali ini lebih santai sambil menyandar pada kursinya. "Aku bisa menyiapkannya hari ini juga. Gaun pengantin mewah, ballroom, hidangan, semuanya. Kau hanya tinggal berkata 'ya', besok kita sah menjadi suami-istri."

"Tidak!"

"Aku tidak suka penolakan, Lucia."

"Bukankah ini hanya tawaran? Kau menjamin hidupku dengan menikahimu, tapi aku menolaknya."

Gio mengangkat sebelah alisnya. "Kau menolak?"

"Maafkan aku, tapi aku benar-benar menolak tawaranmu ini. Aku ingin makan siang, permisi."

Lucy pergi dari ruangan.

Gio mengurut pangkal hidungnya sambil memejamkan mata. Lucia memang bukan perempuan yang mudah, namun tawarannya ini sungguh-sungguh. Ia tersenyum lemah.

"Sudah kuduga kau tidak berhasil."

Suara seorang laki-laki dari ponselnya, rupanya laki-laki itu mendengar sejak awal pembicaraan mereka.

"Setidaknya aku sudah berusaha, Ayah."

"Sekalipun kau mendapatkannya, ia tetap akan menghancurkan kita. Ia bahkan tidak punya sopan santun saat berbicara denganmu."

"Lakukan apa yang Ayah suka, lupakan aku pernah menahannya."

Suara laki-laki di seberang tertawa.

"Kau hanya menghalangi rencanaku, Nak. Lakukan tugasmu seperti biasa. Masalah hati selalu mengacaukan semuanya."

Gio menutup sambungan teleponnya. Ia memang sudah lama melayani ayahnya. Sejak Lucy datang, ia tidak menuruti semua perkataan ayahnya, namun ia kembali kalah dan tetap harus melayani ayahnya seperti biasa.

Setelah istirahat makan siang, atmosfer di dalam ruangan Gio berubah. Laki-laki itu seakan tidak menganggap keberadaan Lucy. Sebenarnya Lucy tidak keberatan, tapi ia merasa ada sesuatu yang janggal.

^^^

Di sisi lain, Kyan berada di rumahnya, duduk berhadapan sang ayah. Saat-saat seperti ini akan menjadi waktu yang menyenangkan bila ia masih berusia lima tahun, namun kali ini berbeda. Oh! Jangan lupakan bahwa Jessi ada di sana, berdiri tak jauh dari mereka sambil menyila tangannya.

"Paman bisa bertanya padanya langsung bila Paman meragukanku," ujar Jessi dengan nada yang seolah meminta perhatian.

"Kau memutuskan kontrak kerja sepihak dengan Ran Channel, Kyan?"

"Aku ingin fokus pada KnK, Ayah."

"Bohong! Semua gara-gara wartawan itu! Perempuan itu merusak segalanya! Ia membuat Kyan tidak bisa meraih mimpinya, bahkan mengganggu fokusnya pada KnK!" Jessi bersikeras.

"Kyan, wartawan tidak baik untuk kehidupanmu. Jessi benar, apa yang ia lakukan untukmu semata-mata untuk membuatmu sukses ke depannya, seperti Ayah."

"Maaf Ayah, tapi aku tidak mau seperti Ayah."

Gigi lelaki paruh baya itu bergemeletuk, begitu juga dengan wajah Jessi yang berubah merah padam.

"Apa kau bilang?" geram sang ayah.

"Aku menuruti Ayah untuk kuliah di bidang bisnis, aku juga menuruti Ayah untuk mengurusi KnK demi Kenneth. Menjadi seorang penyanyi adalah keinginanku secara pribadi dan aku memilih untuk tidak menjadi penyanyi lagi."

"Demi apa? Demi Lucy?" sinis Jessi.

"Perempuan itu bernama Lucy dan ia bekerja di NC Times?" selidik sang ayah.

"Paman, sebaiknya Paman melarang Kyan berhubungan dengannya!" Jessi memprovokasi.

Kyan menarik napas lelah, lama-lama kesabarannya bisa habis bila ia tetap berada di antara mereka berdua.

"Ayah, kumohon ... tidak perlu mencampuri urusanku." Kyan bangkit dari duduknya. "Tidak perlu mencari tahu tentang Lucy. Bila waktunya tepat, aku sendiri yang akan membawanya ke rumah, meskipun sebenarnya aku tidak suka berada di tempat ini."

"Kyan!" nada sang ayah mulai meninggi.

"Maaf, masih banyak yang harus kulakukan, Ayah."

Kyan berjalan melewati Jessi dan saling melempar tatapan tajam, seakan saling mengancam hanya melalui isyarat mata saja, kemudian Jessi memutar bola matanya.

"Jangan kekanakan, Kyan. Apa yang kami lakukan ini baik untukmu."

"Maaf Jessi, bagiku kau dan semua orang-orangmu itu yang lebih kekanakan daripada aku," ujar Kyan dingin.

Kyan berbalik mentap ayahnya. "Ayah, aku hanya ingin Ayah tahu bahwa aku tidak pernah setuju dengan keputusan Ayah tentang pemilu." Kemudian Kyan pergi.

Ia sudah menduga, Jessi ada di balik semua ini. Ayahnya terlalu sibuk dengan urusan harta sehingga tidak bisa membedakan mana yang membawa pengaruh baik dan mana yang membawa pengaruh buruk di hidupnya. Ayahnya sudah dibutakan dengan jaminan kehidupan, harta, juga nama besar.

^^^

Perdebatan dengan sang ayah tidak pernah berakhir dengan baik bagi Kyan, termasuk perdebatan kemarin sore. Setelah pergi, ia langsung menuju KnK, masuk ke ruangannya dan melihat foto-foto ibu juga kakaknya yang ada di sana. Semua yang ia lakukan di KnK adalah untuk mereka, tidak mungkin ia melepaskan KnK begitu saja. Setelah cukup berdiam diri, ia menatap jendela yang menghadap NC Times dan menemukan Lucy pulang dengan wajah lelah. Perempuan itu sepertinya baru pulang, namun ada yang berbeda. Ia seperti sedang diawasi. Kyan mengerutkan keningnya, ia punya firasat buruk tentang ini!

Ia bergegas menghampiri Lucy yang ada di seberang jalan.

Tepat! Kyan menarik pergelangan tangan Lucy hingga perempuan itu tersentak, berada dalam pelukannya. Hanya selang beberapa detik saja sebuah motor melintas dengan kencang, pengendaranya mengenakan jaket kulit warna hitam dan helm hitam yang tertutup, ia menoleh ke belakang sesaat sambil terus berlalu. Laki-laki itu sudah pasti telah lama mengincar Lucy dan ingin mencelakainya.

"Kyan?" Lucy terkejut.

"Kau tidak apa-apa?"

Lucy terdiam sesaat, kemudian mengangguk. Barulah saat itu Kyan melepaskan peluknya, menarik napas lega.

"Syukurlah kau tidak apa-apa! Laki-laki tadi mengincarmu."

Lucy mengerutkan keningnya. "Benarkah?" tanyanya masih seperti orang yang kebingungan.

Kyan menatap kedua mata Lucy sambil memegang pundaknya, namun mata perempuan itu tak fokus, seakan sedang menyembunyikan sesuatu.

"Aku baik-baik saja, Kyan," elak Lucy, "aku harus segera pulang dan memastikan keadaan Hannah aman."

Lucy berjalan, namun ada yang aneh dari cara berjalannya. Sedikit pincang. Kyan memegang tangan Lucy dan memaksanya berbalik. Ada luka di kedua lututnya! Juga sedikit memar di pergelangan kaki kanannya.

"Aku akan mengantarmu pulang."

"Tidak perlu, Kyan! Aku ...."

"Tidak ada komplain, Lu."

Lucy terdiam, dengan berat hati ia menuruti apa kata Kyan.

Hannah menyambut dengan senyuman lebar begitu Kyan membukakan pintu untuk Lucy. Hannah memeluk Kyan erat.

"Kyan!"

"Hei Hannah ... apa kau baik-baik saja?"

Hannah mengangguk mantap.

"Bagus!" ujar Kyan sambil mengacak pelan rambut Hannah.

"Tapi Lucy tidak," ujar Hannah sambil menunjuk Lucy yang berjalan tertatih-tatih hendak duduk di sofa.

"Hannah?" panggil Lucy dengan isyarat agar Hannah tidak berbicara lebih banyak.

Kyan mengerutkan keningnya. "Oh ya?" tanya Kyan yang berjalan mengikuti Hannah, hendak duduk bersama Lucy.

"Kemarin seseorang mendorong Lucy hingga terjatuh ke tengah jalan, sebuah mobil hampir saja menabraknya."

"Oh! Kapan itu?" Kyan benar-benar menjadi cemas.

"Kemarin sore! Saat kami berdua keluar untuk membeli bahan makanan," jawab Hannah.

Kyan menatap Lucy, mencari kebenaran dari matanya.

"Kenapa kalian tidak memesan makanan delivery? Kalian juga bisa menelepon KnK dan mencariku."

"Lucy berkata itu tidak perlu karena hanya akan merepotkanmu."

"Lu?"

"Aku baik-baik saja, Kyan, sungguh!"

"Keadaanmu menunjukkan sebaliknya."

Lucy terdiam, ia tidak tahu lagi harus berkata apa, sedangkan banyak hal yang mengganggu pikirannya.

Kyan menarik napas panjang. Sama halnya dengan Lucy, Kyan juga memikirkan banyak hal, termasuk yang satu ini.

"Apa yang harus kulakukan agar kau baik-baik saja?" tanya Kyan putus asa.

"Aku baik-baik saja," Lucy masih bersikeras.

"Besok pagi aku akan mengantarmu bekerja dan mengantarmu pulang sore harinya."

"Tapi aku tidak mau merepotkanmu!"

Kyan tersenyum, menggenggam kedua tangan Lucy.

"Harus berapa kali kukatakan? Aku tidak keberatan direpotkan olehmu. Aku ingin kau bergantung padaku, Lu."

"Lucy! Sebaiknya kau menerima tawaran Kyan!" Hannah turut meyakinkan.

Kyan melepas tangannya, kemudian tersenyum pada Hannah.

"Hannah benar," ujar Kyan.

Kemudian Hannah mendekati mereka berdua dan memeluk mereka.

"Karena aku tidak memiliki siapa pun lagi di dunia ini kecuali kalian berdua. Kalian berdua sudah seperti ayah dan ibuku."

Kyan kaget, begitu pula dengan Lucy. Mereka saling menatap satu sama lain kemudian tertawa renyah, membalas pelukan Hannah.

"Kami akan selalu baik-baik saja untukmu, Hannah," ujar Lucy lembut.

Mereka saling menyayangi satu sama lain tanpa adanya ikatan keluarga. Hubungan yang manis di antara Kyan, Lucy, dan Hannah.

^^^

NC Times sudah sepi, tidak seperti biasanya Gio hanya ada di kantor hingga tengah hari. Lucy segera menyelesaikan pekerjaannya, tidak peduli jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Ponselnya berdering, dua kali, tiga kali, ia mengabaikannya. Sudah pasti Kyan yang meneleponnya karena menunggunya di depan untuk mengantarnya pulang.

Pada dering yang keempat, Lucy baru menyadari bahwa yang menelepon dirinya bukanlah Kyan, melainkan nomor yang tidak dikenal. Lucy ragu, namun tetap mengangkatnya.

"Ha ... Halo?" tanyanya sedikit takut.

"Lucia Kinston? Benarkah ini kau?" suara berat seorang laki-laki, ia merasa tidak pernah mengenali suara ini.

"Siapa ini?" jantung Lucy mulai berdegup kencang.

"Aku bersama dengan anak perempuan ini."

"Hannah?" Lucy tercekat, ia sudah mulai panik meskipun penelepon belum menyebutkan nama Hannah.

Suara di seberang tertawa. "Datanglah ke Doyers Street sekarang juga atau nyawa anak perempuan ini akan melayang."

"Kau tidak bisa melakukan itu!"

"Kau tidak percaya padaku?"

Kemudian Lucy mendengar suara anak perempuan berteriak di seberang, membuat Lucy semakin panik.

"Baiklah! Baiklah! Aku akan ke sana!"

Lucy menutup teleponnya dan mengemasi barang-barangnya. Ia harus bergegas pergi ke tempat yang telah ditentukan tanpa berpikir panjang terlebih dahulu.

Lucy berlari, mencari taksi yang kebetulan lewat agar ia bisa cepat sampai di Doyers Street.

"Chinatown, Please."

Pengemudi hanya diam dan menjalankan mobilnya. Tak lama setelah itu Kyan menelepon, sepertinya tidak hanya sekali.

"Ada apa?" tanya Lucy dengan napas yang memburu.

"Ada apa denganmu? Kau mau pergi ke mana? Aku menunggumu di dekat KnK dan kau pergi naik taksi?"

"Sesuatu terjadi pada Hannah! Mereka membawanya!"

"Hannah? Bukankah Hannah ada di apartemen?"

"Aku mendengar suaranya!"

"Kau yakin itu suara Hannah?"

"Aku tidak bisa berpikir lagi! Kita bertemu nanti!"

"Tidak ada nanti! Ke mana kau pergi?"

"Doyers Street."

"Doyers Street? Itu tempat berbahaya di malam hari!"

Suara Kyan meninggi, tidak seperti biasanya.

"Sudut berdarah itu hanya mitos, Kyan."

"Kau tidak boleh pergi ke sana!"

"Aku harus! Demi Hannah!"

Lucy menutup teleponnya, kemudian menyimpannya. Berkali-kali ia mendengar nada dering khusus yang dipasang saat Kyan menelepon, tapi ia mengabaikannya. Maaf Kyan ... batin Lucy. Ia hanya tidak ingin terjadi sesuatu pada Hannah.

Ini seperti saat ia pergi bersama Kyan dulu, Chinatown. Hanya saja suasana di Doyers Street tidak seperti sudut-sudut Chinatown yang lain. Lebih sunyi dan gelap. Hanya ada satu dua orang yang melintas, tapi mereka tidak peduli dengan sekitar.

Bulu kuduk Lucy meremang, ia mendadak takut, terlebih saat melihat sudut menikung di jalan ini. Doyers Street dijuluki 'Bloody Angle' lantaran pada jaman dahulu kasus pembunuhan lebih sering terjadi di sudut ini dibandingkan dengan sudut lain di New York, adanya pertarungan antar geng juga mendukung fakta bahwa banyak orang yang menjadi korban pertarungan antar geng tersebut di tempat ini.

"Aku tahu kau pasti datang!" suara laki-laki mengagetkan Lucy.

Lucy berjingkat. "Siapa kau?" teriaknya lantang, memberanikan diri.

Seorang laki-laki keluar dari bayangan gelap, ia memakai jaket hitam dengan tudung. Laki-laki itu seperti dikenal olehnya, tapi ... ia sulit untuk mengingatnya.

"Kau?"

Lucy mengenalinya, itu Garret Luis!

Laki-laki itu tertawa. "Benar! Aku yang sudah membunuh August Sanford dan Olivia Malden."

"Bagaimana bisa kau bebas?" pekik Lucy.

"Kau tidak perlu tahu!"

Jantung Lucy berdegup begitu kencang, ia merasa jari-jari tangannya mulai mendingin.

Tak lama kemudian, dua orang laki-laki menyekapnya dari belakang, seorang memegang lengan kiri dan seorang lainnya memegang lengan kanan. Lucy meronta, berusaha sebisa mungkin melepaskan dirinya.

"Apa yang kau lakukan? Lepaskan aku!"

Laki-laki itu mendekat dan menghapus jarak dengan Lucy.

"Langsung saja sesuai perintah," ujar laki-laki yang memegang lengan kiri Lucy.

"Mereka tidak akan marah dengan yang kita lakukan! Meskipun tertangkap, kita akan segera bebas," ujar Garret Luis.

Sekarang Lucy benar-benar takut, terlebih saat Garret di hadapannya mulai mengeluarkan pisau lipat dari dalam saku. Ia merasa hidupnya akan berakhir saat ini.

"Hanya diam, oke?" bisik Garret.

Tubuh Lucy diseret hingga menabrak dinding, ia terhimpit dan tidak bisa bergerak. Saat laki-laki itu menempelkan tubuhnya, Lucy menendangnya dengan keras hingga laki-laki itu berteriak kesakitan.

"Kau! Dasar perempuan jalang!"

Garret menampar pipi Lucy dengan sangat keras hingga ujung bibirnya berdarah. Laki-laki yang menahan tangan kanannya menarik rambut Lucy keras ke belakang hingga kepala Lucy mendongak ke atas.

"Berani sekali kau!" bisik laki-laki itu.

"Kau benar-benar tidak tahu diri! Aku akan membunuhmu!" kali ini Garret Luis mendekatinya dengan penuh emosi.

Lucy memejamkan matanya, tak terasa air mata mengalir di pipinya. Ini buruk!

Garret Luis tertawa saat melihat Lucy menangis.

"Ini yang aku suka saat melakukan pekerjaanku, melihat korbanku menangis!"

"Kau bisa langsung memotong lehernya, Bos."

"Belum! Lepaskan saja kepalanya."

Laki-laki itu menyentakkan kepala Lucy ke depan, kini kepalanya terasa sangat pusing. Ia tak memiliki tenaga lagi bahkan saat Garret Luis merobek kemejanya. Laki-laki itu mendekatinya lagi dan berbisik di telinganya. "Tanpa pakaian, membunuhmu akan lebih menyenangkan. Sampai jumpa lagi! Mungkin di surga."

Tangis Lucy semakin kencang, dalam hati ia berharap seseorang datang menolongnya, tetapi tidak, bahkan saat dinginnya pisau mulai menyentuh kulit di perutnya.

Sungguh! Lucy sudah siap saat itu, termasuk berpisah dengan Kyan. Ia hanya memejamkan mata, setelah itu keributan terjadi. Kedua tangannya terlepas sehingga ia jatuh terduduk, kemudian disusul dengan suara pisau lipat yang terjatuh.

"Maaf, kau ditahan."

Suara seorang perempuan, ia membuat Garret Luis menjauh dan berteriak keras, seperti kesakitan.

"Lepaskan aku!"

Laki-laki itu memekik setelah terdengar suara seperti gemeletuk tulang, Lucy membuka matanya dan melihat beberapa orang ada di sana.

"Kakak! Apa kau baik-baik saja?"

Lucy menatap seorang laki-laki yang menghampirinya dengan wajah cemas, ia memeluk Lucy untuk menutupi kemejanya yang robek.

"Luke?"

"Iya Kakak, aku di sini. Maaf terlambat."

Lucy menangis lebih kencang sambil memeluk Luke.

Tak lama kemudian, seorang anak perempuan berlari menghampirinya, menghambur ke pelukannya.

"Lucy!"

"Hannah? Kau ... baik-baik saja?"

Hannah mengangguk, menangis. "Kenapa kau menghampiri mereka?"

Tak lama kemudian seseorang menyelimutinya dengan jaket, Lucy melihatnya, laki-laki berkacamata menatapnya khawatir namun tidak memiliki cukup tempat untuk ikut memeluknya. Laki-laki itu, kekasihnya.

"Aku langsung menghubungi Luke untuk menyusulmu ke Doyers Street lebih dulu selagi aku menuju apartemenmu untuk memastikan keadaan Hannah. Setelah aku tahu Hannah aman, secepat mungkin aku pergi ke sini. Kau membuat dirimu dalam bahaya, Lu."

"Maafkan aku, Kyan."

"Syukurlah belum terlambat!" ujar Kyan, tatapannya berubah melembut pada Lucy.

"Ayo ke kantor polisi! Aku sendiri yang akan memastikan kau tidak lolos lagi!" ancam Sandra yang kini menahan laki-laki itu dengan borgol.

"Kalian! Kejar dua orang yang lain!" Sandra memberi perintah kepada anggota polisi yang lain dan mereka segera melaksanakannya.

Dalam hati Lucy merasa beruntung, masih banyak orang yang peduli dan mengkhawatirkannya.

^^^

Hari semakin larut dan mereka masih ada di kantor polisi. Lucy duduk di antara Luke yang merengkuhnya dan Hannah yang bersandar padanya. Kyan bersimpuh di hadapannya sambil menggenggam kedua tangannya. Lucy dikelilingi orang-orang yang begitu menyayanginya.

"Garret Luis masih bungkam. Ia tidak memberikan informasi satu pun perihal siapa yang memberinya perintah," ujar Sandra yang berjalan menghampiri mereka berempat. "Dia sangat licik, memancingmu dengan ancaman dan rekaman suara anak perempuan sehingga kau percaya."

"Apa ia akan lolos lagi?" tanya Lucy cemas.

"Aku akan berusaha agar ia tidak bebas, tetapi aku tidak bisa berbuat banyak saat Patrick Aston dan kawan-kawannya turun tangan," jawab Sandra.

"Sekarang kita tahu siapa dalang di balik penyerangan kakakku," desis Luke.

"Satu hal yang pasti, Lucy dalam bahaya. Mereka hanya mengincar Lucy," ujar Sandra.

"Aku ingin melindunginya, tapi Patrick Aston sedang mengawasiku," Luke menyiratkan permohonan maaf lewat tatapan matanya.

Lucy mengembuskan napas berat. "Aku ingin pulang. Hannah mungkin sudah mengantuk. Maaf aku telah merepotkan kalian semua."

"Aku akan mengantarmu!"

"Kyan, kau harus ke KnK besok, kan?" Lucy menolak.

"Sebaiknya kau tidak menolak tawaran Kyan," saran Sandra.

"Ayo, Lu!" ajak Kyan yang bangkit sambil menggandeng tangan Lucy.

"Tolong jaga kakakku, Kyan."

Kyan tersenyum. "Sudah pasti!"

Lucy menuruti apa kata mereka, pulang bersama Kyan dan Hannah.

Mereka pergi naik motor Kyan. Begitu sampai di apartemen, Kyan langsung menuju lemari Lucy, mencari tas pakaian dan mengemasi beberapa pakaian Lucy juga Hannah.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Lucy bingung, ia menutup lemari dan mencegah Kyan mengosongi isi lemarinya.

"Aku akan membawamu ke apartemenku, bersama Hannah."

Lucy mengerutkan keningnya. "Apa? Tidak!"

"Di sana lebih aman, Lu! Aku tidak bisa membiarkanmu dalam bahaya."

"Lebih baik kau lindungi Hannah. Aku baik-baik saja."

"Kau tidak baik-baik saja, Lucy, Kyan berkata benar," sahut Hannah turut meyakinkan Lucy.

"Tinggallah denganku, please? Untuk beberapa hari hingga kau benar-benar aman."

Lucy terdiam hingga ia menghembuskan napas panjang lagi dan mengangguk lemah.

Kyan tersenyum. "Izinkan aku mengemasi barang-barangmu."

Lucy menyingkir.

"Aku akan membantumu," ujar Hannah.

^^^

Mereka bertiga sampai di apartemen Kyan di Clinton. Lucy menatap gedung apartemen Kyan yang terkesan sedikit mewah.

"Ayo!" ajak Kyan menggandeng tangan Lucy dan juga Hannah.

Ini bukan pertama kalinya Lucy pergi ke sana. Dulu pernah, saat Elly bermasalah dengan anak Patton.

Saat masuk lobi, Kyan membiarkan Lucy dan Hannah berjalan di depan. Sayup terdengar Hannah berbincang dengan Lucy.

"Apakah Kyan benar-benar tinggal di sini?"

Kyan tersenyum kecil mendengarnya, berikutnya percakapan mereka tak terdengar lagi. Kyan menghampiri keamanan apartemen.

"Pastikan apartemenku aman, khususnya mereka berdua. Jangan biarkan siapa pun datang dan masuk ke apartemenku, termasuk ayahku sendiri."

"Baik, Tuan."

Tidak ada seorang pun yang boleh menganggu kehidupannya. Ia akan melindungi Lucy dari segala ancaman. Tanpa Lucy, hidupnya tidak akan berarti apa-apa.

^^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top