BAB X

BAB X

"Demam tinggi, tapi tubuhnya terus berkeringat. Sejak ia pingsan pagi itu, ia hanya terbangun sesekali, menangis dengan tubuh gemetar, kemudian berteriak histeris," terang Luke pada Kyan.

Kyan melihat perempuan itu terbaring di atas tempat tidurnya, selimut menutupi hingga dagu dan kedua tangan yang terkulai di atasnya. Wajahnya merah, matanya sedikit bengkak, ada kompres di dahinya. Kyan berjalan mendekatinya perlahan, duduk di sampingnya, kemudian menggenggam tangannya.

"Apa yang terjadi padamu, Lu?" tanya Kyan lirih.

"Aku menyesal tidak bisa memenuhi permintaannya untuk menjaga Olivia," sesal Luke sambil menunduk.

Hannah masuk ke ruangan sambil membawa air yang digunakan untuk mengganti kompres di dahi Lucy.

"Maaf jika aku mengganggumu," ujar Hannah merasa bersalah pada Kyan.

"Tidak, seharusnya aku yang berterima kasih padamu karena telah meneleponku, Hannah."

"Kuharap Lucy segera sembuh."

"Kuharap juga begitu."

Seandainya ia bangun dari tidurnya pun, pikirannya pasti masih kacau. Ia tak hanya berharap Lucy cepat sembuh, ia juga berharap Lucy kembali seperti biasanya.

Tadinya memang Kyan tidak tahu kabar apa pun, ia sedang ada di rumah, adu mulut tentang pemilu dengan sang ayah, kemudian ponselnya berdering dan nama Lucy tertera di layar. Saat Kyan mengangkatnya, ternyata Hannah yang berbicara, dengan cemas ia berkata bahwa Lucy pagi-pagi sekali dibawa pulang oleh Luke dalam keadaan pingsan dan sekarang sakit.

Luke menjelaskan semuanya. Kyan merasa apa yang terjadi pada Lucy bukan hal yang aneh. Olivia adalah orang yang membawanya masuk ke NC Times dan yang membimbingnya, mereka dekat satu sama lain, namun hari ini ia menemukan saudara sepupunya itu tewas mengenaskan setelah menyampaikan pesan kematian dengan nada ketakutan. Sudah pasti Lucy terguncang!

"Kyan? Bisakah aku menitipkan kakakku padamu? Sandra menyuruhku kembali ke kantor untuk mengurus kasus kematian Olivia."

"Serahkan padaku, Luke."

"Tolong ... jangan biarkan kakakku mengingat tentang Olivia."

"Itu mustahil!"

"Hanya itu cara agar ia tidak histeris. Hibur dia dengan cara apa pun."

Kyan mengangguk, kemudian Luke pergi.

Hannah masih duduk di sebelah Lucy, di sisi satunya. Ia menyeka tangan Lucy dengan kain basah. Anak kecil itu sangat berhati-hati seakan Lucy terbuat dari kaca. Kyan tersenyum lemah.

"Hei teman kecil, terima kasih sudah merawat Lucy dengan baik."

"Aku tidak mau sesuatu yang buruk terjadi padanya, Kyan."

"Tidak akan lagi! Kalau kau lelah, kau bisa beristirahat."

"Aku tidak lelah. Aku hanya ... teringat saat melihat jasad ayahku malam itu dan aku benar-benar tahu bagaimana rasanya."

Kyan terdiam, anak perempuan ini memiliki hati dan pikiran yang tidak sekecil usianya, ia lebih dewasa. Terkadang waktu dan keadaan dapat mengubah pola pikir dan cara seseorang bertingkah laku, termasuk anak perempuan ini, korban kekejaman para penguasa yang tidak ingin kebusukkannya terbongkar.

Hari telah beranjak malam. Kyan berjalan menuju dapur mengambil air minum. Tadi siang ia memesan makanan KnK dan diantarkan ke apartemen Lucy, untuk Hannah juga dirinya. Ia juga menyimpan satu porsi lagi siapa tahu Lucy terbangun dan merasa lapar, meskipun tidak mungkin ia mau menyentuh makanannya.

Kyan tidak bisa meninggalkan Lucy maupun Hannah, mereka benar-benar membutuhkan kekuatan. Ia melihat Hannah tertidur di atas sofa ruang tamu dengan televisi yang menyala, padahal beberapa saat yang lalu anak itu masih terjaga. Acara televisi yang menampilkan berita malam. Kyan tersenyum miris, untuk saat ini tidak ada yang bagus menurutnya, bahkan mungkin ke depannya. Dulu, ia akan menonton Barney's and friends di masa kecilnya, tetapi sekarang acara seperti itu sudah hilang entah ke mana. Kyan meraih remote dan menekan tombol off, kemudian ia kembali berjalan ke kamar Lucy sambil membawa segelas air.

Lucy bergerak-gerak gelisah dalam tidur, dahinya mengernyit dalam. Kyan bergegas menghampirinya, meletakkan gelas di atas meja, kemudian menggenggam tangan Lucy.

"Lu? Lu!" panggilnya, namun Lucy masih belum bangun. Tangannya terasa panas, demamnya belum turun.

"Lu?"

"Tidak! Tidak! Jauhi Olivia! Jangan ganggu kami! Tidak!"

Lucy berteriak histeris, ia bangun dan langsung duduk dengan keringat yang banyak, menangis kencang. Tentu saja keadaan Lucy saat ini membuat Kyan kaget, tapi ia berusaha membuat Lucy tetap tenang.

"Olivia ...."

Lucy menangis.

"Lu? Apa kau mengingatku?"

Mereka saling menatap sesaat, Lucy mengerutkan keningnya, meraih pipi Kyan perlahan.

"Kyan? Kau ... baik-baik saja?"

Hati Kyan terasa pedih mendengarnya. "Tidak akan ada yang mencelakaiku, Lu."

"Tapi ... tapi mereka semua mati di depanku! Ayahku, Elly, ayahnya Hannah, Olivia," ujar Lucy lirih, menarik tangannya kembali, memegang kepalanya dengan kedua tangannya. "Mereka semua mati ... mereka semua ...."

Kyan memiringkan kepalanya. "Ayahmu sudah lama meninggal, Lu ... jauh sebelum kita bertemu."

"Aku takut, Kyan ...."

Kyan memeluk Lucy erat. Perempuan ini begitu rapuh. Ia tidak tahu bahwa banyak orang yang mengkhawatirkannya saat ini termasuk Hannah, anak perempuan yang belum lama menumpang di apartemennya.

Lucy menangis pilu, selama itu Kyan memeluknya, mencoba untuk menyalurkan ketenangan, seandainya itu memang bisa dilakukan.

"Hei, maukah kau mendengar laguku?" bisik Kyan di telinga Lucy.

Lucy terdiam, kemudian ia mengangguk lemah.

"Tenanglah Lu, aku ada di sini untukmu."

Perlahan Lucy mulai tenang. Masih memeluk Lucy, Kyan menarik napas panjang untuk menyanyikan sebuah lagu untuknya.

"You, who are currently injured

Hurt by the cruel world

You, who are currently grieving

Grieving about the lies of the world

Don't you know?

Like the dark night sky

There is always a shining moon

Believe me

At the end of this dark alley

There will be light

Do not linger in despair

Get up! And reach for hope

I'm here, hold my hand so tightly

I'll be with you to erase you're fear

If you're tired on this journey

Stop for a moment

I'm here, behind you

If you fail

Try again, again, and again

I am here, be guardian of you

Believe it!

Today your tears for suffering

Tomorrow your tears for happiness

I am here

Always be with you

Become part of your life untill the end of my life"

Lucy memejamkan matanya, meresapi perkataan Kyan lewat lagu yang dinyanyikan dengan suara merdunya. Hatinya menghangat, ia tidak tahu mengapa nyanyian Kyan selalu menjadi kekuatan untuknya.

"Lu?"

Air mata Lucy turun perlahan. "Bisakah kau terus seperti ini, Kyan?"

Kyan hanya diam, menunggu perkataan Lucy selanjutnya.

"Bisakah kau bernyanyi untukku? Tapi aku tidak ingin kau keluar dari agensi."

"Aku akan melakukan apa pun untukmu, tapi aku tetap akan keluar dari agensi."

Lucy melepas peluknya, menatap Kyan seakan ingin menyampaikan ketidaksetujuan hanya dari tatapan mata saja.

"Aku tidak peduli jika kau tidak setuju dengan keputusanku, Lu. Tapi aku tidak ingin menjadi penyanyi bila itu artinya harus jauh darimu."

"Lalu bagaimana dengan mimpimu itu?"

"Biarkan aku menjadi penyanyi hanya untukmu saja, Lu. Hanya untukmu."

Kyan tetap menggenggam kedua tangan Lucy, dengan takut ia mulai maju dan mencium kening Lucy. Lucy hanya memejamkan matanya hingga kejutan manis dari Kyan berakhir. Apalagi yang harus dikatakan oleh Lucy? Sesuatu seakan menancap di relung hatinya yang paling dalam, sesuatu yang dinamakan dengan cinta.

Saat itu adalah hari di mana Lucy mulai meyakini bahwa ia benar-benar mencintai Kyan dan tidak akan pernah sanggup berpisah dengannya.

^^^

Selama dua hari Kyan berada di apartemen Lucy. Ia sempat memanggil dokter pribadi keluarganya untuk memeriksa keadaan Lucy. Dokter itu mengatakan bahwa Lucy harus beristirahat total agar demamnya turun dan sebisa mungkin menghilangkan trauma yang dialaminya. Bila sudah terlanjur parah, dokter itu menyarankan agar Lucy dibawa ke psikiater untuk menghilangkan trauma. Setelah itu Kyan yang mengerjakan semua, merawat Lucy, menemani Hannah, bahkan memaksa Lucy agar tetap makan walau hanya sedikit. Ia memesan berbagai macam makanan enak termasuk makanan kesukaannya, tapi tetap saja Lucy tidak berselera.

"Kenapa kau melakukan semua ini, Kyan?" tanya Lucy saat Kyan menyuapinya dengan sup ayam dari restoran ternama di New York.

"Karena aku ingin melakukannya, Lu."

"Kenapa kau ingin melakukannya, Kyan?"

Kyan terdiam sesaat, ia membetulkan letak kacamatanya kemudian kembali menyuapi Lucy.

"Karena aku mencintaimu, Lu," jawabnya sedikit malu.

"Kenapa kau mencintaiku, Kyan?"

"Tidak ada alasan untuk itu, Lu. Sekarang yang kau lakukan hanya berusaha untuk sembuh agar bisa kembali bekerja."

Kali ini Lucy terdiam sambil menunduk. "Aku tidak mau kembali ke NC Times."

Kyan mengerutkan keningnya. "Kenapa?"

Sejenak, kejadian beberapa hari yang lalu terlintas di pikiran Lucy, saat Gio menciumnya dengan paksa. Bagaimana ia bisa kembali bekerja bila ia harus berada di dalam satu ruangan dengan laki-laki itu?

Sayangnya, Lucy tak sanggup mengatakan hal ini pada Kyan, ia hanya menangis.

"Aku hanya tidak mau ...."

Kyan segera meletakkan mangkuk sup kemudian memeluk Lucy, perempuan itu menangis lagi.

"Maaf bila aku menyinggungmu, Lu."

Lucy semakin merasa bersalah, Kyan tidak seharusnya meminta maaf padanya.

Pukul delapan malam, Lucy sudah terlelap. Kyan menyentuh dahi Lucy untuk memastikan suhu tubuhnya. Kyan tersenyum lega, panasnya sudah turun. Tidak sia-sia ia memaksa Lucy minum obat setelah dokter pribadinya datang. Kyan membetulkan letak selimut Lucy kemudian meninggalkan kamarnya.

"Bagaimana keadaan Lucy?" tanya Hannah yang sedang duduk di sofa, seperti biasa.

Kyan tersenyum, duduk di sebelahnya, mengganti acara televisi agar Hannah tidak melihat berita-berita murahan.

"Sudah membaik. Kenapa kau selalu menonton berita?"

"Apakah aneh?" tanya Hannah sembari memiringkan kepalanya ke kiri.

"Sangat aneh, menurutku."

"Ayahku selalu melihat berita dan menanamkan di otakku untuk selalu melihat dengan teliti, karena tidak semua yang ada di media itu benar."

"Kau tidak melihat acara televisi yang lain? Hi-Five?"

Hannah tertawa kecil. "Tidak. Oh! Orang yang membunuh Olivia adalah orang yang sama dengan yang membunuh ayahku."

"Garret Luis?"

"Pak Polisi sudah menangkapnya dan memperketat penjagaan."

"Siapa yang mengatakannya?"

Hannah memutar matanya. "Patrick Aston."

Kyan tersenyum geli melihat reaksi anak perempuan itu. "Sepertinya kau mengenal Patrick Aston."

"Teman ayahku, tapi aku ragu ia berteman dengan ayah karena setelah ayah menjual semua aset dan menyumbangkan kekayaan, ia menjauhi kami. Ia hanya berteman dengan uang."

Kyan bangkit dari duduknya, ia akan mengambil alas tidur dan tidur di sembarang tempat seperti biasanya. Ia bisa memejamkan mata di mana saja, bahkan terkadang tidak tidur hanya untuk sekedar memastikan keadaan Lucy.

"Perbanyak menonton Hi-Five, Hannah. Jangan buang masa kecilmu dengan acara-acara sampah."

"Kyan? Aku yakin penjahat itu akan bebas lagi. Apa selanjutnya ... ia akan membunuhku?"

Kyan berhenti berjalan. Ia tidak pernah menyangka Hannah akan bertanya seperti ini.

"Aku tidak akan membiarkan semua itu terjadi. Aku akan melindungimu, juga Lucy."

"Terima kasih! Oh! Sebaiknya kau segera menikahi Lucy!"

Seketika wajah Kyan merona. Anak kecil ini benar-benar berpikiran tidak sesuai dengan usianya!

^^^

Keesokan paginya, mereka menyantap sarapan pagi bersama, di kamar Lucy. Roti lapis dan susu, satu-satunya yang bisa disiapkan dengan tangan Kyan sendiri. Mereka duduk bersama di atas tempat tidur, seperti sebuah keluarga yang sedang berpiknik di dalam kamar.

Lucy sudah mulai tertawa saat Kyan bercerita tentang tetangga apartemen Lucy, perempuan tua berusia enam puluh tahun yang sering menggoda Kyan sejak Kyan mulai tinggal di sana.

"Nyonya Norah sudah lama tinggal sendiri, sebaiknya kau menemaninya sesekali, Kyan."

"Apa?" Kyan mendadak gugup saat Lucy menggodanya. "Aku tidak mau! Dia bisa saja mengurungku di sana!"

Lucy tertawa kecil, diikuti oleh Hannah.

"Apa kau tahu cerita tentang Hansel dan Grettel? Perempuan tua itu mengurung Hansel di dalam sangkar dan menyuruh Grettel terus bekerja," ujar Kyan.

Hannah mengerutkan keningnya. "Itu kejam! Kenapa dia tidak melakukan sebaliknya?"

Mata Lucy membelalak. "Kau tidak pernah mendengar cerita Hansel dan Grettel?"

Hannah terdiam sesaat, kemudian menggeleng.

"Astaga! Aku ragu, berapa usiamu saat ini?" Lucy benar-benar terkejut.

"Ibuku tidak pernah bercerita tentang itu, ibuku selalu bercerita tentang kisah kerajaan. Cerita yang kau katakan itu ... itu cerita yang kejam."

"Oke, berita-berita yang kau tonton itu bahkan lebih kejam," ujar Kyan pada Hannah.

Lucy tertawa kecil kemudian mengacak rambut Hannah. "Aku akan menceritakannya padamu nanti."

Perkataan lucy membuat mata Hannah berbinar cerah. Anak perempuan itu sepertinya memang tidak pernah mendengar cerita tentang Hansel dan Grettel sebelumnya.

Kebahagiaan mereka terusik dengan suara bel di pintu apartemen. Hannah bangkit dari duduknya.

"Aku akan membukanya! Mungkin saja itu Luke," ujar Hannah yang langsung berlari ke luar kamar menuju pintu.

"Hannah!" Kyan memanggilnya, namun Hannah tidak mendengar. "Astaga ... seharusnya aku menyuruhnya untuk melihat dari lubang kunci terlebih dahulu agar ia tahu siapa tamu yang datang sebelum membukakan pintu."

Lucy tersenyum. "Anak itu menjadi bersemangat hanya dengan satu dongeng saja."

Tak lama kemudian, Hannah kembali ke kamar dengan ragu. Lucy memiringkan kepalanya, menatapnya heran.

"Ada apa, Hannah?"

"Bukan Luke yang datang," jawab Hannah takut-takut.

"Siapa?"

Hannah menggigit bibirnya. "Anak dari Wilder."

Seketika tubuh Lucy menegang. Tidak! Ia belum siap untuk bertemu dengan laki-laki tidak tahu diri itu!

Kyan melihat perubahan pada sikap Lucy, kemudian menggenggam tangannya erat, mereka saling tatap sesaat.

"Aku akan menyuruhnya pergi."

"Tidak, Kyan. Biarkan dia masuk. Biarkan dia melihat keadaanku agar aku bisa mengajukan surat pengunduran diri."

"Aku akan mempersilakannya masuk," ujar Hannah yang kembali ke ruang utama dan tak lama kemudian, seorang laki-laki dengan jas rapi warna hitam masuk ke dalam kamar Lucy. Ia membawa sebuket bunga mawar merah dan sekotak hadiah entah apa isinya. Laki-laki itu menatap Kyan sesaat kemudian tersenyum lebar pada Lucy.

"Bagaimana kabarmu, Lucia?"

"Anda bisa melihatnya sendiri, Bos," jawab lucy sambil menekan kata 'Bos'.

Laki-laki itu meletakkan buket bunga dan kotak hadiah di atas nakas, kemudian berdiri menyandar dinding.

"Aku kesepian karena beberapa hari ini kau tidak ada di tempatmu."

Kyan membuang wajahnya, ia tidak suka dengan Giovanni Wilder dan bagaimana cara laki-laki itu melihat Lucy-nya, namun ketidaksukaan Kyan tampak sangat jelas sehingga Gio menganggap hal itu cukup menyenangkan.

"Kau tinggal di sini dengan seorang laki-laki dan anak kecil? Wah! Kalian seperti keluarga kecil yang bahagia! Kau tahu? Aku cemburu! Apa kau lupa ciuman panas kita beberapa hari yang lalu?" tanya Gio dengan santainya.

Kyan tetap membuang mukanya, namun ia mengepalkan sebelah tangannya dengan erat, bahkan giginya bergemeletuk karena emosi yang ditahan. Lucy menatap Kyan, ia tahu Kyan pasti marah, seharusnya ia menjelaskan lebih awal pada Kyan tentang apa yang terjadi saat itu.

"Itu bukan ciuman, tapi ancaman, Kau sendiri yang mengatakannya," ujar Lucy dingin.

"Aku ragu, karena sepertinya kau juga menikmati saat-saat itu."

Lucy memejamkan matanya, marah justru akan membuat laki-laki itu senang.

"Aku ingin mengundurkan diri," ujar Lucy berusaha bersikap tenang.

Gio mengerutkan keningnya, tampak tidak suka.

"Kenapa kau ingin mengundurkan diri?"

"Aku tidak sanggup lagi bekerja di NC Times."

"Kau menyerah pada NC Times atau padaku?"

Lucy terdiam, kemudian ia tersenyum lemah.

"Well, terima kasih sudah menjengukku, Bos. Kyan akan mengantarmu hingga pintu. Aku ingin beristirahat."

Lucy menatap Kyan dan memohon lewat isyarat mata, Kyan yang saat itu menatapnya langsung bangkit dari duduk, berjalan mendekati Gio.

"Aku akan mengantarmu."

Lucy membersihkan piring-piring di atas tempat tidur, kemudian berbaring dan menarik selimutnya.

Kyan berjalan di belakang Gio, tanpa berbicara. Ia melihat sekilas Hannah duduk di sofa sambil mendekap erat tasnya.

"Aku tidak tahu bagaimana cara Lucia bisa mengenalmu," ujar Gio dengan dingin dan pelan

"Well, kau tidak perlu tahu," sahut Kyan tidak peduli.

"Apa kau tidak penasaran dengan apa yang terjadi di antara kami?" tanya Gio sambil tersenyum sinis dan sebelah alis yang terangkat, ia merasa menang skor dengan anak orang yang akan menjadi teman ayahnya.

"Apa pun yang kau anggap, kurasa tidak sependapat dengan apa yang ada di pikiran Lucy. Jadi, aku tidak akan terarik dengan apa pun yang kau katakan tentangnya."

"Sampaikan padanya, aku tidak menerima pengunduran dirinya." Gio mendekat pada Kyan. "Kalau saja kau bukan anak Landen, aku sudah menghabisimu lebih dulu," bisiknya dengan nada menekan.

Kyan tidak takut, ia malah tersenyum.

"Terima kasih pujiannya. Kau tidak perlu datang lagi, Lucy tidak pernah menginginkan kehadiranmu di sini," ujar Kyan ramah, "aku menghormatimu karena ayahku begitu hormat pada ayahmu, tapi bila kau menyakiti Lucy, itu masalah pribadi di antara kita dan aku yang akan membalasmu," bisik Kyan tanpa tersenyum.

Kyan memaksakan senyumnya. "Selamat tinggal!"

Kyan menutup pintu, tidak peduli bagaimana marahnya Gio di balik pintu itu.

"Orang itu sudah pergi?" tanya Hannah.

"Ya."

"Wow! Kau membuatnya pergi secepat Itu!" Hannah takjub.

Kyan tertawa kecil, "Apakah itu hebat?"

"Tentu saja! Ayahku tidak pernah bisa membuatnya pergi kurang dari tiga puluh menit, meskipun sebenarnya ayah ingin mengusirnya."

Kyan masih tersenyum, kemudian ia berjalan menuju kamar Lucy, melihat keadaannya.

Lucy meringkuk di balik selimut tebalnya, membelakangi pintu. Kyan berjalan mendekat, melirik sesaat pada nakas dan melihat bingkisan Gio, cokelat. Banyak orang yang mengatakan bahwa cokelat adalah pengubah suasana hati yang paling ampuh, sepertinya Gio mempercayainya.

"Lu?" panggil Kyan lembut.

Saat ia hendak menyentuh Lucy, ia sadar bahwa perempuan itu tengah menangis. Langsung saja Kyan mendekat dan mendekap Lucy erat.

"Gio mengancamku, Kyan ...."

"Aku tahu. Apa itu alasanmu tidak ingin ke kantor?"

Lucy terdiam, kemudian mengangguk.

"Kalau begitu, aku akan membantumu keluar dari sana."

Tiba-tiba, Lucy berbalik. Kini mereka saling berhadapan, menatap satu sama lain. Kedekatan itu membuat jantung Kyan berdegup tak wajar.

"Tidak. Aku berubah pikiran."

Kyan mengerutkan keningnya. "Apa yang membuatmu berubah pikiran?"

"Aku harus mencari tahu kenapa Olivia dibunuh. Aku yakin Gio dan komplotan terkutuknya ada di balik ini semua! Aku akan memasukkan mereka satu persatu ke dalam penjara, terutama Gio! Bila aku keluar sekarang, aku tidak akan pernah memiliki kesempatan."

"Tidak! Aku melarangmu! Itu berbahaya, Lu!" Kyan mendadak cemas, ia memegang pipi Lucy dan menghapus sisa air matanya.

"Bila kau ingin mengalahkan musuh, maka kau harus berbaur dengan mereka. Bukankah kau juga ingin ayahmu gagal di pemilu?"

Kyan terdiam, ia ingin membuat ayahnya gagal, tapi mengorbankan Lucy adalah hal yang paling ditentangnya.

"Bukan begini caranya, Lu."

"Aku punya pendukung di belakangku. Sandra, Luke, aku juga kau. Bila aku menyerah, aku akan merasa terbebani oleh mereka yang mati karena ingin mengungkap kebenaran."

Kyan terdiam, menarik napas panjang. "Hanya berjanjilah satu hal padaku."

"Apa itu?"

"Kau akan selalu baik-baik saja."

Lucy terdiam, kemudian mengangguk. Dengan ragu, Kyan semakin mendekati Lucy, menciumnya tepat di bibir. Sejak awal menjalin hubungan dengannya, Kyan sangat ingin melakukan hal itu, namun ia menahan diri, ia tidak mau dicap sebagai lelaki brengsek oleh perempuan yang dicintainya. Ia tahu perasaannya bersambut, Lucy tidak menolaknya. Entah mengapa ia merasa senang.

Awalnya Lucy kaget saat Kyan menciumnya, namun apa yang dirasakan saat ini berbeda dengan apa yang dilakukan Gio padanya. Gio penuh paksaan, sedangkan Kyan begitu tulus dan lembut. Lucy memejamkan matanya, menikmati setiap detik yang ia lalui bersama Kyan. Kecupan beralih menjadi lumatan lembut, tanpa tuntutan, bahkan tangan Kyan tetap pada pipi Lucy.

"Hei Kyan ... sebaiknya kita hentikan sekarang sebelum Hannah melihat kita," bisik Lucy di depan bibir Kyan, ia dapat melihat wajah Kyan yang merah, mungkin wajahnya juga seperti itu sekarang.

Kyan tersenyum, kemudian memeluk Lucy. "Aku mencintaimu, Lu. Aku akan melakukan apa pun untuk memastikan bahwa kau baik-baik saja."

"Terima kasih, Kyan."

Lucy merasa menjadi perempuan yang paling bahagia karena dicintai oleh Kyan. Dalam hati ia berharap agar Tuhan kelak akan tetap mempersatukan mereka dalam waktu yang tidak terbatas.

^^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top