BAB VIII

Butiran-butiran salju mulai menghilang, lapisan putih yang menutupi taman mulai tergantikan dengan tumbuhnya dedaunan dan bunga-bunga yang indah. Awal musim semi pukul tujuh malam, Lucy berdiri di dekat kolam luas berbentuk persegi dengan hiasan bola-bola merah. Senang rasanya air di kolam itu tidak beku seperti musim sebelumnya, sudah kembali beroperasi dengan indahnya. Ia berdiri di sana, menunggu Olivia. Dua hari yang lalu Kyan meneleponnya dan berkata padanya bahwa Ran Channel akan mengadakan konser untuknya dalam rangka ­pre-launching album pertama. Ia juga memberikan dua tiket pada Lucy agar datang dan memberinya semangat.

Lucy menunduk sambil menggerak-gerakkan ibu jari kakinya, kalau saja Elly masih hidup, ia akan mengajak Elly di acara ini.

"Lu!"

Seseorang datang memanggilnya, perempuan berambut cokelat gelap dengan tubuh tinggi semampai, tampak berkelas seperti biasanya walau malam ini ia hanya mengenakan gaun hitam selutut tanpa lengan dan rambut diurai. Olivia Malden. Sayangnya, perempuan itu tidak sendiri. Ia membawa seorang anak perempuan kecil berusia sekitar sepuluh tahun dengan warna kulit sedikit gelap, anak itu membawa tas kecil warna merah muda dengan hiasan boneka beruang di sisi depannya.

"Maaf Lu, August Sanford meneleponku dan meminta tolong untuk mengajak Hannah pergi. Tidak apa-apa, kan?"

Lucy mengerutkan keningnya. "August Sanford?"

Olivia tersenyum. "Iya, aku mengenalnya dan saling memberi solusi dalam beberapa hal. Tuan August partner yang baik. Aku yang akan membayar tiket Hannah."

Kemudian Lucy melihat pada anak itu. "Hei Hannah, aku Lucy. Salam kenal!"

Hannah mengangguk mantap sembari tersenyum lebar. Hannah si anak perempuan periang dan mudah bergaul dengan siapa pun, sangat berbeda dengan dirinya saat masih kecil. Mata Hannah berwarna hazel cerah, rambutnya pendek sebahu berwarna hitam, seperti Dora.

"Aku Hannah."

"Kita pergi ke sana sekarang, Lu?" tanya Olivia.

Lucy mengangguk kemudian mereka pergi ke gedung yang ada di seberang jalan.

Radio City Music Hall, adalah sebuah gedung konser megah yang ada di New York, tepatnya ada di 1260 6th Avenue. Gedung yang dibuka pada 27 Desember 1932 ini pernah menjadi ikon New York di bulan Mei 1978. Letaknya ada di perempatan jalan dengan gemerlap lampu yang mewah, gedung dengan kapasitas 5960 orang ini kerap kali digunakan untuk pertunjukan segala jenis musik, bahkan Lady Gaga dan Tony Bennet pernah tampil di sini pada tahun 2015.

Lucy melihat ke sekeliling, kalau saja ia tidak memikirkan harga diri, mulutnya pasti sudah menganga lebar. Pasti pengaruh Ranford sangat besar untuk Kyan hingga bisa memberinya fasilitas begini eksklusif hanya untuk Pre-launching album pertama. Kyan akan tampil di sebuah panggung megah dengan hiasan lampu-lampu berbentuk setengah lingkaran mewah.

"Lu, kau hebat bisa memiliki kekasih yang mengadakan konser di sini." Goda Oliva sambil mengedipkan matanya pada Lucy.

"Maaf, boleh saya tahu nama Anda?"

Seorang penjaga pintu mencegah Lucy masuk, tatapannya seakan merendahkan Lucy. Sudah pasti! Lucy hanya mengenakan gaun sederhana, dress selutut berwarna peach dengan lengan pendek berenda, bahkan Olivia dan Hannah terlihat lebih cocok menjadi tamu VIP dibandingkan dengan dirinya.

"Lucia Kinston dan saudaraku Olivia Malden."

"Anda ada di kursi VVIP, Nona. Saya akan mengantar Anda," ujar penjaga pintu kali ini dengan menunduk, ada perubahan dari mimik wajahnya, kali ini ia terlihat seperti tidak percaya sekaligus takut.

"Bisakah aku menambah satu kursi lagi untuk Hannah?"

"Maaf Nona, tapi semua kursi sudah penuh."

"Lu!"

Tiba-tiba saja Kyan datang dan langsung memeluknya, tidak tampak sungkan walau posisi mereka sedang berada di pintu masuk.

"Kenapa kau ada di sini, Kyan? Harusnya kau sedang bersiap."

Kyan melepas peluknya, laki-laki ini tidak terlihat seperti biasanya. Lebih elegan. Ia mengenakan pakaian yang sudah pasti harganya sangat mahal, meskipun begitu, kesan kutu buku rupanya masih belum hilang dari dirinya, terutama kacamata tebalnya.

"Aku tidak bisa tenang sebelum memastikanmu benar-benar datang. Ayo! Aku sendiri yang akan mengantarkanmu. Aku akan menyediakan satu bangku lagi, Lu, tenang saja!"

Lucy tersenyum. Kyan selalu melakukan segala cara untuk menyenangkan Lucy. Kyan menggenggam tangan Lucy erat dan mengantarnya hingga ke tempat duduk yang tersedia khusus untuknya, bahkan ada nama di bangkunya. Tak lupa Hannah yang diberi Kyan tempat duduk di samping kanan Olivia.

"Berjanjilah kau tidak pergi hingga pertujukan selesai."

Lucy tersenyum. "Kau bisa mengandalkanku!"

Kyan ikut tersenyum kemudian pergi.

VVIP rupanya sangat nyaman dan baru kali ini Lucy bisa merasakannya. Bangkunya berwarna merah, empuk, dan letaknya sangat dekat dengan panggung.

"Ehm! Aku sangat mendukungmu dengannya, Lu!" bisik Olivia yang duduk di sebelah kanan Lucy, spontan saja pipi Lucy merona.

Selama pertunjukan berlangsung, Lucy merasa bahwa Kyan terus mengunci pandangan pada matanya. Awalnya ia mengira hanya perasaannya saja, namun ketika Lucy tersenyum, Kyan juga ikut tersenyum lebar.

Laki-laki itu berdiri di sana, masih dengan penampilan biasanya, hanya saja kali ini aura bintang terpancar dari dalam dirinya, bermain gitar dan bernyanyi dengan bebasnya. Inilah yang diinginkan oleh Kyan, menjadi seorang penyanyi terkenal. Meskipun masih awal, bolehkah Lucy merasa cemburu dengan euforia penonton yang mengagumi Kyan? Nyanyiannya yang dulu didengar untuk dirinya saja sekarang telah didengar oleh banyak perempuan muda di New York.

Tak terasa dua jam telah berlalu, tidak semua penampilan diisi dengan Kyan, tapi juga artis asuhan Ran Channel yang lainnya. Kyan membuka acara dan menutupnya pula, kali ini Kyan bernyanyi di penghujung acara.

"Ini lagu terakhir. Bukan lagu buatanku, ataupun milik Ran Channel, kami mengganti komposisi lagu ini tanpa mengubah liriknya. Lagu tahun 1999 yang dinyanyikan oleh Lonestar, judulnya adalah Amazed, kalian bisa mencarinya di Youtube untuk versi aslinya. Lagu ini spesial untukmu, Lu."

Suara penonton kembali terdengar riuh, Lucy terdiam.

"Dia menyebut namaku? Apakah aku bermimpi? Aw!"

Lucy menoleh cepat pada Olivia yang mencubit lengannya, Olivia tersenyum menggoda.

"Manis sekali! Di tengah para perempuan muda ini, kau tetap yang paling spesial, Lu! Astaga! Apa kau tidak terbakar? Apa masih ada stok laki-laki seperti ini di dunia?"

Lucy tidak berbicara, ia masih terkunci pada tatapan Kyan, kemudian saling melempar senyuman. Ada rasa bahagia bercampur bangga dari sorot mata Lucy. Ia tahu, Kyan tidak akan pernah melupakannya meskipun sedang berada di atas panggung.

"Everytime our eyes meet,

This feeling inside me,

Is almost more than i can take,

Baby, when you touch me,

And it just blows me away,

I've never been this close to anyone or anything,

I ca hear your thoughts, i can see your dream.

I dont know how you do, what you do,

I'm so in love with you,

It just keeps getting better,

I want to spend the rest of my life with you,

By my side,

Forever and ever,

Every little thing that you do,

Baby, i'm amazed by you."

Kali ini Lucy menunduk, tidak menghiraukan tatapan Kyan yang masih mengarah padanya. Ia hanya ingin menyembunyikan rona wajahnya yang memerah, juga mengalihkan pandangannya.

"Oh! Kyan baru saja melamarmu, Lu!"

Lucy hanya diam, ia memberanikan diri untuk menatapnya, mencari kepastian dari sorot mata Kyan, dan yang dilihatnya saat itu adalah sebuah kesungguhan.

^^^

Kyan duduk di kursi seorang diri, kemudian tersenyum. Berkali-kali bayangan itu terlintas di pikirannya, saat ia mempersembahkan lagu itu untuk Lucy. Lucy seakan tidak percaya dan ia bisa melihat rona merah samar di pipinya. Ia terus menatap ke dalam mata perempuan yang dicintainya, ingin menyampaikan hanya lewat tatapan mata bahwa ia sungguh-sungguh dengan apa yang dinyanyikannya.

"Kau tidak sungguh-sungguh dengan lagu itu, kan?"

Seorang perempuan masuk ke dalam ruangan, ia mengenakan pakaian modis dengan rambut kuningnya yang panjang, kulitnya yang berwarna tan tampak sedikit berkilau terkena cahaya lampu kuning dari meja rias yang ada di hadapan Kyan. Perempuan itu menatap kyan tajam sambil menyila tangannya, menyandar pada dinding.

"Kenapa kau ingin tahu?" tanya Kyan dingin.

"Aku manajermu, kau berada di bawah agensiku. Apa pun yang kau lakukan sangat berpengaruh pada agensi, termasuk bila kau berkencan dengan wartawan."

Kyan mengembuskan napas kesal. Tidak bisa dipungikiri, Jessi memang memiliki peran yang besar hingga ia bisa sampai di tahap ini. Pre-launching album di Radio City Music Hall bukan hal yang mudah dilakukan, namun Jessi dan agensinya bisa mewujudkannya, hanya saja ia tidak suka bila Jessi terlalu mencampuri urusannya.

"Tapi kau tidak seharusnya mencampuri urusanku dengan Lucy." Kyan bangkit dari duduknya. "Aku harus pulang dan menemui ayahku."

Ia meraih tas dan gitarnya, kemudian pergi melewati Jessi, bahkan tanpa menoleh sedikit pun.

Tentu saja Jessi kesal diperlakukan seperti itu oleh Kyan. Tidak ada ucapan terima kasih, padahal ia sudah berusaha keras untuk membantu Kyan. Ia mengakui, Kyan memang berbeda dari kakaknya, tapi sebagai penyalur bakat bukankah hal yang wajar bila Jessi menginginkan hal yang lebih dari ucapan terima kasih saja?

^^^

Apartemen Hannah tidak jauh dari apartemen Olivia. Hannah berjalan sedikit melompat, menggandeng tangan Olivia dan Lucy, tenaganya belum habis walaupun sekarang sudah hampir tengah malam.

"Sis, apakah kakak itu akan mengadakan konser lagi? Bolehkah aku ikut lagi lain waktu?" tanya Hannah dengan riang.

"Tentu saja kau boleh ikut! Sepupuku pacar dari si Penyanyi itu!"

Wajah Hannah kembali berbinar-binar menatap Lucy. "Benarkah? Itu hebat!"

"Terima kasih, Hannah, tapi belum waktunya untukmu tahu tentang pacaran dan sejenisnya."

"Aku sudah dewasa, Sis!" sahut anak perempuan itu sambil memberengut dengan menggemaskan.

"Nah sampai! Kenapa ayahmu tidak menyambutmu? Apa benar kau sudah menghubunginya?" tanya Olivia.

Hannah melihat bangunan apartemen lima lantai berwarna merah bata, ia mendongak ke lantai paling atas, lampunya tidak menyala, daerah sekitar apartemen juga tutup, termasuk toko kecil satu lantai yang ada di sebelah kanannya.

"Mungkin ayahku sudah tertidur, aku akan ke atas. Terima kasih untuk malam ini," ujar Hannah sambil tersenyum.

"Kau yakin tidak perlu ditemani?" tanya Olivia ragu.

Hannah mengangguk, melambaikan tangan kemudian masuk ke dalam bangunan apartemen mini itu.

"Hei, kau berkata bahwa Hannah adalah anak dari August Sanford?" selidik Lucy yang kemudian berjalan perlahan, beriringan dengan Olivia. Malam ini ia berencana untuk bermalam di tempat Olivia.

"Kenapa kau sepertinya tidak percaya, Lu?"

"Sanford. Kau tahu? Dia salah satu anggota Circle A."

"Sebenarnya sudah lama Tuan August bercerita padaku. Sebelumnya mereka tinggal di Broadway, tempat yang cukup mewah dan elit, kemudian ia menjual semua asetnya dan memberikan hasil penjualan pada para penyandang cacat dan tuna wisma. Beberapa fasilitas yang didapat dari Circle A dikembalikannya. Ia meminta tolong padaku untuk mencarikan sebuah apartemen sederhana, dan di sinilah mereka pada akhirnya. Ia pindah ke sini dengan putrinya sekitar dua bulan yang lalu, tepat setelah peringatan dua tahun meninggalnya Nyonya Sanford. Tuan August sangat menyayangi Hannah, begitu pula dengan Hannah."

"Kenapa August Sanford bisa berubah pikiran?"

Olivia mendengus. "Ini bukan saatnya mencari berita, Lu! Apa otakmu tidak lelah? Sebaiknya pikirkan Kyan saja mulai dari sekarang agar kau dapat bermimpi in ... oh?"

Olivia berhenti melangkah saat tangan kecil melingkar di perutnya. Lucy mengerutkan keningnya dan terkejut saat mendapati Hannah memeluk Olivia dengan erat dari belakang, tubuh Hannah gemetar hebat, tangannya juga berkeringat dingin, dan wajahnya pucat. Olivia berbalik, ia menatap wajah Hannah, anak perempuan itu bukan hantu, jelas! Jalanan memang sepi, tapi Olivia tidak pernah percaya dengan hal semacam itu.

"Ada apa, Hannah?"

"A ... A ... Ayah ...."

Hannah berbicara dengan terbata-bata, "Ayah ...."

Seketika Olivia membelalak, kedua tangan menutupi mulutnya yang terbuka.

"Oh Tuhan!"

"Ada apa, Olivia?" Lucy mulai cemas.

Olivia bergegas kembali menuju apartemen Sanford, Lucy mengikutinya dari belakang, setengah berlari sambil menggandeng tangan Hannah erat, cepat-cepat mereka masuk dan naik ke lantai paling atas.

Ruang apartemen Sanford kali ini menyala terang, namun barang-barang berserakan. Ada pecahan gelas dan botol, juga pecahan patung rusa dari keramik yang ada di sudut ruangan.

"Oh Tuhan ... astaga ...."

Berulang kali Olivia menyebutnya, sambil menelusuri ruangan perlahan.

Hannah berjalan menuju kamar utama dan di sana ia menunjuk dengan tangan yang bergetar pada sosok yang telah tergeletak berlumuran darah, wajahnya lebam, letak kakinya tidak wajar, sosok itu terduduk dengan kepala menempel pada ranjang.

"Astaga! Itu benar!"

Lucy membelalak. "Astaga!"

La panik, mencoba meraih ponsel di tasnya dengan tangan dingin yang gemetar hebat. Bahkan untuk menekan tombol di ponselnya pun ia lakukan dengan susah payah. Ia pernah melihat ayahnya meninggal, tapi tidak pernah melihat hal seperti ini sebelumnya!

Hannah menangis kencang, ia tumpahkan semuanya sambil memeluk Olivia.

"Ha ... halo? Luke? Bisakah kau datang saat ini juga, please? Aku ... aku akan mengirimkan koordinatnya padamu, kumohon cepatlah ...."

Telepon ditutup, ia melihat Olivia dan Hannah saling berpelukan, terduduk di kamar sambil menangis. Mereka menunjukkan ekspresi yang berbeda. Hannah sangat kehilangan, dan Olivia ... ketakutan?

"Mereka akan membunuhku ...."

Hal yang samar didengar oleh Lucy, membuat dahinya kembali berkerut.

^^^

Luke datang lima belas menit kemudian. Ia datang bersama dengan Sandra dan beberapa anggota kepolisian yang lain. Beberapa penghuni apartemen terbangun, terlebih saat mendengar sirine mobil polisi yang mendekat.

"Ayah!" Hannah berteriak histeris sambil menangis saat jenazah ayahnya dimasukkan ke dalam mobil jenazah. Olivia memeluk Hannah.

"Apa kau tahu kejadiannya?" selidik Sandra.

"Aku tidak tahu, kami baru saja pulang dari melihat konser. Hannah adalah orang pertama di antara kami yang melihat keadaan August Sanford," terang Lucy.

"Sangat tidak mungkin menanyai anak itu saat ini, ia masih syok," ujar Sandra sambil menarik napas panjang.

Luke merengkuh Lucy dengan sebelah tangannya, mencoba menenangkan kakaknya yang juga masih syok.

"Kalian bertiga akan menjadi saksi setelah ini," ujar Sandra.

"Kau sebaiknya istirahat, Kak."

"Aku akan bermalam di tempat Olivia. Luke, aku seperti mendengar Olivia berkata bahwa seseorang akan membunuhnya. Coba kau cari tahu tentang itu," bisik Lucy pada Luke.

"Apa? Benarkah? Sandra!" Luke memanggil Sandra agar perempuan itu mendekat padanya. "Sebisa mungkin kita harus cepat menemukan pelakunya! Aku tidak mau kakak sepupuku menjadi korban berikutnya."

"Kasus ini akan kutangani."

"Maaf Luke, bisakah Hannah bermalam di tempatmu?" Olivia berjalan mendekati Luke dan bertanya dengan ragu-ragu.

"Aku? Kenapa tidak di tempatmu saja?"

"Please? Lucy bisa bermalam di tempatku, tapi tidak untuk Hannah. Kau polisi, kau bisa membantu."

"Luke, sebaiknya kau membantu," pinta Lucy.

"Hah ... baiklah!"

Olivia tersenyum lemah. "Terima kasih, Luke. Kau selalu bisa diandalkan!"

"Tim! Letakkan penjagaan di sekitar apartemen Olivia! Jangan ada yang tidur sebelum menemukan bukti di kediaman August Sanford!"

"Baik!"

Mereka semua bergegas melaksanakan perintah Sandra.

"Luke, untuk saat ini kau kembali ke apartemen dengan Hannah hingga penjahatnya tertangkap," perintah Sandra tegas, namun suaranya melembut.

"Tapi ...."

"Aku akan ke bagian forensik sebelum semua terlambat."

Tanpa bertanya lebih lanjut, Lucy dan Luke tahu apa yang dimaksud oleh Sandra dan membiarkan Sandra yang menangani semuanya sendiri.

^^^

Media mulai ramai keesokan harinya, membicarakan kematian August Sanford yang tidak wajar. Apartemen Sandford pun dipenuhi dengan wartawan yang berusaha menerobos masuk tempat kejadian perkara. Pilihan Olivia untuk menitipkan Hannah pada Luke sangat tepat, tidak ada satu pun yang tahu di mana satu-satunya putri August Sanford tersebut, bahkan beberapa media ada yang memberitakan Hannah Sanford hilang, bahkan ada juga yang menulis bahwa tubuh Hannah dimutilasi.

"Kau sudah dengar kabar?"

Pagi hari Kyan semakin terusik saat Jessi datang menghampirinya, ia sedang berada di Ran Studio.

"Apa ini yang kau sebut berita lebih besar?"

"Apa kau mau tahu?" tanya Jessi dengan nada menggoda.

"Tidak," jawab Kyan tak acuh, namun kemudian ia menyadari sesuatu yang akan merugikan dirinya. "Tunggu! Setelah August Sanford tewas, maka anggota House of Representative asuhan Circle A akan kosong. Ayahku yang akan menggantinya?"

Jessi tersenyum penuh arti. "Kau hebat! Sebentar lagi Landen akan menjadi bagian dari kami!"

Kyan memejamkan matanya, mengurut pangkal hidungnya.

"Astaga! Entah mengapa aku ingin sekali memutuskan kontrak denganmu."

"Setelah semua yang kau dapat dariku? Tidak!"

Baru saja kemarin ia melihat putri dari August Sanford, tetapi sekarang sudah hilang. Tunggu! Itu berarti ... Lucy ... astaga!

^^^

Berita tentang kematian August Sanford sudah tersebar, berbagai pendapat para netizen bertebaran di media sosial. Sebaliknya, orang yang Lucy curigai sebagai sosok yang bekerja di balik layar, tampak santai seakan tidak terjadi apa-apa, ia juga menyuruh untuk menulis berita apa adanya. Bukan hal biasa bila ini menyangkut orang-orang Circle A. Aneh!

Selepas jam kerja usai, Lucy mengajak Olivia pergi ke apartemen Luke. Ia melihat keanehan pada Olivia, pandangannya tidak fokus dan seringkali tampak ketakutan.

"Sandra mengawasi ketat kegiatan autopsi. Patrick Aston bersikeras mengambil alih kasus, namun Sandra mempertahankannya. Tenang saja saudariku sekalian, kalian bisa mempercayakan seluruhnya pada Sandra," ujar Luke yang duduk di kursi, sedangkan Olivia, Lucy, dan Hannah duduk di tepi ranjang.

"Pagi-pagi tadi Sandra memberi kabar, pelaku diduga menganiaya korban, memukul wajah dengan benda tumpul, lalu menendang kakinya keras. Saat korban tidak bisa bergerak lagi, pelaku menusukkan pisau ke perut korban. Korban tidak langsung mati, tetapi mati perlahan ... kehabisan darah."

"Ayah ...."

Hannah memeluk lututnya, kemudian kembali menangis.

Lucy yang ada di sebelahnya memeluknya dengan sebelah tangan, menyandarkan kepala Hannah pada dadanya.

"Besok pagi jenazah ayahmu akan disemayamkan, Hannah. Kau seharusnya bangga, ayahmu orang yang baik," ujar Lucy.

"Bolehkah aku pulang?"

Semua mata menatap Olivia terkejut.

"Aku merasa tidak sehat, aku ingin beristirahat," ujar Olivia lemah.

"Aku akan mengantarmu."

"Tidak, Luke! Kau sudah cukup membantu. Hanya ... titip Hannah."

Olivia pergi dengan langkah gontai, sikap Olivia jelas saja membuat Lucy dan Luke heran, tidak seperti biasanya Olivia seperti itu.

"Apa ada petunjuk lain?" tanya Lucy sambil memiringkan kepalanya ke kanan.

"Ada, tapi kumohon jangan bocorkan hal ini pada NC Times."

"Tentu saja tidak!"

"Sepertinya August Sanford sudah tahu hari itu akan datang, dugaan sementara ... Hannah memang diungsikan agar tidak ikut menjadi korban. Jadi, ia pergi bersamamu dan Olivia. Telunjuk kanan Tuan Sanford menunjuk ke arah dinding. Ada fotonya berdua dengan Hannah yang memakai tas itu," ujar Luke menunjuk tas yang biasa dikenakan Hannah.

"Di bawah foto yang menggantung, ada pot bunga. Kami tidak menemukan apa pun. Tidak ada petunjuk lain kecuali jejak sepatu karet di kaki Tuan Sanford yang terluka, bisa dipastikan pelaku adalah laki-laki dan bukan dari wilayah kota," lanjut Luke.

"Hanya itu?"

"Ada beberapa yang masih terduga, namun Sandra tidak bisa memastikan sebelum semua buktinya jelas. Apa kepolisian sudah memanggilmu?"

Lucy mengangguk. "Tadi jam satu siang."

"Olivia adalah satu-satunya saksi hidup yang dekat dengan August, namun ia menolak bercerita saat dipanggil dan berkali-kali memintaku untuk datang. Aku tidak sempat, tapi bila kau bisa ... aku meminta bantuanmu, Kak."

"Aku akan mencoba membantu."

"Maaf bila aku terkesan jahat, tapi aku melarang Hannah datang ke pemakaman ayahnya," tegas Luke.

"Aku mengerti," ujar Hannah lirih.

"Satu lagi, Kak. Kukira ... Hannah sebaiknya tinggal bersamamu."

"Aku?"

"Aku akan memastikan keamanannya, kau tahu bagaimana aku."

"Apa kau keberatan karena tidak bisa kencan dengan Sandra?" Lucy bertanya menyelidik, dengan nada tinggi.

"Bukan begitu Kak! Kukira ... kau lebih baik dalam merawat dibanding denganku."

"Apa kau mau tinggal bersamaku, Hannah?" tanya Lucy sambil tersenyum pada Hannah.

Hannah menatapnya, masih dengan mata sedihnya. "Aku bisa tinggal di mana pun, Sis ... bahkan di panti asuhan. Aku sudah tidak memiliki siapa pun."

Lucy memeluk Hannah, kehilangan seseorang yang disayangi sudah pasti sangat berat, terlebih untuk anak kecil sepertinya. Hannah sudah kehilangan ibunya, kali ini ayahnya kehilangan nyawa secara tragis.

"Aku tidak akan membiarkan hal itu, Hannah."

"Aku akan mengantar kalian. Hannah ... sebaiknya kau jangan keluar dari apartemen Lucy, oke?" pinta Luke.

Hannah mengangguk lemah, sudah pasti tidak menyenangkan berada di dalam ruangan entah sampai kapan, namun ini semua demi kebaikannya.

^^^

Lucy menunjukkan prosesi pemakaman August Sanford pada Hannah melalui panggilan video dengan Luke. Sedikit tidak sopan menghadiri pemakaman sambil melakukan panggilan video, namun ini adalah permintaan khusus dari Hannah. Hingga acara selesai, Hannah masih murung.

"Tidak apa-apa, Hannah. Aku tahu bagaimana perasaanmu."

"Saat itu ... apartemenku tidak dikunci. Suasana sangat gelap, aku menyalakan lampu dan melihat semuanya berantakan. Aku cepat-cepat mencari ayah dan menemukan kondisi ayah yang seperti itu. Aku membangunkannya, menggoyangkan badannya, ayah tidak bergerak. Aku tidak tahu harus bagaimana, yang kupikirkan hanyalah menyusulmu dan Olivia."

Lucy memeluk Hannah erat, menepuk punggungnya pelan.

"Hilangkan itu dari pikiranmu, Hannah. Hanya pikirkan hal-hal bahagia saat bersama ayahmu, dengan begitu kau akan selalu mengenangnya dengan indah," ujar Lucy lembut, "Hannah, sebenarnya aku sangat ingin menemanimu, tapi aku harus bekerja. Bisakah kau hanya di dalam dan tidak membukakan pintu pada siapa pun?"

Hannah mengangguk mantap.

"Anak pintar! Ini ponselku, panggil Luke kapan pun kau butuh, Luke akan datang."

"Bagaimana denganmu?"

"Keamananmu lebih penting untuk saat ini. Kalau kau memang mencariku, hubungi Olivia, kami berada dalam satu perusahaan yang sama."

"Sis? Terima kasih sudah menolongku."

Lucy tersenyum. "Tidak masalah."

Lucy pergi dengan membawa sebuah kunci dan satu kunci yang sama diberikan pada Hannah. Sebenarnya ia sangat khawatir meninggalkan Hannah sendirian, tapi ia tidak bisa mengambil izin hari ini.

Hari ini Gio menyuruhnya untuk membuat berita-berita tentang August Sanford, Gio juga ada di sana, entah sedang apa dengan laptopnya.

"Apa kau tahu anak August menghilang setelah kejadian itu?"

Lucy tidak menatap Gio, ia mengabaikannya sambil tetap pada lembaran-lembaran naskah yang dibuat wartawan NC Times.

"Benarkah?"

"Aku tahu kau tahu sesuatu, Lucia."

"Aku tidak tahu," jawab Lucy tak acuh.

"Kau mengabaikanku."

"Sejak kapan aku pernah tertarik tentang berita para anggotamu?"

Gio tertawa merendahkan. "Apa kau ingin menerima hukuman?"

Kali ini Lucy menatap Gio. "Apa aku berbuat salah?"

"Lucia, kau tidak seharusnya bersikap begitu pada bosmu."

Lucy menatap lelah pada Gio, kemudian kembali ke naskahnya.

"Maafkan aku, Bos," ujar Lucy sambil memutar bola matanya.

"Lucia, aku tidak tahu benar atau tidak, tapi perasaanku mengatakan hal ini. Kalau kau memang tahu tentang putri August, maka kau sudah siap bermain dengan kami. Sebaiknya kau hati-hati."

Lucy tidak menjawab apa pun, berusaha bersikap biasa saja, kali ini diam adalah hal yang harus dinomorsatukan.

^^^

Lucy bergegas menuju ruangan Olivia saat jam kerja akan segera berakhir. Tepat sekali! Ia melihat Olivia duduk termenung di kursinya, Lucy menghampiri dan duduk di hadapannya.

"Bisa kau ceritakan padaku ada apa sebenarnya?" Ia sungguh tidak sabar dengan semua ini.

Olivia membelalakkan matanya, kemudian menatap pada beberapa sudut di mana kamera CCTV diletakkan.

"Kau sebaiknya tidak tahu, Lu."

Lucy menarik napas panjang. Kata-kata Gio kembali terngiang di telinganya.

"Aku sudah terlalu jauh masuk ke dalam masalahmu sejak bertemu dengan anak kecil itu."

Tiba-tiba Olivia menangis, membenamkan wajahnya di kedua tangannya. "Oh maafkan aku, Lu ...."

"Olivia, kau bisa menceritakannya padaku bila ...."

Dering telepon berbunyi, milik Olivia. Olivia menenangkan dirinya sendiri, mengatur napasnya, kemudian mengangkat teleponnya.

"Halo?"

Olivia terdiam, mengangguk-angguk, kemudian menutup teleponnya. Ia segera mengemasi barang-barangnya.

"Ada apa?"

"Ikut aku, Lu!"

"Ikut? Aku harus pulang."

Olivia mendekatkan bibirnya ke telinga Lucy. "Mereka sudah menemukan pembunuhnya."

^^^

Kantor polisi pusat ramai dengan wartawan saat Lucy dan Olivia datang. Mereka menerobos barisan wartawan dan menemukan Luke ada di depan, berdiri di samping Sandra yang menahan seorang laki-laki berkulit sedikit kusam dengan rambut gelombang hitam dan luka gores di dahinya. Patrick Aston juga ada di sana, tidak melakukan apa pun.

"Ini adalah Garret Luis, pelaku pembunuhan August Sanford. Aku menangkapnya saat ia hendak menuju ke Brooklyn. Bukti-bukti yang ada mengarah padanya, sepatu karet, sidik jari yang ada di beberapa titik apartemen Tuan Sanford, juga sedikit benang dari pakaiannya yang berhasil didapat Tuan Sanford saat melakukan perlawanan," terang Sandra pada para wartawan, kemudian ia beralih pada pria itu. "Katakan! Apa kau diperintah seseorang?"

"Kau tidak perlu tahu, Polisi Brengsek!"

Sandra segera menampar Garret Luis dengan sangat keras hingga ujung bibir laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun itu mengeluarkan darah.

"Kau akan habis denganku!" ancam Sandra sambil menunjuk wajah pelaku, namun laki-laki itu tak tampak takut, justru semakin nyalang. Lucy menatap Olivia dan ia tidak bisa mengartikan apa pun dari sorot matanya.

Olivia sudah tidak takut lagi, tidak seperti beberapa hari sebelumnya, namun ia tetap waspada, bahkan saat matanya tak sengaja beradu tatap dengan pelaku.

Beberapa petugas menggiring pelaku ke balik jeruji besi, sedangkan wartawan berbondong-bondong mewawacarai Sandra. Lucy sempat terdorong, namun ia tetap maju mendekati Luke.

"Ada yang aneh dengan Garret Luis, tapi aku tidak bisa menebaknya," gumam Luke saat Lucy dan Olivia telah berada di dekatnya.

"Terima kasih, Luke."

"Aku meneleponmu dan bukan kau yang menjawab, jadi aku langsung menghubungi Olivia."

"Luke, bisakah kau memastikan dia tetap di penjara?" pinta Olivia lirih.

"Tentu saja! Ada apa? Apa kau baik-baik saja?"

"Aku jauh lebih baik! Aku akan kembali."

Lucy menahan Olivia agar tidak pergi, namun Olivia melepasnya dengan lembut dan tetap meninggalkan mereka.

^^^

"Kyan?"

Lucy mengerutkan kening saat seorang laki-laki berdiri menyandar di dekat pintu apartemennya. Ia baru datang dan hendak masuk, namun laki-laki itu sudah lebih dulu ada di sana.

"Lama tidak bertemu, Lu!"

"Bukankah kau seharusnya ada di Ran Studio?"

"Aku mengundurkan diri."

"Me ... apa?" Lucy terbelalak kaget. "Ada apa? Kenapa tiba-tiba?"

"Dengar Lu, aku ingin meminta bantuanmu, apa kau masih ingat dengan yang kita bicarakan saat aku mengajakmu ke rumahku?"

"Tentang ayahmu?"

"Tepat! Kurasa waktunya sedikit dipercepat karema tewasnya August Sanford."

Lucy menggigit bibir bawahnya. "Maaf, bukannya aku tidak mau membantu, hanya saja ini bukan waktu yang tepat, Kyan."

Kyan mengerutkan keningnya, Lucy membuka pintu apartemennya dan Kyan melihat sesosok anak perempuan berusia sepuluh tahun tengah duduk di sofa sambil tersenyum lemah menyambut kedatangan Lucy.

"Bukankah itu ...."

Lucy menarik tangan Kyan dan dengan segera laki-laki itu masuk ke apartemennya.

"Bisakah ditunda hingga masalah ini selesai?" tanya Lucy tanpa meneruskan perkataan Kyan.

"Lucy! Oh ... kau membawa Kyan?"

Kyan tersenyum canggung. "Hai Hannah," sapa Kyan.

"Apa kau sudah makan?" tanya Lucy, berjalan menghampiri Hannah.

Hannah menggeleng malu-malu, kemudian Lucy tersenyum.

"Aku akan memasak untukmu. Tunggu sebentar!"

Lucy pergi ke dapur, sementara Hannah menunggu di tempatnya semula, Kyan mengikuti Lucy.

"Lu? Apa kau tahu risiko saat kau ikut campur masalah ini?"

"Aku tidak punya pilihan, Kyan. Olivia dan Luke meminta bantuanku."

"Astaga, tapi ini berbahaya!"

"Lebih baik aku membahayakan diriku daripada harus menyerahkan Hannah pada mereka. Gio bahkan bertanya padaku," ujar Lucy sambil menyiapkan bahan-bahan masakan, ia tidak melihat wajah Kyan yang berubah khawatir.

"Oh, kenapa kau mengundurkan diri dari agensi? Jessi tidak akan pernah menyetujuinya."

"Kau benar, tapi aku memaksa."

"Tapi bila kau keluar dari Ran Channel, kau tidak akan bisa meraih mimpimu."

"Lupakan mimpiku! Sekarang ini aku hanya ingin agar ayahku tidak bergabung dengan Circle A, tapi kau benar, waktunya belum tepat karena Hannah bersamamu."

"Aku pasti akan membantumu, Kyan."

Mereka terdiam, cukup lama hingga masakan Lucy hampir matang.

"Lu, tentang di panggung itu ... aku bersungguh-sungguh."

Ungkapan Kyan membuat Lucy terkejut hingga spatulanya terjatuh.

"Kumohon jangan bercanda, Kyan."

"Aku tidak bercanda! Kau tidak harus menjawabnya sekarang, aku hanya ingin kau tahu saja. Aku akan duduk bersama Hanah."

Lucy terdiam, ia melihat tangannya yang gemetar. Ini aneh ... ia gemetar, namun ia tidak merasa ketakutan, sebaliknya ia merasa seperti ada banyak kupu-kupu berterbangan di dalam perutnya.

"Oh Kyan ... waktumu benar-benar tidak tepat!" desah Lucy, ia menenangkan pikirannya dan kembali fokus pada masakannya.

Tak lama kemudian masakan Lucy matang. Ayam lada hitam dan kentang goreng. Sederhana, karena hanya itu bahan yang ada di dalam kulkas. Hannah menyantapnya dengan lahap, sementara Kyan dan Lucy melihatnya. Kyan duduk di sebelah Hannah dan Lucy duduk di hadapannya.

"Enak?" tanya Lucy.

Hannah mengangguk.

"Makanlah yang banyak agar kau cepat besar!" ujar Kyan sambil mengacak rambut Hannah, membuat Hannah tersenyum karenanya.

Setelah makanan habis, Hannah menyandar pada kursi sambil mengusap-usap perutnya yang kenyang.

"Terima kasih banyak, Sis."

"Sama-sama!" ujar Lucy sambil tersenyum senang karena masakannya habis.

Lucy terdiam sesaat, kemudian ia menutup mata sambil menarik napas dalam. Ketika dirasa ia telah siap, ia membuka matanya.

"Sebenarnya ada yang ingin kusampaikan padamu, Hannah."

"Pembunuh ayahku sudah ditangkap."

Lucy membelalakkan matanya terkejut. "Bagaimana kau tahu?"

"Berita yang update dari ponselmu. Maaf aku membuka beberapa dan download permainan untuk kumainkan."

"Tidak apa-apa, pakailah sesukamu," ujar Lucy tersenyum lagi. "Setelah kau mengetahui penjahatnya ... apa yang ingin kau lakukan?"

"Aku kesal! Dia tidak merasa bersalah, tapi apa yang bisa kulakukan? Apa pun yang kulakukan tidak akan mengembalikan ayahku," ujar Hannah yang kembali menunduk, membuat Lucy iba, begitu pula dengan Kyan.

Suasana menjadi senyap karena kesedihan Hannah. Anak kecil yang malang, namun ia begitu mulia karena tidak menyimpan rasa dendam.

"Hannah, apa kau mau pergi berlibur?"

"Kyan!"

"Aku tidak diperbolehkan Luke keluar dari apartemen."

"Walaupun pelaku sudah ditangkap, polisi masih bekum memutuskan aman atau tidak, Kyan! Lagi pula, keberadaan Hannah sendiri masih dipertanyakan publik." Lucy tampak tidak setuju dengan ide Kyan.

"Kita bisa mendandaninya, Lu. Sedikit mengganti model rambut atau cara berpakaiannya. Aku akan membelikannya beberapa pakaian untuk menyamar."

Lucy melihat wajah Hannah sedikit cerah saat Kyan menawarkan liburan padanya, membuat Lucy mau tidak mau menyetujui tawaran Kyan.

"Baiklah. Lalu ... ke mana kita akan pergi?"

"Tempat yang tidak jauh dan tidak terlalu padat seperti di sini, apa kau punya rekomendasi tempat, Lu?"

"Sebenarnya ... aku sangat ingin mengunjungi ibuku di Lousiana."

"Kita akan ke sana besok!"

Sekali lagi mata Lucy membulat. "Besok?"

Kyan tersenyum. "Iya besok! Apa kau keberatan, Hannah?"

Hannah tersenyum cerah, kemudian menggeleng. "Tidak."

"Lebih baik kau izin pada Gio untuk besok, Lu."

"Baiklah ...."

"Aku yang akan mengurus semuanya, kalian kemasi barang-barang saja."

"Terima kasih, Kyan," ujar Hanah kemudian memeluk Kyan, Kyan tersenyum sembari menepuk pelan pundak Hannah.

"Sama-sama."

Lucy tersenyum melihat mereka berdua. Bolehkah ia berpikir sejenak dan berhayal suatu saat memiliki keluarga yang hangat seperti ini?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top