BAB VI
"Kumohon maafkan aku, aku tidak bermaksud seperti itu. Freddy memaksaku, dan aku ... aku ...."
Elly tidak sanggup meneruskan kata-katanya lagi, hanya isak tangis dan hati yang telah hancur berkeping-keping. Perempuan itu bersujud di bawah kaki Gio yang menatapnya penuh keangkuhan setengah jijik.
"Tidak ada negosiasi, Eliana. Mulai hari ini kau tidak diperkenankan menginjakkan kaki lagi di kantorku!"
"Gio!" Elly memekik, memegang kaki Gio erat sambil menangis. "Ini adalah masalah pribadiku, tapi bila kau marah, aku bisa terima apa pun hukumannya, asalkan kau tidak memecatku. Kumohon ... hanya dengan pekerjaan inilah aku bertahan hidup."
Gio menghempaskan tubuh Elly hingga terjerembab, kemudian ia duduk di atas kursinya.
"Lakukan apa pun yang kau inginkan hingga kau menerima surat panggilan dari pengadilan."
"Apa?"
"Freddy memperkarakanmu. Ia tidak mau namanya menjadi jelek hanya karena perempuan murahan sepertimu!"
"Tapi aku ... aku tidak ...."
"Pergi dari ruanganku!"
Gio memerintah dengan suara dingin, Elly terdiam, ia masih menangis, namun ia menguatkan diri untuk bangkit kemudian pergi dari ruangan Gio.
Elly menangis di lorong, tepat di dekat pintu ruangan Gio yang tertutup. Inikah rasanya dicampakkan? Bahkan dimusuhi secara terang-terangan oleh laki-laki yang dicintai? Hati Elly sangat sakit, ia tidak memiliki apa pun yang tersisa untuk membela diri.
Masalah kecil yang berakibat besar, hanya karena fotonya yang saat itu keluar dari hotel dengan berantakan tersebar luas di media sosial. Netizen tidak mencibirnya, melainkan Freddy. Freddy tidak bisa menerima begitu saja cibiran dari masyarakat yang aktif di dunia maya. Inilah imbasnya, kepada dirinya sendiri. Bila Freddy memang melaporkan dirinya ke pengadilan dan membela diri, habislah hidupnya. Hujatan itu akan berbalik menyerangnya. Sedangkan ia hanya perempuan yatim piatu sebatang kara yang menghidupi kebutuhannya sendiri dengan bekerja di NC Times. Saat ini, lagi-lagi ia tidak memiliki apa pun.
Elly bertemu dengan Lucy saat berada di lift. Lucy yang saat itu hendak turun bersama Olivia tentu saja kaget lantaran tiba-tiba Elly menghambur ke pelukannya.
"Elly?"
Elly menangis, namun bibirnya tersenyum. Senyum penuh kepedihan.
"Selamat tinggal, Lucy."
"Kau pergi? Ada apa? Apa yang terjadi? Katakan padaku, Elly! Apa Gio memecatmu?"
"Aku terpaksa mengundurkan diri, Lucy. Maafkan aku," ujar Elly sambil menangkupkan kedua tangan di depan wajahnya.
"Kita harus lapor polisi! Ini tidak bisa dibiarkan! Kau adalah korban, Elly!"
"Tidak perlu, Lucy. Sungguh! Aku baik-baik saja."
Suara lift berdenting, Olivia menarik lengan Lucy.
"Ayo, Lu! Kita sudah sampai."
"Aku akan menemuimu sepulang kerja! Aku akan datang ke apartemenmu!"
Kemudian pintu lift tertutup. Elly menunduk, kembali menangis.
^^^
Lucy masih mengkhawatirkan sahabatnya, ia tidak rela berpisah sebelum menenangkan Elly, namun Olivia terus menariknya, seakan mengajak untuk menjauhi Elly.
"Sudah berapa kali aku berkata bahwa melawan mereka selalu berakhir sia-sia?"
"Tapi ...."
"Jangan jadi orang bodoh, Lu! Kau juga bekerja untuk mereka, seharusnya kau paham cara kerja mereka."
"Elly menyukai Gio ...."
"Aku tahu," Olivia memutar bola matanya. "Tapi Gio sama sekali tidak tertarik padanya."
Lucy menunduk diam.
"Jangan coba-coba lapor polisi atau bercerita pada Luke. Aku tidak mau kau bermasalah dengan mereka."
Luke! Ia hampir lupa bahwa Kyan pernah menyarankan untuk mengajak Luke menemui Elly dan membantu menyelesaikan masalah, sebelum Freddy melaporkannya lebih dulu. Sungguh! Cepat sekali! Baru tiga hari setelah Elly datang ke apartemennya sambil menangis, tapi dampaknya sudah terasa.
"Jangan, Lu!" Seakan bisa membaca pemikiran Lucy, Olivia melotot marah padanya.
Tapi Lucy tetaplah Lucy, apa pun akan ia lakukan untuk membela Elly dan melawan kekuasaan Circle A.
^^^
Sepulang kerja, Lucy bergegas untuk menghampiri Luke. Ia sempat mengirim pesan pada Luke, bertanya di mana posisinya saat ini dan Luke membalasnya hanya dengan mengirim gambar salah satu sudut apartemennya. Segera saja ia pergi ke apartemen Luke. Sekilas, ia melihat KnK yang ada di seberang jalan, Kyan duduk di sana bersama Jessi. Kyan melambai padanya dan tersenyum lebar, namun belum sempat Lucy membalasnya, Jessi sudah menyita perhatiannya kembali. Sebenarnya Lucy sedikit kesal, namun ia menggeleng dan tersadar bahwa ia tidak punya banyak waktu.
East Village, tempat di mana Luke tinggal. Luke menyapanya dan mempersilakan masuk, aroma kopi menguar begitu Lucy masuk ke dalam.
"Kopi?" tanya Lucy heran.
Luke tersenyum menunjukkan gigi-giginya, tangannya menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Sandra baru saja pulang, ia membuat kopi, entah berapa gelas yang sudah diminumnya."
Lucy duduk di tempat tidur Luke dan melihat ke sekeliling.
"Setidaknya kehadiran Sandra membuat mesin kopimu berguna."
"Aku butuh pewangi ruangan agar bau kopi cepat hilang. Bisakah kau membawakannya untukku besok, Kak?"
"Tidak!"
"Kau pelit sekali!"
"Hei ... kalau kau menyukai Sandra, kau harus berusaha menyukai apa yang menjadi kesukaannya."
"Ya ampun! Tidak dengan kopi!"
"Oh Luke, sebenarnya ada beberapa hal yang ingin kubicarakan padamu."
Luke menganggu-angguk, mengambil sebuah kursi dengan sandaran dan duduk dengan posisi sandaran kursi menjadi tumpuan dagunya.
"Sebelumnya, apakah kau mengenal Eliana Anderson, Kak? Dia bekerja di NC Times."
Mata Lucy membulat, spontan tubuhnya menegang.
"Dari reaksimu, sepertinya kau mengenalnya."
"Itu yang ingin kubicarakan! Ada apa? Apa yang terjadi dengan Elly?" Lucy menjadi semakin panik.
"Mm ... aku tidak sengaja melihat surat panggilan untuknya."
Lucy menutup mulut dengan kedua tangannya.
"Astaga!"
"Sebenarnya aku membaca berita itu di media sosial. Aku akan membantumu, Kak. Sandra juga akan berusaha, asalkan kasusnya tidak diselesaikan secara khusus oleh beberapa pihak."
"Maksudmu?"
"Jika Patrick Aston yang turun tangan, kita tidak bisa berbuat banyak."
Lucy memejamkan mata, menarik napas dalam. Melawan sekelompok orang yang memiliki kekuasaan ternyata sangat rumit! Mereka memiliki segalanya, termasuk media. Memutarbalikkan fakta dengan kebohongan, membuat segala sesuatu yang mustahil dan menentukan kambing hitamnya hanya semudah membalik telapak tangan.
"Apa kau mau minum sesuatu, Kak? Kopi?"
"Tidak, Luke," jawab Lucy lemah, "astaga! Kepalaku mendadak pusing!"
Tak lama kemudian telepon Lucy berdering, keningnya berkerut saat melihat layar yang ada di ponselnya. Ia segera mengangkatnya.
"Elly?"
Tidak ada suara, hanya isak tangis di seberang sana.
"Ada surat yang datang ke apartemenku. Aku dipanggil ke pengadilan."
Mata Lucy membulat. "Apa?"
"Apa yang harus kulakukan, Lucy?"
Elly terdengar putus asa, kemudian sambungan telepon mati.
"Surat panggilan itu sudah tiba?"
Lucy hanya mengangguk, tidak terasa air matanya pun ikut menetes.
^^^
Sidang pengadilan berlangsung selang dua hari setelah Elly mendapat surat panggilan. Selama itu pula Lucy menginap di apartemen Elly untuk memberinya semangat, tapi tidak tadi malam. Semalam polisi datang ke apartemen Elly dengan membawa surat penangkapan, dan itu adalah hari pertama Elly tidur di balik jeruji besi.
Lucy menceritakan hal ini pada Sandra, namun Sandra bahkan tidak tahu kalau semalam ada perintah penangkapan untuk Elly.
Pukul sepuluh pagi, Lucy bersama dengan Luke dan Sandra hendak memasuki ruang sidang, menonton proses sidang yang dilaksanakan secara terbuka.
"Lu!" seseorang memanggil namanya, laki-laki berkacamata yang mengenakan jaket musim dingin berwarna abu-abu muda. Lucy menghambur ke pelukannya.
"Kyan!"
"Hei ...."
Tiba-tiba saja air matanya kembali turun.
"Hei ... sudah, Lu," ujar Kyan sambil mengusap lembut kepala Lucy.
"Aku tidak bisa tenang sebelum Elly keluar dan masalahnya selesai. Kau ke mana saja? Aku membutuhkanmu ...."
"Maafkan aku, Lu. Hari ini aku kabur dari Jessi agar bisa menemanimu."
"Kenapa aku merasa seperti simpananmu?"
"Maaf Lu, aku tidak bermaksud seperti itu."
"Kak! Maaf mengganggu, tapi sidang sudah dimulai."
Lucy melepas peluknya, menyusul Sandra dan Luke masuk ke ruang sidang.
"Ya Tuhan! Kenapa harus Jimmy Colton?" desis Sandra.
Lucy mengerutkan keningnya kemudian melihat ke mana arah mata Sandra. Tepat di depan, seorang laki-laki duduk bersama hakim yang lain, laki-laki berkacamata bulat tipis berbingkai emas, bahkan berkilau saat terkena cahaya matahari, kontras dengan kulit sawo matangnya. Ini pertama kalinya Lucy melihat laki-laki berusia sekitar empat puluh dua tahun itu secara langsung, namun dengan mudah ia mengira bahwa laki-laki itu adalah Jimmy Colton.
"Apa tidak ada orang lain lagi?" tanya Lucy, harapannya sudah putus.
Sandra menarik napas, menggeleng pelan.
"Kita lihat saja Kak, walaupun aku tidak yakin bisa menang, aku berharap pengacara Elly bisa meringankan hukumannya," ujar Luke.
Lucy menggigit bibirnya. Oh Elly ... mengapa kau berada di dalam situasi rumit seperti ini? Batin Lucy. Lucy menoleh pada Kyan saat ia merasakan genggaman hangat pada tangan kirinya. Kyan menggenggamnya erat, memberinya kekuatan, seakan mengerti akan ketakutannya.
"Kita semua akan membantu Elly," ujar Kyan dan entah mengapa perkataan Kyan sedikit membuat awan mendung di hatinya menghilang. Lucy tersenyum lemah, kemudian fokus pada sidang.
Di depan sana, Elly duduk di kursi terdakwa, kepalanya terus menunduk, wajahnya tak terlihat, mungkin saja telinganya tidak fokus mendengar apa yang dikatakan hakim, jaksa, dan pengacara. Di deretan penuntut, Freddy duduk santai, wajahnya tampak ringan, tidak merasa bersalah sama sekali. Ia tidak sendiri, Gio juga duduk di sana, hanya diam, namun matanya menatap lurus pada Lucy. Lucy menyadarinya, tatapan itu seakan menusuk, menelanjanginya. Ia berusaha mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, sesekali tak sengaja beradu pandang pada Kyan, namun ia gagal. Ia tetap merasa tidak nyaman diperhatikan oleh Gio.
"Kak, memang benar atau perasaanku saja? Wilder saat ini terus memperhatikanmu."
"Itu benar, Luke," Kyan yang menjawabnya, kemudian merengkuh Lucy dengan sebelah tangannya, menarik ke pelukannya. Lucy menatap Kyan dan hanya dengan isyarat mata, mereka sama-sama tahu bahwa apa yang dilakukan Kyan adalah untuk membuat Lucy nyaman. Lucy menyandarkan kepalanya, setelah itu Gio tidak memperhatikannya lagi.
"Apa kau bodoh? Tentu saja! Mungkin si Wilder itu tertarik dengan kakakmu?" ujar Sandra.
"Itu tidak mungkin!" cibir Luke, "ada apa dengan para perempuan cantik di New York sampai-sampai Wilder menyukai kakakku?"
Sandra mencubit pipi Luke, melotot kemudian menyuruhnya diam sambil fokus pada sidang. Biasanya Lucy akan membalas cibiran adiknya, namun kali ini ia hanya diam. Ketidaknyamanan serta rasa cemas yang berlebih membuatnya tidak sanggup berkata-kata.
Tak lama kemudian, seseorang datang dari pintu ruang sidang. Laki-laki berambut hitam berwajah kaku, lengkap dengan seragamnya. Ia berjalan bersebelahan dengan laki-laki berkulit sawo matang dengan postur tubuh jangkung. Di belakang mereka ada lima anggota kepolisian yang mengikuti. Kedua laki-laki itu duduk di dekat Gio dan Freddy. Lucy kenal dengan salah satunya, Patrick Aston, orang yang pernah dilihatnya di TKP saat kasus yang menimpa Randy Patton, ayah Freddy. Sebelahnya ia tidak tahu, tetapi yang jelas laki-laki itu juga bagian dari Circle A.
"Astaga! Kenapa Pak Kepala ada di sini?" Sandra kembali mendesis.
"Dia berjalan dengan Derek Bowman?" kini Luke juga mendesis kesal.
"Apa jabatan Derek Bowman? Kenapa dia juga ada di sini?" tanya Lucy menatap Sandra dan Luke. Ia familiar dengan nama itu, Gio pernah menyebutnya, tapi ia tidak tahu apa hubungannya dengan semua ini.
"Wakil Kepala FBI," jawab Kyan, dan Lucy menoleh cepat padanya, mengerutkan keningnya. Lagi-lagi merasa heran dengan jawaban Kyan yang seakan mengerti semuanya.
"Aku membacanya di surat kabar, Lu. Seharusnya kau juga tahu, kau jurnalis," jawab Kyan kemudian memutuskan untuk tidak berbicara lebih lanjut lagi.
"Bila itu tuduhan Tuan Patton, maka terdakwa Eliana Anderson tidak bisa dinyatakan bersalah," seorang hakim perempuan berpendapat setelah pembacaan tuntutan, membuat suasana menjadi riuh tiba-tiba, terutama pada bangku golongan Patton.
"Benar! Pencemaran nama baik tidak bisa dikatakan sebagai bentuk pidana dan itu melanggar hak asasi tentang kebebasan berpendapat di Amerika," gumam Sandra sambil mengangguk-anggukkan kepala.
"Tunggu! Dia memaksaku!"
Dahi hakim perempuan itu mengernyit, ia membetulkan letak kacamatanya yang berwarna perak, menatap Freddy tajam.
"Maaf?"
Freddy berdiri. Ia menunjuk Elly yang menatapnya ketakutan. "Perempuan itu memerasku!"
"Anda merasa takut dengan perempuan ini? Dia berkata bahwa Anda adalah teman kencannya."
Terdengar suara bisik-bisik gaduh di ruang sidang.
"Harap tenang!" Hakim yang lain menenangkan, seorang laki-laki berkepala botak, hakim terakhir dari mereka bertiga.
"Apa Anda punya buktinya?" tanya laki-laki itu menyelidik.
"Tentu! Mobil, ponsel keluaran terbaru, uang. Kalian bisa memeriksa apartemennya. Barang-barang itu disimpannya di sana dan ia memerasku! Perempuan itu mengancam akan menyakitiku bila aku tidak memberi apa yang ia mau!"
"Bagaimanapun di dalam kasus pemerasan dan korban merasa terganggu, maka itu termasuk kejahatan."
Hakim perempuan tampak tidak setuju saat Jimmy Colton membela Freddy, Lucy menutup mulutnya.
"Astaga! Freddy sendiri yang telah memberikan barang-barang itu pada Elly! Aku melihat wajahnya begitu bahagia saat menerima semua pemberian itu!" ujar Lucy dengan suara yang ia tekan.
"Pengalihan, Kak. Freddy berusaha menjebak Elly karena bagaimanapun, ia ingin Elly berada di penjara."
"Untuk apa ia melakukan semua itu?"
"Agar namanya tidak jatuh, Lu. Freddy tidak akan diam saja, ia harus menjatuhkan lawannya, apalagi dukungan orang-orang berpengaruh ada di belakangnya," jelas Kyan.
"Kita lihat saja Kak, apa hakim perempuan itu bisa melawan Jimmy Colton, sepertinya dia membela Elly."
Kyan menggosok pelan pundak Lucy, Lucy semakin khawatir. Tampak hakim bertanya beberapa kali pada Elly, namun Elly hanya diam sambil menunduk, punggungnya bergetar, perempuan itu menangis.
"Lihat? Tidak ada jawaban! Itu artinya dia memang perempuan yang kejam!" tuduh Freddy.
"Bila kau hanya diam, kami tidak akan tahu pembelaanmu, Sayang," hakim perempuan itu berkata lembut, namun Elly tetap tak bersuara.
"Baiklah, hakim memutuskan bahwa saudari Eliana Anderson dinyatakan bersalah karena telah melakukan pemerasan disertai dengan ancaman. Hukumannya adalah penjara selama lima tahun dan denda sebanyak tiga ribu dolar. Sidang ditutup! Kasus berikutnya!" Jimmy Colton yang bersuara, para penonton terdengar tidak terima, termasuk hakim perempuan yang duduk di sebelah kanannya. Lucy bangkit dari duduknya dan berlari menerobos kerumunan, menghampiri Elly yang hendak digiring ke sel tahanan.
"Elly! Elly! Aku tahu kau tidak bersalah! Elly! Kenapa kau tidak berbicara apa pun?"
Lucy sempat memegang tangan Elly dan melihat wajahnya. Tangannya dingin dan lembab, wajahnya pucat, matanya lebam, perempuan itu menangis, bibirnya bergetar, ia menggeleng pelan kemudian melepas tangan Lucy, pergi bersama orang-orang yang mengawalnya ke sel.
"Elly! Elly!"
Lucy berteriak, namun percuma. Air matanya turun, hatinya mendadak sakit. Ia marah, kecewa, semuanya. Seharusnya Elly tidak bersalah, karena Freddy Patton dan kekuasaannyalah keadaan berbalik menyerang sahabatnya.
"Apa kau sudah tahu bagaimana jadinya bila melawan kami?" bisik Gio di telinga Lucy, laki-laki itu sengaja melewatinya saat hendak ke luar ruang sidang. "Tapi khusus untukmu spesial, Lucia. Semakin kau melawanku, aku semakin senang."
Mata Lucy melebar, kemudian Kyan datang dan memeluknya, Gio tertawa sinis, pergi meninggalkan mereka berdua. Lucy menangis semakin keras.
"Apa dia menyakitimu, Lu? Katakan padaku!"
Lucy menggeleng. "Aku akan membantu Elly! Katakan bagaimana caranya aku membantu Elly?"
"Ini persekongkolan. Keputusan hakim terkesan cepat dan ceroboh. Kau tidak bisa mengelaknya karena sudah diatur," ujar Sandra yang menghampiri mereka bersama Luke.
"Sandiwara, Kak. Apa pun pembelaannya, Elly tetap akan berakhir di penjara."
"Aku akan membalas mereka! Aku bersumpah akan membalas mereka!"
Lucy terus terbayang wajah Elly, sahabatnya yang telah terjerumus hingga keadaan buruk berbalik menimpanya. Semua karena keterlibatannya dengan Circle A dan ketidakmampuannya untuk melawan. Lalu apa untuk Lucy? Ancaman Gio saja sudah membuatnya ragu untuk melangkah maju. Lucy benar-benar membenci mereka. Ya, mereka yang telah bermain-main dengan kekuasaan.
^^^
Kyan tidak langsung menghilang selepas sidang, ia menemani Lucy seharian, walaupun perempuan itu tidak memintanya. Ia khawatir, karena sejak keputusan dibuat, Lucy tampak tidak fokus. Pandangan matanya, pikirannya, hingga Kyan tidak tega untuk meninggalkannya. Ia ingin terus berada di sisinya, memastikan bahwa ia telah aman. Kyan sempat mengajaknya makan, namun tidak banyak makanan yang masuk ke dalam mulutnya. Hingga hari berangsur gelap, Kyan memutuskan untuk mengantar Lucy ke apartemennya lantaran udara di musim dingin terasa semakin dingin.
"Istirahatlah, Lu. Besok kita akan menjenguk Elly."
"Aku akan tidur," ujar Lucy lemah, masuk ke dalam kamarnya, namun kemudian ia keluar lagi dan menarik jaket Kyan.
"Bisakah kau menemaniku? Aku terus terbayang-bayang wajah Elly."
"Baiklah."
"Dan ... jangan matikan lampunya walaupun aku sudah tertidur, please?"
"Oke."
Kyan mengikuti Lucy masuk ke kamar. Ukuran kamar Lucy empat kali enam meter, tidak begitu besar bila dibandingkan dengan kamar miliknya, dindingnya berbalut kertas dinding warna cokelat muda, cukup nyaman, terdapat jendela besar yang menampakkan daerah pesisir New York.
"Kyan? Bisakah kau duduk di sini?"
Suara Lucy parau. Ia tahu perempuannya tengah terguncang saat ini, merasa kalah dan tak sanggup lagi melawan. Kyan hanya mengangguk, duduk di tepi tempat tidur Lucy.
"Apa perlu kunyanyikan sebuah lagu untukmu?"
Lucy tersenyum lemah. "Boleh."
"Ibuku dulu menyanyikannya untukku saat hujan lebat disertai badai sedangkan aku terlalu takut untuk memejamkan mataku.
Come stop your crying, it will be alright,
Just take mu hand and hold it tight,
I will protect you from all around you,
I will be here dont you cry.
For one so small, you seem so strong,
My arms will hold you, keep you safe and warm,
This bond between us cant be broken,
I will be here dont you cry.
'Cause you'll be here in my heart, yes you'll be in my heart,
From this day on, now and forever more.
You'll be in my heart, no matter what they say,
You'll be in my heart, always."
Dilihatnya Lucy telah tertidur, meskipun kelopak matanya menunjukkan bahwa tidurnya tidak nyenyak. Kyan menarik napas dalam, menyanyikan lagu itu mengingatkannya kembali pada masa lalu, saat dirinya masih kecil, saat mimpi hanyalah mimpi dan tidak berubah menjadi ambisi.
Kyan mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Apa yang harus kulakukan? Jujur, ini adalah pertama kali ia berada di dalam satu kamar dengan seorang perempuan, terlebih perempuan ini adalah sosok yang disukainya. Ia merasakan getaran tak wajar dan gemuruh di dadanya hingga ia memegang dadanya sendiri.
Ia kembali melihat pada Lucy. Perempuan itu begitu rapuh, rambut cokelat sebahunya terkulai lemas, ada jejak air mata di pipinya. Ia sempat melihat Giovanni Wilder berbicara sesuatu padanya, tapi ia tidak tahu apa yang dibicarakan laki-laki itu hingga tubuh Lucy menjadi kaku saat Kyan memeluknya.
Perlahan, tangannya mengarah pada rambut Lucy, hendak membelainya, namun ia ragu, hingga pandangannya terpaku pada sesuatu di belakang leher Lucy sebelah kiri, ada sedikit bekas luka gores memanjang sekitar tiga sentimeter. Ia tidak pernah tahu luka itu karena Lucy selalu menutupi dengan rambutnya, tapi ... kenapa bekas luka itu ada di sana? Kyan menarik tangannya lagi.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi, cukup keras hingga Kyan panik, ia takut membangunkan kekasihnya. Ia mengerutkan kening saat melihat nama yang ada di layar.
"Ada apa, Ayah?" tanya Kyan datar. Telepon dari ayahnya berarti ada masalah yang ia tahu sekaligus ia hindari. Hubungannya dengan sang Ayah tidak begitu baik, tapi juga tidak bisa dikatakan buruk.
"Aku ada urusan lain yang lebih penting. Bisakah kita membicarakannya di rumah saja? Besok aku akan pulang. Sore."
Pembicaraan terjeda, Kyan mengusap hidung dan mulutnya kesal, kemudian membetulkan letak kacamatanya.
"Ayah, aku tidak harus menuruti semua keinginan Jessi! Aku ingin hubungan kami profesional, hanya sebatas pekerjaan. Ia terus mengurungku, ia bahkan bukan pacarku!"
Kyan mengerutkan keningnya. "Itu urusanku, Ayah! Ayah tidak perlu repot mencampuri urusan pribadiku. Aku tidak ada di apartemen dan juga KnK, tidak perlu menyuruh mereka untuk membawaku pulang."
Kyan menutup teleponnya. Fix! Ia akan menginap di apartemen Lucy malam ini demi menghindari ayahnya dan juga Jessi. Di mana ia akan tidur itu bukan masalah, di lantai ataupun sofa. Ia senang berada begitu dekat degan Lucy, walau ia tidak yakin bisa memejamkan matanya hingga esok pagi.
Lucy terbangun dan melihat jam dinding, masih pukul dua belas lewat lima menit, tengah malam. Lampu kamarnya masih menyala, sepanjang yang ia ingat, ia meminta Kyan untuk tidak meninggalkannya. Mendadak ia merasa begitu egois, Kyan punya dunia sendiri. Kyan akan menjadi seorang penyanyi, tetapi ia justru menghambat jalannya.
Ia bangun dan hendak menuju dapur untuk mengambil air, namun kakinya menyentuh sesuatu. Di sanalah ia melihat Kyan, tertidur pulas berbantal tangan kanannya. Untung saja lantai kamarnya dilapisi karpet bulu berwarna cokelat tua yang hangat, namun tetap saja ia merasa bersalah pada Kyan.
Lucy tersenyum, lagu yang dinyanyikan Kyan terngiang kembali di kepala. Itu bukan lagu baru, namun entah mengapa terasa berbeda saat Kyan yang menyanyikan khusus untuknya. Lucy urung mengambil air di dapur, ia mengambil selimut di tempat tidurnya dan menyelimutkannya pada Kyan, membelai rambut Kyan lembut.
"Terima kasih, Kyan. Aku bersyukur pada Tuhan karena kita telah dipertemukan saat itu."
Kemudian ia kembali tidur di tempatnya.
^^^
Lucy mendadak semangat keesokan paginya. Ia bekerja, tetapi sebelumnya ia menyempatkan waktu mengunjungi Elly. Kyan menemaninya saat itu. Sayangnya, Lucy kembali murung saat di penjara.
Elly, sosok ceria yang menjadi sahabatnya kini berwajah suram. Rambut pirang sebahunya juga tidak tertata, mata birunya tak lagi bercahaya seperti dulu, bahkan ia sempat memaksakan senyum saat bertemu dengan Lucy.
"Bagaimana kabarmu, Elly?"
"Well, aku baik. Apa kau tidak bekerja?"
"Ya, aku akan ke sana setelah melihat keadaanmu."
Elly melirik Kyan yang duduk di sebelah Lucy, kemudian tersenyum.
"Kau beruntung memiliki orang yang selalu menyayangimu, Lucy."
"Kau juga, Elly! Kau masih memiliki orang-orang yang menyayangimu di sini. Apakah ini masalah Gio? Apa Gio mengancammu?"
Elly menggeleng sambil menunduk, Kyan menggenggam tangan Lucy, mencoba meredakan emosi perempuan itu saat menyangkut masalah Gio.
"Orang itu tidak pantas kau cintai! Aku akan membebaskanmu dari sini, setelah itu kau bisa menunjukkan cintamu padanya. Ajari dia bagaimana seharusnya bertingkah laku pada orang lain yang dia anggap berada di bawah derajatnya!"
"Tidak, Lucy. Cukup. Aku ... aku tidak punya apa pun. Kau tahu kalau aku yatim piatu, aku hanya seorang diri, tanpa saudara. Aku tidak punya siapa-siapa lagi untuk dipertahankan, dan aku juga tidak punya apa-apa lagi untuk diperjuangkan."
"Ada! Kau punya hidupmu! Kau punya hidup yang harus diperjuangkan! Kami semua di sini. Aku, Kyan, Luke, bahkan Sandra."
Elly menatap ke dalam mata Lucy, entah apa yang ada di pikiran Elly, Lucy tidak bisa membacanya, yang pasti kemudian perempuan itu tersenyum.
"Kau baik sekali, Lucy. Memang tidak salah bila Gio bahkan lebih menyukaimu."
Lucy mengerutkan keningnya. "Tapi aku tidak ...."
"Hei Kyan!" panggil Elly.
Kyan membetulkan letak kacamatanya menatap Elly penuh tanya.
"Kau harus menjaga Lucy dan jangan pernah meninggalkannya! Kudengar kau adalah mood booster untuk Lucy, tapi aku sadar bahwa ada hubungan timbal balik di antara kalian, kalian saling membutuhkan satu sama lain. Kau jangan pernah membuat Lucy terluka! Atau aku akan marah padamu!"
Kyan tersenyum kemudian mengangguk canggung. Ia merasa ada yang salah dengan perkataan Elly, tapi ia tidak berani mengatakannya pada Lucy.
"Apapun yang terjadi, kau akan bebas! Aku akan membebaskanmu dari tempat ini dan dari mereka semua!" ujar Lucy.
Elly tersenyum. "Terima kasih, Lucy."
Lucy bersungguh-sungguh, karena yang ia tahu Elly adalah korban dan tidak seharusnya ia menerima hukuman.
^^^
Setiap hari Lucy selalu mengunjungi Elly, tanpa absen. Sebelum pergi bekerja, selepas kerja, dengan Kyan, atau tanpa Kyan, karena beberapa hari ini Kyan jarang muncul lagi di hadapannya. Ia tidak mau ambil pusing dengan ada atau tidak adanya Kyan, yang ada di pikirannya hanya Elly. Ia mencari cara untuk membalikkan keadaan, mulai dari pergi ke hotel tempat Freddy menyewa tempat bersama Elly hingga barang-barang yang ada di apartemen Elly.
Hanya saja hasilnya nihil, kelompok mereka bermain bersih, tanpa meninggalkan jejak sedikit pun.
Lucy merasa semua baik-baik saja, hingga ada yang berbeda hari ini.
Lapas menjadi ramai pagi ini saat Lucy hendak mengunjungi Elly. Dahinya mengernyit dan mendadak firasat buruk menghantui pikirannya. Ia menerjang barisan wartawan dan bertanya pada mereka yang dikenalnya.
"Aku ingin mengunjungi Eliana Anderson, please?" pinta Lucy saat menemui penjaga lapas.
"Apa kau yang bernama Lucia Kinston?"
Lucy tidak suka ini!
"Ya," jawabnya ragu.
Penjaga lapas memberikan sepucuk surat pada Lucy. Klasik, tapi ia tidak mengerti.
"Apa maksudnya ini? Aku ingin bertemu dengan ...."
"Eliana Anderson ditemukan tewas pagi ini di kamar mandi. Diduga ia bunuh diri karena ada sayatan di pergelangan tangannya."
Jantung Lucy seakan berhenti seketika, tanpa sengaja ia meremas surat itu, air mata kembali turun di pipinya.
"Tidak mungkin! Katakan padaku! Aku sudah berjanji akan mengeluarkannya dari sini!" teriak Lucy histeris.
"Jenazah akan diangkut dengan mobil jenazah khusus tahanan dan dibawa ke rumah sakit untuk proses autopsi. Kalau kau mau melihatnya, tunggulah di sini."
Lucy jatuh terduduk, ia menangis tanpa suara, terlalu pedih. Padahal kemarin mereka sempat bercengkrama dan berandai-andai bila ia keluar dari tempat ini, bahkan Elly terlihat lebih segar.
"Elly ...."
^^^^
You'll be in my heart – Phil Collins
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top