BAB IX

Pagi-pagi sekali Kyan datang menjemput Lucy dan Hannah. Ia membawa pakaian, topi, dan kacamata yang akan digunakan sebagai penyamaran Hannah. Setelah semua sudah siap, mereka pergi ke Bandar Udara La Guardian di Queens - New York. Hanya butuh waktu kurang dari satu jam dari apartemen hingga mereka sampai. Pukul tujuh tepat, pesawat mereka lepas landas menuju Bandar Udara Internasional Dallas – Fort Worth kurang lebih tiga jam lamanya. Di sana mereka transit selama kurang lebih dua jam dan kemudian terbang kembali pada pukul setengah satu siang menuju Lafayette Regional Airport selama kurang lebih satu setengah jam.

Lucy menarik napas dalam saat pertama kali menjejakkan kakinya di Bandar Udara Lafayette. Ia melihat ke sekeliling, rasanya sudah sangat lama tidak pulang. Terakhir kali adalah tiga hari setelah ayahnya meninggal, kemudian ia memutuskan untuk tinggal sendiri.

"Maaf Lu, aku tidak bisa membawamu pergi dengan penerbangan yang lebih bagus."

Selalu saja begitu. Kyan selalu merendah bila berhadapan dengannya, padahal ini semua sudah lebih dari cukup.

"Aku hanya ingin mengunjungi ibuku, Kyan, tidak peduli dengan apa aku pergi."

"Lalu, ke mana kita akan pergi?" tanya Hannah antusias.

Untuk sementara, tas Hannah disimpan di dalam koper ungu yang dibawa oleh Lucy. Hannah tidak mau meninggalkan tasnya, Lucy juga tidak mau keberadaan Hannah diketahui hanya karena tasnya, jadi Kyan menyarankan untuk menyimpannya di dalam koper dan tetap membawanya.

"Apa kalian keberatan bila mengunjungi ibuku dulu? Aku sudah sangat merindukannya," pinta Lucy.

"Baiklah, permintaan dikabulkan!" sahut Kyan disusul dengan anggukan mantap dari Hannah.

Lucy tersenyum senang. "Terima kasih!"

"Sebaiknya kita mencari persewaan mobil agar tidak kesulitan berkeliling Lafayette."

"Kyan, Itu tidak perlu! Harga menyewa mobil sangat mahal!"

"Aku tidak akan membiarkan kalian berdua jalan kaki."

"Angkutan umum lebih baik, atau taksi?"

"Kali ini aku yang memilih, tidak ada komplain, Lu!"

"Lagi-lagi?"

Hannah yang ada di antara mereka berdua hanya tertawa, tetap menggandeng tangan mereka.

"Hannah, apa kau tahu? Bandar udara ini pernah menjadi perusahaan helikopter terbesar di dunia!"

Mata Hannah melebar. "Benarkah?" tanyanya antusias.

"Ya, namanya Petroleum Helicopters International, Inc. Dibangun pada tahun 1949 dan sampai sekarang masih menjadi kantor pusatnya."

"Wah! Itu lama sekali!"

"Di sepanjang sejarah, mereka memperluas armada menjadi tiga ratus helikopter dan menjadi kelompok pesawat non-militer terbesar di dunia! Mereka juga membuat helikopter terbesar di dunia yang ada di Palourde – Morgan City pada tahun 1981."

"Apa kau pernah ke sana?"

"Tidak, tapi aku pernah melihat salah satu helikopter mereka, warnanya hitam dengan corak oranye, helikopter itu terbang di angkasa. Saat itu aku kagum dan bercita-cita menjadi pilot."

"Kenapa kau tidak menjadi pilot?"

Lucy tersenyum, kemudian menatap Hannah.

"Seiring berjalannya waktu, keadaan akan mengubah cita-citamu, Hannah, dan apa yang pernah kau cita-citakan di masa kecil akan menjadi kenangan indah saat beranjak dewasa."

Kyan hanya diam mendengarkan mereka berdua, terkadang ... keadaan juga bisa mengubah segalanya, termasuk kehidupan seseorang, apakah semakin baik, atau justru semakin rumit.

Perjalanan terasa singkat saat dilalui dengan kegembiraan. Kyan menyetir sendiri mobil sewaan mereka, sebuah mobil sederhana dengan kapasitas empat orang. Awalnya Kyan memilih mobil yang lebih bagus, tapi Lucy menolak.

Mobil mereka berhenti di sebuah rumah dengan tangga kecil di depannya. Dinding luar rumah dicat dengan warna kuning pastel, teras dan halaman dihiasi bunga-bunga yang indah, tanpa pagar. Rumah sederhana yang sepi, bahkan antara satu rumah dengan rumah lain tidak saling berdekatan, tidak seperti di pusat kota New York di mana mereka tinggal saat ini, hampir tidak bisa ditemukan rumah seperti ini, yang ada hanya gedung bertingkat dan apartemen.

"Ayo turun!" ajak Lucy, disusul dengan Kyan dan Hannah.

Beberapa kali Lucy mengetuk pintu hingga seorang perempuan paruh baya menyambut dan memeluknya hangat. Perempuan itu berusia sekitar 46 tahun, memiliki rambut ikal panjang yang warnanya sama dengan rambut Lucy, hanya saja ada beberapa helai rambut putih yang tampak.

"Aku merindukanmu, Ibu."

"Kenapa kau tidak berkunjung ke sini lebih awal?"

"Maafkan aku ...."

Perempuan itu melepas peluknya, menatap Kyan dan Hannah kemudian kembali pada Lucy.

"Siapa mereka, Lu?"

Lucy menoleh ke belakang kemudian tersenyum lebar.

"Oh! Itu Kyan temanku dan Hannah, Hannah tinggal bersamaku."

Perempuan itu tersenyum, kemudian berbisik pada Lucy, "Aku tahu laki-laki itu bukan temanmu, tapi pacarmu. Hannah lebih pantas jadi anak kalian."

Wajah Lucy memerah malu. "Ibu!"

Perempuan itu tersenyum ramah, menghampiri Hannah dan merengkuhya dengan sebelah tangan.

"Ayo masuk! Rumahku tidak besar, tapi kurasa masih cukup untuk kita semua. Hannah, apa kau suka pai daging?"

Hannah mengerutkan keningnya. "Pai daging?"

"Lucy dan Luke sangat menyukainya, aku akan membuatkannya untukmu. Kyan, anggap rumah sendiri, oke?"

Kyan tersenyum canggung kemdian berjalan mengikuti mereka masuk ke rumah.

Maria Bennet, para tetangga biasa memanggilnya Nyonya Mary. Hidup sendiri sejak bercerai dengan ayahnya Lucy sembilan tahun yang lalu. Sebenarnya Luke ikut ibunya, tapi Luke memutuskan untuk masuk sekolah kepolisian di New York.

Perceraian mereka adalah hal yang disayangkan, karena pada awalnya mereka adalah pasangan yang bahagia, bahkan masing-masing anak memiliki nama mereka. Lucy memiliki nama ibunya –Lucia Mary-, dan Luke memiliki nama ayahnya, -Luke Thomas-, namun pernikahan mereka harus kandas saat kehidupan sedang jauh di atas awan. Ayah Lucy berkhianat, kencan dengan perempuan lain dan membawanya pulang ke rumah. Saat itulah Nyonya Mary menyerah dengan pernikahannya, membuang kekayaan yang dimilikinya dan kembali ke Lafayette, rumah asalnya.

Ia melupakan hal-hal menyakitkan dalam hidupnya dengan menjadi relawan di panti jompo dekat rumah, berkebun, dan merawat hewan ternak. Itu yang diceritakan Nyonya Mary pada Kyan saat sedang memasak pai daging. Lucy dan Hannah tidak mendengarnya, Lucy ada di kamar mandi, sedangkan Hannah duduk sambil menonton televisi.

"Tapi tidak ada alasan bagi kalian menyerah untuk saling mencintai hanya karena kisahku yang kebetulan menyedihkan, aku mungkin hanya kurang beruntung saja."

Kyan terdiam, sebenarnya ia tidak memberitahu hubungannya dengan Lucy, namun perempuan ini dengan terang-terangan memberinya saran.

"Saling percaya dalam sebuah hubungan dan jangan pernah memberikan kesempatan pada hati untuk mencari yang lain saat sudah menawan satu. Tuan dan Nyonya Smith saling mencintai hingga tua, mereka tinggak tak jauh dari sini, mungkin usia mereka saat ini sekitar delapan puluh tahun."

"Nyonya, apa ... Lucy pernah terluka sebelumnya?"

Nyonya Mary memiringkan kepalanya menatap Kyan. "Terluka?"

"Kau pernah melihat bekas luka di belakang leherku?" tanya Lucy tiba-tiba, ia baru saja keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk berwarna kuning. Perempuan itu sudah mengganti pakaiannya dengan kaus santai warna merah jambu dan celana pendek sebatas lutut.

"Sekilas. Kau selalu menutupinya."

"Itu terjadi saat aku masih berusia sekitar lima tahun. Tetanggaku mabuk, ia menghampiriku yang sedang bermain di luar rumah bersama dengan Luke yang masih berusia tiga tahun. Ia hendak memukul Luke dengan botol kaca pecah yang ada di tangannya karena Luke tidak sengaja buang air kecil di halaman rumahnya. Aku melindungi Luke, kemudian ayahku berlari menyelamatkanku, ibuku berteriak histeris dan meraih kami berdua. Ayah mendorong laki-laki itu, menahan tangannya, membuang botol yang digunakan untuk memukulku. Kalau ayahku tidak ada, mungkin aku sudah mati saat itu."

"Aku ketakutan. Lucy tidak bergerak, darah mengucur dari lehernya. Thomas menelepon polisi sekaligus rumah sakit, Luke tidak berhenti menangis. Syukurlah kami tidak terlambat."

Lucy tersenyum kecut. "Itu adalah kenangan buruk sekaligus indah. Karena kejadian itulah keluarga kami belajar bagaimana pentingnya sebuah kerjasama." Sejenak Lucy kembali pada saat-saat itu, kejadian yang hampir merenggut nyawanya, namun kemudian ia tersadar dari lamunannya dan melemparkan handuknya kepada Kyan. "Sebaiknya kau mandi dengan cepat atau aku akan menghabiskan pai dagingnya!"

"Lu, tolong siapkan piring-piring di atas meja!"

"Baik, Bu."

Lucy menuju rak piring yang ada di dekat kamar mandi, saat itulah Kyan mendekatinya.

"Lu, aku tidak tahu bagaimana caranya berterima kasih pada ayahmu karena telah menyelamatkan anak perempuan yang akan menjadi perempuanku di masa depan," bisik Kyan.

Sejenak wajah Lucy memerah. "Kyan!"

Kyan langsung masuk ke dalam kamar mandi sambil tersenyum.

^^^

Mereka bertiga memutuskan untuk bermalam di rumah Nyonya Mary, ibu kandung Lucy. Ada dua kamar di sana, kamar Luke dan kamar Nyonya Mary sendiri. Sejak pindah ke Lafayette, Lucy jarang sekali ke sini karena harus selalu menemani ayahnya.

Kyan tidur di kamar Luke, Hannah tidur di tempat tidur Nyonya Mary, sedangkan Nyonya Mary dan Lucy tidur di bawahnya beralaskan selimut tebal yang hangat. Walaupun sudah dewasa, Lucy masih suka tidur dengan ibunya, itu semua karena mereka jarang bertemu.

"Apa Hannah sudah tidur?"

Lucy sedikit mengangkat kepalanya untuk mengintip Hannah, kemudian ia tersenyum.

"Sudah," jawab Lucy sambil kembali merebah.

"Bagaimana kabar adikmu?"

"Hah ... dia sibuk dengan kekasih lebih tuanya!"

Nyonya Mary terkekeh pelan, disusul dengan Lucy.

"Tidak apa-apa, usia tidak membatasi sebuah hubungan, Sayang. Asalkan bahagia. Lalu ... bagaimana kabar Olivia?"

Lucy terdiam sesaat. "Baik."

"Kau tidak bisa membohongi Ibu, Lu."

Lucy mengembuskan napas berat. Itu benar!

"Kita doakan saja supaya Olivia selalu baik-baik saja, Ibu."

"Ibu selalu mendoakan yang terbaik untuk kalian," ujar Nyonya Mary lembut sambil membelai halus rambut kepala anaknya. "Kau sangat beruntung, Nak. Ada Kyan dan Hannah di sisimu. Kalian sudah seperti sebuah keluarga kecil yang bahagia."

Pipi Lucy merona mendengar ucapan ibunya, ia tersenyum malu, namun matanya menerawang ke langit-langit kamar.

"Masih sangat jauh untuk memikirkan hal itu, Ibu."

"Hannah seperti menemukan keluarganya kembali, dari ceritamu ... anak itu seharusnya mengalami trauma yang cukup berat, tapi dia tidak."

"Dia suka pai daging."

"Sepertimu."

Mereka berdua tertawa lagi.

"Nikmati hidup, Lu. Seberat apa pun masalah, kau harus tetap banyak bersyukur. Bersyukur tidak hanya saat kau mendapat kebahagiaan, melainkan di setiap keadaan. Hidupmu masih panjang, Sayang."

"Aku menyayangimu, Ibu," ujar Lucy sambil tersenyum kemudian merapatkan selimutnya. "Inilah yang kurindukan darimu. Selamat malam."

"Selamat malam, Lu."

Nyonya Mary menatap anak perempuannya yang telah memejamkan mata terlebih dahulu. Rasanya baru kemarin ia menggendongnya dalam wujud bayi mungil berkulit merah, mengajarinya berjalan, melihatnya belajar makan sendiri, membawanya ke rumah sakit dengan lumuran darah dari belakang lehernya. Anak itu sekarang telah menjelma menjadi seorang perempuan dewasa, perempuan mandiri yang memiliki banyak pilihan. Ia hanya perlu membimbingnya dari jauh agar anak perempuan semata wayangnya tidak salah jalan dan terjebak dalam kesendirian seperti dirinya.

^^^

Keesokan harinya, mereka bertiga pergi mengunjungi beberapa objek wisata di Louisiana. Tujuan pertama mereka adalah Cypress Lake yang berlokasi di Kampus Lafayette Universitas Louisiana. Cypress Lake adalah danau seluas dua hektar yang merupakan habitat bagi buaya, kura-kura, burung, dan ikan. Pohon Cypress yang tingginya sekitar lima hingga empat puluh meter seakan tumbuh dari dalam air. Daunnya lebat dan panjang. Ada sebuah pohon ek besar yang tumbuh di sebelah selatan Cypress Lake. Tempat ini terbilang aman karena pada mahasiswa biasa menjadikannya tempat bekumpul atau tempat santai. Sungguh hijau dan indah, udara sejuk, juga terdengar kicauan burung.

"Kau tahu, ada cerita yang mengatakan dahulu kala tempat ini adalah kawasan bagi para bison, mereka berteduh di bawah Pohon Cypress kemudian mengais-ngais dan menginjak-injak tanah sehingga terbentuklah lubang. Lubang itu mulai menahan air saat hujan dan membentuk sebuah kolam!"

"Wah, apa memang seperti itu, Lu?" tanya Kyan tidak percaya.

Lucy mengangkat bahunya. "Well, aku membacanya baru-baru ini di wikipedia." Ia tersenyum sambil menunjukkan gigi-giginya, Kyan tertawa kecil, begitu pula dengan Hannah.

"Ayo! Kita harus mengunjungi Lafayette Science Museum di pusat kota!" ajak Lucy penuh semangat.

"Oke, hari ini kau adalah tour guide kami, Lu," ujar Kyan, Lucy tertawa.

Mereka menuju tempat selanjutnya.

Lafayette Science Museum. Berada di pusat kota, museum ini buka setiap hari pada pukul sembilan pagi hingga pukul lima sore, dan di hari minggu pukul satu siang hingga enam sore. Fosil dinosaurus bisa dilihat di sini, dari berbagai macam spesies. Ada juga kupu-kupu yang diawetkan di dalam kotak kaca, ada berbagai macam pesawat terbang, kapal, roket, dan yang paling terkenal di sini adalah planetarium. Planetarium ada di lantai atas, masuk ke dalam ruangan gelap berbentuk lingkaran dengan langit-langit dan dinding layar, seperti bioskop, hanya saja tempat ini memiliki layar di setiap sisinya. Para penonton disuguhkan dengan film perjalanan luar angkasa, Hannah sangat menyukainya.

Perjalanan mereka belum berakhir, kali ini mereka mengujungi Acadian Village. Acadian Village adalah kota tertua yag dijadikan museum sejak abad 19. Meskipun dijuluki dengan kota tertua dengan bangunan-bangunan lama berbahan dasar kayu, tempat ini tidak tampak mengerikan, justru sebaliknya. Pemandangan masih asri, ada sungai dengan angsa dan juga jembatan kayu yang melintang di atasnya. Ada rumah Dr. Hypolite Salles, dokter gigi penduduk pertama di Lafayette sekaligus pemilik "Doctor's Museum" yang letaknya bersebelahan dengan galeri seni di Acadian Village. Ada juga bangunan gereja lama, dan rumah pandai besi. Pandai besi adalah orang yang sangat penting dalam komunitas, ia membuat peralatan, tapal kuda, dan lain sebagainya.

Pukul tiga sore, mereka berhenti sejenak. Hannah dengan semangat bercerita kembali segala hal yang baru saja dilaluinya. Kyan mendengarnya sambil tersenyum, Lucy juga ikut menanggapi ocehan Hannah.

"Sayang sekali kita datang tidak saat festival. Louisiana memiliki berbagai macam festival menyenangkan."

Hannah tampak berbinar."Bisakah kita datang lagi lain waktu?"

"Tentu saja!" sahut Kyan sambil tersenyum, kemudian ia menatap Lucy. "Apa kau punya rekomendasi tempat makan di sini, Lu?"

"Louisiana terkenal dengan Cajun."

"Apa itu Cajun?" tanya Hannah sambil memiringkan kepalanya.

"Bumbu khusus yang dibuat dari campuran paprika, bawang putih bubuk, bawang bubuk, merica hitam, oregano. Hmm ... sebaiknya nanti kalian coba sendiri. Biasanya ada Cajun Food Tours."

"Apa itu?" kali ini Kyan yang bertanya sambil mengerutkan keningnya.

"Ayo kita cari! Biasanya dia berhenti di dekat hotel ataupun taman."

Sebenarnya Kyan masih belum mengerti, namun ia tetap menuruti kemauan Lucy.

Ketika mereka berkeliling dengan menggunakan mobil, tiba-tba saja Lucy menunjuk pada sebuah van besar bersarna oranye yang berhenti di dekat taman kecil, beberapa orang ada di sana. Lucy tersenyum lebar.

"Itu! Ayo kita turun!"

"Oke, aku akan memarkirnya dulu."

Cajun Food Tours dibawa oleh sebuah van oranye bertuliskan 'Cajun Food Tours' dan beberapa gambar makanan. Van itu tidak pasti berhenti di mana, ia selalu berkeliling. Di sini konsumen bisa menikmati berbagai macam makanan, khas Louisiana ataupun bukan. Lucy senang saat Kyan dan Hannah berkata bahwa makanannya enak dan mereka menikmatinya.

Sebenarnya masih banyak yang belum mereka kunjungi, tapi mereka harus pulang. Pesawat mereka akan berangkat pukul enam petang. Sebelum itu, Lucy meminta Kyan untuk mengantarkannya ke rumah Nyonya Mary dan berpamitan.

Kali ini mereka harus transit dua kali, lima puluh menit di Dallas dan empat setengah jam di Philadelphia hingga mereka sampai di Queens pagi hari pukul setengah tujuh. Cukup melelahkan, namun membuahkan hasil. Wajah Hannah lebih cerah dan segar, bahkan saat Kyan mengantarkan mereka hingga apartemen Lucy, Hannah masih tersenyum.

"Terima kasih, Kyan!" ujar Hannah penuh semangat, kemudian masuk.

"Terima kasih banyak," ujar Lucy sambil tersenyum.

"Apa pun akan kulakukan untukmu, Lu."

Lucy mengecup pipi Kyan sesaat, kemudian langsung masuk ke dalam gedung apartemennya. Ia tidak peduli dengan Kyan yang masih terpaku dengan wajah yang memerah karena malu.

^^^

Lucy kembali bekerja keesokan paginya. Ia berlari secepatnya menuju NC Times lantaran kabar yang didapat dari ponselnya. Dengan cepat, ia menuju ruangan Olivia, tidak peduli banyak orang yang tengah memandangnya aneh.

"Olivia! Olivia!" Lucy memanggil, namun tidak ada sosok Olivia di ruangannya. Ini bukan hal biasa, terlebih saat ia memeriksa meja kerja Olivia. Semua kosong! Seperti tidak pernah ditempati.

"Di mana Olivia?" tanya Lucy pada salah satu rekan kerja Olivia.

"Ia mengundurkan diri, kau tidak tahu?"

"Apa?"

"Sudah sejak dua hari yang lalu."

Lucy terdiam, itu artinya saat ia pergi ke Louisiana. Ia bertanya dalam hati, ada apa sebenarnya dengan Olivia? Pertanyaan itu terus terngiang di benaknya sepanjang ia berjalan menuju ke ruang kerjanya, ruangan yang sama dengan ruangan Gio.

"Apa yang kau lakukan pada Olivia?" geram Lucy saat ia sampai dan tanpa sopan santun langsung menghampiri Gio.

"Olivia Malden? Dia mengundurkan diri dua hari yang lalu."

"Apa yang kau lakukan?"

Gio mengerutkan keningnya. "Apa kau pikir aku sejahat itu? Aku tidak melakukan apa pun, dia sendiri yang langsung datang padaku dengan surat pengunduran diri." Gio bangkit dari duduknya, mendekati Lucy. "Sebenarnya apa yang ada di kepalamu tentangku?"

Lucy mengambil langkah mundur, namun Gio semakin mendekatinya hingga ia terdesak ke dinding.

"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Lucy panik.

Gio menghimpit Lucy di dinding. "Apa kau ingat dengan apa yang kukatakan? Kenapa kau masih ikut campur?" Gio mendekatkan bibirnya ke telinga Lucy. "Kau pikir aku tidak tahu dengan siapa saja kau pergi kemarin?"

Lucy mendorong tubuh Gio, menatapnya marah. "Kau tidak tahu! Kau hanya mengancamku, kan?"

"Mengancam?" Gio tertawa, kemudian ia semakin mendekat, menahan tubuh Lucy dan kedua tangannya yang terus memberontak, menghapus jarak di antara mereka, mencium bibir Lucy dan melumatnya kasar. Lucy terus berusaha untuk melepaskan diri, namun tangannya terasa sakit, semakin ia memberontak, tangannya semakin memerah.

"Itu baru mengancam!"

Lucy sekuat tenaga menahan air matanya agar tidak tumpah, dadanya terasa sesak dan panas.

"Aku tidak akan menyerahkan Hannah!"

"Oh! Kau ingin bermain-main dengan kami? Baiklah!" ujar Gio sambil tersenyum licik. "Sebenarnya aku lebih membutuhkanmu dibandingkan dengan anak kecil itu."

Gio mendekatkan wajahnya lagi, Lucy terus memaksakan diri agar bisa terlepas dari Gio hingga akhirnya ia bisa! Ia segera berlari, menghindari Gio sejauh mungkin. Lucy keluar dari ruangan, turun melewati tangga darurat hingga tiba di lantai yang dulu merupakan ruangannya saat bekerjasama dengan Elly. Lucy masuk ke kamar mandi, kedua tangannya gemetar, ia terduduk di kloset yang tertutup, menangis tanpa suara dan menutupi wajahnya.

Di tengah tangisnya, tiba-tiba saja ia teringat dengan tujuannya, Olivia! Ia segera menghubungi Olivia dengan tangan yang masih gemetar. Ia mencoba sekali dan tidak ada jawaban, dua kali, tiga kali, hingga keempat kalinya.

"Lu?"

"Olivia! Apa yang kau lakukan? Kenapa kau mengundurkan diri? Ada sesuatu yang harus kukatakan padamu! Dengar! Aku ...."

"Pembunuh August Sanford dibebaskan tanpa syarat, Lu."

Tentu saja Lucy terkejut. Olivia sudah tahu!

"Kau ... sudah tahu? Aku akan pergi ke tempatmu!"

"Tidak! Kau jangan pernah pergi ke sini! Jangan! Aku tidak ingin kau berada dalam bahaya sepertiku, Lu! Mereka ... mereka akan membunuhku! Ke mana pun aku pergi, mereka akan mengikutiku, seperti malaikat maut!" suara Olivia terdengar panik.

"Tidak akan kubiarkan hal itu terjadi padamu!"

"Lu, apa kau ingat di mana aku selalu menyembunyikan mainanmu saat masih kecil dulu?"

Lucy mengerutkan keningnya. "Kenapa kau bertanya seperti itu? Tentu saja aku mengingatnya! Kau selalu menyembunyikannya di ...."

"Bagus!" Suara Olivia terdengar sedikit tenang. "Maafkan aku, Lu. Aku menitipkan Hannah padamu. Kumohon?"

"Olivia!"

Sambungan terputus, Lucy kembali dilanda kecemasan yang sangat, otaknya mendadak buntu dan tidak bisa berpikir apa pun! Kenapa dirinya harus terjebak di dalam situasi rumit ini?

^^^

Lucy bergegas mendatangi Luke di kantor polisi, sebelumnya ia kembali menelepon Olivia, menanyakan apa alasan ia akan dibunuh dan merekam diam-diam semuanya.

"Ada persekongkolan jahat antara media dan pemerintah, Lu. Kau sudah tahu pemerintah mana yang kumaksud. Aku punya semua buktinya dan mereka tahu itu! Setelah mereka membunuh Tuan August, mereka akan mendatangiku!"

Lucy berada di sebuah ruangan tertutup di kantor polisi bersama dengan Luke, Luke mendengarkan rekaman itu dan memutarnya berkali-kali.

"Luke, bisakah kau menolong Olivia? Memberi pengamanan di sekitar apartemen seperti yang kau lakukan padaku dan Hannah?" pinta Lucy.

"Ini gawat! Tapi untuk saat ini aku tidak bisa, Kak."

"Kenapa tidak bisa?"

"Patrick Aston menggunakan seluruh anggota kepolisian. Ia membagi tugas pada kami yang kurasa bukanlah tugas penting."

Lucy menutup matanya. "Apa jangan-jangan semua ini sudah skenario mereka?"

"Aku yang akan menemani Olivia!"

Tiba-tiba Sandra muncul, mengagetkan mereka berdua.

"Sandra! Apakah rapatnya sudah selesai?" tanya Luke.

"Yah ... sudah. Patrick Aston seperti sedang merencanakan sesuatu dan Lucy datang membawa kabar ini. Aku akan berjaga di sana setelah tugasku selesai."

"Apa? Tapi Olivia tidak bisa!"

"Tidak ada jalan lain! Semua petugas mendapat perintah malam ini. Aku selesai pukul sepuluh malam dan langsung menuju Norfolk."

"Kumohon jangan biarkan Olivia mati."

Sandra tersenyum lemah. "Tentu."

^^^

Tidak ada kata tidur dalam kamus Lucy malam ini. Ia terus memegang ponsel, berjalan mondar-mandir, perasaannya sungguh tidak enak. Hannah berkali-kali bertanya padanya, namun Lucy mencoba untuk tersenyum dan menjawab bahwa semua baik-baik saja agar Hannah tidak khawatir, seperti dirinya.

Dering telepon membangunkan Lucy, ia menemukan dirinya tertidur di sofa sambil duduk. Ia meraba sekitar dan menemukan ponselnya, masih pukul empat pagi dan Luke menghubunginya.

"Luke?"

Seketika rasa kantuk Lucy lenyap begitu saja! Ia menyambar jaketnya, keluar dari apartemen dan cepat-cepat menguncinya. Tidak ada barang yang dibawa kecuali ponsel dan beberapa lembar uang yang tersisa di saku celananya. Dengan naik taksi yang kebetulan ada di pagi buta, Lucy menuju ke Norfolk, apartemen Olivia.

Benar saja! Saat sampai, ada banyak polisi di sana, beberapa mobil polisi, ambulans, dan garis polisi yang melintang di gedung apartemen. Lucy memaksa masuk hingga beberapa petugas rumah sakit keluar dari gedung apartemen membawa tandu, di atasnya terbujur sosok yang diselimuti kain putih.

"Tuan! Bisakah aku memeriksanya?"

Tangan Lucy gemetar membuka kain putih itu, setelahnya ia mundur beberapa langkah, kedua tangan menutup mulutnya.

"Kalau Anda sudah selesai, kami akan membawanya."

"Tidak ...."

Itu adalah Olivia! Ketakutan yang tadi malam terus menghantuinya ternyata terjadi juga! Wajah Olivia pucat, ada lebam di pelipisnya, lebam itu berwarna ungu, entah apa yang terjadi padanya.

"Bawa dia." Luke baru keluar dari dalam apartemen bersama Sandra.

Jenazah Olivia dimasukkan ke dalam ambulans dan dibawa pergi. Luke menghampiri Lucy kemudian memeluknya erat, Sandra tampak merasa bersalah.

"Maaf Lucy, Patrick mempersulitku dan aku baru menyelesaikan tugasku pukul tiga pagi. Saat aku tiba di sini setengah jam yang lalu, semua sudah terlambat. Tubuhnya di lantai dan ada banyak darah di sejumlah titik. Seluruh ruangan kacau."

Lucy menangis keras.

"Apa yang terjadi padanya? Kenapa dia bisa seperti ini?"

Luke tetap memeluknya erat dan saat itu ... Luke juga menangis bersama kakaknya.

"Olivia ... Olivia ... seharusnya aku pergi ke apartemenmu dan menjagamu, kenapa semuanya bisa seperti ini?"

Suara Lucy terus melemah hingga akhirnya ia jatuh tak sadarkan diri.

Sungguh.

Ini semua terlalu berat baginya.

Andai saja ada alat pengatur waktu, ia memilih untuk mengulang kembali dan memilih untuk tidak masuk ke dalam masalah ini terlalu dalam.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top