BAB V
"Maaf Gio, tapi aku mengembalikan ini. Terima kasih."
Tujuan Lucy berangkat ke kantor lebih awal hanya untuk ini. Masuk ke ruangan bosnya dan mengembalikan ponsel pintar keluaran terbaru yang diberikan Gio padanya. Gio hanya memandangnya datar.
"Kau bahkan tidak membuka segelnya sama sekali."
"Aku akan membalas pesanmu berikutnya jika memang menyangkut masalah pekerjaan, aku sudah mendapatkan ponselku kembali."
"Aku tidak mau menerimanya. Aku memberikannya untukmu, Lucia."
"Aku juga tidak mau menerimanya, maafkan aku Gio."
Lucy masih menunduk saat perdebatan berlangsung. Ia tetap pada pendiriannya, begitu pula dengan Gio.
Ponsel pemberian Gio ini sempat membuat Elly tidak menyapanya selama beberapa hari, bahkan setelah Lucy memberikan seribu alasan. Penyebabnya masih klasik, cemburu. Ia tidak mau benda mati merusak hubungannya, ia bahkan tidak membutuhkannya. Ia memang bukan orang kaya, namun memanfaatkan pemberian orang lain bukanlah sifatnya.
"Kalau begitu aku akan membuangnya," ujar Gio kemudian mengambil kotak ponsel itu dan melemparnya ke tempat sampah di samping meja kerjanya. Lucy terkejut, tentu saja.
"Lebih bijak bila kau memberikan benda itu pada orang yang lebih membutuhkan daripada membuangnya. Maafkan aku, aku akan kembali ke ruanganku."
Lucy masih menunduk hingga ia keluar dari ruangan Gio. Ia takut menatap wajah bosnya. Sungguh! Diam adalah reaksi yang lebih menakutkan dibandingkan dengan makian.
^^^
Gio berdiri dari kursinya selepas Lucy pergi dari dalam ruangan. Ia mengacak rambutnya kesal kemudian menendang keras meja kerjanya. Ia tidak habis pikir dengan tingkah laku salah satu anak buahnya itu. Ia hanya mencoba berbaik hati, memberikan simpati yang lebih dibandingkan dengan para staf yang lain, namun semua itu ditolak mentah-mentah. Semua perempuan selalu tunduk dengan harta, namun yang satu ini berbeda. Ia duduk kembali di kursinya, menggeram marah, melirik kotak berisi ponsel baru yang ada di tempat sampah kemudian menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi, mengurut pangkal hidungnya.
"Apa yang kau inginkan, Lucia? Kenapa sulit sekali membuatmu patuh padaku?" geramnya putus asa.
Sebenarnya, sejak awal pertemuan, ia ingin mendapatkan perempuan itu, bukan Elly yang selalu tersenyum cerah padanya, melainkan Lucy, sosok yang terang-terangan menunjukkan sikap tidak patuh. Ia penasaran dan ingin menundukkannya. Satu-satunya yang membuat Lucy patuh adalah saat ia mengancamnya.
"Apa aku harus mengancamnya lagi?"
^^^
Lucy duduk di kursinya, menulis berita seperti biasa. Beberapa hari ini tidak ada berita yang harus disulap oleh Lucy, namun entah mengapa ia merasa pundaknya memberat. Ia menyandar sesaat sambil memejamkan matanya.
"Lucy!"
Suara teriakan manja yang dikenalnya, perempuan berambut pirang sebahu dan kulit sedikit merah menghampirinya dengan wajah bahagia, sudah pasti ada berita bagus menurut versinya yang akan disampaikan pada Lucy.
"Ada apa, Elly?"
"Hei! Kenapa kau murung seperti itu? Kau sakit?"
Sakit! Kalau menyangkut masalahnya dengan si Bos.
"Tidak. Ada masalah kecil, tapi tidak perlu dikhawatirkan."
"Coba tebak! Malam ini aku akan kencan dengan Freddy!"
"Lagi?"
Elly mengangguk mantap dengan mata yang berbinar-binar. Sebenarnya Lucy tidak pernah tertarik dengan cerita yang berkaitan dengan Circle A, ia juga tidak pernah setuju sahabatnya berkencan dengan Freddy, anak dari laki-laki licik yang masuk dalam Circle A. Hanya saja ia tidak tega saat melihat wajah Elly yang bersinar, ia seperti sangat bahagia saat berkencan dengan Freddy.
"Ia berkata akan membawaku ke tempat spesial!"
"Oh, wow," ujar Lucy yang bahkan tanpa ekspresi.
"Lalu, bagaimana dengan pria KnK itu?"
Nah! Ini juga yang membuat pundak Lucy memberat. Sejak ponselnya rusak, ia tidak pernah sekali pun menghubungi Kyan. Ada perasaan kecewa saat ia tidak pernah melihat sosok itu berada di tempat biasanya.
"Aku tidak tahu."
Pipi Elly menggembung. "Hei ... kau sebaiknya menghubungi laki-laki itu! Dia tidak mungkin meninggalkanmu!"
"Untuk sementara waktu, aku tidak akan mencarinya. Tolong jangan tanyakan padaku, Elly."
"Oh, oke," Elly tidak bekata apa-apa lagi.
Lucy memejamkan matanya, entah sampai kapan ia bisa bertahan.
^^^
Lucy baru saja mengaktifkan ponselnya dan banyak sekali pesan masuk. Ia duduk di atas tempat tidur, membiarkan semua lampu redup dan tirai terbuka. Pukul sepuluh malam, perlahan-lahan matanya mulai berair, namun kesadarannya kembali seratus persen saat melihat pesan masuk dari Kyan! Pesan itu seharusnya ia terima pada pukul empat sore tadi, saat Lucy masih ada di kantor. Beberapa pesan dari Kyan, dan terakhir adalah pesan pukul tujuh malam, sebuah pesan suara. Lucy cepat-cepat membukanya, ada suara gemerisik di sana, kemudian tarikan napas.
"Huft, oke ... tenang, Kyan!"
Lucy tertawa kecil, meski tanpa sadar air matanya turun. Ia merasakan rindu. Inilah suara Kyan, si laki-laki kikuk yang hingga saat ini menghilang entah ke mana demi menggapai impiannya.
"Hei Lu! Aku punya satu lagu baru spesial untukmu! Kau harus mendengarkannya, oke? Kumohon dengarkanlah!"
Lalu terdengar suara alunan gitar yang halus dan begitu menenangkan hatinya, entah mengapa jiwanya menghangat
"You ... an angel from the heaven.
Come to me and hug me with you're arms.
You're pretty soul. So beautiful.
And i have fallen by your charms, adore you.
You're admirer.
Oh i am the man who crave you're love.
Miss you're beautiful eyes.
Oh i am the man who willing to take care of you.
Keep you're light and let it bright.
Oh i am the man who expecting you.
Hope you always by my side till the end of my life."
Pipi Lucy merona, apa ini pernyataan cinta dari Kyan? Jantungnya berdetak lebih kencang. Mereka selama ini telah menjalin hubungan bahkan tanpa ada pernyataan cinta. Kyan pernah secara terang-terangan mendeklarasikan bahwa Lucy adalah teman kencannya, namun ia tidak ingin melambung terlalu tinggi, karena akan terasa sakit saat terjatuh nanti.
Meskipun Lucy telah benar-benar jatuh cinta padanya.
"Lu? Kau mendengarkanku, kan? Aku membuatnya untukmu, yah ... agensi Jessi yang mengaransemen ulang musiknya."
Suara Kyan tertawa kecil.
Benar! Jessi, perempuan berambut pirang dengan kulit sedikit cokelat yang eksotik. Jelas perempuan itu lebih berkelas daripada dirinya, dan bila Kyan jadi penyanyi sebagaimana mimpinya, maka perempuan itulah yang lebih cocok di samping Kyan, bukan dirinya.
"Kau tahu, Lu? Aku merindukanmu."
"Aku juga merindukanmu, Kyan."
"Kita masih teman kencan, kan? Aku akan mengajakmu kencan suatu saat nanti. Oh, aku harus memperbaiki beberapa lagu baruku. Sampai jumpa, Lu! Jaga dirimu."
Sayup-sayup terdengar suara Kyan berbisik, "Oh Tuhan ... buat Lucy mendengarnya!"
Hal kecil yang membuat Lucy tersenyum.
Pesan suara berakhir, betapa dirinya sangat merindukan Kyan. Lucy mencoba menghubungi Kyan, tetapi tidak bisa. Hanya mailbox. Perasaan sepi kembali melingkupi hatinya.
Lucy melihat pesan suara yang lain, dari nomor tidak dikenal. Berharap dari Kyan, namun ternyata tidak.
"Lu? Ini aku Olivia. Apa kau baik-baik saja? Oh! Semoga kau baik-baik saja. Aku akan sering berada di lapangan. Kau harus menjaga dirimu sendiri dengan baik, oke?"
Lucy mengerutkan keningnya. Suara Olivia tidak pernah terdengar seperti ini sebelumnya, sudah pasti ada sesuatu yang tidak beres!
"Lucy? Lucy! Lucy ... buka pintumu, please?"
Seseorang menggedor pintu apartemen Lucy, membuatnya berjingkat karena memikirkan hal buruk yang bisa saja terjadi pada Olivia, sepupunya. Lucy melihat jam dinding, hampir pukul sebelas malam, tidak ada yang datang bertamu di apartemen tengah malam kecuali Elly. Ia bergegas membuka pintu dan sangat terkejut melihat penampilan Elly.
"Elly!"
^^^
Elly sudah sedikit merasa tenang. Butuh waktu setidaknya satu jam ditambah secangkir cokelat panas untuk menenangkannya. Betapa paniknya Lucy saat melihat sahabatnya datang dengan rambut berantakan, lebam merah sedikit ungu di wajahnya, bahkan ada goresan luka di ujung bibir kirinya, pakaiannya koyak, ia menangis dengan tubuh yang gemetar. Lucy menuntunnya untuk duduk di sofa, membuatnya nyaman agar sahabatnya kembali tenang. Tiga puluh menit dilalui dengan tangisan, tiga puluh menit kemudian hening.
"Ada apa? Kau tampak kacau," ujar Lucy hati-hati, ia duduk di samping Elly, berhadapan dengannya. Elly hanya diam, tatapannya kosong.
"Kau tidak perlu menceritakannya padaku, Elly. Istirahatlah, tidur di kamarku, aku akan menyiapkan tempat ti ...."
"Freddy memukulku, Lucy ..." ujar Elly dengan suara parau.
Lucy mengerutkan keningnya.
"Apa?"
"Freddy memukulku ...."
"Bukankah tadi pagi kau berkata bahwa Freddy akan mengajakmu ke tempat spesial?"
"Ya ... memang. Ia mengajakku ke hotel, hotel mewah dengan balkon, bahkan kamar mandinya pun mewah. Ada taburan mawar, wine mahal, wewangian yang lembut. Ia menyuruhku untuk melayaninya."
"Apa?"
"Aku menolaknya, Lucy!" tangis Elly kembali pecah, sebelah tangan ia gunakan untuk mengusap air mata di pipinya, sebelahnya lagi memegang cangkir cokelat panas yang mulai mendingin. "Aku terus menolaknya. Ia marah dan menghinaku, merendahkanku, ia berkata bahwa aku hanya jual mahal. Ia juga menyebutku perempuan jalang yang berpura-pura tidak menginginkan uang. Ia menamparku, terus memakiku, bahkan hampir membunuhku dengan pecahan botol wine."
Elly menangis keras, membuat jeda hingga yang terdengar hanya suara sesenggukan dari tangis yang ditahannya.
"Aku sekuat tenaga menghindar, berteriak, mencari kunci dan melarikan diri. Lorong menjadi ramai, mereka melihatku dengan mata penuh pertanyaan. Aku lari ke lobi utama dan mereka semua berbisik. Aku segera mencari taksi dan membayarnya dengan sisa uang yang ada di saku celanaku. Aku meninggalkan barang-barangku di sana dan berpikir tempatmu adalah tempat yang paling aman."
Jeda lagi. Lucy hanya diam, ia tidak tahu harus berkata apa. Dari awal ia sudah mengingatkan bahwa Freddy bukan orang yang pantas untuk dijadikan teman kencan, namun menyalahkan Elly saat ini hanya akan menambah sakit di hatinya.
"Aku kacau, Lucy. Para wartawan akan segera mengendus peristiwa ini, media akan segera membicarakan hal ini. Aku tahu, aku salah. Aku salah karena berkencan dengan Freddy dan membuat masalah dengannya. Aku hanya ... aku hanya ingin dicintai, aku hanya ingin dicintai dengan tulus oleh seorang laki-laki sehingga aku bisa melupakan perasaanku pada Gio. Aku hancur, Lucy ...."
Ya, perempuan ini memang telah hancur. Bermasalah dengan keluarga Patton bukan pertanda bagus.
"Untuk sementara waktu, istirahatlah di sini, Elly. Aku akan berbicara pada Gio dan memintanya membersihkan namamu."
"Kau tahu itu tidak mungkin."
"Kau karyawannya, apa dia sampai hati menjatuhkanmu demi laki-laki tidak tahu diri dari keluarga Patton itu?"
Elly bungkam, Lucy menarik napas panjang. Besok pasti akan menjadi hari yang berat.
"Aku akan membantumu, Elly."
"Terima kasih, Lucy."
Lucy tersenyum lemah, kemudian bangkit hendak menyiapkan tempat tidurnya untuk Elly.
"Lucy? Maaf waktu itu aku sempat membencimu. Aku hanya iri karena ... Gio lebih memilihmu."
"Tidak apa-apa. Kau lebih tahu bahwa aku tidak tertarik sedikit pun padanya."
Elly tersenyum lemah, kemudian meminum cokelatnya. Jauh di lubuk hati Lucy yang paling dalam, ia meyakini satu hal bahwa Gio lebih memilih membersihkan nama Patton dan mengkambinghitamkan Elly. Lucy menarik napas panjang sambil berharap bahwa hal itu tidak akan terjadi. Tidak akan pernah terjadi, kan?
^^^
Lucy pergi ke kantor saat Elly masih terlelap. Tidak ada yang terjadi di NC Times, semua berjalan seperti biasa. Ia juga melihat Olivia yang sedang berdiam diri di depan mesin kopi dengan lingkaran panda di sekitar matanya. Olivia pasti kurang tidur. Seorang senior menyapa Olivia, mengajaknya ke dalam lift sambil berbincang-bincang ringan, Olivia menanggapinya kurang bersemangat. Beberapa hari ini Olivia seperti sedang tertimpa masalah, namun Lucy mencoba untuk tidak bertanya padanya dulu, urusan Elly lebih penting untuk saat ini.
Apa yang ada di pikirannya hampir saja menjadi kenyataan, karena sebelum pukul lima sore, halaman gedung NC Times dipenuhi oleh massa. Mereka membawa semacam kertas besar dan spanduk yang intinya menolak Media Elit. Mereka juga menuntut agar tidak ada lagi perlindungan untuk keluarga pejabat bila memang mereka dinyatakan bersalah. Lucy bergegas menuju lokasi bersama para karyawan lain yang mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi.
Seorang laki-laki berkaus putih maju ke depan, ia meneriakkan protes dengan pengeras suara, sedangkan Giovanni Wilder sang direktur muda NC Times, berdiri di sana dengan tenang, tidak ada rasa panik di wajahnya, hanya tatapan merendahkan seakan mereka yang berkerumun adalah sekumpulan tikus.
"NC Times adalah media yang paling berpengaruh di New York, berita-berita milik NC Times selalu menjadi panutan untuk media lain. Sebaiknya kalian menyampaikan kebenaran! Kami sudah muak dengan tipu daya kalian! Bau busuk sudah tercium! Segera bersihkan atau kalian akan hancur! Beri hukuman pada keluarga Patton! Mereka lagi-lagi menindas dan menganiaya kami orang-orang kecil! Jangan lindungi keluarga Patton! Kalian seharusnya menyampaikan kebenaran!"
Perintah itu terdengar hingga dua kali. Lucy diam-diam menyetujuinya, laki-laki yang dengan berani menyudutkan NC Times. Mereka memang tidak sepatutnya membuat berita bohong demi melindungi kepentingan kelompok mereka.
"Hei! Kalian tenang!" teriak kepala keamanan NC Times saat suasana mulai riuh, "biarkan Pak Direktur berbicara!"
Beberapa anggota keamanan membentuk perlindungan untuk Gio yang berjalan maju mendekati laki-laki pembawa pengeras suara.
"Kalian sudah salah paham. Sebaiknya kalian bijak dalam menyimpulkan kejadian. Teliti sebelum menghakimi. Apa kalian mengira perempuan yang berwajah lebam dan menangis keluar dari hotel adalah orang yang teraniaya? Kalian hanya sedang dibutakan. Frederick Patton adalah korbannya."
Suara riuh kembali terdengar, bahkan lebih keras. Mereka tidak terima dengan pernyataan Gio yang seolah membela Freddy. Lucy membulatkan matanya, dalam hati ia merasa kesal.
"Itu tidak mungkin!"
"Jangan membuat sanggahan yang tidak masuk akal!"
Mereka berteriak lagi.
"Perempuan itu adalah pegawai kami, Eliana Anderson. Dia sudah bekerja pada kami cukup lama, jadi kami lebih mengenal sifatnya dibandingkan kalian. Eliana mencoba untuk merayu Freddy dan ingin membalas dendam akan sesuatu. Perempuan itu juga berusaha mengambil kunci mobil Frederick, namun berhasil dicegah. Perempuan itu bahkan melukai tangan Frederick yang sudah terlajur mencintainya."
Para warga terdiam, berbisik-bisik. Lucy mengerutkan keningnya, ia yakin bahwa lebih dari setengah massa tersebut tidak setuju dengan apa yang disampaikan Gio.
"Oleh karena itu, kami NC Times meminta maaf atas kesalahpahaman kalian. Kami akan menyelesaikan masalah ini secara internal dan akan memecat Eliana Anderson sebagai gantinya. Bila memang masih ada yang keberatan di antara kalian, datang langsung ke ruanganku, satu lawan satu, tidak bergerombol seperti ini."
Dengan bantuan keamanan, satu persatu massa mulai bubar. Gio masih ada di sana.
"Tolong ambilkan mobilku, aku harus menemui Patrick Aston dan Jimmy Colton. Aku juga harus melaporkan kekacauan ini pada ayahku."
Tanpa kata, seorang anggota keamanan pergi melaksanakan perintah Gio. Lucy masih berdiri di pintu gedung NC Times, memperhatikan setiap inci wajah bosnya yang tidak memiliki penyesalan sedikit pun.
"Apa kau tidak punya rasa sesal, Bos?"
"Apa yang kau bicarakan, Lucia?" Gio masih sibuk dengan ponselnya.
"Kau seharusnya membela Elly, bukan malah menyudutkannya! Elly adalah karyawan di sini!"
"Bukan prioritasku, Lucia."
Sebuah mobil mewah berwarna putih berhenti di depan mereka, mobil milik Gio. Saat hendak memasuki mobilnya, langkah Gio terhenti, tangan Lucy menahannya.
"Apa yang membuatmu seperti ini? Apa uang berarti segalanya? Aku tahu mana yang benar dan mana yang salah, sedangkan kau, kau juga tahu tapi kau buta! Tidak bisakah kau berbaik hati? Setidaknya hanya pada Elly?"
"Pada Elly saja? Tidak padamu?"
"Pada ...."
"Dengar, Lucia! Urusan Patton dan anggota Circle A yang lain menjadi prioritas di NC Times. Sebaiknya kau persiapkan diri menulis berita karena nama Freddy harus bersih dalam waktu satu hari! Aku tidak mau mereka datang lagi memenuhi halaman gedungku."
"Aku menolak! Aku akan keluar dari NC Times karena sampai kapan pun, aku ada di pihak Elly!"
Lucy berjingkat saat Gio mencengkram lengannya, menarik tubuhnya lebih dekat dan mendekatkan bibirnya ke telinga Lucy sehingga Lucy bisa merasakan embusan napas hangat Gio di telinganya, cukup untuk membuat bulu kuduknya berdiri.
"Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi, Lucia. Aku adalah orang yang berkuasa di sini dan kau adalah orang yang aku kuasai," bisik Gio dingin.
"Aku menolak!"
"Kau tidak belajar dari pengalaman sebelumnya? Kalau begitu kali ini aku sendiri yang akan memberimu pelajaran!"
Mata Gio memandangnya marah, dalam sekejap tubuh Lucy dikunci dan mulutnya dibekap. Ia meronta, meminta tolong, namun pihak keamanan hanya diam saja, tidak beranjak untuk menolongnya, mungkin mereka tidak mau ikut campur dengan urusan bosnya.
Hampir saja Lucy menangis, namun ia merasakan ada tangan lain yang melindunginya, melepaskan dirinya dari Gio dan membawa ke pelukannya. Lucy masih memejamkan mata, kemudian membukanya perlahan saat mencium aroma khas yang telah lama dirindukannya. Kyan.
"Kau memang atasan, tapi bukan begitu caramu memperlakukan karyawan."
"Siapa kau?" tanya Gio marah, "oh, kau ...."
"Aku pacar Lucy," jawab Kyan dengan yakin, ia tidak takut sedikit pun pada Gio.
"Aku benci dengan orang lain yang mencampuri urusanku. Kau tetap berada dalam pengawasanku, Lucia!" ancam Gio, ia membetulkan letak dasinya kemudian naik ke dalam mobil.
Setelah mobil Gio berlalu, barulah Lucy menangis. Ia menangis di pelukan Kyan, dan itu bukan pertama kalinya.
Kyan berpikir, Andai ia datang lebih awal, ia akan menjauhkan Lucy dari semua masalah ini. Ia melihat dengan jelas kerumunan orang yang datang dan berkumpul di halaman NC Times, ia juga melihat aksi demo itu. Ia juga tahu anak tunggal Wilder berbicara di depan mereka, meskipun ia tidak bisa mendengar apa yang dibicarakannya. Ia tidak bisa mendengarnya dari KnK, tetapi ia yakin bahwa apa yang dibicarakannya bukanlah hal yang baik bagi Lucy.
"Tenangkan dirimu, Lu," ujar Kyan sambil memeluk Lucy dengan lembut.
Perempuan ini ... perempuan ini telah berubah menjadi sosok yang rapuh, bak bidadari dengan sayapnya yang patah.
"Tidak apa-apa, aku ada di sini, Lu. Aku ada di sini."
^^^
Kyan mengajaknya duduk di KnK dan memesankan secangkir kopi krim latte dengan dua sendok teh gula, kesukaan Lucy. Mereka duduk berhadapan. Di sana Lucy bercerita tentang apa yang terjadi. Kyan tahu berita tentang Frederick Patton, hanya saja ia tidak tahu bahwa Lucy sedikit terlibat di dalamnya. Ia terlibat untuk melindungi sahabatnya, yang mana korban sesungguhnya dari peristiwa ini.
"Apa yang harus kukatakan pada Elly? Elly akan dipecat dari NC Times. Selain itu, nama baiknya juga dipertaruhkan, menjadi tumbal untuk membersihkan nama si Patton. Oh! Patton! Kyan, maukah kau mengantarku pada Patton?"
Kyan terkejut. "Sekarang?"
Lucy mengangguk mantap. "Please? Aku harus berbicara dengannya."
Kyan terdiam sesaat, menimbang-nimbang permintaan Lucy kemudian menyanggupinya.
Kyan membawa Lucy ke sebuah apartemen di Clinton. Kyan memarkir motornya dan mengajaknya masuk ke gedung apartemen mewah tersebut. Ia menggandeng tangan Lucy, tangan perempuan itu terasa dingin dan gemetar, bahkan ia itu terus bungkam selama perjalanan.
"Apa kau siap?"
Hanya anggukan yang didapat Kyan, tidak ada suara hingga mereka sampai di lantai yang paling atas. Kyan mengambil kunci di dalam tasnya, Lucy menatapnya heran sembari berpikir mana mungkin Kyan membuka sendiri apartemen Freddy?
"Maaf Lu, aku tidak membawamu ke rumah Freddy. Well, selamat datang di tempatku yang sederhana ini," ujar Kyan saat membuka pintunya, memperlihatkan kemewahan isi dari apartemen Kyan.
Kyan mengajaknya masuk, Lucy hanya diam menurutinya, memperhatikan ke sekeliling ruangan. Dominasi warna putih menjadi suasana apartemen Kyan, tidak ada barang di tempat ini yang terlihat murah di matanya, Lucy yakin tidak semua orang sepertinya mau menghabiskan uang untuk apartemen mewah seperti ini.
"Duduklah, Lu. Anggap rumah sendiri."
Kyan menarik tangan Lucy lembut dan mengajaknya duduk di sofa berwarna putih. Kursi yang nyaman, menghadap televisi layar datar besar. Kyan bersimpuh di hadapannya, masih menggenggam kedua tangannya.
"Aku memintamu untuk mengantarku pada Freddy, mengapa kau malah mengajakku ke sini?"
Kyan menangkup kedua pipi Lucy dengan kedua tangannya dan menatap ke dalam matanya.
"Dengarkan aku, Lu. Aku tidak akan pernah membawamu ke sana, berurusan dengannya sama dengan masalah besar. Selama perjalanan, kau hanya diam, tanganmu dingin dan gemetar. Kau belum siap menghadapinya."
"Aku harus menolong Elly."
Kyan tersenyum lembut sembari membelai puncak kepala Lucy. "Aku tahu, tapi kau tidak harus memosisikan dirimu sendiri dalam bahaya untuk menolong temanmu. Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi padamu."
"Aku tidak bisa diam saja, Kyan."
"Aku akan membantumu, kau juga bisa meminta bantuan pada Luke, bukankah dia polisi?"
Lucy terdiam sesaat. "Kau benar."
"Kita harus mencari cara lain yang lebih aman bila berurusan dengan mereka. Wilder, Patton, Aston, Bowman, Colton, Sanford, Frith, termasuk Ranford. Mereka bukan orang sembarangan, mereka kuat dan saling bekerja sama untuk membalikkan keadaan bila sedang tertimpa masalah."
Lucy mengerutkan kening. "Itu semua anggota Circle A. Tunggu, bagaimana kau bisa tahu semua anggota Circle A?"
Kyan terdiam, menggosok hidungnya tiga kali. "Well, aku tahu dari televisi."
Lucy menatap Kyan tidak percaya. Tentu saja! Ia seorang wartawan, ia juga tahu bahwa anggota Circle A tidak pernah diekspos secara terbuka di televisi.
"Oh, baiklah! Jessi adalah bagian dari mereka, namanya Jessica Ranford. Ia termasuk orang yang memiliki prioritas itu. Aku berurusan dengan mereka, tapi tidak dalam hal buruk, Lu. Hanya sekedar berbisnis, tidak lebih."
Bibir Lucy membulat kecil kemudian kepalanya mengangguk. Kyan tersenyum dan bersyukur setidaknya Lucy percaya. Kyan kembali menggenggam tangan Lucy.
"Gio sepertinya mengenalimu tadi," selidik Lucy dengan nada hati-hati.
"Mungkin dia pernah melihatku bernyanyi di kafe."
Lucy mengangguk-anggukkan kepalanya lagi.
"Kyan? Apa benar ... kau ... hanya seorang penyanyi yang pindah dari satu kafe ke kafe lain?"
Kyan tersenyum, ia bangkit dan memosisikan duduknya di sebelah Lucy.
"Tentu saja," jawab Kyan.
"Kau memberiku barang-barang berkelas saat kencan pertama kita, dan tempat tinggalmu ...."
"Apa kau mau kopi? Kau tamu istimewa di sini, aku harus memberikan sesuatu yang istimewa juga. Bodohnya aku! Aku bahkan tidak menyuguhkan apapun."
Lucy tersenyum, ia tahu pembicaraannya sedang dialihkan saat ini. Ia tidak bertanya kedua kalinya serta tidak ingin mencari tahu apa pekerjaan Kyan sebenarnya. Baginya, Kyan yang selalu di sisinya seperti ini sudah lebih dari cukup.
"Tidak perlu repot, Kyan. Terima kasih."
Kyan bangkit dari duduknya. "Tidak bisa begitu! Kau harus makan atau setidaknya minum sesuatu di tempatku."
Lucy tertawa kecil dan membuat Kyan secara otomatis tersenyum, suara tawa renyah perempuannya yang selama ini dirindukan. Syukurlah Lucy sudah kembali seperti sedia kala.
"Terima kasih, Kyan."
"Baiklah! Kopi krim latte dengan dua sendok teh gula. Lagi. Mungkin saja buatanku lebih lezat dari yang ada di KnK."
"Kalau begitu aku harus mencicipinya. Oh! Aku harus menghubungi Luke dan meminta pertolongan. Elly ada di apartemenku, bisakah kita semua ke sana setelah ini?"
"Sebaiknya hanya kau. Bila perlu ... Luke yang menemanimu, tanpa seragam polisinya dan memperkenalkan diri sebagai adikmu, bukan anggota polisi. Dengan begitu Elly akan merasa nyaman."
"Kau benar."
"Well, secangkir kopi akan segera datang, Putri."
Lucy tersenyum, wajahnya tersipu. "Kyan?"
Kyan membalik badannya, menghentikan langkah ke dapur.
"Terima kasih banyak, kau selalu bisa membuatku tenang."
Kyan tersenyum. "Sama-sama, Lu. Kalau kau menyukainya, aku bersedia selalu seperti itu untukmu."
Apapun. Kyan akan melakukan apapun untuk perempuannya, untuk perempuan yang dicintainya sejak awal mereka berjumpa.
^^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top